• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 PENYELESAIAN SENGKETA DIVESTASI SAHAM PT. NEWMONT NUSA TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 PENYELESAIAN SENGKETA DIVESTASI SAHAM PT. NEWMONT NUSA TENGGARA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

PENYELESAIAN SENGKETA DIVESTASI SAHAM PT. NEWMONT NUSA TENGGARA

Dalam perjanjian antara pemerintah dengan PT NNT disepakati pengaturan penyelesaian perselisihan yang mungkin terjadi selama pengusahaan. Pada Pasal 21 Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia para pihak sepakat setiap perselisihan yang timbul mengenai perjanjian ini termasuk juga ingkar janji (wanpresrtasi), akan diselesaikan dengan cara konsiliasi, atau melalui Arbitrase. Akan tetapi sebelum para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh jalur perundingan dan perdamai atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan peraturan-peraturan Konsiliasi UNICITRAL dalam resolusi 35/52 yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 15 Desember 1976, yang berjudul Arbitration Rules of the United Nations Commision on International Trade Law .

Pemerintah mengenakan status lalai atau default pada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) atas kegagalannya memenuhi kewajiban melakukan divestasi 10% kepada pemerintah atau pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah. Selanjutnya Pemerintah mengambil langkah arbitrase karena PT NNT tidak melaksanakan kewajiban divestasi sebesar 3% untuk periode 2006 senilai US$109 juta dan 7% saham divestasi senilai US$282 juta periode 2007. Sesuai kontrak karya, Newmont berkewajiban mendivestasikan 51% sahamnya kepada pihak nasional, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan nasional hingga 2010. Namun, pihak PT NNT hingga kini belum merealisasikan kewajiban melepas saham meskipun telah diberikan peringatan dan dikeluarkan pernyataan default (lalai), Bahkan sempat diperpanjang hingga 3 Maret 2008.70

Upaya arbitrase dibawah peraturan Arbitrase UNICITRAL setelah upaya

70 ibid

(2)

semua langkah kemungkinan pemecahan administrasi mengenai sengketa tersebut atas dasar hukum perundang-undangan Indonesia. Acara kerja konsiliasi dan arbitrase yang dilaksanakan menurut pasal ini akan diadakan di Jakarta, kecuali kedua belah pihak mufakat untuk memilih tempat lain.71

Menurut Black's Law Dictionary Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:72

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum De Compromitendo); atau 2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa (Akta Kompromis).

Didalam factum de compromitendo, para pihak yang membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian arbitrase ini melekat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak , seperti perjanjian usaha patungan dan keagenan. Oleh karena ia merupakan bagian dari suatu perjanjian tertentu, maka ia disebut sebagai klausul arbitrase.73

Pada saat mereka mengikatkan diri dan menyetujui klausul arbitrase sama sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada waktu yang akan datang. Jadi sebelum perselisihan para pihak telah bersepakat untuk mengikatkan diri untuk

71

Perjanjian Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia. 72

Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. Diakses 30 Agustus 2008.

(3)

menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.74

The FAA (the Federal Arbitration Act) memerintahkan agar perjanjian arbitrase diberlakukan dengan arahan legislasi yang ditetapkan dan diimplementasikan oleh prinsip-prinsip hukum kontrak. Para pihak dapat membuat segala ketentuan yang mereka anggap sesuai dan patut dan pengadilan harus mengesahkan perjanjian tersebut sesuai denha apa yang tertulis. Sesuai dengan dimensi kebebasan berkontrak, maka para pihak untuk setiap kasus yang mereka hadapi, bebas memilih untuk menggunakan forum arbitrase .75

Dalam perjanjian antara pemerintah dengan PT NNT disepakati pengaturan penyelesaian perselisihan yang mungkin terjadi selama pengusahaan. Pada Pasal 21 Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia para pihak sepakat setiap perselisihan yang timbul mengenai perjanjian ini termasuk juga ingkar janji (wanpresrtasi), akan diselesaikan dengan cara konsiliasi, atau melalui Arbitrase. Akan tetapi sebelum para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh jalur perundingan dan perdamai atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan peraturan-peraturan Konsiliasi UNICITRAL dalam resolusi 35/52 yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 15 Desember 1976, yang berjudul Arbitration Rules of the United Nations Commision on International Trade Law .

