• Tidak ada hasil yang ditemukan

Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Ju-rnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian In-ternasional, Kementerian Luar Negeri RI. Seir-ing dengan pergantian tahun, Tim Opinio Juris terus berusaha untuk melakukan perbaikan, pembenahan dan penyempurnaan pada substan-si maupun sajian Opinio Juris demi meningkat-kan kualitas, tampilan isu aktual dan ketertari-kan para pembaca. Untuk itu, Tim Opinio Juris berupaya memperoleh akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta mendapatkan Mitra Bestari guna menyempurnakan kualitas artikel dalam Jurnal ini.

Jurnal Opinio Juris terbit setiap empat bu-lan sekali dan sejak tahun 2009 hingga 2011 Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian In-ternasional, Kementerian Luar Negeri RI telah menerbitkan 9 (sembilan) edisi. Mulai dari ed-isi ke 7 (tujuh) yaitu pada tahun 2011, Opinio Juris telah memperoleh ISSN dari Perpustakaan Nasional. Melalui kesempatan ini pula, kami ingin menginformasikan bahwa mulai terbitan pertama tahun 2011 penomoran volume Opinio Juris akan berurut berdasarkan jumlah volume Opinio Juris yang diterbitkan.

Pengelola Opinio Juris dalam terbitan kali ini maupun pada terbitan mendatang akan beru-paya untuk menyajikan rangkaian tulisan yang memiliki kesamaan tema dalam suatu edisi khu-sus agar para pembaca dapat memahami isu ter-tentu secara komprehensif. Pada Volume 4 ini, Opinio Juris menitik beratkan pembahasannya pada kajian tentang hukum perjanjian interna-sional. Terdapat 3 (tiga) tulisan yang memiliki nuansa hukum perjanjian internasional yang di tulis oleh mereka yang sering berkutat dengan isu tersebut. Tulisan yang pertama yaitu men-genai Dasar Konstitusional Perjanjian Interna-sional, “Mengais Latar Belakang dan Dinamika

Pasal 11 UUD 1945”. Penulis bermaksud untuk menggali sejarah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberi-kan perspektif yang utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia sampai saat ini. Pada tulisan kedua yaitu tentang “Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945”, penulis menjelas-kan bahwa substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hak dan bersi-fat self executing juga merupakan sumber hu-kum bagi putusan pengadilan. Artikel terakhir yang membahas tentang hukum perjanjian in-ternasional yaitu “Memahami Arti Undang-Un-dang Pengesahan Perjanjian Internasional di In-donesia”. Penulis artikel ini menggaris bawahi bahwa UU Pengesahan perjanjian internasional bukan bentuk dari transformasi perjanjian in-ternasional ke dalam peraturan hukum nasional di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjan-jian internasional.

Selain 3 (tiga) tulisan di atas, terdapat pula resensi terhadap salah satu buku penyumbang artikel pada Opinio Juris Volume 4 yaitu Da-mos Dumoli Agusman SH., MA. Buku yang berjudul Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek di Indonesia patut mendapat perhatian, karena selain mengang-kat permasalahan klasik hubungan antara hu-kum internasional dengan huhu-kum nasional juga menawarkan suatu solusi terhadap hubungan tersebut yang tentu saja masih dapat diperde-batkan.

Walaupun demikian, terdapat 3 (tiga) tu-lisan lainnya yang tidak memiliki kaitan dengan hukum perjanjian internasional, namun penting untuk diketahui oleh para pembaca mengingat tema yang diangkat merupakan permasalahan

(2)

yang saat ini cukup aktual. Salah satu dari 3 (tiga) tulisan tersebut yaitu mengenai “Perkem-bangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”. Pen-ulis menjelaskan bahwa sampai saat ini huku-man mati masih menjadi bagian pokok dalam hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun di luar KUHP. Hal ini telah menimbul-kan perdebatan antara yang setuju dengan yang tidak setuju terhadap penerapan hukuman mati dalam sistem pidana seiring dengan desakan masyarakat internasional untuk menghapus-kan hukuman mati. Selanjutnya, terdapat pula tulisan mengenai Can Trials Help

Victim-Wit-nesses of Mass Atrocity Heal? dimana penulis

melakukan pembahasan tentang batasan-ba-tasan dan kelemahan international court dalam menangani kasus-kasus mass atrocity.

Jurnal Opinio Juris ini juga memuat Glos-sary Hukum yang secara umum mendeskripsi-kan berbagai istilah hukum yang dipilih secara khusus dan lazim digunakan sebagai terms

pada kajian Hukum Internasional.

Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Pengelola telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada Per-pustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses melalui http://pustakahpi. kemlu.go.id/content.php. Pada kesempatan ini, Pengelola Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut menyum-bangkan tulisan, memberikan saran dan masu-kannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang.

Akhir kata, Tim Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat menjadi sarana dalam menye-barluaskan berbagai informasi, wacana dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca.

(3)

Perjanjian internasional di Indonesia telah melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda. Pertama periode 1945-1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 UUD yang ber-laku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mu-lai berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.

Secara keseluruhan perjalanan sejarah In-donesia, dasar konstitusional untuk perjanjian internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:

“Presiden dengan persetujuan Dewan Per-wakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.

