Pendahuluan
Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, baik Montesqiueu maupun L. Friedman men- ganasirkan bahwa ada hubungan kasualitas an-tara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqi-ueu dengan tegas memisahkan antara tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di dalam praktik ketatanegaraan, teori ini tidak dapat diimplementasikan secara murni karena berbagai hal terkait dengan kepentingan-ke-pentingan nasional yang strategis dan kekua-saan. Terkait dengan perjanjian internasional, ada pembagian kewenangan yang nyata antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, di mana lembaga eksekutif yang diwakili oleh Presiden atau Perdana Menteri memiliki ke-wenangan dalam hal external affairs, sedang-kan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki kewenangan di bidang internal affairs. Dengan kata lain, Presiden atau Perdana Menteri me-miliki kewenangan untuk membuat dan mer-atifikasi perjanjian internasional, sedangkan untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang untuk menyetujui atau menyetujui dengan syarat atau menolak perjanjian internasional
yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan kultur1. Hukum internasional pun merupakan
sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen di atas. Hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parle- men dalam kaitannya dengan perjanjian inter-nasional terimplikasi dalam komponen kedua, yaitu struktur, di mana secara struktur hukum internasional dan hukum nasional memiliki kedudukan yang sejajar atau ko-ordinasi, bu- kan sub-ordinasi, sehingga setiap perjanjian in-ternasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem hukum nasional suatu negara sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen2.
Di Indonesia, jika mengacu pada UU No- mor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Interna-sional, pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia me-lalui proses transformasi, di mana Pasal 9 Ayat 2 UU ini menyatakan bahwa pengesahan per-
janjian internasional dilakukan dengan undang-MEMAHAMI ARTI UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.
1 1 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hlm. 16. 2 Hasil analisis penulis setelah berdiskusi dengan para ahli hukum terkait dengan permasalahan filosofi hubun-gan antara hukum internasional dengan hukum nasional dikaitkan dengan pendapat dari L. Friedman.
undang atau keputusan presiden [baca: per-aturan presiden]. Secara filosofis, aplikasi UU ini merupakan kelanjutan dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Hal yang janggal dari Surat Presiden ini adalah di dalam beberapa literatur hukum tata negara maupun hukum internasional ditegaskan bah- wa Surat Presiden ini merupakan hasil intepre-tasi hukum atas Pasal 11 UUD 1945. Hal ini tentu saja sangat mengganggu karena secara substansial menyalahi tatanan yang berlaku di dalam teori Montesqiueu di mana kewenangan untuk menginterpretasikan dan mengaplika-sikan peraturan hukum baik nasional mau-pun internasional adalah lembaga yudikatif. 3
Lepas dari ketidakjelasan ini, dalam pengintegrasian perjanjian internasional di In-donesia, dari sisi implementasi, khususnya di pengadilan, masih banyak hakim yang belum paham atau mungkin tidak mengerti apakah perjanjian internasional yang telah diratifi-kasi oleh Pemerintah Indonesia dapat
digu-nakan di pengadilan atau tidak. Pendapat dari Hj. Suparti Hadhyono dalam artikelnya yang berjudul Praktik Penerapan Perjanjian Inter-nasional dalam Putusan Hakim menjelaskan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional bila tidak sesuai den-gan kondisi Indonesia, tidak sesuai denperjanjian internasional bila tidak sesuai den-gan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.4
Di dalam tulisan ini ada beberapa hal yang dibahas dan sekaligus meluruskan beberapa persepsi yang [mungkin] keliru terkait arti un- dang-undang pengesahan perjanjian internasi-onal yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR melalui undang-undang, atau yang dibuat oleh Presiden saja melalui keputu- san presiden [baca: peraturan presiden], apak-ah undang-undang pengesahan ini secara ipso facto membuat perjanjian internasional yang bersangkutan berlaku di Indonesia atau tidak. Selain itu, pembahasan ini juga berusaha men- jawab kebingungan para hakim terhadap eksis-tensi hukum internasional di Indonesia, apakah dapat digunakan secara langsung ataukah seke-1 3 Pendapat penulis setelah membaca beberapa makalah termasuk disertasi hukum milik Dr. Harjono M.C.L. dari Universitas Airlangga di mana beliau memuat kata-kata “...lembaga eksekutif menafsirkan Pasal 11 UUD 1945...” 4 Hj. Suparti Hadhyono, “Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim, diambil dari http://www.scribd.com pada tanggal 21 Juni 2010. Kelemahan dari hakim-hakim di Indonesia adalah kata-kata seperti tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia, tidak didukung oleh kasus-kasus yang konkrit yang menunjukkan bahwa ini tidak sesuai dengan ini dan seterusnya. Kelemahan ini akhirnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti melanggengkan kekuasaan atau tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang menjadi beban suatu pihak dengan menggunakan salah satu alasan tersebut di atas. Dengan tidak adanya contoh konkrit maka kriterianya menjadi subyektif dari hakim se-hingga dapat memunculkan konspirasi di antara para pihak dengan hakim-hakim. Berbeda dengan di Amerika Serikat, kasus Laminoirs-Trefileries-Cableries de lens v. Southwire Company, pengadilan Georgia memutus bahwa bunga bank sebesar 14,5% dan 15,5% per tahun adalah melanggar ketertiban umum di negara bagian Georgia dan tidak dapat dilaksanakan karena nilai bunga bank yang diakui di negara bagian Georgia adalah 9,5% dan 10,5%.
dar a help tool bagi para hakim untuk mengin-terpretasikan peraturan hukum nasional.