Upaya arbitrase dibawah peraturan Arbitrase UNICITRAL setelah upaya semua langkah kemungkinan pemecahan administrasi mengenai sengketa tersebut atas dasar hukum perundang-undangan Indonesia. Acara kerja konsiliasi dan arbitrase yang dilaksanakan menurut pasal ini akan diadakan di Jakarta, kecuali kedua belah pihak mufakat untuk memilih tempat lain.

74

M Yahya Harahap, Arbitrase Edisi Kedua(Jakarta: Sinar Grafika 2003),hlm 65. 75

Thomas E Carbonneau, The Law and Practice of Arbitration(USA: Juris Publishing Inc,2004)hlm 157 .

(4)

4.1. PENYELESAIAN MELALUI KONSILIASI

Para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh jalur perundingan dan perdamaian atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan peraturan-peraturan Konsiliasi UNICITRAL dalam Resolusi 35/52 yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 4 November 1980, yang berjudul “ Conciliation Rules of the United Nations Commission on International Trade Law”.

Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat kita temui satu ketentuanpun dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alinea ke-9 PENJELASAN UMUM Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.

Dalam Black's Law Dictionary dikatakan bahwa konsiliasi adalah :

Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a view towards avoiding trial and in labor disputes before arbitration.

Court of Conciliation is a court which proposes terms of adjustment, so as to avoid litigation.

Conciliation berarti perdamaian dalam Bahasa Indonesia. Kemudian juga jika kita simak pengertian yang diberikan dalam Black's Law Dictionary dapat kita katakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam hal yang demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal 1851 :

(5)

dengan menyerahkan , menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis” Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (7) jo pasal6 ayat (8) Undang-undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebutpun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.

Berbeda dengan negosiasi, konsiliasi, dari pengertian yang diberikan dalam Black's Law Dictionary, merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan berasumsi bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah; diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi.

4.2. PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21.2 Perjanjian Kontrak Karya antara PT NNT dan Pemerintah Indonesia disepakati maka sebelum Pemerintah atau perusahaan menempuh upaya arbitrase dibawah peraturan UNICITRAL yang dimuat dalam resolusi 31/98, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tanggal 15 Desenber 1976 yang berjudul “Arbitration Rules of

(6)

the United Nations Commission on International Trade Law”. Maka para pihak seharusnya telah melakukan segala upaya dalam mencari kemungkinan pemecahan administratif mengenai sengketa tersebut atas dasar hukum perundangan Indonesia.

4.2.1. Penyelesaian Melalui Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.

Hukum Dagang sebagai bagian dari Hukum Perdata materiil dan Hukum Perdata formil memberikan dua macam cara dan kemungkinan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua pihak yang saling berselisih, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Karena kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun yang tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer adalah apa yang disebut arbitrase tersebut.

Arbitrase di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang, hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal daiam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda di Indonesia, yaitu sejak mulai berlakunya RV. Namun demikian, secara institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 3 Desember 1977.

Di samping ketentuan yang mengatur tentang arbitrase dalam Rv, terdapat beberapa ketentuan lain yang juga menyinggung tentang arbitrase, yaitu HIR, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Arbitrase menurut Hukum Adat dan Hukum Islam.

Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

(7)

oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan rumusan tersebut, maka arbitrase lahir karena adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak, yang berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata di luar peradilan umum. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan adanya dua sumber perikatan, maka perjanjian arbitrase ini merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Arbitrase memberikan definisi mengenai perjanjian arbitrase sebagai suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Dalam perjanjian arbitrase ini dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan dipergunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak tersebut.76 Pilihan hukum atas arbitrase adalah sangat ditentukan oleh klausula arbitrase, karena klausula arbitrase akan menentukan apakah suatu sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, dimana diselesaikannya, hukum mana yang digunakan, dan lain-lain.77

Klausula arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian pokoknya dan tidak ada keharusan yang menentukan klausula arbitrase harus dibuat dalam acta notaris. Oleh karena itu klausula arbitrase harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya adalah untuk menghindari

76

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 119

77 Ibid.

(8)

klausula arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur pengadilan.78

Pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum atau melalui arbitrase tersebut harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Undang-Undang Arbitrase mensyaratkan perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis oleh para pihak. Dengan adanya perjanjian arbitrase secara tertulis tersebut berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian melalui jalur peradilan umum. Selanjutnya, dengan sendirinya Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, untuk itu Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Arbitrase. Dengan demikian, klausula atau perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat antara para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu yang penyelesaiannya disepakai dengan cara arbitrase.

Perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbintenis), oleh karena itu pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak tergantung kepada sesuatu kejadian tertentu dimasa mendatang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara pihak yang berjanji.79

Sifat perjanjian arbitrase ini merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pokoknya, hal ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar lahirnya

78

“Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian,” <http:/hvwsv.hukumonline.com/detail asp?id=1905&cl= Fokus>, 26 April 2005

79

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000)

(9)

klausula atau perjanjian arbitrase. Pelaksanaan perjanjan pokok tidak bergantung pada perjanjian arbitrase, sebaliknya, pelaksanaan perjanjian arbitrase bergantung pada perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya tidak sah, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase batal dan tidak mengikat para pihak. Perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud untuk menentukan cara dan pranata hukum yang akan menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanan perjanjian pokok. Dengan demikian dapat dilihat bahwa tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok tetap dapat berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya, tanpa adanya perjanjian pokok, maka para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase tidak bisa berdiri dan tidak bisa mengikat para pihak apabila perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan perjanjian pokok. Karena yang akan ditandatangani oleh perjanjian arbitrase adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok, bagaimana mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase apabila perjanjian pokoknya tidak ada.80

Perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendi dan klausula arbitrase yang berbentuk acta compromise. Bentuk klausula pactum de compromittendi dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi dikemudian hari kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Klausula arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri. Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendi ini dapat dilihat dalam Pasal 7 Undang-Undang Arbitrase yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Sebelumnya diatur dalam Pasal 615 ayat (3) Rv yang

80

(10)

menyatakan bahwa “bahkan diperkenankan mengikat diri satu sama lain untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”. Hal ini juga dapat dijumpai dalam Pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958, antara lain menyebutkan “...the parties undertake to submit to arbitrastion all or differences ...which may arise between them...

Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk perjanjian, maka ketentuan hukum perjanjian yang umum berlaku. Perjanjian arbitrase sebagai perjanjian turunan (accesoir) harus mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian turunan, dimana isinya tidak boleh melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada tanpa adanya perjanjian pokok.

Dengan hapus atau berakhirnya perjanjian pokok tidak menyebabkan hapus atau berakhirnya klausula atau perjanjian arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Arbitrase yang menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan keadaan-keadaan meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi (pembaruan utang), insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih-tugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Bentuk klausula arbitrase lainnya adalah akta kompromis (acta compromise). Akta ini dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa atau perselisihan terjadi para pihak bersepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

(11)

akta kompromis tersebut, dengan ancaman batal demi hukum apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang ini. Sebelumnya ketentuan mengenai akta kompromis ini diatur dalam Pasal 619 Rv. Pasal ini menentukan bahwa persetujuan arbitrase harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau jika para pihak tidak dapat menandatangani, maka persetujuan arbitrase tersebtu harus dibuat di hadapan notaris. Selain itu pengaturan mengenai akta kompromis ini juga dapat dijumpai dalam Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menyebutkan dengan kata-kata “...o r a n y d i f f e r e n c e s w h i c h h a v e a r i s e n . . . ” (sengketa yang telah terjadi ).

Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi tentang makna dari klausula-klausula arbitrase dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan kemudian apabila arbitrase dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausula-klausula arbitrase dengan cermat. Setidaknya klausula arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta pernyataan tentang sengketa apa yang diselesaikan secara arbitrase. Secara umum klausula-klausula arbitrase akan mencakup komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase, ruang lingkup arbitrase, menentukan bentuk arbitrase (institusional atau ad-hoc) apabila memilih bentuk institusional maka harus menyebutkan lembaga arbitrase yang ditunjuk dan apabila memilih bentuk ad-hoc maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase, aturan prosedural yang berlaku, tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase, klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas) apabila relevan.81 4.2.2. Alasan-alasan Memilih Arbitrase

Arbitrase banyak dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka.

Ada beberapa hal yang menjadikan alasan mengepa arbitrase dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketanya, yaitu :

81

Gary Goodfaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbirase Dagang di Indonesia” dalam Arbitrase di Indonesia, diedit oleh Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal: 25

(12)

a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan; b. Keahlian;

c. Bersifat rahasia; d. Cepat dan hemat biaya; e. Bersifat non preseden; f. Kepekaan arbiter;

g. Pelaksanaan keputusan dan h. Kecenderungan yang modern82

Namun dalam kenyataan proses pemeriksaan arbitrase tidaklah berlangsung cepat harus bertahun-tahun lamanya sehingga tidak usah diherankan bahwa karenanya akan memakan biaya yang cukup besar.

Alasan terpenting mengapa orang memilih arbitrase dibandingkan dengan pengadilan adalah karena kecakapan serta keahlian para arbiternya, khususnya dalam perkara yang memerlukan pengetahuan teknis yang bersifat khusus. Sehingga yang pertama dan terutama kita harapkan adalah kualitas para arbiternya dan keahlian dalam penanganannya, jadi arbiter itu sendirilah yang ahli dibidangnya dan kedua adalah kepercayaan dimana tanpa kepercayaan tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik sedangkan unsur spesialisasi memegang peranan penting dalam arbitrase karena keahlian merupakan salah satu jaminan terhadap keparcayaan

Lembaga arbitrase pada asasnya memiliki fungsi yang sama dengan lembaga peradilan. Ia merupakan pihak ketiga yang (seharusnya) tidak memihak, menerima penyelesaian sengketa yang diajukan oleh para pihak yang terlibat dan yang kedua-duanya bersandar pada suatu sendi pokok yang sama yaitu kepercayaan. Sedangkan seorang hakim tidak dapat kita harapkan kualitas serta keahlian yang serupa karena setiap saat seorang hakim dapat saja mendatangkan serta meminta pendapat dari seorang yang memang ahli dibidangnya.

Peradilan juga memfungsikan suatu lembaga kontrol melalui sifat

82

Agnes M. Toar, Fatmah Jatim, Lely Niwan, Arbitrase di Indonesia, (Jakarat : Ghalia Indonesia, 1995), hal. 19.

(13)

terbuka dari sidang-sidangnya dimana kedua belah pihak harus didengar, sebaliknya dengan arbitrase meskipun asas bahwa kedua belah pihak harus didengar, namun sidang arbitrase bersifat tertutup, sifat inilah yang menjadi salah satu sebab terpentingnya mengapa para pihak pada umumnya lebih memilih cara penyelesaian sengketanya melalui arbitrsae.

4.2.3. Klausula Arbitrase Dalam Suatu Perjanjian

Perjanjian arbitrase atau yang lazim disebut ”Klausula arbitrase” bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh karena itu dalam pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu dimasa yang akan datang serta tidak dipersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara para pihak yang berjanji tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang diletakan kepada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut merupakan perjanjian asesor yang berisi persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok.

Jadi klausula arbitrase berisi persyaratan khusus tentang penyelesaian perselisihan melalui wasit atau arbiter, sehingga klausula arbitrase yang ditambahkan dalam perjanjian pada hakikatnya berada diluar isi atau materi perjanjian pokok. Keberadaan hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjiannya, dengan kata lain tanpa klausula arbitrase perjanjian pokok tidak terhalang bahkan batal atau cacatnya klausula arbitrase tidak akan berakibat batal dan cacat perjanjian pokok, akan tetapi tanpa klausula arbitrase perjanjian pokok berdiri sendiri dengan sempurna, sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan klausula arbitrase, jadi klausula arbitrase merupakan ikatan dan kesepakatan diantara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase.

