• Tidak ada hasil yang ditemukan

lemah lembut kuat dinamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "lemah lembut kuat dinamis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

mungkin akan menimbulkan semangat untuk menari. Dari uraian di atas, kita jelas bisa melihat bahwa terdapat banyak tingkatan pandangan dan keterlibatan orang dalam menari. Ada yang menganggapnya sebagai dunia iseng (santai), ada yang me rupa kan kewajiban sosial (bermasyarakat), ada yang menganggap sebagai

Gbr. 1.24: Dalam tari Jawa, tubuh dibentuk tidak alamiah (hampir seperti dua dimensi) namun dilatihkan sedemikian rupa sampai dirasa biasa oleh penarinya sehingga penjiwaan atau ekspresinya yang meditatif (introvert, ke dalam, tertahan) dapat mengalir.

Gbr. 1.25: Tari seblang dari Banyuwangi, Jatim, dipertunjukan dalam ritual hari kedua Idul Fitri. Pada waktu kemasukan, tubuh, rasa dan jiwa berada dalam kepasrahan.

Gbr. 1.26: Dalam tortor Batak Toba, Sumut, tubuh antarpenari biasa bersentuhan, sebagai ungkapan totalitas rasa satu sama lain, yang berhubungan pula dengan ekspresi kekeluargaan. Gerakan menyentuh bawah dagu ini disebut maniuk, yang dilakukan oleh kelompok anak boru (marga penerima isteri) pada hula-hula (marga pemberi istri)

(2)

dunia profesi (kesenimanan), dan ada pula yang meng anggapnya sebagai kewajiban spiritual. Itulah keberagaman tari dalam realitas sosiokultural.

1.6 Keindahan

Semua seni hampir selalu dihubungkan dengan keindahan. Semua orang menyukai keindahan. Namun, ukuran keindahan ber­ hubungan dengan selera yang berbeda­beda antara orang­perorang. Dengan demikian, ukuran keindahan adalah relatif, tergantung dari ke senangan masing­masing individu. Jika si A menyukai warna kuning lebih daripada warna hitam, umpamanya, itu adalah selera dan hak pribadinya. Ketika si B menyukai yang sebaliknya, itu juga me rupakan haknya sendiri. Di situ, tidak bisa ditentukan siapa yang lebih benar, si A ataupun si B.

Akan tetapi, seandainya seseorang berada dalam suatu komunitas yang mengharuskan atau melarang suatu warna, maka hak individu itu pun menjadi berbeda. Seseorang yang mengikuti normanya akan dianggap lebih baik daripada yang sebaliknya. Ada banyak masyarakat kita di Nusantara ini yang sangat mementing kan

Gbr. 1.27: Dalam tari Bali, terutama untuk tari laki-laki, ekspresinya tampak lebih terlihat, hampir seperti akting, termasuk juga dalam tari topeng.

(3)

warna. Di Kajang, Sulawesi Selatan, umpamanya, warna pakaian yang paling dianjurkan oleh tradisinya adalah hitam. Di Baduy Dalam, Jawa Barat, warna bajunya adalah putih. Di tempat lain, ada warna­warna khusus yang dilarang atau ditabukan. Jadi, dalam konteks serupa itu, kebebasan seseorang dalam memilih warna ber beda pula antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Namun demikian, dalam kasus itu, belum tentu individu ter­ sebut merasa dirampas haknya dalam memilih, karena ia pun ter masuk anggota masyarakat bersangkutan yang turut “me­ nyepakati nya.” Walaupun ia sendiri tidak secara langsung terlibat dalam menentukan aturan itu, tetapi mungkin leluhurnya sendiri, yang dia hormati, dan mungkin ia percaya bahwa adanya aturan itu untuk kebaikan bersama. Bahkan, mungkin ia justru merasa bangga terhadap adanya aturan itu, bukan hanya karena ia telah terlibat dalam pemeliharaan nilai sejarah yang panjang, melainkan mungkin juga bangga terhadap adanya kejelasan identitasnya sebagai anggota kelompok masyarakat tersebut, dan dengan itu integritas sosial pun menjadi lebih terpelihara.