Ketiadaan Pengaturan Kedudukan Per-janjian Internasional di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Lainnya Mencirikan Ke-dualisme-an Indonesia Dua aliran yang seringkali berdebat dalam pembahasan perjanjian internasional adalah ali-ran monisme dan aliran dualisme. Pembahasan kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir, bahkan semakin melebar. Dr. Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah nega-ra monisme karena di dalam UU Pengesahan selalu dilampirkan perjanjian internasional-nya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam menyele-saikan perkara5
. Berpendapat sama tetapi ber- beda pertimbangan, Dr. Damos Dumoli Agus-man dari Kementerian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani meng-gunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk memutus perkara6.
Pernyataan menarik ditegaskan oleh Dr. Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman,
menyampaikan teori kombinasi antara teori monisme dan dualisme karena beliau mengang- gap tidak ada negara yang secara murni men-gaplikasikan teori-teori tersebut dengan baik.7
Jika melihat praktik di negara-negara lain, pada kenyataannya negara-negara tidak melaksanakan faham yang dianut secara kaku tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta tradisi hukum yang telah berkembang lama di negara-negara tersebut. Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai negara monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “...all Treaties... shall be the supreme law of the land.” 8 Namun
demikian, dalam kondisi praktiknya, Amerika Serikat cenderung dualisme karena ketika me-nyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, Senat selalu mencan-tumkan RUDs yang mana salah satunya me- nyatakan bahwa perjanjian internasional terse-but bersifat non-self-executing sehingga tidak dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat9. Hal ini dilakukan untuk melindungi
peraturan-peraturan federal yang telah dibuat sebelumnya dan menjaga tradisi hukum yang
1 5 Diungkapkan kepada penulis dalam sebuah diskusi kecil di Fakultas Hukum Universitas Surabaya pada tahun 2009. 6 Diungkapkan kepada penulis dalam beberapa diskusi di Surabaya, termasuk pada pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 7 Diungkapkan kepada penulis pada saat pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel No-votel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 8 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the U.S., West Group, U.S.A., hlm. 219-220. 9 Pendapat penulis setelah melakukan penelitian tentang implementasi perjanjian internasional di pengadilan nasional Amerika Serikat dengan menelaah filosofi dari Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat.
of international law and the international trea-ties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation established other rules than those stipulated by the law, the rules of international treaty shall apply.” Dari keempat contoh negara-negara di atas, dari sisi teori dapat ditarik garis lurus bahwa ke-monisme-an keempat negara terse-but terlihat dari adanya pengaturan kedudu-kan hukum internasional di dalam kon-stitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional. Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum in-ternasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasi-onal, seperti Australia, Kanada dan Jerman, namun hakim tetap diberi keleluasaan meng-gunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang secara sub-stansial tidak jelas atau bertentangan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Bagi negara-negara ini, pemberlakuan perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus melalui proses transformasi, di mana hukum internasional ditransformasikan ke dalam hukum nasional terlebih dahulu sebe-lum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain yang sering digunakan adalah pemberlakuan-telah berkembang lama di Amerika Serikat.10
Sebagai contoh adalah ICCPR di mana pada saat Senat menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi terhadap Pasal 6 Ayat 5 agar Pemerin-tah Amerika Serikat tetap dapat mengeksekusi mati pelaku kejahatan di bawah umur. Selain itu, Senat juga melampirkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa “[t]o clarify that the Covenant will not create a private cause of ac-tion in U.S. courts.” Makna dari deklarasi ini adalah bahwa ICCPR tidak dapat digunakan secara langsung oleh hakim-hakim di pengadi- lan-pengadilan Amerika Serikat sebelum Kon-gres membuat implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal terkait den-gan ketentuan-ketentuan yang ada di ICCPR.11
Perancis dan Belanda juga merupakan neg-ara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam kon- stitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Kon-stitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parlia-ment,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Be-landa (Grundwet) menyatakan “Statutory legis-lations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organi- zations.” Demikian pula dengan Konstitusi Ru-sia, di mana Pasal 15 Ayat 4 menetapkan bahwa: “The general recognized principles and norms
1
10
Lori Fisler Damrosch, 1991, “The Role of the U.S. Senate concerning “Self-Executing and Non-Self-Executing” Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev., hlm. 520.