Pada prinsipnya sebenarnya tidak boleh diadakan penyelesaian perselisihan diluar lembaga peradilan, namun penjelasan Pasal 3

(14)

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang-undang No. 35 Tahun 1991 membuka kemungkinan diperbolehkannya penyelesaian perselisihan diluar Badan Peradilan Negara yaitu melalui arbitrase. Diperbolehkannya mengikat diri dalam klausula arbitrase harus didasarkan pada ”kesepakatan bersama” dan tidak boleh dilakukan secara sepihak, oleh karena itu keabsahan dan mengikatnya setiap perjanjian yang memakai klausula arbitrase harus memenuhi ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Ada dua klausula arbitrase yaitu :

a. Pactum De Compromittendo yang berarti ”kesepakatan setuju dengan putusan arbitrase atau wasit”. Jadi sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Ada dua cara untuk pembuatannya yaitu :

1. Mencantumkan klausula arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok, dimana langsung digabung dan dicantumkan dalam perjanjian pokoknya.

2. Dibuat dalam akta tersendiri, dimana tidak langsung digabung menjadi satu dengan perjanjian pokok tetapi dibuat terpisah dalam akta tersendiri, namun pada waktu membuatnya harus tetap berpegang pada ketentuan bahwa akta persetujuan itu harus dibuat sebelum perselisihan terjadi.

b. Akta Kompromis atau Compromise and settlement (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan), dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak. Jadi perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase baru mengikat dan disepakati setelah terjadinya perselisihan.

Klausula arbitrase harus dituangkan dalam bentuk tertulis karena bila berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat serta dianggap tidak pernah ada. Hal ini didasarkan pada pendekatan kepastian hukum.

(15)

a. Tidak melampaui isi perjanjian pokok, maksudnya adalah isi klausula arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang ada hubungannya dengan pokok perjanjian, tidak boleh menyimpang atau memuat masalah penyelesaian perselisihan yang tidak ada sangkut pautnya dengan isi perjanjian pokok.

b. Isi klausula boleh secara umum, maksudnya para pihak dapat memperjanjikan kesepakatan mengikat diri satu sama lain untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang timbul kepada seorang atau beberapa orang arbiter.

c. Klausula arbitrase secara terperinci, maksudnya adalah untuk menghindari berbagai hambatan dalam pelaksanaan penerapan perjanjian arbitrase, sebaiknya klausula memuat syarat-syarat yang dirumuskan secara terinci baik dalam bentuk terinci sekali secara menyeluruh maupun terinci mengenai pokok-pokonya saja. Hal ini jauh lebih menguntungkan dan memudahkan karena para pihak dapat memantau dan menentukan apakah suatu keadaan atau tindakan yang dibuat oleh salah satu pihak, termasuk atau tidak kedalam kerangka perjanjian arbitrase dan sekaligus memberi pegangan yang lebih pasti bagi anggota arbiter untuk menentukan kewenangan dan penyelesaian perselisihan.

4.3. Bagaimanakah Apabila PT NNT Tidak Melaksanakan Keputusan Arbitrase?

Kegagalan divestasi pada periode tahun keenam dan ketujuh menyebabkan tertundanya pelaksanaan divestasi wajib ini. Sehingga pemerintah Indonesia mengenakan status lalai dan berujung pada upaya untuk penetapan wanprestasi kepada Arbitrase dalam negeri. Sesuai dengan Perjanjian Kontrak Karya yang didalamnya terdapat ketentuan pelaksanaan tempat menurut pasal 22 ayat 3 akan diadakan di Jakarta, Indonesia apabila dapat dilakukan pengaturan serasi, kecuali kedua belah pihak mufakat memilih tempat lain.