Demikian juga mengenai keindahan tari. Di atas telah dibicara­ kan bahwa gerak tubuh lahir dari masing­masing individu, dalam kaitannya dengan nilai­nilai sosial. Jadi yang disebut “indah” dan “benar” itu berbeda­beda dari suatu budaya ke budaya lainnya, atau dari suatu jenis (genre) tari ke jenis lainnya. Landek di Karo,

paka re na di Makasar, bedaya di Jawa, umpamanya, tariannya

lebih pelan, lebih halus dan “mengalir,” dibanding misalnya dengan

tortor Toba, wor atau yospan di Papua, dan pendet di Bali, yang

gerak an nya lebih cepat, banyak patah­patah, lincah, atau dinamis. Semua itu adalah yang dianggap indah atau cocok dengan kaidah budayanya masing­masing, yakni ukuran yang terbangun dalam suatu masya ra kat. Sekali lagi, kita tidak bisa menentukan secara universal, bagaimana gerakan yang indah.

Sehubungan dengan itu, ada istilah yang banyak kita dengar dalam kesenian yaitu halus dan keras atau kasar. Kesenian sering dikaitkan dengan kehalusan rasa, sehingga seolah­olah yang halus itu dianggap lebih baik dan yang kasar dianggap sebaliknya. Akan

(4)

tetapi, sebaliknya juga ada istilah yang berlawanan konotasinya, yaitu lemah atau lembut dan kuat atau dinamis. Dari kata ter akhir ini, umumnya yang kuat dan dinamis dianggap lebih baik, lebih menarik. Jadi, dari kata­kata yang sering dipakai pun, sesungguhnya ada kontradiksi, karena “halus” berhubungan dengan “lemah” atau “lem but,” sedangkan “kasar” berhubungan dengan “kuat” atau “dinamis.”

Ini menunjukkan bahwa kita sesungguhnya tidak bisa menentu kan secara pasti kesenian yang bagaimana yang lebih baik. Kesenian yang baik tidak harus halus ataupun kasar, tidak harus lembut ataupun dinamis. Keduanya akan tergantung dari kualitas atau nuansa yang dikehendaki oleh masing­masing seniman atau budayanya. Sama halnya dengan itu, kostum penari itu tidak harus warna­warni atau penuh ornamen, tidak harus polos, tidak harus megah, dan juga tidak harus sederhana. Yang paling baik, barangkali, adalah yang paling cocok atau tepat, yang berarti keseniannya itu sesuai dengan sifat, tuntutan, keadaan, kelayakan, dan kehendaknya masing­masing.

Ketidakpastian (relativitas) ukuran dalam kesenian tidak bisa dipandang sebagai suatu yang negatif, bahkan sebaliknya harus dipandang sebagai yang positif. Imajinasi dan interpretasi, yang merupakan elemen penting da­ lam dunia kesenian, tidak bisa di rumus kan secara jelas dan terukur. Demikian juga datang­ nya inspi rasi atau ilham sebagai suatu daya yang menumbuhkan kreativitas kesenian, merupakan hal yang tidak bisa diperhitung­ kan: datangnya bisa tiba­tiba, tak terduga, yang harus dires pons seniman secara spontan. Tapi, justru inspirasi, juga interpretasi

(5)

Gbr. 1.29: Tari laki-laki Bali, bahu dinaikkan ke atas sehingga seolah tanpa leher, baik untuk tari topeng maupun tanpa topeng.

Gbr. 1.30: Wayang wong di desa Tutup Ngisor, Sleman, Yogyakarta: lebih mengutamakan energi kebersamaan sebagai kekuatan ekspresi daripada keseragaman norma gerak.

(6)

atau tafsir, adalah kekuatan yang membuat per adab an manusia menjadi dina mis dan kreatif.

