• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PERPUSTAKAAN DALAM PENGEMBANGAN INTELEKTUAL MAHASISWA. Oleh. Ikhwan,S.Sos.,MM. (Pustakawan Madya UNRAM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI PERPUSTAKAAN DALAM PENGEMBANGAN INTELEKTUAL MAHASISWA. Oleh. Ikhwan,S.Sos.,MM. (Pustakawan Madya UNRAM)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI PERPUSTAKAAN DALAM PENGEMBANGAN INTELEKTUAL MAHASISWA

Oleh

Ikhwan,S.Sos.,MM. (Pustakawan Madya UNRAM)

PENDAHULUAN

Pendidikan saat ini menuntut peranan perpustakaan perguruan tinggi sebagai salah satu komponen dalam menunjang kesusksesan kegiatan pembelajaran, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perpustakaan No.43 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Perpustakaan Perguruan Tinggi harus dapat melaksanakan amanat yang tercantum pada pasal 24: a. Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi Standar Nasional Perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan. b) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. c). Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. d) Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk pengembangan perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang -undangan guna me me n u hi st an dar n as i o na l pe nd i di ka n da n st an da r na si on al perpustakaan.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meningkat turut menghantarkan hadirnya teknologi internet (Fourie dan Dowel, 2002:1) yang tanpa disadari telah membawa manusia pada suatu kehidupan yang baru dan kebiasaan baru. Hadirnya teknologi internet yang memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan informasinya kemudian dianggap sebagai salah satu faktor penyebab mahasiswa kurang menaruh minat terhadap perpustakaan dan perilaku dalam mencari informasi yang dibutuhkan.

Kondisi ini kemudian menimbulkan keresahan pada lingkungan perpustakaan. jika internet terus mendominasi dan jika hampir semua informasi baik ilmiah maupun hiburan dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat akademik bahkan dalam berbagai bentuk (file, teks, audio, video) kapanpun dan dimanapun lalu apakah keberadaan perpustakaan masih dibutuhkan? Seperti yang dikatakan oleh Stewart (2009: 1) perkembangan teknologi informasi yang terus meningkat telah menyebabkan munculnya berbagai macam pertimbangan tentang keberadaan bangunan perpustakaan.

Terkait dengan persoalan tersebut di atas menjadi tantang bagi perpust akaan perguruan tinggi. selaian tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga pengaruh intelektualitas mahasiswa yang ada pada lingkungan perguruan tinggi. Eksistensi perpustakaan perguruan tinggi menjadi persoalan yang harus di selesaikan sehingga perpustakaan akan tetap relevan dengan perubahan pola pikir mahasiswa sehingga dapat meningkatkan nilai intelektual mahasiswa yang ada di lingkungan perguruan tinggi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, peran dan fungsi perpustakaan perguruan tinggi telah merubah konsep,bentuk dan desain ruang perpustakaan menjadi suatu yang menarik untuk mewadahi dan memfasilitasi kebutuhan informasi pemustaka seperti digitalisasi informasi, system pengelolaan dan pela yanan informasi yang berbasis LAN (Local Area Netrwork) dan WAN (World Area Network).

Namun Demikian pengembangan dan peningkatan dari perubahan dan konsep tersebut perlu ada perhatian khusus dari stakeholder seperti Rektor, Direktur, dekan, ketua program studi, kepala perpustakaan, dosen dan pustakawan . Sehingga mahasiswa sebagai pemusaka actual dan potensial di perpustakaan perguruan tinggi terbentuk dan memiliki sikap, perilaku serta nilai intelektual . Selain perpustakaan

(2)

perguruan tinggi dapat i mplementasikan library university, membangun budaya baca di perguruan tinggi, Learning commons.