Sekalipun dasar konstitusional untuk per-janjian internasional telah mengalami rang-kaian phase rejim hukum yang berbeda, ru-musan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari perjanjian internasional tidak pernah berubah. Untuk itu artikel ini bermaksud menggali seja-rah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif

yang utuh mengapa rumusan ini menjadi di-maknai seperti yang dipraktikkan oleh Indone-sia sampai saat ini.

Pasal ini tidak secara khusus mengatur ten-tang perjanjian internasional namun menempat-kannya senafas dengan kekuasaan Presiden lain-nya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu menyatakan perang dan membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan menurut penu-lis tidak dimaksudkan untuk mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan hanya mengidentifikasi kewenan-gan Presiden sebagai Kepala Negara1 antara lain dalam membuat perjanjian internasional. Para ahli mengalami kesulitan untuk menemu-kan latar belamenemu-kang dirumusmenemu-kannya pasal yang singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat secara kilat oleh perancangnya (BPUPKI) mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik maupun referensi yang dapat membantu meru-muskan Pasal 11. Ko Swan Sik2 menyatakan bahwa kemungkinan besar para perumus UUD 1945 lebih banyak menggunakan referensi dari Belanda dan mungkin sedikit sekali menggu-nakan model Amerika Serikat mengingat pada waktu itu Konstitusi Amerika Serikta tidak ter-lalu dikenal oleh elit Indonesia. Sedangkan ahli sejarah Indonesia seperti A. Arthur3 menduga model Amerika Serikat merupakan inspirasi utama bagi perumus UUD 1945.

1 1

Menurut penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara. 2

Lihat misalnya Ko Swan Sik, The Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3. 3

A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, the Hague, 1955, at 19.

DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL

MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945

(4)

1 4

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (“Preparatory Documents to the Con-stitution of 1945”), Vol. I, at 291.

5

Soekarno dalam pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah berdasar-kan falsafah yang hidup (volkgeist) dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis yang telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, 287-298.

6

English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02. html. Konstitusi Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan pasal 48 Konstitusi Prussian: “the king shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties with foreign governments. The latter require for their validity the assent of the chambers in so far as they are commercial treaties, or impose burdens on the State, or obligations on the individual subjects”. English text dapat diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia. Menurut sejarah, ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan Konstitusi Meiji, Kaisar Jepang harus di-berikan kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah sebabnya berbeda dengan Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan persetujuan Diet untuk pembuatan perjanjian inter-nasional, Beckmann, George M, The Making of the Meiji Constitution, University Kansas Press, 1957, 71. 7

Yamin, Vol. I, 784-793. 8

Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Kom-prehensif Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15.

Dari berbebagai perdebatan seperti yang terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata be-berapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai referensi, yaitu Konstitusi Perancis, Belanda, Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang)4. Dalam perdebatan terlihat bahwa para perumus tidak terlalu menyukai semangat yang terkandung dalam konstitusi-kontitusi Negara Barat karena dinilai terlalu liberal dan individualisme dan lebih mengarah ke Timur yaitu pada semangat yang terkandung pada Konstitusi Meiji5. Seka-lipun demikian, para perumus tidak secara kes-eluruhan menolak konsep-konsep Barat karena pada kenyataannya juga mengadopsi prinsip rechstaat seperti yang terkandung pada Konsti-tusi Weimar.

Dari analisa komparatif terhadap konstitusi yang berlaku pada periode kemerdekaan RI, terkait dengan kekuasaan presiden di bidang luar negeri, para perumus tampaknya meng-gunakan Konstitusi Meiji 1889. Pasal 13 me-nyatakan:

The Emperor declares war, makes peace,

and concludes treaties6 .

Catatan diskusi tentang pasal-pasal kekua-saan Presiden hampir seluruhnya mengambil pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji. Bahkan pada tahun 1942, Supomo, Subard-jo dan Maramis sebelum mulai persidangan BPUPKI pernah mengusulkan suatu draft UUD yang pada umumnya adalah “copy paste” dari Konstitusi Meiji7. Pasal 9 draft mereka bah-kan mengusulbah-kan rumusan “Kepala Negara menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dalam perde-batan awal di BPUPKI rumusan ini tetap di-pertahankan dengan menggunakan istilah yang berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan Negara8. Teks ini kemudian berkembang dalam perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi se-hingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden. Dalam perdebatan selanjutnya, pasal ini tidak termasuk pasal yang kontroversi sehing-ga densehing-gan cepat dapat diterima densehing-gan hanya penambahan kalimat “dengan persetujuan DPR” agar selaras dengan prinsip “check and

(5)

1 9

Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 505.

10

Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of Indone-sia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122.

11

Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang hukum namun tidak hukum internasi-onal, Ko Swan Sik, opcit, 4.

12

Yamin, Muhammad, Vol I, 376-396.

balances” yang mendominasi pola pikir para

perumus UUD 1945 pada waktu itu.

Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kekua-saan prerogatif Presiden juga mengambil ru-musan yang sama dari Konstitusi Meiji, mis-alnya:

Pasal 5 : The President exercises the legislative power with the consent of the Parliament (Ar-ticle 5 of the Meiji Constitution)

Pasal 10 : The President is the supreme com-mander of the Army, Navy and the Air Force (Article 11 of the Meiji Constitution)

Pasal 12: The President may declare a state of emergency. The conditions for such a declara-tion and its effects shall be determined by law (Article 14 of the Meiji Constitution).

Pasal 14: The President grants pardon, amnes-ty, commutation of punishment, rehabilitation (Article 16 of the Meiji Constitution).