1.7 Kreativitas

Selain menyukai keindahan, orang juga sangat menghargai bah kan mengagungkan kreativitas. Seni juga biasanya digambarkan sebagai suatu aspek kehidupan yang selalu mengandung kreativitas, yang tercermin dari karya yang khas dari seorang seniman, yang ja rang atau belum diciptakan orang lain. “Kreatif” juga merupakan sebutan terhadap orang­orang yang cerdik, peka, atau bijak misal­ nya dalam menemukan pemikiran atau teori baru, teknik atau

Gbr. 1.31: Burake dari Mamasa, Selawesi Selatan, dalam upacara penyembuhan, penari berdiri di atas gendang: lebih merupakan kekuatan simbolis daripada estetika bentuk.

Gbr. 1.32: Tari pabate-pasappu, yang menggambarkan sabung ayam, dari masyaraat Kajang, Sulsel, memakai pakaian hitam, karena dalam adat sehari-hari pun warna hitamlah yang harus mereka pakai.

(7)

metodologi baru. Kata lain yang banyak dipakai yang maknanya de­ kat dengan “kreativitas” adalah inovasi. Seperti halnya krea tivi tas, kata inovasi berasal dari bahasa Inggris innovation. Artinya adalah suatu penemuan gagasan, konsep, cara, metodologi, atau hasil karya

baru yang orsinil. Kedua kata ini tentu saja tidak dipakai hanya

untuk bidang seni, tapi juga dalam filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Anda ingat nama­nama pemikir dan penemu ternama seperti Plato, Edison, Einstein, dan lain­lain? Mereka yang jelas diakui sebagai orang kreatif­inovatif.

Dalam dunia kesenian, dikenal Shakesphere (sastra), Mozart (musik), Picasso (seni rupa), dan lain­lain. Demikian juga tokoh­ tokoh terkenal dari negara kita seperti Ki Hadjar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Soedjatmoko, Umar Kayam, Sanusi Pane, Achdiat K. Mihardja, Affandi, Asrul Sani, Arifin C Noor, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, W.R. Supratman, Amir Pasaribu, I Mario, Sayuti, Bagong Kusudiardjo, Nani Sapada, Gusmiati Suid, dan lain­ lain. Ini hanya sekedar menyebut beberapa nama orang terkenal yang kreatif dan sudah meninggal. Puluhan, ratusan, atau bahkan mungkin ribuan seniman lain yang patut kita kenal sebagai seniman­ seniman kreatif dari negeri kita. Cobalah Anda kenali nama­nama di atas, atau juga seniman lainnya! Carilah informasi mengenai identitas atau hasil karyanya, bukan hanya para seniman masa lampau melainkan juga pada masa sekarang ini!

Tentu saja, banyak sekali makna dan hasil karya orang­orang kreatif, dalam segala bidang, yang dirasakan sangat bermanfaat terhadap kehidupan umat manusia. “Kreatif” merupakan suatu label yang sangat positif. Salah satu aspek makna “kreativitas” yang relevan dan penting untuk kita diskusikan sekarang adalah

kebaruan.

Dalam dunia seni modern, penekanan terhadap kebaruan gagasan dan teknik itu sangat ditekankan dan bahkan disanjung­ sanjung. Karena itu, jika seorang seniman tidak melahirkan suatu kebaruan dalam karyanya, ia tidak akan dipandang sebagai seniman kreatif. Kebaruan yang dituntut dalam tari, umpamanya, di antara­

(8)

nya adalah teknik geraknya, gagasan yang diungkapkan, dan kom­ po sisi atau koreografinya.

Jika demikian, timbullah pertanyaan kita: Bagaimana dengan seniman tradisional yang menarikan tarian­tarian yang sudah ada, bukan merupakan karya koreografi baru? Apakah ia bisa disebut seni man tari kreatif? Jika jawabannya “ya,” lantas apa yang dia ciptakan? Jika jawabannya “tidak,” lantas di manakah kredit kita terhadapnya sebagai seniman yang dapat mengekspresikan sesuatu yang khusus, yang dinikmati atau dihargai oleh penonton? Per tanya­ an ini sangat menarik untuk kita bicarakan dalam bagian berikutnya.