MEMBANGUN BUDAYA BACA DI PERGURUAN TINGGI

Dalam kaitnya dengan lingkungan akademik perpustakaan mempunyai kedudukan dan peran yang sangat vital untuk meningkatkan mutu suatu perguruan tinggi. Oleh karena itu perpustakaan sering disebut sebagai jantung dari suatu perguruan tinggi. Jika jantung atau perguruan tinggi ini sehat, maka dia akan dapat mengalirkan dan mendistribusikan darah (yang diibaratkan sebagai ilmu pengetahuan) ke seluruh tubuh perguruan tinggi tersebut. Namun realitanya banyak mahasiswa melihat perpustakaan hanyalah tempat menumpuk buku, sewaktu-waktu boleh dipinjam dan dibaca. Disisi lain pustkawan kurang bahkan tidak responsif, dengan kata lain “ada pengunjung syukur, tidak ada pengunjung menganggur”

Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa pendidikan sumbernya tiada lain adalah membaca, membaca dan membaca. Tanpa membaca dan pengetahuan yang cukup, dapat dipastikan kita tidak dapat mengikuti perkembangan zaman yang semakin maju. Dalam implikasinya, kreatifitas pengetahuan mahasiswa juga menjadi konsep yang dapat dianulir menjadi suatu potensi yang besar bagi pembangunan bangsa.

Budaya dan membaca bagi mahasiswa ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya dan saling melengkapi. Karena melalui membaca, mahasiswa dapat memperkaya pengetahuannya sehingga mampu meningkatkan kemampuan diri, berinovasi atau melakukan penelitian (reseach) serta mengetahui informasi terkini dalam dunia pendidikan, perekonomian, bahkan dunia politik. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena “pengangguran intelektual” tidak akan terjadi apabila mahasiswa memiliki semangat membaca yang membara. Membaca merupakan titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban.

` Sebagai upaya yang harus dilakukan dalam hal untuk meningkatkan minat baca bagi mahasiswa diperlukan peran aktif dari semua komponen yang ada baik pemerintah, masyarakat, keluarga, serta instansi pengelolah perpustakaan. Budaya Membaca di perguruan tinggi perlu dilakukkan dengan dengan upaya penguatan motivasi membaca, penguatan lingkar studi, dan penguatan budaya menulis,

1.Penguatan Motivasi membaca

Salah satu kelemahan yang mendasar dari mahasiswa di perguruan tinggi adalah motivasi membaca yang masih kurang sehingga pemanfaatan sarana perpustakaan masih jauh dari yang diharapkan. Di sisi lain adalah masalah ketaktersediaan bahan pustaka (informasi) yang dicari masih kurang dan relevansinya dengan kurikulum dan mata kuliah yang ada masih minim. Maka dengan demikian, ada dua masalah yang harus dicarikan solusinya. Pertama, usaha berbagai pihak untuk membangun dan mengembangakan minat baca dari kalangan mahasiswa sehingga menjadikan buku sebagai „sahabat terdekat‟ dan membaca sebagai „konsep hidup‟. Dan kedua, adalah usaha dari lembaga-lembaga yang ada dilingkungan perguruan tinggi untuk mengikuti, mengawal dan menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seperti diketahui, meskipun harga buku akhir-akhir ini terus melambung tinggi, namun derasnya buku-buku baru yang diterbitkan justru tidak pernah surut. Ini adalah hal yang mau tidak mau harus direspon pihak perguruan tinggi untuk menyediakan anggaran khusus demi menyediakan bahan pustaka yang baru dan up to date di perpustakaannya. Maka hal yang kemudian ke depan harus dibina, yaitu sinergitas lembaga kampus dengan para mahasiswa untuk mewacanakan, membentuk dan mengembangkan “komunitas baca” di kampus-kampus yang ada di lingkungan perguruan tinggi.

2. Penguatan lingkar studi

Selain memperkuat budaya baca, adanya kegiatan mahasiswa yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman seperti kelompok atau forum kajian forum kajian atau lingkar studi, ini di dibudayakan oleh mahasiswa yang ada di lingkungan kampus. Dengan adanya lingkar studi ini kita dapat melihat dan menyaksikan maraknya aktvitas mahasiswa di lingkungan kampus dengan lingkaran-lingkaran diskusi yang membahas wacana-wacana keilmuan dan bukan wacana organisasi (politik) serta permsalahan lainnya. Untuk melaksanakan dan membudayakan lingkar studi, selain lahirnya dari kalangan mahasiwa itu seniri, juga adanya sinergitas dari civitas

(3)

akademika kampus dari mulai para pemegang kebijakan, dewan dosen dan semua mahasiswa yang menjadi eksekutornya.