Pasal 15: The President confers ranks, orders and other marks of honour (Article 15 of the Meiji Constitution).

Penggunaan Konstitusi Meiji sebagai ref-erensi untuk kewenangan prerogratif Presiden dapat dipahami dengan beberapa pertimban-gan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan ga-gasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia sehingga dapat dipahami jika ref-erensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi pedoman utama. Para perumus tidak melirik konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya karena tingginya sentimen anti penjajahan Be-landa dan imperialisme9, serta tidak melirik

Konstitusi dari Negara-negara Asia karena ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat dipahami. Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI adalah tentara Jepang10 dan sangat mung-kin dalam memberikan kontribusinya mereka merujuk pada Konstitusi yang mereka pahami. Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus telah mengindikasikan orientasinya terhadap

Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon

Teikoku (Japan) sehingga model Jepang men-jadi sangat relevan dan menjanjikan.

Pasal 11 ini memang bukan pasal yang me-narik perhatian pada masa pembahasan11. Di tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa perang mulainya perang kemerdekaan, para pe-rumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya perdebatan yang berlarut-larut tentang pasal ini dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan di BPUPKI lebih banyak diwarnai oleh perten-tangan padangan ideologi antara kelompok Is-lam yang mendesak terbentuknya Negara IsIs-lam dengan kelompok nasionalis yang menentang-nya12.

Namun demikian, patut pula dicatat bahwa penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam literatur sejarah Indonesia. Berbagai catatan dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para mantan perumus UUD 1945 juga tidak pernah secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di bidang hak prerogratif Presiden. Beberapa

(6)

per-pang. Tuduhan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah restu Jepang memang akhirnya telah menjadi perdebatan dalam literatur hukum in-ternasional13. Selain itu, Orde Baru juga men-empatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang sakral sehingga tidak dibuka ruang untuk ad-anya pandangan lain tentang Konstitusi ini apa-lagi mengaitkannya dengan konstitusi asing. Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian internasional itu sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-negara terhadap hukum internasional14, apa lagi Neg-ara-negara yang baru merdeka15.

Seperti halnya Konstitusi Meiji 1889 16 , pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terha-dap hukum internasional karena memang ma-sih sangat asing bagi pendiri Negera. Selain itu, konstitusi-konstitusi negara yang mengatur ten-tang hukum internasional pada masa itu masih terbatas dan hanya didominasi oleh konstitusi negara-negara Barat seperti Weimar Constitu-tion 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bah-kan Belanda sendiri sebagai Negara kolonial yang seyogianya mempengaruhi para perumus UUD 1945 baru pada pada tahun 1938 menga-tur perjanjian internasional secara rinci17. timbangan politik mungkin mendasari adanya

kecenderungan untuk tidak menguak fakta sejarah ini. Pertama, sejak kemerdekaan RI terdapat semangat nasionalisme yang sangat tinggi yang memotret bahwa Indonesia mem-peroleh kemerdekaan melalui usahanya sendiri dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah ciptaan lokal yang berakar pada nilai filoso-fis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD 1945 mengambil rujukan dari konstitusi asing merupakan pandangan yang tabu pada waktu itu dan di tengah-tengah nasionalisme yang tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akade-mis tentang UUD 1945 lebih banyak didomi-nasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, yang memang secara original merupakan produk pemikiran asli para pendiri bangsa Indonesia.

Kedua, sejak masuknya Jepang, para pendi-ri Negara telah telah terpecah dengan adanya tawaran Jepang untuk memerdekakan Indone-sia dengan terbentuknya BPUPKI. Beberapa tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain bersikap kooperatif. Persoalan menjadi sensitif jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “hadiah” dari Je-pang sehingga terdapat sentimen trauma jika ada indikasi yang mengarah pada referensi

Je-1

13

Sastroamidjojo, Ali and Robert Delson, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten von Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433.

14

Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Consti-tutional Law, 17 AJIL 1923, at 234.

15

Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deen-er, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 526.

16

Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional sejak 1850. Japan and International Law: Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International, 2001, 350.

(7)

luar negeri negara.

• Hal-hal yang menurut UUD atau berdasar-kan sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti ma-salah kewarganegaraan dan mama-salah-ma- masalah-ma-salah kehakiman.

Menurut pengamatan penulis, surat ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya pembuatan perjanjian sampai tahun 1960 18 sehingga dinilai tidak praktis dan membata-si keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional jika semua perjanjian internasional harus melalui proses persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit aki-bat norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat mensyaratkan persetujuan DPR karena secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh disahkan kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Penulis membayangkan bahwa ketat-nya aturan ini serta pesatketat-nya pembuatan perjan-jian pada periode tersebut telah19 menyulitkan Presiden dalam proses pembuatan perjanjian internasional dan inilah antara lain yang me-micu keluarnya Surat Presiden tersebut. Dengan kriteria ini maka tidak semua per-janjian harus mendapat perstujuan DPR dan oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive yang terselubung terhadap pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini bahwa perjanjian harus mendapat persetujuan DPR telah diubah Dengan demikian pasal 11 UUD 1945

ti-dak mungkin dapat menjelaskan tentang ber-bagai permasalahan yang mengemuka dewasa ini, seperti apa yang dimaksud dengan perjan-jian, membuat perjanjian serta apa bentuk for-mal dari persetujuan DPR. Pasal ini jauh dari mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian dalam sistem hu-kum nasional Indonesia.

Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya mela-hirkan kesulitan dalam praktik Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada periode sebelum reformasi se-hingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluar-kan kebijadikeluar-kan yang tertuang dalam produk leg-islasi di luar UUD 1945. Pertama adalah Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Su-rat Presiden tersebut maka perjanjian interna-sional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi sebagai berikut:

• Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persa-habatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal ba-tas.

• Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifat-nya sehingga mempengaruhi haluan politik

1

17

Verzijl, J.H.W. International Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106. 18

Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia telah membuat sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indo-nesia telah membuat 36 perjanjian, angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

19

Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56 perjanjian internasional dan hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk mendapatkan persetujuan DPR.

(8)

reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul pada perubahan (amandemen) ketiga UUD 1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun sayangnya perubahan yang dilakukan tidak menyentuh akar masalah melainkan kembali berkutat pada masalah kewenangan Presiden vis a vis DPR. Pada perubahan ketiga, Pasal 11 mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga Pasal ini secara lengkap ber-bunyi:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Per-wakilan Rakyat menyatakan perang, mem-buat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain

(2) Presiden dalam membuat perjanjian inter-nasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Un-dang

Amandemen ini tentunya tidak mengubah apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian internasional karena hanya menambah pasal yang menekankan adanya kewenangan DPR untuk memberi persetujuan terhadap perjanjian lainnya yang dibuat dengan organisasi interna-sional. Penambahan pasal ini juga tidak ber-dampak dalam praktik karena belum satu pun perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah dibuat dan mendapat persetujuan DPR. Akibat-nya, amandemen ini tidak menyelesaikan per-masalahan klasik yang lahir akibat keterbatasan pengaturan pasal 11 UUD 1945.

Penulis menyarankan agar amandemen UUD 1945 berikutnya, pasal 11 mendapat gili-menjadi hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU

No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Interna-sional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang dipedomani oleh Surat Presiden 2826 tersebut.

Penetapan kriteria untuk menentukan per-janjian yang harus mendapat persetujuan DPR bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda telah menerapkan kriteria ini dan bahkan telah diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD 1950. Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh Konstitusi dan Praktik Belanda pada periode itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hu-kum para birokrat di lingkungan Kabinet dan khususnya Kementerian Luar Negeri.

Persoalannya adalah, UUD 1945 tidak men-genal pembedaan ini karena memang konstitusi rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlu-kan kriteria ini. Kaisar Jepang berdasarmemerlu-kan Kon-stitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat perjanjian tanpa persetujuan Diet, sehingga ti-dak perlu membeti-dakan jenis perjanjian. Sisipan kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini menjadi berbeda dengan Konstitusi Meiji. Aki-batnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia melirik pada Konstitusi Belanda yang memang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen. Dalam hal ini, telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan praktik Indonesia, yaitu menggunakan dasar konstitusional Jepang (Meiji) namun mengem-bangkannya dengan menggunakan model Kon-stitusi Belanda.

Keruwetan dasar konstitusional ini seha-rusnya dapat diselesaikan melalui amande-men UUD 1945 yang intensif dilakukan sejak

(9)

ran yang signifikan dan diamandemen secara proporsional sehingga memberi dasar kon-stitusional yang kuat bagi perjanjian yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus men-gatur tentang kewenangan membuat perjan-jian, kriteria perjanjian yang harus mendapat

persetujuan DPR, serta kedudukan perjan-jian dalam sistem hukum Indonesia. Pen-gujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi sejak 2011 merupak-an contoh pahit dari keterbatasmerupak-an pasal UUD 1945.

(10)

Pendahuluan

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian in-ternsional yang merupakan salah satu dari akti-vitas penyelenggaran negara sudah seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hu-kum negara, oleh karena itu pembuatan perjan-jian international juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasi-onal. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang perjanjian internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk men-emukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan perjanjian international menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteris-tik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat; “There are wholes, they have elements and those elementshave relations which form structure “. Lebih lanjut dinyatakan; ” Sourse – based system have legal rules or norms for ele-ments. These are related by relations of author-ity or validauthor-ity to higher rules. These relations

are classically formed into a pyramidal and hi-errarical structure with one ultimate rule, ‘ba-sic norm‘ or ‘legal science fiat‘ at the top. The wholeness factor is provided by the structure it-self and by its function of providing the authori-tative basis for all law in community“1. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagimana di atas uraian di bawah ini akan meninjau perjan-jian internasioanal dalam sistem UUD 1945. Dasar Hukum

Dasar hukum perjanjian international dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:

• Presiden dengan persetujuan De -wan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain

• Presiden dalam membuat perjanjian in -ternasional lainnya yang menimbul-kan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait den-gan beban keuanden-gan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pem-bentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

• Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian in -ternasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan di dalamnya adanya kata “perjanjian inter-nasional“. Oleh karena itu perlu dikaji lebih

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945

Dr. Harjono, SH., MCL

1 1

(11)

dahulu dalam konteks apa UUD 1945 terse-but mengatur hal perjanjian internasional. Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasal-nya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD 1945 ini mengal-ami perubahan yang sangat signifikan diband -ingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum perubahan. Di samping perubahan isi pasal-pasal, perubahan UUD 1945 juga menambah-kan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu; Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C. Pasal 11 UUD 1945 sebelum peruba-han merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: ”Presiden dengan persetu-juan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjan-jian dengan negara lain“, dan setelah peruba-han UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut di-karenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi; ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbu-nyi; ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pem-buatan UU dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga

menyebab-kan perubahan pada apa yang dimaksud se-bagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Nega-ra yang beNega-rada di tangan Presiden meliputi; • kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945),

• kekuasaan membentuk UU (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekua-saan sebagai kepala negara.

Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu: • kekuasaan eksekutif

• kekuasaan sebagai kepala negara.

Bab III UUD 1945 megandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 di mana di dalam-nya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalank-an dua fungsi sekaligus ymenjalank-ang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang me-wakili negara dalam melakukan hubungan den-gan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang tidak dimaksudkan untuk menentukan hubun-gan antara hukum internasional denhubun-gan hu-kum nasional tetapi semata-mata menetapkan bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara yang lain, yang mewakili negara Indonesia un-tuk melakukan hubungan dengan negara lain . Bentuk hukum

Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kes-epakatan yang diambil oleh para pihak, dalam

(12)

hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah per-janjian internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepas-tian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak negara lain secara prima

facie dan secara hukum dapat memastikan

bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden In-donesia tidak lain adalah pernyataan keingi-nan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara In-donesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undan-gan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, mem-buat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalan-nya adalah apakah dengan adaPersoalan-nya syarat terse-but menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar terse-but harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa ben-tuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila

Presiden menyatakan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa ben-tuk hukum pernyataan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang. Apabila pernyataan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain di-wadahi bentuk hukum UU maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang dan hal yang demikian tersebut akan menimbulkan per-soalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain mempunyai karakterikstik yang berbeda. Seb-agai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu kon-flik dengan negara lain yang tidak dapat dis -elesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepa-da DPR untuk menkepa-dapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan UU harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menye-babkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu rancangan undang-undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjan-jian dengan negara lain yang memerlukan ke-sepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kes-epakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian

(13)

in-lukan naskah otentik yang menjadi dasar ad-anya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian internasional dituangkan dalam bentuk hukum UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan antara naskah yang telah disetujui oleh wakil masing-masing negara dengan yang disahkan dalam UU apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan men-imbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemer-intah negara lain harus mengakui bahwa lampi-ran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah perjanjian inter-nasional yang dilampirkan dalam UU ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal UU telah diundangkan sebagaimana mestinya.

Karena perjanjian internasional diberi ben-tuk hukum UU tentunya segala tata cara kon-stitusi yang berkaitan dengan UU juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan perja-jian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945, Pasal 20 ayat (5) menyatakan, ”Dalam hal ran-cangan undang-undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah men-gajukan naskah perjanjian internasional kepa-da DPR, kepa-dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan per-janjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian me-ternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua

pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu per-lu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang di-perlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepak-ati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasi-onal sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang be-rada di luar ranah urusan internal negara. Ka-lau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU apakah ini tidak berarti bahwa kehendak neg-ara lain tersebut disubordinasikan kepada me-kanisme internal negara lain karena digantung-kan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain yang diperkukan adalah pernyataan persetu-juan untuk terikat dan bukan pengesahan UU. Praktik pengesahan perjanjian internasi-onal menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahan-nya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindika-sikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain di-lakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari perjanjian internasional. Dalam sebuah perjanjian internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diper-lukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran perjanjian in-ternasional yang telah disepakati, maka

(14)

diper-nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam perjanjian internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menim-bulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam UU juga menja-dikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya di -lakukan pemutusan perjanjian dengan negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Ad -anya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian internasioanl dapat di-lakukan di luar mekanisme pembuatan UU. Dalam banyak undang-undang telah dikem-bangkan mekanisme persetujuan DPR terha-dap usualan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pen-gangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengang-katan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu memberi bentuk perjanjian internasional seb-agai undang-undang atau statute/law. Amerika Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demiki-an tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat oleh Congres namun demikian perjanjian in-ternasional tetap mengikat negara tersebut. Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Per-janjian Internasional

Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubun-gan antara hukum internasional dan hukum nasional, namun mengatur kewenangan kon-stitusional Presiden untuk membuat perjan-jian internasional dalam sistem UUD 1945.

Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensil adalah kepala pemerin-tahan dan berwenang untuk mewakili pemer-intah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat perjanjian internasi-onal, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitan-nya dengan aspek hukum internasional ke-tentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara pemerintah Indonesia dengan negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitu-sional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Se-dangkan dari aspek internasional sesuai den-gan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah negara akan mengikat seluruh elemen yang di-wakilinya baik lembaga negara maupun warg-anya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus di-penuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menen-tukan syarat tersebut. Di samping membuat perdamaian dan membuat penjanjian dengan negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetu-juan DPR apabila Presiden membuat “per-janjian internasional lainnya“ yang; (1) me-nimbulkan akibat yang luas dan mendasar