11
Chrissy Fox, 2003, Implication of the U.S.’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relations, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International and Comparative Law, hlm. 304-308.
v. Wah Ah Jee13
di Malaysia, di mana Penga-dilan menyimpulkan bahwa “The Courts here must take the law as they find it expressed in the Enactment. It is not the duty of a judge or magistrate to consider whether the law so set forth is contrary to international law or not.” 14
Di Indonesia pernah terjadi kerancuan dalam memahami istilah implementing leg-islation, dan anehnya yang tidak paham arti implementing legislation adalah Mahkamah Agung sendiri ketika menangani kasus PT. Nizwar v. NMB pada tahun 1981. Ketika Pen-gadilan Negeri Jakarta Pusat menyetujui sita eksekutorial yang diajukan oleh NMB atas putusan Pengadilan Arbitrase London, Penga-dilan mendasarkan pada pertimbangan bahwa Konvensi Jenewa 1927 yang diratifikasi oleh Pemerintah Belanda, juga berlaku di Indone-sia. Kemudian, PT. Nizwar mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan me-nyatakan “Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tidak serta merta membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia sebelum ada peraturan pelaksananya (implementing legislation).”15
Pembentukan implementing legislation atau peraturan pelaksana menjadi kewenan-gan penuh dari lembaga legislatif/parlemen nya harus menggunakan implementing
leg-islation. Makna implementing legislation itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Baik di Austra-lia, Kanada dan Jerman, hasil transformasi dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan disetujui oleh lembaga legislatif/parlemen adalah berupa peraturan hukum federal. Secara umum, keutamaan hukum di ketiga negara ini adalah hukum nasional, bukan hukum inter-nasional, sehingga hukum internasional tidak dapat digunakan oleh para hakim sebagai sum-ber hukum langsung dalam memutus perkara, kecuali ada implementing legislation-nya.12
Proses transformasi dan penggunaan im-plementing legislation tersebut merupakan ciri khusus dari ke-dualisme-an negara-negara tersebut di atas. Selain itu pula, ketiadaan pen-gaturan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-kon-stitusi negara mereka juga menjadi ciri lain dari sifat dualisme ketiga negara tersebut. Penjela- san lain seringkali dapat ditelaah dari putusan-putusan pengadilan ketika hakim memutuskan konflik antara hukum internasional dan hukum nasional dalam kasus-kasus, seperti kasus P.P. 1 12 Hasil penelitian penulis ketika menulis disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Exe-cuting dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 Lihat: P.P. v. Wah Ah Jee, FMS Supreme Court (1919) 2 FMSLR 193. 14 Abdul Ghafur Hamid & Khin Maung Sein, “Judicial Application of International Law in Malaysia: A Criti- cal Analysis”, The 2nd Asian Law Institute (ASLI) Conference, Chulalongkorm University, Bangkok, Thai-land, tanggal 26-27 Mei 2005, hlm. 8. 15 Sudargo Gautama, 1992, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68-71.
1 16 Kata “melenceng” dari penulis merupakan penekanan atas fungsi tiga (3) lembaga tinggi negara yang sal- ing tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya, yang mana Pemerintah Eksekutif melakukan penaf- siran hukum, DPR melakukan fungsi layaknya Pemerintah Eksekutif, dan Pengadilan membuat peraturan-peraturan hukum seperti DPR.
karena peraturan pelaksana selalu berupa undang-undang atau Acts of Parliament. Se-benarnya Mahkamah Agung telah benar ketika menyatakan bahwa Keputusan Presiden No-mor 34 Tahun 1981 bukan peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut bukan untuk membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia, tetapi Pengadilan Negeri Ja-karta Pusat juga tidak keliru karena Pengadi-lan menggunakan Konvensi Jenewa 1927 dan Konvensi New York 1958 sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional dan memahami kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia melalui kedua perjanjian internasional terse-but. Kekeliruan Mahkamah Agung adalah membuat PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan menyatakannya sebagai peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena pemben-tukan peraturan pelaksana atau implementing legislation bukan kewenangan dari Mahka-mah Agung, melainkan kewenangan dari DPR. Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional dan konflik di antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, di mana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional seperti apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR
diatur di dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan di- lanjutkan dengan Pasal 11 terkait dengan per-janjian-perjanjian tertentu yang boleh melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden] seperti yang diatur di dalam Pasal 9 Ayat 2 UU ini. Selanjutnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak mencantumkan hukum internasional di dalam hirarki peraturan pe-rundang-undangan di Indonesia, yang mana Pasal 7 dari UU ini hanya menetapkan UUD 1945, Tap MPR, UU/PERPPU, PP, Perpres, Perda Propinsi dan Perda kabupaten/kota. Ketidakhadiran hukum internasional secara
eksplisit di dalam UUD 1945 maupun UU se- benarnya menjelaskan ke-dualisme-an Indone-sia karena keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi hakim adalah hukum nasional, bukan hukum interna- sional. Jika banyak komentar dari berbagai pi-hak bahwa hukum internasional tidak berlaku di Indonesia karena tidak pernah atau jarang digu-nakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam memutus perkara adalah tidak benar. Kondisi ketatanegaraan di Indonesia, menurut penulis, adalah sangat unik karena Indonesia tidak men- ganut sistem pemisahan kekuasaan secara mur-ni tetapi juga tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances. Indone-sia punya model sistem pemisahan kekuasaan tersendiri yang jika ditelaah secara mendalam, model tersebut agak “melenceng” dari mod-el yang ada dan dianut di berbagai negara.16
Sebagai contoh perbandingan adalah Kana-
da di mana negara ini menggunakan sistem pe-merugikan kepentingan nasional, dan Pasal 18 huruf (h) UU yang sama. Akan tetapi, ini adalah hal yang sulit untuk dilakukan apalagi jika perjanjian internasional tersebut telah ber-laku karena pembatalan secara unilateral suatu perjanjian internasional merupakan pelang-garan prinsip pacta sunt servanda dan dapat memunculkan pertanggungjawaban negara. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
Internasional dan Keputusan Presiden [baca: Peraturan Presiden] bukan meru-pakan Landasan Hukum bagi Berlaku-nya Perjanjian Internasional di Indonesia Keunikan dari sistem ketatanegaraan In-donesia terkait dengan pengintegrasian per-janjian internasional adalah terletak pada UU Pengesahan Perjanjian Internasional di mana UU Pengesahan ini, menurut banyak pakar, baik hukum tata negara maupun hukum inter- nasional, merupakan landasan hukum bagi ber-lakunya perjanjian internasional di Indonesia, meskipun dalam kenyataannya ternyata tidak. Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasi-onal, pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputu-san presiden [baca: peraturan presiden], maka keputusan presiden [baca: peraturan presiden] pun juga bukan merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di In-donesia. Penjelasan filosofis untuk keputusan presiden [baca: peraturan presiden] ini agak su-lit karena keberadaan keputusan presiden [baca: misahan kekuasaan secara murni, yang mana
kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional atau persetujuan-per-setujuan lain selain perjanjian internasional dimiliki oleh Pemerintah Federal tanpa sedik-itpun keterlibatan Parlemen Federal. Namun demikian, Pemerintah Federal tidak dapat memaksakan perjanjian-perjanjian internasi-onal yang telah diratifikasi untuk diberlakukan di wilayah Kanada tanpa adanya persetujuan dari Parlemen Federal atau Propinsi jika me-nyangkut kepentingan-kepentingan wilayah
propinsi.17
Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan sistem pemisahan kekuasaan checks and balances, di mana Presiden hanya sampai tahap membuat perjanjian internasional atau persetujuan internasional lainnya selain per- janjian internasional, namun pada saat tahap rat-ifikasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Senat, jika itu perjanjian inter-nasional (treaty), dan mendapat persetujuan dari Kongres, jika itu executive agreements18.
Indonesia kurang lebih mirip dengan Amerika Serikat dalam proses tahap awal, yai-tu persetujuan dari DPR ketika Presiden akan meratifikasi perjanjian internasional, tetapi agak kehilangan checks and balances-nya ketika proses persetujuannya menggunakan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] karena tidak ada proses kontrol di awal dari DPR meskipun dalam penjelasan Pasal 11 UU Nomor 24 tahun 2000 memberikan kewenan-gan kepada DPR untuk meminta pembatalan dari perjanjian internasional yang dipandang
1
17
George Slyz, 1997, “International Law in National Courts”, 28 N.Y.U. J. Int’l. & Pol. 65, hlm. 77-82.