3. Penguatan budaya menulis

Dengan adanya penguatan tersebut di atas, dan civitas akademika dapat mensukseskannya, akan mengantarkan para mahasiswa pada budaya „produktif‟ menulis. Budaya positif ini, hari ini masih menjadi barang langka yang mendesak untuk dihadirkan.

Kita tidak menafikan peran mahasiswa dalam menyumbangkan arah kebijakan dari kinerja eksekutif dan legislatif di indonesia. Media informasi (koran,televisi,) sering memuat aksi dan aktivitas mereka dalam memainkankan perannya sebagai agent of chance, agent of development dan agent of modernization. Namun aktivitas-aktivitas tersebut rupanya masih terbatas pada aksi verbal yang beberapa saat setelah itu mungkin hilang dan terlupakan, belum menyentuh pada produksi wacana yang bisa diulang dan dikaji ulang, yaitu dalam bentuk tulisan

Hampir semua perguruan tinggi memiliki buletin/majalah kampus ini menunjukkan bahwa mahasiswa sudah memiliki tempat untuk mengeluarkan ide dan gagasan dengan menulis. Keberadaan buletin-buletin ini harus diapresiasi sebagai usaha untuk mempropokasi bakat-bakat menulis mahasiswa yang sampai hari ini masih terpendam.

Bila budaya tulis menulis ini sudah dalam posisi stabil, maka harus ditindaklanjuti dengan dibangunnya jalinan kerjasama antara aktivis penulis kampus dengan media-mediainformasi lokal maupun nasional.

LEARNING COMMONS

Learning commons d a pat di d efi ni si kan s eb a gai s eb ua h kon se p u nt uk memanfaatkan ruang-ruang yang ada di dalam perpustakaan sebagai tempat belajar dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung kemajuan teknologi dan berada dalam satu lokasi yang dapat diakses secara bebas dan mandiri guna mendukung proses pembelajaran (Beagle dalam Donkai dkk., 2011: 216). Learning commons mencoba memberikan bentuk baru untuk perpustakaan bukan hanya sekedar menyediakan ruang dan materi pembelajaran tetapi juga kegiatan pembelajaran yang melibatkan pihak akademik (dosen), mahasiswa, staff perpustakaan dan pihak lain yang terkait. Hal yang terpenting dalam konsep learning commons adalah terciptanya suasana yang nyaman di perpustakaan dengan berorientasi kepada kebutuhan pemustakanya.

Diana Chan dan Gabrielle Wong (2013) turut pula menggambarkan konsep learning commons sebagai upaya untuk menyediakan berbagai macam ruang dan perlengkapannya (furniture) dalam perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka yang berbeda untuk dapat melakukan berbagai macam aktivitas di dalam perpustakaan.

Secara garis besar dapat disimpulkan konsep learning commons adalah memberikan layanan dan fasilitas kepada pemustaka untuk dapat melakukan berbagai macam kegiatan seperti belajar, bekerja, melakukan penelitian, mencari informasi, serta melakukan interaksi sosial dengan semua yang berada di perpustakaan baik itu mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dan juga pemustaka dengan pustakawan di satu area/ lokasi.

Diana Chan dan Gabrielle Wong (2013: 46) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi hadirnya konsep learning commons:

1.Pemustaka cenderung menolak untuk berkunjung ke perpustakaan.

Sivitas akademik merasa tidak perlu lagi berkunjung ke perpustakaan karena semua akses informasi dan koleksi digital (e-journals, e-book, e-resources) dapat diakses secara langsung dimanapun dan kapanpun melalui perangkat elektronik/ perangkat mobile. 2.Rendahnya pandangan dari perpustakaan dan pustakawan tentang hadirnya

koleksi digital. Saat perpustakaan mulai mengembangkan koleksi digitalnya dengan membeli dan menyediakan sebanyak-banyaknya koleksi dalam format digital nampaknya koleksi cetak kurang mendapatkan perhatian sehingga yang tersedia hanyalah koleksi lama. 3.Perubahan pola belajar pemustaka akademik di era digital.

Pemustaka saat ini masuk dalam generasi digital, kehidupan mereka sangat dekat dengan teknologi informasi dan komunikasi. Mereka pada umumnya belajar dengan mendengarkan musik, menikmati makanan kecil dan melakukan akses internet seperti menjawab email, chat online, dan sesekali aktif di sosial media.