(15)

bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, (2) mengharuskan pe-rubahan atau pembentukan undang-undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tida-klah terkait dengan pembedaan antara perjanji-an internasional publik dperjanji-an kontrak bisnis inter-nasional yang dilakukan negara sebagai subyak hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat perjanjian in-ternasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah perjanjian inter-nasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk mene-tapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian “ yang lain “tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan negara lain“. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya yaitu perjan-jian yang dibuat dengan subyek hukum inter-nasional lain selain negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek hukum internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “me-nimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara“. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum internasional. Sebagai salah satu unsur per-wakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuan-nya untuk membuat perjanjian yang disebut-kan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang

demiki-an karena menydemiki-angkut kepentingdemiki-an bdemiki-angsa. Sementara itu ada pandangan bahwa per-janjian dengan organisasi internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetu-juan DPR dengan alasan karena pihaknya bu-kan negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertim-bangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian internasional tersebut, tetapi karena perjan-jian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara negara Indo-nesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasional lain karena perselisihan yang ter-jadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian hukum publik internasi-onal. Pertimbangan konstitusionalitasnya kare-na isi putusan lembaga tersebut akan mem-punyai dampak langsung kepada negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan negara atau bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan financial neg -ara dalam menyelengg-arakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan kes-epakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hu-kum dari kewajiban untuk terikat adalah

(16)

kehen-dak masing pihak. Di sisi lain masing-masing negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ negara mana yang diberi kewenan-gan untuk mewakili negara tersebut dalam berhubungan dengan negara lain. Perjanjian internasional yang lahir atas dasar kesepaka-tan menempatkan para pihak dalam posisi se-tara dan oleh karenanya perjanjian international mempunyai dasar “good faith“ antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diper-janjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudi-an disepakati bersama. Apabila suatu perjkemudi-anjikemudi-an internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetu-juannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian internasional sebagaimana perjanjian pada um-umnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust“ antar pihaknya, dengan demikian

“pacta sunt servanda“ menjadi dasar mengapa

para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional, ada ke-wajiban untuk menghargai dan memberi aki-bat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam ber-hubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lem-baga negara yang lain termasuk juga lemlem-baga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hu-kum pada perjanjian international yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt

servanda saja seringkali dapat menimbulkan

persoalan karena kemungkinan adanya

pi-hak lain yang tidak secara itikad baik melak-sanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan pu-tus atau berakhirnya perjanjian internasinoal tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum perjanjian internasional di dalam negeri, asas

pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan

asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan per-janjian internasinal tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan perjanjian in-ternasional yang bersangkutan di negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara resiprosity ini dapat dipasti-kan dengan meminta konfirmasi kepada nega -ra yang bersangkutan melalui jalur diplomatic. Hal demikian perlu dilakukan untuk melind-ungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai perjanjian international hanya membebani kewajian secara sepihak saja. Pemberlakukan perjanjian international ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketataneg-araan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima se-bagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah kon-stitusi. Pemberian tempat perjanjian internasi-onal dalam sistem hukum nasiinternasi-onal merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi . Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty, dasar mengikat perjanjian internasional ter-dapat dalam konstitusi yang tidak mensyarat-kan perjanjian internasional diwadahi dalam

(17)

bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap

The Law of Treaty tidak berarti bahwa

Indo-nesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembua-tan perjanjian internasional dengan negara lain dan menerima ketentuan The Law of Treaty se-bagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat men-jadi salah satu sumber hukum international. Perjanjian Internasional Sebagai Sum-ber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sum-ber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-udan-gan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bah-wa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu di antaranya den-gan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Ke-biasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat inter-national. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh negara- negara di dunia, maka secara

sub-stantive dapat dianggap sebagai mempunyai ni-lai keadilan yang diterima oleh banyak negara, oleh karenanya hakim nasional dapat mengam-bil substansi yang terdapat dalam perjanjian in-terasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertim-bangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bang-sa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah ban-yak negara menerimanya dengan cara melaku-kan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya.

Di samping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk menda-sakan putusannya pada undang-undang. Kekua-tan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undang-undang. Kekuatan mengikat tersebut disebab-kan perjanjian international secara substan-tive telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk mem-buat perjanjian internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifi -kasi perjanjian internasional dalam bentuk un-dang-undang mengesankan seolah-olah kekua-tan mengikat perjanjian internasional sebagai

(18)

sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang padahal bukan. Status perjan-jian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan per-janjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan se-cara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute yang dibuat oleh Congres merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian in-ternational tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjan-jian internasional sebagai the law of the land. Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, na-mun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang ter-dapat dalam perjanjian internasional. Sangat-lah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognation and Enforcement of Foreign Ar-britral Award 1958 yang berbunyi, ”Each con-tracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article“. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharus-nya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan ar-bitrasi asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article“ sebagaimana disyaratkan Article III tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda

den-gan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Against

Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam

UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan, ”Subject to its constitution and the fundamen-tal principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legisla-tive and other measures as may be necessary to establish asa criminal offence when com-mitted intentionally, illicit enrichment, that is,

a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably ex -plain in relation to his or her lawful income“. Pasal atau article ini tidak dapat diterap-kan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna mene-tapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim di-hadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional. Kesimpulan

Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian international dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah pernyataan

kehen-dak yang ditujukan ke luar, perjan-jian internasional seharusnya ber-wadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain. 2. Adanya klausula persetujuan DPR

dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak be-rarti bahwa bentuk hukum ratifikasi

(19)

perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetu-juan bersama dalam pembuatan UU. 3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD mengang-gap penting keterlibatan DPR untuk me-mutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, bukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional publik dan privat. 4. Perjanjian internasional mempunyai

kekuatan hukum mengikat dan

men-jadi sumber hukum dalam hukum na-sional karena telah dibuat sesuai den-gan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sum-ber hukum di luar sumsum-ber hukum UU. 5. Karena telah dibuat sesuai dengan

ke-tentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjianjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat

self executing juga merupakan sum-ber hukum bagi putusan pengadilan. 6. Pengesahan perjanjian internasional

dalam bentuk atau wadah UU menimbul-kan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.