18
peraturan presiden] ini sama sekali tidak sesuai dengan sistem checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Dalam Surat Pres-iden Nomor 2826/HK/1960 hanya menjelaskan mengenai perjanjian-perjanjian yang dianggap penting (treaties) yang memerlukan persetu-juan dari DPR, sedangkan perjanjian-perjanjian yang dianggap tidak penting (agreements) akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui. Substansi yang ditulis di dalam Surat Presiden tersebut sebenarnya tidak benar juga karena dalam diskusi dengan Dr. Damos Du- moli Agusman, yang namanya perjanjian inter-nasional itu tidak dapat dilihat sampul mukanya saja atau nomeclature-nya tetapi harus melihat isinya atau merit-nya sehingga persetujuan-persetujuan (agreements) atau risalah-risalah rapat (agreed minutes) atau yang lainnya pun bisa dianggap perjanjian internasional jika substansinya memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara. Sebagai contoh adalah kasus antara Qatar v. Bahrain pada tahun 1990 di mana dalam risalah rapat yang ditandatan- gani oleh para Menteri Luar Negeri negara Qa-tar, Bahrain dan Arab Saudi menyetujui bahwa Qatar dan Bahrain setuju untuk melanjutkan good offices dari Arab Saudi atas sengketa dua Masjid Suci sampai dengan bulan Mei 1991. Selanjutnya, setelah masa tenggang waktu good offices selesai maka para pihak setuju untuk memasukkan permohonan kepada ICJ. Setelah Mei 1991, Qatar memasukkan permo-honan kepada ICJ tetapi ditolak oleh Bahrain karena Bahrain menganggap bahwa Risalah Rapat (Minutes) 1990 tidak dapat dikategorikan sebagai instrumen internasional yang bersifat mengikat negara, dengan bersikap bahwa “Bah-rain maintains that the 1990 Minutes do not
constitute a legally binding instrument. It was no more that a simple record of negotiations… did not rank as an international agreement.” Namun, ICJ menolak sikap Bahrain dengan merujuk pada kasus Aegean Sea Continental Shelf pada tahun 1978 dengan menyatakan: “…The Minutes are not a simple record of a
meeting; they do not merely give an account of discussion and summarize points of agree-ment and disagreeagree-ment. They enumerate the commitments to which the Parties have con-sented. They thus create rights and obliga-tions in international law for the Parties. They constitute an international agreement.” Pada akhirnya, ICJ berkesimpulan
bah-wa “the Minutes of 25 December 1990, like the exchange of letters of December 1987, constitute an international agreement creat-ing rights and obligations for the parties.” Kasus yang menarik terkait dengan UU
Pengesahan perjanjian internasional di Indone- sia adalah ketika Pemerintah RI c.q. Kement-erian Luar Negeri RI digugat oleh beberapa LSM di Mahkamah Konstitusi Republik In-donesia. Pemohon tertarik untuk mengajukan constitutional review terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASE-AN karena, menurut pemohon, keberadaan UU Pengesahan ini telah membuat norma-norma hukum di dalam Piagam ASEAN telah men-jadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Pengajuan constitutional review terhadap UU Pengesahan ini menjadi bukti adanya ketida-kpahaman dari pihak-pihak tertentu atas sta-tus hukum dari UU Pengesahan Perjanjian Internasional. Selain itu, permohonan ini juga mengindikasikan mengenai ketidakpahaman pihak-pihak tertentu tersebut terhadap
mak-negara yang bersangkutan karena ada kalanya pendaftaran dan penyimpanan tersebut hanya untuk membuat perjanjian internasional terse-but entry into force atau istilah lainnya ratifi-cation in international sense, namun bisa juga pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifi- kasi tersebut merupakan awal berlakunya per-janjian internasional tersebut di negara yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain, seperti adanya deklarasi non-self-executing treaty atau kewajiban untuk mempublikasikan terlebih da-hulu pada lembaran negara dan sebagainya20.
Substansi dalam UU Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sangat singkat, han-ya terdiri dari dua (2) pasal, kemudian di dalam UU Pengesahan tersebut terdapat lampiran berupa perjanjian internasional. Hal yang me- narik di dalam UU Pengesahan ini adalah sub-stansi Pasal 2 yang menyatakan bahwa UU ini berlaku pada saat tanggal diundangkan. Kata “berlaku” di sini menimbulkan berbagai macam interpretasi akademik di kalangan akademisi, khususnya hukum tata negara dan hukum in-ternasional. Ada yang beranggapan bahwa kata “berlaku” menunjukkan bahwa UU Pengesah-an ini yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian internasional sehingga dengan dilam-pirkannya perjanjian internasional di dalam UU Pengesahan tersebut maka hakim-hakim dapat na dari Pasal 11 UUD 1945 dan keberadaan
UU Pengesahan Perjanjian Internasional ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.19
UU Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia sama sekali tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum internasional ke dalam bagian hukum nasional Indonesia karena UU Pengesahan ini hanyalah merupakan, jika kita melihat Pasal 11 UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000, bentuk formal dari persetu-juan DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan treaty-making power, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam hal legislative power. Ke-wenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional mutlak dimiliki oleh Presiden, tetapi ketika Presiden akan merati-fikasi, Presiden wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang besar karena DPR pasti tidak hanya menyetujui keinginan Presiden begitu saja, namun DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservations, under-standings dan declarations, atau bahkan DPR dapat menolak keinginan Presiden tersebut. Prosedur pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi, seperti yang diatur di dalam Pasal 102 Piagam PBB, tidak serta merta dapat membuat perjanjian internasional berlaku di
1 19 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pen-gujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD 1945. 20 Praktik di Perancis dan Belanda di mana perjanjian internasional yang telah disetujui oleh Parlemen dan didaftarkan untuk disimpan di Sekretariat Jenderal PBB atau di tempat yang ditentukan, tetap tidak dapat diterapkan oleh hakim-hakim sebelum dipublikasikan di dalam lembaran negara di masing-masing negara. Demikian pula praktik di Amerika Serikat, jika Senat menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing maka hakim-hakim di Amerika Serikat tidak dapat menggunakannya sebelum ad-anya implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal yang dikeluarkan oleh Kongres.