Menanggapi pola belajar yang seperti ini perpustakaan perlu menyediakan ruangan yang fleksibel dan nyaman. Jika perpustakaan masih saja bertahan dengan konsep

(4)

perpustakaan tradisional maka pemustaka juga akan enggan untuk berlama-lama berada di perpustakaan.

Memiliki perpustakaan dengan berbasis pada konsep learning commons bukan berarti harus mengeluarkan dana besar, juga bukan berarti harus memiliki gedung dan ruangan yang besar. Hal yang terpenting adalah bagaimana perpustakaan mampu menciptakan suasana yang nyaman di dalam perpustakaan dan mampu menyediakan apa yang dibutuhkan pemustaka. Konsep learning commons mengarah kepada bagaimana pustakawan mampu memiliki cara pandang yang baru dalam menghadapi generasi digital, dari yang semula sangat melindungi informasi dan sumber -sumber lain yang ada di perpustakaan menjadi lebih terbuka dan mampu mengarahkan pemustaka untuk melakukan akses informasi dan sumber-sumber yang ada di perpustakaan, dari yang semula tertutup dan membatasi diri dengan pemustaka menjadi terbuka dalam melakukan pelayanan dan mampu berinteraksi dengan pemustaka. Melalui bukunya, Harland (2011) memberikan beberapa aspek tentang upaya yang dapat dilakukan oleh perpustakaan untuk menerapkan konsep learning commons pada perpustakaan perguruan tinggi:

1.User-Centered

Perpustakaan akan dikatakan sukses jika berorientasi kepada kebutuhan pemustaka dan bukan hanya fokus kepada pengadaan teknologi. Mengenali dan memahami apa yang dibutuhkan dan sering dimanfaatkan oleh pemustaka merupakan hal penting yang harus diketahui oleh perpustakaan.

Salah satu yang bisa dilakukan oleh perpustakaan misalnya dengan memanfatkan salah satu sudut perpustakaan untuk menyediakan perlengkapan ATK seperti bolpoint, pensil, gunting, cutter, penggaris, dan kelengkapan lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh pemustaka. Melalui cara sederhana ini perpustakaan akan dapat sedikit memahami dan memenuhi kebutuhan pemustaka saat berada di perpustakaan.

2.Fleksibel

Menciptakan perpustakaan yang fleksibel, tidak kaku, dan mudah beradaptasi. Kebijakan dan aturan yang berlaku di perpustakaan diharapkan dapat disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi kebutuhan pemustaka.

Generasi digital adalah generasi yang tidak menyukai aturan yang kaku dan ketat. Generasi ini tidak akan merasa nyaman jika berada dalam ruangan yang memiliki banyak larangan, misa tidak boleh ramai, tidak boleh membawa makanan, tidak boleh memakai topi. Generasi ini membutuhkan penjelasan yang bisa dinalar untuk setiap larangan yang diberlakukan.

Perpustakaan harus mampu mengimbangi cara berpikir generasi internet misalnya dengan menggunakan kata-kata lebih mengarah kepada himbauan untuk aturan di perpustakaan. Sebagai contoh kalimat “Anda akan terlihat lebih rapi jika tidak memakai jacket di dalam ruangan perpustakaan” akan lebih bisa diterima daripada hanya sekedar larangan “Dilarang Memakai Jacket” atau “Dilarang Membawa Makanan” mungkin akan lebih baik jika menggunakan kalimat “Boleh Membawa Makanan dengan Syarat Dapat Dinikmati oleh Seluruh Warga Perpustakaan”

3.Information Desk

Menyediakan layanan help-desk atau layanan informasi yang dapat membantu pemustaka menemukan informasi yang dibutuhkan. Layanan ini sangat penting bagi perpustakaan guna memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Tidak semua pemustaka paham apa yang harus dilakukan di dalam perpustakaan untuk itu layanan information desk perlu untuk ditempatkan di satu ruangan khusus yang dapat menjadi one stop shopping of information bagi seluruh pemustaka. Layanan i ni akan san gat ber manfaat j i ka di t empat kan pada posi si pi nt u masu k perpustakaan.