(20)

Pendahuluan

Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, baik Montesqiueu maupun L. Friedman men-ganasirkan bahwa ada hubungan kasualitas an-tara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqi-ueu dengan tegas memisahkan antara tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di dalam praktik ketatanegaraan, teori ini tidak dapat diimplementasikan secara murni karena berbagai hal terkait dengan kepentingan-ke-pentingan nasional yang strategis dan kekua-saan. Terkait dengan perjanjian internasional, ada pembagian kewenangan yang nyata antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, di mana lembaga eksekutif yang diwakili oleh Presiden atau Perdana Menteri memiliki ke-wenangan dalam hal external affairs, sedang-kan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki kewenangan di bidang internal affairs. Dengan kata lain, Presiden atau Perdana Menteri me-miliki kewenangan untuk membuat dan mer-atifikasi perjanjian internasional, sedangkan untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang untuk menyetujui atau menyetujui dengan syarat atau menolak perjanjian internasional

yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan kultur1. Hukum internasional pun merupakan sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen di atas. Hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parle-men dalam kaitannya dengan perjanjian inter-nasional terimplikasi dalam komponen kedua, yaitu struktur, di mana secara struktur hukum internasional dan hukum nasional memiliki kedudukan yang sejajar atau ko-ordinasi, bu-kan sub-ordinasi, sehingga setiap perjanjian in-ternasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem hukum nasional suatu negara sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen2. Di Indonesia, jika mengacu pada UU No-mor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Interna-sional, pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia me-lalui proses transformasi, di mana Pasal 9 Ayat 2 UU ini menyatakan bahwa pengesahan per-janjian internasional dilakukan dengan

undang-MEMAHAMI ARTI UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN

INTERNASIONAL DI INDONESIA

Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.

1 1

Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hlm. 16.

2

Hasil analisis penulis setelah berdiskusi dengan para ahli hukum terkait dengan permasalahan filosofi hubun -gan antara hukum internasional den-gan hukum nasional dikaitkan den-gan pendapat dari L. Friedman.

(21)

undang atau keputusan presiden [baca: per-aturan presiden]. Secara filosofis, aplikasi UU ini merupakan kelanjutan dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Hal yang janggal dari Surat Presiden ini adalah di dalam beberapa literatur hukum tata negara maupun hukum internasional ditegaskan bah-wa Surat Presiden ini merupakan hasil intepre-tasi hukum atas Pasal 11 UUD 1945. Hal ini tentu saja sangat mengganggu karena secara substansial menyalahi tatanan yang berlaku di dalam teori Montesqiueu di mana kewenangan untuk menginterpretasikan dan mengaplika-sikan peraturan hukum baik nasional mau-pun internasional adalah lembaga yudikatif. 3 Lepas dari ketidakjelasan ini, dalam pengintegrasian perjanjian internasional di In-donesia, dari sisi implementasi, khususnya di pengadilan, masih banyak hakim yang belum paham atau mungkin tidak mengerti apakah perjanjian internasional yang telah diratifi-kasi oleh Pemerintah Indonesia dapat

digu-nakan di pengadilan atau tidak. Pendapat dari Hj. Suparti Hadhyono dalam artikelnya yang berjudul Praktik Penerapan Perjanjian Inter-nasional dalam Putusan Hakim menjelaskan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional bila tidak sesuai den-gan kondisi Indonesia, tidak sesuai denden-gan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.4 Di dalam tulisan ini ada beberapa hal yang dibahas dan sekaligus meluruskan beberapa persepsi yang [mungkin] keliru terkait arti un-dang-undang pengesahan perjanjian internasi-onal yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR melalui undang-undang, atau yang dibuat oleh Presiden saja melalui keputu-san presiden [baca: peraturan presiden], apak-ah undang-undang pengesapak-ahan ini secara ipso facto membuat perjanjian internasional yang bersangkutan berlaku di Indonesia atau tidak. Selain itu, pembahasan ini juga berusaha men-jawab kebingungan para hakim terhadap eksis-tensi hukum internasional di Indonesia, apakah dapat digunakan secara langsung ataukah

seke-1

3 Pendapat penulis setelah membaca beberapa makalah termasuk disertasi hukum milik Dr. Harjono M.C.L.

dari Universitas Airlangga di mana beliau memuat kata-kata “...lembaga eksekutif menafsirkan Pasal 11 UUD 1945...”

4 Hj. Suparti Hadhyono, “Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim, diambil dari http://www.scribd.com pada tanggal 21 Juni 2010.

Kelemahan dari hakim-hakim di Indonesia adalah kata-kata seperti tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia, tidak didukung oleh kasus-kasus yang konkrit yang menunjukkan bahwa ini tidak sesuai dengan ini dan seterusnya. Kelemahan ini akhirnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti melanggengkan kekuasaan atau tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang menjadi beban suatu pihak dengan menggunakan salah satu alasan tersebut di atas. Dengan tidak adanya contoh konkrit maka kriterianya menjadi subyektif dari hakim se

-hingga dapat memunculkan konspirasi di antara para pihak dengan hakim-hakim. Berbeda dengan di Amerika Serikat, kasus Laminoirs-Trefileries-Cableries de lens v. Southwire Company, pengadilan Georgia memutus bahwa bunga bank sebesar 14,5% dan 15,5% per tahun adalah melanggar ketertiban umum di negara bagian Georgia dan tidak dapat dilaksanakan karena nilai bunga bank yang diakui di negara bagian Georgia adalah 9,5% dan 10,5%.