menggunakan perjanjian internasional tersebut sebagai dasar hukum untuk memutus perkara, dengan kata lain, Indonesia adalah negara mo-nisme. Selanjutnya, kata “berlaku” ada yang memaknai bahwa UU Pengesahan ini baru ber-laku bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi pada tanggal yang ditetapkan tersebut, dengan kata lain, setelah disahkan maka UU Pengesahan tersebut dijadikan legal basis bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi. Filosofi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam hubungannya dengan perjanjian inter-nasional sebenarnya sangat jelas dan tegas bahwa praktik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem dualisme sehingga perjanjian internasional apapun yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat diber- lakukan secara langsung oleh hakim di penga-dilan karena harus ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuan-nya harus menggunakan implementing leg-islation yang berupa undang-undang. Den-gan demikian, kata “berlaku” yang terdapat
di dalam Pasal 2 UU Pengesahan sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah dan DPR, yang mana ketika kedua lembaga tinggi negara ini berkolaborasi dalam pembuatan rancangan undang-undang, mereka harus mengingat kem- bali dan melihat bahwa ada norma-norma hu-kum internasional yang telah mereka setujui bersama yang harus diberlakukan di Indone-sia21
. Sebagai contoh adalah ketentuan-keten-tuan dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 yang kemudian dijabarkan di dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan materi-materi dalam UN Convention on Cli-mate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 mulai berlaku efektif setelah diundangkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlind-ungan dan Pengelolaan LingkPerlind-ungan Hidup.22
Dari kedua contoh tersebut maka semakin jelas ke-dualisme-an Indonesia bahwa perjan-jian internasional tidak dapat digunakan secara langsung di pengadilan tetapi implementing leg-islation-nya yang digunakan oleh para hakim untuk memutus perkara. Meskipun demikian, kaidah-kaidah hukum internasional tetap boleh 1 21 Pemahaman penulis saat menelaah substansi undang-undang pengesahan dan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] terkait dengan pengesahan perjanjian internasional dikaitkan dengan sistem ketatanega-raan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah transformasi soft dan hard, dan praktik Indonesia lebih mengarah pada transformasi hard karena kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan hukum di tangan DPR, meskipun inisiasi pembentukannya juga bisa dilakukan oleh Pemerintah. Ini merupakan salah satu penemuan hukum penulis ketika menulis disertasi hukum di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 22 Contoh-contoh ini disampaikan dalam slideshow powerpoint di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Keterangan Ahli yang mewakili Pemerintah c.q. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pema-haman ini juga merupakan hasil diskusi dengan Bapak Abdul Kadir dan Bapak Rahmat Budiman di Direktorat Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, jika hakim-hakim mau, hukum inter-nasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tetapi belum ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang, mereka dapat menggunakan pasal-pasal di dalam perjan-jian internasional tersebut sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak linier dengan kewajiban-kewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Jika tidak mau, maka kaidah-kaidah hukum internasi-onal tersebut tidak mungkin dapat diterapkan dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di pengadilan-pengadilan nasional Indonesia. Yang menjadi ironi adalah pengetahuan hakim-hakim tentang perjanjian-perjanjian in- ternasional yang telah diratifikasi oleh Pemer-intah Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada jauh sekali dari pusat pemerintahan, apakah mereka memahami tentang kewajiban- kewajiban internasional yang diemban oleh In-donesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Tugas hakim adalah tugas yang sangat mulia karena seluruh pertanggungjawaban atas pu-tusan-putusannya kepada Tuhan. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa putusan ha-kim tidak pernah salah alias selalu benar karena hakim berusaha mendapatkan kebenaran yuri-dis, bukan kebenaran empiris, sehingga yang dapat menganulir putusan hakim adalah hakim yang memiliki kedudukan lebih tinggi, bukan pendapat masyarakat. Namun demikian, fungsi
digunakan oleh hakim-hakim sebagai alat ban- tu untuk melakukan interpretasi hukum terha- dap pasal-pasal dalam undang-undang yang di-anggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian internasional, seperti masalah-masalah yang terkait dengan hukuman atas pelanggaran perikanan di ZEE negara pantai, di mana pasal 73 Ayat 3 UNCLOS 1982 menentu-kan bahwa “Coastal State penalties for viola-tion of fisheries laws and regulaviola-tions in the EEZ may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the States concerned, or any other form of corporal pun-ishment.” Namun, jika peraturan hukum dari suatu negara terkait dengan pelanggaran peri- kanan tersebut memberikan sanksi pidana ku- rungan atau penjara, maka hakim dapat meng-gunakan UNCLOS 1982, jika mau, sebagai a help tool untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak sesuai tersebut.23
Implementasi Kaidah-Kaidah Hukum Inter-nasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Hukum Internasional sebagai A Help Tool bagi Hakim-Hakim untuk Melakukan In-terpretasi Hukum Berbicara implementasi kaidah-kaidah hu- kum internasional di Indonesia sebenarnya ti-dak terlalu menjadi beban bagi para hakim di Indonesia karena para hakim memang tidak di- wajibkan untuk menggunakan hukum interna-sional sebagai salah satu sumber hukum yang dipakai untuk memutus perkara karena tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya di dalam
1
23
hakim tidak hanya untuk menegakkan hukum saja, tetapi juga menegakkan keadilan24
. Pro- fesor Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hu-kum itu tidak berada pada ruang yang hampa25.