4.Keterbukaan

Menghilangkan penghalang antara pemustaka dan pustakawan, ciptakan keterbukaan antara pemustaka dan pustakawan untuk dapat menciptakan interaksi yang baik dan memberikan kenyamanan kepada pemustaka. Cobalah untuk menyapa atau setidaknya sedikit membuka pembicaraan dengan pemustaka. Cara ini diharapkan dapagt menciptakan suasana terbuka antara pemustaka dan perpustakaan sehingga tidak terkesan kaku.

(5)

5.Asas Kepercayaan

Beri kepercayaan kepada pemustaka sehingga pemustaka juga akan mempercayai perpustakaan. Misalnya kepercayaan dalam melakukan akses informasi. Adanya batasan dalam melakukan akses koleksi seperti koleksi karya ilmiah tentunya akan membuat pemustaka merasa tidak dipercaya.

Sampai saat ini masih ada pro dan kontra tentang hak akses karya ilmiah. Tidak akan ada salahnya jika perpustakaan mulai mencoba membuka akses karya ilmiah untuk dapat dimanfaatkan secara terbuka dan bebas oleh pemustaka. Belajar untuk mempercayai mereka bahwa informasi yang mereka dapatkan akan dapat digunakan dengan bertanggung jawab.

6.Publikasi

Gunakan setiap kesempatan untuk melakukan publikasi tentang perpustakaan untuk lebih mendekatkan perpustakaan dengan pemustaka, misalnya dengan membuat buletin perpustakaan yang berisi informasi kegiatan perpustakaan, koleksi baru, layanan dan fasilitas, atau mungkin artikel/ tulisan singkat dari pustakawan dan bisa juga memberi kesempatan kepada pemustaka untuk berkontribusi mengisi buletin perpustakaan.

LIBARARY UNIVERSITY

Library University, yaitu kampus yang aktivitas pendidikannya berbasis refrensi selayaknya belajar dan berdiskusi di ruang perpustakaan. Ketika mendengar Library University, bayangan yang akan muncul adalah kampus yang seluruh sudut dan ruang kelasnya penuh dengan buku. Selain itu segala aktivitas pendidikan di kampus yang penuh dengan rujukan/ refrensi dan literatur dalam proses belajar-mengajar.

Untuk menciptakan nilai dan sikap intelektualitas di lingkungan perguruan tinggi, adalah adanya aktivitas keintelektualan dari seluruh civitas akademika, lebih khususnya mahasiswa, dosen dan peneliti yang tidak lepas dari yang namanya buku dan literatur. Usaha yang yang harus dilakukan adalah dengan mengumpulkan berbagai macam literatur, menulis berbagai macam karya ilmiah maupun non ilmiah dari hasil-hasil temuan yang di lahirkan dari para penulis, ilmuwan dan peneliti serta kegiatan-kegiatan diskusi ilmiah maupun non ilmiah.

Dari aktivitas ini akan tercipta konsep berpikir ilmiah yang di peroleh dari dari hasil mengumpulkan dan membaca ide dan teori dari berbagai macam informasi atau buku yang pernah di baca di perpustakaan.

Konsep Library University ini mempunyai beberapa tujuan: 1. Berupaya mendekatkan mahasiswa kepada buku

Bicara ilmu pengetahuan tidak lepas dari yang namanya buku. Buku adalah sumber pengetahuan. Membaca adalah proses pembentukan cara berpikir seseorang untuk berpikir ilmiah, sehingga semakin banyak membaca semakin terbentuk tingkat intelektualitas seseorang.

2. Membentuk mahasiswa dengan pola pikir ilmiah yang konstruktif

Berpikir ilmiah adalah pondasi dasar dalam memajukan perkembangan peradaban ilmu pengetahuan. Dengan berpikir ilmiah, kita tidak hanya belajar menerima teori-teori pengetahuan saja, tetapi juga mengkritisi dan mempertanyakan mengapa teori itu muncul. 3. Perguruan tinggi yang dapat melahirkan generasi intelektual profetik

Sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja terdidik adalah bagian dari kekurangan sistem pendidikan bangsa ini juga. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pemenuhan tenaga kerja tedidik pada mesin-mesin korporasi hanya akan menghasilkan generasi terdidik yang pragmatis. Yang penting cepat lulus dan cepat kerja sehingga kecurangan pun sering terjadi dalam proses pendidikan. Padahal, sesuai dengan konteks negara saat ini, perlu sekali hadirnya generasi-generasi muda intelektual yang mampu menjadi problem solving terhadap masalah-masalah bangsa. Pendidikan bukan hanya untuk kepentingan dirinya, tetapi adalah ilmu yang memiliki asas kemanfaatan. Dari kelemahan sistem pendidikan tesebut, perguruan tinggi harus mampu menyediakan sistem pendidikan alternatif yang mampu melahirkan generasi intelektual profetik.