(22)

dar a help tool bagi para hakim untuk mengin-terpretasikan peraturan hukum nasional.

Ketiadaan Pengaturan Kedudukan Per-janjian Internasional di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Lainnya Mencirikan Ke-dualisme-an Indonesia Dua aliran yang seringkali berdebat dalam

pembahasan perjanjian internasional adalah ali-ran monisme dan aliali-ran dualisme. Pembahasan kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir, bahkan semakin melebar. Dr. Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah nega-ra monisme karena di dalam UU Pengesahan selalu dilampirkan perjanjian internasional-nya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam menyele-saikan perkara5. Berpendapat sama tetapi ber-beda pertimbangan, Dr. Damos Dumoli Agus-man dari Kementerian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani meng-gunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk memutus perkara6. Pernyataan menarik ditegaskan oleh Dr. Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman,

menyampaikan teori kombinasi antara teori monisme dan dualisme karena beliau mengang-gap tidak ada negara yang secara murni men-gaplikasikan teori-teori tersebut dengan baik.7 Jika melihat praktik di negara-negara lain, pada kenyataannya negara-negara tidak melaksanakan faham yang dianut secara kaku tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta tradisi hukum yang telah berkembang lama di negara-negara tersebut. Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai negara monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “...all Treaties... shall be the supreme law of the land.” 8 Namun demikian, dalam kondisi praktiknya, Amerika Serikat cenderung dualisme karena ketika me-nyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, Senat selalu mencan-tumkan RUDs yang mana salah satunya me-nyatakan bahwa perjanjian internasional terse-but bersifat non-self-executing sehingga tidak dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat9. Hal ini dilakukan untuk melindungi peraturan-peraturan federal yang telah dibuat sebelumnya dan menjaga tradisi hukum yang

1

5

Diungkapkan kepada penulis dalam sebuah diskusi kecil di Fakultas Hukum Universitas Surabaya pada tahun 2009.

6

Diungkapkan kepada penulis dalam beberapa diskusi di Surabaya, termasuk pada pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011.

7

Diungkapkan kepada penulis pada saat pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel No

-votel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011.

8

Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the U.S., West Group, U.S.A., hlm. 219-220.

9

Pendapat penulis setelah melakukan penelitian tentang implementasi perjanjian internasional di pengadilan nasional Amerika Serikat dengan menelaah filosofi dari Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat.

(23)

of international law and the international trea -ties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation established other rules than those stipulated by the law, the rules of international treaty shall apply.”

Dari keempat contoh negara-negara di atas, dari sisi teori dapat ditarik garis lurus bahwa ke-monisme-an keempat negara terse-but terlihat dari adanya pengaturan kedudu-kan hukum internasional di dalam kon-stitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional. Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum in-ternasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasi-onal, seperti Australia, Kanada dan Jerman, namun hakim tetap diberi keleluasaan meng-gunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang secara sub-stansial tidak jelas atau bertentangan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Bagi negara-negara ini, pemberlakuan perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus melalui proses transformasi, di mana hukum internasional ditransformasikan ke dalam hukum nasional terlebih dahulu sebe-lum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain yang sering digunakan adalah pemberlakuan-telah berkembang lama di Amerika Serikat.10

Sebagai contoh adalah ICCPR di mana pada saat Senat menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi terhadap Pasal 6 Ayat 5 agar Pemerin-tah Amerika Serikat tetap dapat mengeksekusi mati pelaku kejahatan di bawah umur. Selain itu, Senat juga melampirkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa “[t]o clarify that the Covenant will not create a private cause of ac -tion in U.S. courts.” Makna dari deklarasi ini adalah bahwa ICCPR tidak dapat digunakan secara langsung oleh hakim-hakim di pengadi-lan-pengadilan Amerika Serikat sebelum Kon-gres membuat implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal terkait den-gan ketentuan-ketentuan yang ada di ICCPR.11 Perancis dan Belanda juga merupakan neg-ara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam kon-stitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Kon-stitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parlia -ment,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Be-landa (Grundwet) menyatakan “Statutory legis-lations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organi -zations.” Demikian pula dengan Konstitusi Ru-sia, di mana Pasal 15 Ayat 4 menetapkan bahwa:

“The general recognized principles and norms 1

10

Lori Fisler Damrosch, 1991, “The Role of the U.S. Senate concerning “Self-Executing and Non-Self-Executing” Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev., hlm. 520.

11

Chrissy Fox, 2003, Implication of the U.S.’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relations, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International and Comparative Law, hlm. 304-308.

Referensi

Dokumen terkait

Dari paparan dan ulasan di atas, dapat juga disimpulkan bahwa UU Perdagangan ini bersifat sebagai lex specialis , hukum (undang-undang) yang khusus dari UU Perjanjian Internasional

bahwa Tujuan dan Sasaran Strategis pada Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Tahun 2020 – 2024 dengan pendekatan

Fathur Rahman Universitas Pamulang, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, “Kajian Teoritis Penerapan dan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja dalam Perjanjian