Orang mencuri pasti ada alasannya sehingga konstruksi berfikir dalam menegakkan hukum tentu saja sangat berbeda dengan konstruksi berfikir dalam menegakkan keadilan, jika kon-struksi berfikir menegakkan hukum melihat dari sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir menegakkan keadilan menelaah dari sisi alasan-alasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan26. Hakim dalam memutus perkara harus men-dasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang obyektif, bukan pada ketenaran atau kepentin-gan pribadi. Seringkali ketika hakim-hakim di Indonesia harus memberi vonis hukuman mati kepada terdakwa, mereka selalu mengatakan bahwa kami sangat berhati-hati memutus dan telah menjalankan sholat tahajud dan istiqarah semalaman. Bagi saya, hal tersebut sama sekali sekali tidak ada kaitannya dengan putusan hu-kum mati karena saya yakin bahwa Tuhan tidak akan datang dan membisikkan sesuatu kepada hakim-hakim tersebut. Tanpa harus menjalank-an ibadah seperti itu, hakim-hakim sah-sah saja memberikan putusan mati kepada seorang ter- dakwa, jika putusan tersebut obyektif dan mem-pertimbangkan dan menelaah putusan-putusan hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang se- rupa sehingga vonis mati tersebut memang pan-tas dan tidak melanggar rasa keadilan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat semua kat-egori first degree murders pasti akan mendapat-kan hukuman mati meskipun pelakunya adalah anak-anak karena Pasal 6 Ayat 5 ICCPR telah direservasi oleh Senat Amerika Serikat ke-tika memberikan persetujuan kepada Pres-iden saat akan meratifikasi Kovenan tersebut. Kasus Suresh27 di Kanada menunjukkan
bahwa hakim memiliki peran yang sangat vi-tal dalam mengimplementasikan norma-norma hukum internasional dan memiliki kebebasan dalam membuat interpretasi hukum sehingga peraturan-peraturan hukum nasional Kanada yang substansinya tidak sesuai dengan hukum internasional dapat dianulir dan dinyatakan ti-dak berlaku oleh hakim28. Demikian pula di
Perancis, dalam kasus Cinar, ketika ada per-aturan hukum nasional yang dianggap ber-tentangan dengan nilai-nilai dalam hukum internasional, hakim di Pengadilan Kasasi Perancis (Counseil d’Etat) tidak segan-segan menganulir putusan pengadilan di bawahnya karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang diatur di dalam Pasal 3 Ayat 1 Konvensi 1 24 Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)-Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Sakti, Bandung, hlm. 44-45. 25 Ibid., hlm. 51-53. 26 Pemahaman penulis setelah membaca berbagai macam literatur hukum yang membahas sociological legal jurisprudence dan pure legal theory. 27 Lihat: Suresh v. Canada, 2002, SCC 1. File No. 27790. 28 Hugh M. Kindred, The Challenge of Internalizing International Convention Law: The Expereince of Aus-tralia, England and Canada with Ratified Treaties, dalam Christopher P.M. Waters (Ed.), 2006, British and Canadian Perspectives on International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, hlm. 402-403.
tersebut tidak berarti bahwa hukum interna-sional tidak berkembang dengan baik karena hukum internasional tetap menjadi rujukan bagi hakim untuk menginterpretasikan per-aturan-peraturan hukum di Australia. Salah satu kasus yang cukup menarik terkait dengan hukum internasional adalah kasus Teoh37 pada
tahun 1995 di mana hukum nasional Australia diinterpretasikan oleh hakim Mason dan ha-kim Deane linier dengan Konvensi Hak Anak, dengan pertimbangan bahwa hukum keimigra-sian Australia harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah disetujui dan diterima oleh Pemerintah Com-monwealth Australia meskipun Konvensi Hak Anak belum disetujui oleh Parlemen Com-monwealth Australia dan ditransformasikan ke dalam peraturan hukum federal Australia. 38
Adapun alasan-alasan hukum dari High Court dalam kasus tersebut antara lain: “(1) Where a statute or sub-ordinate legis-lation is ambigious, the courts should fa-vor that construction which accords with Australia’s obligations under a treaty or international convention to which Aus-tralia is a party, dan (2) The provisions Hak Anak, khususnya pada bagian “the best
interest of the child”29 Selanjutnya, dalam
beberapa kasus di Australia, beberapa hakim menolak menggunakan hukum internasional, seperti kasus Chow Hung Ching 30
di mana ha-kim Dixon mengatakan bahwa “International law is not part but is one of the source of our law.”31 Kemudian kasus Chung Chi Cheung32
di mana hakim Starke menyatakan bahwa agar peraturan hukum internasional menjadi sah sebagai bagian dari hukum nasional maka per-aturan hukum internasional tersebut harus “be accepted and adopted by our domestic law.”33
Ke-dualisme-an Australia ini diulang oleh ha-kim Kirby dalam kasus Jago 34
dan kasus Cha-cia35, di mana ia berpendapat hukum bahwa:
“It would be an “error” to incorporate international human rights law, as such, into Australian domestic law, it was ap-propriate to use statements of international law as a “source” of filling a lacuna in the common law of Australia or for guid-ing the courts as to practice of Austra-lian courts as to proper construction of the legislature provision in question.” 36 Namun, dengan ke-dualisme-an Australia
1 29 Roger Errera, 1997, “Convention on the Rights of the Child-Distinction between Self-Executing and Non-Self-Executing Articles”, Case Comment, P.L. 1997, Win, 723-725, hlm. 723-724. 30 Lihat: Chow Hung Ching v. R., (1948) 77 CLR 449. 31 Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford Univer-sity Press, Victoria, hlm. 117-118. 32 Lihat: Chung Chi Cheung v. R., (1938) AC 160. 33 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 118. 34 Lihat: Jago v. NSW, (1989) 168 CLR 23. 35 Lihat: Cachia v. Hanes, (1991) 23 NSWLR 304. 36 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 119. 37 Lihat: Teoh v. Commonwealth, (1995) 128 ALR 353. 38 Michael Legg, 2002, “Indigenous Australians and International Law: Racial Discrimination Genocide and Reparations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, hlm. 392.