Untuk memenuhi ketiga tujuan tersebut di atas, terdapat metode belajar :

1. Mahasiswa dididik untuk menyampaikan pendapat dengan dasar referensi. Ketika menerangkan suatu masalah atau topik, mahasiswa wajib memberikan penjelasan yang sesuai dari referensi buku yang menjadi rujukan. Bukan hanya mahasiswa, dosen pun bila sedang menerangkan materi harus membiasakan memberikan rujukan dan refrensi dari

(6)

setiap kalimat yang disampaikan. Aktivitas seperti ini secara tidak langsung akan memaksa mahasiswa untuk mau membaca buku. Aktivitas ini juga mengurangi sifat para pengajar dan mahasiswa yang ketika menjelaskan topik hanya berdasarkan persepsi dan prasangka. Semua perkataan yang diucapkan harus didukung dengan data yang akurat. Disinilah pentingnya dapat berargumen secara ilmiah.

2. Mengaktifkan kebiasaan berdiskusi.

Dengan berdiskusi, mahasiswa dilatih untuk belajar berpikir teoritis dan belajar mengungkapkan ide dari apa yang pernah dipelajari. Berdiskusi juga melatih mahasiswa untuk menguji seberapa kuat ide atau teorinya kepada lawan diskusi. Kegiatan ini harus didukung dengan aktivitas pertama tadi, yaitu argumen yang disampaikan harus berdasarkan referensi dari setiap kalimat-kalimat yang dilontarkan. Bukannya bermaksud mengajak berpikir tekstual, tetapi lebih kepada metodenya saja. Dalam proses perkuliahan, kegiatan diskusi memang sering dilakukan. Akan tetapi, sering terjadi kevakuman dan cendrung tidak menarik. Entah pembawaan dosen atau memang mahasiswanya yang tidak berminat. Terlalu banyaknya mahasiswa di kelas dan materi diskusi yang dibawakan tidak menarik, bisa menjadi diskusi tersebut hambar. Proses yang mendukung dalam kegiatan diskusi ini adalah tingkat kesertaan mahasiswa di kelas. Diskusi yang baik apabila tidak melibatkan orang dalam jumlah banyak, sehingga proposi kelas dalam kegiatan belajar dan berdiskusi diupayakan dalam jumlah yang proposional. Dalam hal ini 10 – 15 orang saja dalam satu kelas sudah cukup ideal dalam kegiatan belajar dan berdiskusi.

3. Membiasakan menulis atau membuat karya ilmiah.

Ketika mahasiswa mengerjakan skripsi, adalah sebuah karya ilmiah yang dibuat oleh kebanyakan mahasiswa sebagai karya ilmiah pertama dan terkahir selama menempuh pendidikan tinggi. Menulis sangat penting bagi mahasiswa, karena sangat mendukung proses pembentukan tingkat ke-intelektualan seseorang dari hasil proses berpikir itu. Ketika mahasiswa jauh dari kegiatan menulis apalagi membaca buku, apa bedanya dengan manusia pra sejarah?.

Tugas kuliah yang sering di terima oleh mahasiswa seperti me-resume sebuah buku dan menjawab soal-soal kasus saja tidak cukup untuk melatih menulis. Kegiatan menulis yang baik adalah karya yang mampu mengajukan sebuah pandangan atau ide yang diuji dengan berbagai refrensi atau data. Karya tulis ini bisa diangap sebagai karya ilmiah tanpa harus sedetail skripsi. Kegiatan menulis juga sebagai pendukung melatih mahasiswa berpikir teoritis dan ilmiah.