”Klausula arbitrase” bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh karena itu dalam pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian

(16)

tertentu dimasa yang akan datang serta tidak dipersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara para pihak yang berjanji tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang diletakan kepada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut merupakan perjanjian asesor yang berisi persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Dan tidak menyimpangi ketentuan pada pasal 22 ayat 3 ini, karena arbitrase yang berdimensi internasional lebih sering digunakan oleh kalangan bisnis lintas negara. Maka kondisi ini dapat difahami, karena apabila dua pihak dalam perjanjian dari negara yang berbeda akan merasa penyelesaian sengketa dalam pengadilan di negara salah satu pihak dapat menimbulkan ketidakpercayaan, maka akan lebih baik apabila diselesaikan oleh badan arbitrase internasional yang berpusat di negara lain yang dianggap netral.

Badan arbitrase internasional yang paling tua adalah Court of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris, berdiri sejak tahun 1923. Bagi negara-negara berkembang, gerakan Asia-Africa Legal Consultative Committee (AALC) mempunyai pusat arbitrase di Malaysia untuk Asia dan Kairo untuk Afrika, dengan menggunakan Uncitral Rules.83 Badan-badan arbitrase lain yang sering juga digunakan dalam sengketa bisnis antara lain adalah Tribunal of Arbitration of the Manchester Chamber of Commerce, Netherlands Arbitration Institute, Japan Commercial Arbitration Association, Australian Centre for International Commercial Arbitraion, dan sebagainya. Sedangkan di bidang penanaman modal asing (PMA) terdapat International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang didirikan oleh World Bank.

Karena alasan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya perusahaan swasta asing di Indonesia berkecenderungan untuk menghindari adanya pembagian keuntungan apalagi yang dibagikan cukup besar dengan penjualan sekitar 1,5 milyar dolar lebih pada tahun 2005. Nilai penjualan tersebut cenderung meningkat seiring dengan peningkatan harga emas dan tembaga di pasaran internasional.

83

Uncitral Rules adalah suatu prosedur arbitrase yang telah diterima oleh PBB sejak tahun 1976

(17)

Dengan skema divestasi saham sebagaimana yang diatur pada Pasal 24.4. Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia, maka dalam tiga tahun kedepan PT NNT telah dimiliki oleh mayoritas nasional dengan andil sebesar 51% saham. Lalu bagaimanakah apabila PT NNT tidak melaksanakan keputusan arbitrase? Yang apabila putusannya merugikan pihak PT NNT?

Untuk melaksanakan putusan arbitrase ini, diperlukan penetapan melalui Pengadilan Negeri. Untuk pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang telah dilaporkan oleh arbiter yang menyerahkan putusan arbiter selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Pendaftaran dan pencatatan ini kegunaanya adalah untuk kepentingan atas pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut, jika salah satu pihak dalam putusan Arbitrase tersebut tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Dalam hal yang demikian maka atas permohonan dari pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.

Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri, diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebagai keseimbangan bagi kepentingan para pihak dalam putusan arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses yang sesuai;84

1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka;dan

2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat

84

Gunawan Widjaja, Alternatif penyelesaian sengketa Ed 1., Cet 2.- Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2002. hal 142

(18)

diselesaikan dengan arbitrase; serta

3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Seperti uraian yang telah dikemukakan didepan, arbitrase menjanjikan penyelesaian yang cepat, serta tidak melibatkan badan-badan Negara dalam mengambil putusan. Sehingga banyak Negara telah menyetujui pemakaian arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan antar Negara, terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter tersebut dan kemudian akan dapat dilaksanakan dinegara dimana putusan tersebut seharusnya dijalankan. Hingga saat ini dikenal beberapa konvensi tingkat internasional yang berisikan kesepakatan dari para peserta konvensi tersebut untuk menerima, mengakui dan melaksanakan setiap putusan arbitrase dinegara setiap peserta konvensi yang telah meratifisir konvensi tersebut. Konvensi yang pertama berkaitan dengan perselisihan dalam bidang penanaman modal, yaitu: CONVENTION ON THE SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES BETWEEN STATES AND NATIONALS OF OTHER STATES (ICSID CONVENTION), yang kedua berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan semua putusan arbitrase asing di Indonesia, yaitu CONVENTION ON THE RECOGNITION AND ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS (NEW YORK CONVENTION 1958).

Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 atau yang lebih dikenal dengan New York Convention 1958 yang menyatakan adanya pengakuan dan pelaksaaan dari setiap putusan arbitrase yang diambil diluar wilayah Negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan. Dan dalam ketentuan pasal 3 Konvensi New York 1958 dikatakan bahwa:

“Each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the awards is relied upon, under the conditions laid down in the following articles. There shall not be imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbitral to which this Convention applies than imosed on the recognition or enforcement of

(19)

domestic arbitral awards”

Hal ini merupakan pengakuan pada setiap Negara yang telah meratifisir Konvensi New York agar memperlakukan semua putusan arbitrase yang diambil di Negara lain seolah-olah sebagai putusan arbitrase dalam negeri.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur ketentuan mengenai arbitrase internasional hanya mengenai aspek putusannya atau eksekusinya, tetapi sama sekali tidak menyebutkan definisi dari arbitrase internasional. Menurut Munir Fuady, arbitrase internasional yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebenarnya adalah arbitrase asing.85

Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi New York 1958 yang mempersoalkan eksekusi putusan arbitrase asing (foreign arbitral award), bukan hanya arbitrase internasional. Bahkan dalam sejarah hukum arbitrase di Indonesia, juga yang dikenal adalah eksekusi putusan arbitrase asing. Hal ini terlihat dengan adanya keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1981 yang mengesahkan berlakunya Konvensi New York 1958 maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.86

Dihadapkan kepada badan peradilan di Indonesia yang dianggap belum mampu dalam permasalahan transaksi bisnis internasional, sesuai dengan keputusan pemerintah untuk mengajukan kegagalan divestasi PT NNT kepada arbitrase internasional maka akan timbul pertanyaan, apakah keputusan pengadilan asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Sesuai dengan prinsip hukum acara yang berlaku di Indonesia, keputusan hakim asing tidak dapat serta merta dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat menggunakan keputusan tersebut sebagai salah satu bahan atau bukti dalam memberikan keputusannya sendiri dalam suatu perkara baru yang diajukan kehadapan pengadilan tersebut. Dalam hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka perlu diperjanjikan bahwa putusan arbitrase tersebut “final and binding”, yaitu tidak bisa dimintakan banding ke Pengadilan. Walaupun sudah

85

Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 183.

86

(20)

ditetapkan bahwa penyelesaian sengketa akan dilaksanakan melalui arbitrase, tidak jarang salah satu pihak tetap mengajukan perselisihannya ke Pengadilan, namun Mahkamah Agung RI konsisten dengan kompetensi absolut yaitu apabila para pihak telah memperjanjikan arbitrase sebagai tempat sengketa, pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara yang diajukan kepadanya.

Kasus perselisihan perusahaan Joint Venture antara Ahju Forestry Ltd melawan Sutomo, 2924K/Pdt/1981. Dalam perkara ini Mahkamah Agung RI menyatakan karena perjanjian telah menyebutkan bahwa perselisihan yang timbul akan diselesaikan melalui International Chamber of Commerce (ICC) Paris, maka Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Mahkamah Agung dalam petimbangannya menyatakan bahwa badan yang memiliki kompetensi absolute adalah “Arbitrase”. Penyelesaian sengketa harus mengacu kepada Pasal 15 Basic Agreement for Joint Venture. Sesuai dengan asas Facta sunct servanda yang dianut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata, bahwa ketentuan tersebut mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.

Semua putusan arbitrase luar negeri tidak dengan serta merta harus dilaksanakan di Indonesia. Dalam perkara Bakri Brothers melawan Trading Corp of Pakistan Ltd, 4231 K/Pdt/1986, Mahkamah Agung RI telah menguatkan putusan pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi yang menolak permohonan agar putusan arbitrase London dilaksanakan.