peradilan nasional di Indonesia. Lebih lanjut, ke-dualisme-an Indonesia terlihat dari sumber hukum formal bagi hakim-hakim di Indonesia untuk memutus perkara yang terdapat dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undan-gan. Pada akhirnya, ke-dualisme-an Indone-sia tampak dari pentransformasian perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum na-sional melalui metode hard transformation. UU Pengesahan perjanjian internasional bukan bentuk dari transformasi perjanjian in-ternasional ke dalam peraturan hukum nasional di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesa-han tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, dengan UU Pengesahan ini, Presiden dapat memanfaatkan- nya sebagai legal basis untuk membuat doku- men ratifikasi. Kata “berlaku” yang selalu ter-cantum pada Pasal 2 UU Pengesahan memiliki makna, bukan bagi rakyat atau lembaga yudi- katif, bagi Pemerintah dan DPR bahwa ada per-janjian internasional yang telah mereka setujui bersama yang mana ketentuan-ketentuannya harus ditransformasikan ke dalam sebuah per-aturan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, permohonan pembatalan terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi adalah tidak benar karena UU Pengesahan ini merupakan praktik dari treaty-making power antara Pres-iden dengan DPR yang diatur di dalam Pasal 11 UUD 1945, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam kaitannya dengan legislative power. Ketidakhadiran ketentuan-ketentuan hukum of an international convention to which
Australia is a party, especially one which declares universal fundamental rights, may be used by the courts as a legitimate guide in developing the common law.” 39 Sistem peradilan nasional Indonesia harus
berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik karena saat ini batas antar negara sudah se-makin terbuka, artinya bahwa keluar masuknya barang, jasa dan orang dari satu negara ke neg-ara lain semakin mudah sehingga memerlukan hakim-hakim yang mampu dan memiliki pen- getahuan hukum yang berdimensi internasion-al. Hakim-hakim di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan peraturan-peraturan hukum nasional karena kasus-kasus yang berdimensi internasional yang ada di Indonesia semakin banyak, apalagi Indonesia terlibat dalam komu-nitas ASEAN, AFTA dan GATT serta berbagai kerjasama internasional lainnya. Oleh karena itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mer-eka dengan kemampuan hukum internasional dengan mengetahui perjanjian-perjanjian inter-nasional yang telah diratifikasi oleh Pemerin- tah Indonesia sehingga para hakim juga mema-hami kewajiban-kewajiban internasional yang harus diemban oleh Indonesia sebagai negara pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut. Kesimpulan
Ke-dualisme-an Indonesia tercermin dari ti-dak diaturnya kedudukan hukum internasi-onal di dalam UUD 1945 dan UU sehingga ini secara tidak langsung mendudukkan hukum nasional sebagai primat utama dalam sistem
1
39
undang-undang, adalah menjadi kewenangan hakim-hakim Indonesia, jika mau, sebagai a help tool untuk melakukan interpretasi hukum atas semua peraturan hukum nasional yang substansinya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan awal dari perjanjian-perjanjian interna-sional yang telah diratifikasi. Jika tidak mau, maka ketentuan-ketentuan hukum internasi-onal tersebut menjadi tidak dapat diterapkan (inapplicable).
internasional di dalam sistem peradilan nasi-onal Indonesia bukan berarti mengurangi arti peratifikasian Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional karena seba-gian besar peraturan-peraturan hukum interna-sional telah digejahwantahkan ke dalam berb-agai macam undang-undang. Namun demikian, bagi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang belum ditransformasikan ke dalam bentuk