Dari setiap bab materi yang diberikan, diupayakan selalu ada tugas karya tulis yang bisa menanggapi teori-teori dari bab tersebut. Entah mengkritisi, mengembangkan atau pun menolak, dengan catatan mengusulkan teori baru pada karya tulis ilmiahnya. Apabila kegiatan ini terwujud, akan tidak sulit mendapatkan predikat research university bagi perguruan tinggi. Karya ilmiah dan berdikusi dapat saling mendukung. Maksudnya, diskusi yang dijelaskan pada poin ke dua di atas bisa berdiskusi dengan memperdebatkan hasil karya ilmiah dari teman sekelasnya. Karya ilmiah yang dibuat tidak langsung dinilai oleh dosen, namun kekuatan ide yang ada pada karya tersebut harus diuji oleh teman sekelasnya. Maka akan dilihat argumen mana yang paling kuat, sehingga dosen dapat menilai seberapa baik seorang mahasiswa menguasai materi perkuliahan.

4. Aadanya sistem pendukung dari ketiga kegiatan di atas, yaitu tersedianya buku-buku di sudut-sudut kampus. Keberadaan buku-buku yang mudah dijangkau memudahkan mahasiswa untuk berinteraksi secara mendalam terhadap referensi yang harus kita pelajari. Misalnya, ditempat-tempat santai seperti hall, kantin dan anjungan tersedia berbagai macam majalah dan koran. Dimasing-masing kelas tersedia buku-buku pendamping kuliah. Perpustakaan berfungsi sebagai ruang untuk kumpulan karya ilmiah dari para mahasiswa dan dosen.

Dalam sebuah kelas, akan terlihat selayaknya perpustakaan. Proses belajar pun akan efektif apabila hanya terdapat 10 – 15 orang saja dengan posisi melingkar. Semua buku-buku yang ada harus dapat melengkapi kebutuhan proses belajar dan mengajar. Semua keberadaan buku tersebut akan membantu pada metode belajar dari poin-poin di atas. Bila ada 20 kelas dalam satu fakultas atau jurusan, maka harus terdapat 20 judul buku yang sama untuk tiap-tiap kelas, dan bila ada 200 judul dalam satu kelas, maka dalam satu fakultas dan jurusan harus menyediakan 4000 buku untuk 20 kelas. Ditambah juga sistem pelayanan dan keamanan dari bahan pustaka tersebut agar tetap terjaga dan sesuai dengan kebutuhannyal.

(7)

Konsep ini juga tak lepas dari kendala-kendala yang harus dihadapi. Kendala yang sangat besar adalah masalah dana. Pengadaan buku dan proses metode pembelajaran akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi masalah keamanan untuk menjaga buku-buku yang hadir di sudut-sudut kampus. Akibat kebutuhan dana yang besar inilah bagaimana upaya pihak perguruan tinggi untuk memperoleh dana untuk kebutuhan tersebut,baik melalui dana rutin, anggaran dari pemerintah pusat,maupun angaran dari donasi-donasi.

SIMPULAN

Membaca merupakan aspek terpenting dalam dunia pendidikan. Sehingga penanaman budaya baca di kalangan mahasiswa memiliki peran penting demi menuju suatu masyarakat informasi (information society). Dalam rangka menuju masyarakat informasi (Infomation society) ketrampilan membaca sebagai aspek penting pembelajaran perlu disosialisasikan dan perlu dikampanyekan di kalangan mahasiswa. Upaya membangun budaya baca di kalangan Mahasiswa dimaksudkan untuk mewujudkan mahasiswa Indonesia yang berwawasan dan tanggap akan perubahan yang terjadi dilingkungan luar (eksternal) sehingga tercipta mahasiswa yang berpengetahuan dan memiliki intelektual yang tinggi. Dengan budaya membaca yang tinggi mahasiswa akan mampu menangkap isu strategis yang muncul dari budaya globalisasi yang telah merambah seluruh pelosok negeri. Melalui membaca pula, mahasisswa dapat menilai konsep dan teori-teori pendidikan yang baik dan cocok untuk diterapkan pada lingkungan eksternal sebagai akibat globalisasi.

Konsep Library University sebagai metode untuk mendapatkan predikat World Classs University yang dapat menghasilkan ilmuan-ilmuan muda dan mampu sejajar dengan universitas terkemuka di indonesia maupun yang berkelas dunia.