1.8 Kreativitas dan Kebaruan dalam Tari Tradisional

Mungkin banyak di antara Anda yang pernah menonton suatu tarian yang sama, ditarikan oleh orang yang berbeda; atau, mungkin juga pada pertunjukan teater pernah melihat suatu peran yang sama tapi dimainkan oleh aktor yang berbeda. Atau, yang mungkin lebih banyak dialami, mendengarkan lagu yang sama dan dinyanyikan oleh penyanyi berbeda. Cobalah amati atau ingat­ingat, kemudian pertanyakan pada diri sendiri, yang mana yang lebih disukai? Coba lah jawab sendiri, misalnya, mengapa Anda lebih menyukai per tun jukan si A daripada si B dalam menarikan atau menyanyikan lagu X. Seandainya Anda merasa bahwa keduanya sama saja, coba perhatikan sekali lagi secara lebih seksama. Mungkin kini Anda menemukan perbedaan pada bagian­bagian tertentu, kelebihan atau kekurangan seniman A daripada seniman B. Misalnya saya, Anda lebih menyukai penampilan si A pada bagian awal, bagian tengah, atau bagian akhir dari tarian atau lagu tersebut.

Jika Anda menemukan perbedaan tarian X ketika ditarikan oleh si A daripada oleh si B, berarti bahwa masing­masing seniman memiliki kemampuan yang khusus, yang berbeda­beda, walaupun yang ditarikannya itu merupakan tarian yang sudah ada. Artinya, dalam suatu pertunjukkan setiap seniman melahirkan sesuatu yang baru, yang bisa disebut “orsinil” pula, karena berbeda dengan yang lain. Lebih jauh lagi, Anda bisa pula membandingkan pertunjukan si

(9)

A (atau grup A) menarikan X pada suatu saat, dengan saat yang lain. Walaupun penari dan yang ditarikannya sama, dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya bisa berbeda pula. Dalam konsep seni pertunjukan, boleh dikata tak pernah ada dua pertunjukan yang persis sama. Inilah bedanya antara pertunjukan hidup dan rekaman. Jika suatu rekaman diputar ulang, ia akan melahirkan yang persis sama. Pertunjukan hidup tak pernah bisa demikian.

Itulah pula bedanya antara seni pertunjukan dan seni rupa. Seni pertunjukan adalah seni yang bergerak. Untuk melihat atau menikmatinya, terikat hukum waktu yang linear, yang hanya bisa diamati sambil pertunjukannya berjalan, dari awal sampai akhir. Sedangkan dalam mengamati lukisan, seni yang diam, Anda bisa melihatnya mulai dari mana saja: tengah, pinggir, atas, ataupun bawah.

Demikian juga mengenai kreativitas atau kesenimanannya. Seniman tari berbeda dengan seniman lukis. Dalam tari (seni pertunjukan), ada dua pihak yang harus dianggap “kreatif.” Pertama adalah yang menyusun atau menciptakannya, dan kedua adalah yang mempertunjukkannya. Dalam tari, suatu karya koreografi masih abstrak. Baru mewujud, bisa dilihat, ketika ditarikan. Dalam seni lukis, yang menciptakan adalah yang melukiskan. Dalam tari tradisional, penciptanya bisa diketahui, bisa juga tidak. Ciptaannya, mungkin berwujud suatu koreografi (susunan atau komposisi gerak), tapi mungkin juga berupa kumpulan gagasan (konsep) dari macam­macam atau kualitas gerak, dengan suatu aturan atau metode menarikannya, yang bisa dipertunjukkan secara spontan atau dengan cara yang disebut improvisasi (akan dibicarakan lagi di bawah).

Jika tarian dipertunjukkan secara spontan, maka menari di situ memiliki kesamaannya dengan melukis, yaitu kegiatan seniman yang merupakan proses mewujudkan karya. Bedanya, dalam melukis proses itu berujung atau berhenti ketika menjadi produk yang dihasilkan. Dalam tari, proses menarikan itu adalah tariannya sendiri. Setelah selesai menari, tidak ada wujud karya yang dapat diraba. Menari adalah sebuah perwujudan (per soni fikasi)

(10)

gagasan, rasa, dan jiwa, secara langsung melalui dan menjadi gerak. Kreativitas penari adalah kemampuan mewujudkan gerak tari itu secara “sempurna” sehingga memberi tingkat kepuasan, baik pada penonton maupun pada dirinya sendiri.