Perkara ini bermula dengan ditandatanganinya jual beli minyak kelapa sawit antara Bakri Brothers dan Trading Corporation of Pakistan. Bakri Brothers harus mengirimkan minyak kelapa sawit tersebut ke Karachi. Namun ternyata supplier di Singapura tidak dapat mengirimkan minyak tersebut. Sengketa kemudian diputuskan oleh arbitrase di London sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian. Pengadilan Negeri menerima alasan Bakri Brothers untuk tidak tunduk pada putusan arbitrase London tersebut, dengan alasan pertama, karena ia sudah membayar performance bond, kedua ia tidak cukup didengar pada waktu putusan tersebut diambil. Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi menguatkan

(21)

putusan Pengadilan Negeri tersebut.

Dalam perkara antara E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. melawan Yani Haryanto, 1205 K/Pdt/1990, dimana Mahkamah Agung RI berpendapat perjanjian jual beli gula yang memuat klausula arbitrase batal demi hukum karena perjanjian tersebut bertentangan dengan ketertiban hukum, yaitu adanya ketentuan bahwa impor gula hanya boleh dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG).

Semula telah ditandatangani perjanjian jual beli gula antara Yani Haryanto dan E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. London. Didalamnya dicantumkan klausula arbitrase yang menyebutkan sengketa yang timbul akan diselesaikan dihadapan lembaga arbitrase The Council of The Refined Sugar Association atau Queen's Counsel dari English Bardi London. Apabila ada putusan arbitrase London sehubungan dengan sengketa ini, maka Mahkamah Agung RI besar kemungkinan akan menolak permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut, karena perjanjian yang melandasinya batal demi hukum.

Menurut Pasal V Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, menyatakan bahwa negara yang diminta untuk melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri dapat menolak melaksanakannya karena beberapa alasan. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah petikan dari Pasal V Konvensi New York 1958 :

1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that :

(a) The parties to the agreement referred to in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication the reon, under the law of the country where the award was made; or

(b) The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or

(22)

(c) The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or (d) The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not

in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or (e) The award has not yet become binding, on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made. 2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if

the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that :

(a) The subject matter of the difference is not capable of settlernent by arbitration under the law of that country; or

(b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.

Selanjutnya Pasal VI Konvensi ini juga menegaskan kembali mengenai penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) dengan menyatakan bahwa :

If an application for the setting, aside or suspension of the award has been made to a competent authority referred to in article V (1) (e), the authority before which the award is sought to be relied upon may, if it considers it proper, adjourn the decision on the enforcement of the award and may also, on the application of the party claiming enforcement of the award, order the other party to give suitable security.

(23)

V tersebut, dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase luar negeri tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan di negara di mana putusan tersebut dimohonkan untuk dieksekusi sebelum memenuhi prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam konvensi ini. Dan putusan arbitrase Internasional dapat merupakan salah satu bahan yang akan ditindak lanjuti dengan memohonkan penyelesaian perkara kepada pengadilan di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan desain grafis digital dan keterampilan membuat aneka produk souvenir dari kerang-kerangan yang digagas oleh Universitas Negeri Padang untuk siswa sekolah

Dalam penelitian ini, pengkategorian otomatis artikel ilmiah dilakukan dengan menggunakan kernel graph yang diterapkan pada graph bipartite antara dokumen artikel

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPS sebagai alternative tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan hasil

x Pada proses pengenalan tulisan dapat ditambahkan proses yang dapat secara otomatis melakukan perubahan tatabahasa yang dihasilkan sehingga meningkatkan kemampuan

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

berbasis pendidikan multikultural dapat dikembangkan baik dengan basis teori behavioristik, kognitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan siswa

Prevalensi gejala depresi pada wanita menopause adalah 29 orang (29%).Dari hasil penelitian didaptkan kesimpulan bahwa prevalensi gejala depresi pada wanita menopause

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,