Ketika kegiatan intelektual dan ilmu pengetahuan begitu berkembang, dan mampu menyelesaikan berbagai macam permasalahan sosial kemasyarakatan. Maka disitulah peradaban akan berkembang ke arah kemajuan.

Kebutuhan pemustaka merupakan salah satu komponen penting yang harus diperhatikan oleh perpustakaan. Tanpa kehadiran pemustaka maka perpustakaan hanya akan menjadi sebuah ruang tanpa ada ke hidupan. Tanpa ada yang memanfaatkan maka segala layanan dan fasilitas yang disediakan tidak akan memiliki arti penting. Untuk itu perpustakaan perlu melakukan pengembangan, penelitian dan inovasi dalam rangka mengetahui dan memenuhi kebutuhan pemustakanya sehingga keberadaan perpustakaan akan tetap dibutuhkan oleh pemustaka terlebih di era digital saat ini. Salah satu yang bisa diterapkan adalah dengan menyediakan area yang nyaman bagi pemustaka untuk melakukan berbagai macam kegiatan di perpustakaan serta menciptakan suasana yang terbuka di per pustakaan sehi ngga mereka tidak merasa tegang berada di dalam perpustakaan. Semua ini dapat ditemui dalam konsep learning commons.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Saleh. 2001. Pembinaan Budaya Baca Tulis di Kalangan Kampus dalam Era Multimedia (makalah seminar). , UPT Perpustakaan Universitas Islam Bandung.

Athaillah Baderi. 2005. Meningkatkan Minat Baca Masyarakat Melalui Suatu Kelembagaan Nasional. (orasi Ilmiah Dan Pengukuhan Pustakawan Utama).

Beagle, D., 2008, The Learning Commons in Historical Context

Chan, D.L.H., Wong, G.K.W., 2013, “If You Build It, They Will Come: An Intra-Institutional User Engagement Process in the Learning Commons”,New Library World, Vol.114, Issue 1/2, pp.44-53

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2004. Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. 2004. Jakarta: Ditjen Dikti. Depdiknas

Donkai, S., Toshimori, A., Mizoue, C., 2011, “Academic Libraries as Learning Spaces in Japan: Toward the Development of Learning Commons”, TheInternational Information & Library Review, Desember, 43 (4) pp.215-220

Fourie, D.K & Dowell, D.R. (2002). Libraries in the Information Age: An Introduction and Career Exploration. Colorado: Libraries UnlimitedGreenwood Publishing Group, Inc.

(8)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pendirian perguruan tinggi. Jakarta KEMENDIBUD.RI.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Okta, I Gustu Ngurah. 1991. Pengantar Membaca dan Pengajaranya. Surabaya: Usaha Nasional

Saifuddin Azwar. 2006. Pengantar Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustakapelajar Supriyanto. 2001. Dalam Makalahnya Pencanangan Gerakan Kalimantan Barat Membaca

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu, desentralisasi dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikan kepada masyarakat

Dalam kaitan dengan penyaluran zakat yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukuny yang fenomenal, yaitu

ESTIMASI KETIDAKPASTIAN KOLOM PENENTUAN KANDUNGAN CaO PADA SEMEN DENGAN METODE GRAVIMETRIK Daftar isi:1. Identifikasi dan Kuantifikasi Sumber-sumber

ADRIANA CHRISANTHY , Hubungan antara Kebiasaan Belajar dengan Prestasi Belajar pada Mahasiswa Konsentrasi Pendidikan Akuntansi Reguler dan Non Reguler 2009 Fakultas

Hal ini ditandai dengan rendahnya nilai eritrosit, hematokrit dan hemoglobin (Hb) ikan lele dumbo yang dibudidayakan di desa Mangkubumen Boyolali dibandingkan dengan

Analisis perbandingan antar kelompok pemberian ekstrak akar, batang, dan daun meniran dengan uji One way Anova p=0,369 tidak menunjukkan perbedaan penurunan kadar glukosa darah

Atas dasar analisis nilai indeks gonado somatik dan fase perkembangan oosit pada tingkat kematangan gonad, di- duga musim pemijahan ikan brek berlangsung lama tetapi puncak

Pemakaian peralatan pelindung yang cocok (termasuk peralatan pelindung diri yang dirujuk dalam Bagian 8 dalam lembar data keselamatan) untuk mencegah kontaminasi terhadap kulit,