Dalam tari tradisional, yang dituju oleh para seniman adalah kesempurnaan atau kepuasan penampilan, yang mengikuti cita­ rasa, falsafah, dan bentuk atau teknik yang sesuai dengan kaidah­ kaidah budaya yang ada (bahkan lama). Jadi, kebaruan bukan suatu yang dikejar. Dengan kata lain, kebaruan itu bukanlah pada bentuk (gerak, koreografi), melainkan pada isi yang lahir dari kematangan teknik dan penjiwaannya.

Dengan demikian, ketika kita melihat tari tradisi yang diper­ tunjuk kan banyak orang, yang kita lihat bukanlah terutama keragaman bentuknya, melainkan keragaman isi atau ketajaman ekspresinya. Kemampuan memunculkan “isi” adalah kreativi­

tas seniman; dan untuk itu banyak yang membutuhkan latihan

bertahun­tahun. Jika Anda perhatikan penari tradisional yang dianggap telah “matang” oleh masyarakat di tempatnya, kebanyakan mereka sudah dewasa pula, di atas 30 tahun. Bahkan banyak yang di atas 70 tahun pun masih dianggap sebagai penari hebat. Nik Cenik di Bali, sampai di atas 80 tahun masih menari, dan dikagumi penonton. Pada tahun 2004, ia tampil dalam acara pertunjukan “Maestro” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bersama dengan anak,

Gbr. 1.33: Ni Cenik (kanan) sedang memperhatikan buyutnya menari, dalam suatu latihan sebelum mereka pertunjukan bersama.

(11)

Gbr. 1.35: Rasinah dengan topeng Klana Indramayu, Jabar, bersama sepasang barong landung Bali, dalam pertunjukan garapan baru Didik Nini Thowok di Yogyakarta.

Gbr. 1.34: Didik Nini Thowok (kanan), memakai kostum campuran Bali-Cina, bersama penari Cina dari Kanada, dalam suatu pertunjukan kolaboratif di Yogyakarta.

(12)

cucu, dan buyutnya.

1.9 Improvisasi: Kebebasan dan Keteraturan

Improvisasi adalah pertunjukan yang dilakukan secara spon­

tan, tidak berdasar pada komposisi atau koreografi yang sudah di­ susun sebelumnya secara utuh. Jika Anda menari dangdut, masuk kalangan bersama yang lain, ramai­ramai, dan kemudian menari dengan bebas, itu disebut menari secara improvisasi.

Jika tari dangdut kita sebut “bebas,” apakah itu memang benar­ benar bebas? Sesungguhnya tidak. Anda harus mengikuti pola­pola tertentu. Pertama, Anda harus mengikuti irama musiknya. Kedua, walau tidak ada aturan formal, tapi gaya goyangannya, ge rak an tangannya, atau langkah­langkah kakinya, memiliki kekhasan juga. Andaikata Anda melakukan gerakan­gerakan seperti silat, sabetan tari Jawa, goyangan tubuh tari Bali, umpamanya saja, tentu tari an Anda tidak akan disebut dangdut. Artinya, gerak dangdut memiliki suatu pola, suatu gaya yang khas, walaupun dilakukan secara improvisasi dan tampak bebas.

Banyak sekali tari tradisional yang dipertunjukkan dengan im­ pro visasi. Artinya, banyak kebebasan bagi penarinya. Akan tetapi, kebebasan tersebut berada dalam suatu “aturan main” yang khu­ sus yang umumnya lebih tegas daripada dangdut, bahkan banyak yang sangat ketat, baik dari jenis geraknya maupun dari aturan iramanya. Selain itu, tentu saja banyak pula tarian tradisi yang sudah ter susun koreografinya, yang pada umumnya merupakan

tari tontonan.

Jadi, yang disebut bebas itu tidak berarti tidak memiliki aturan atau norma. Kebebasan bukan berarti untuk melanggar norma, dan sebaliknya norma juga tidak selalu berarti mengekang kebebasan. Melalui pemahaman norma, dalam banyak hal justru dapat melahir­ kan kreativitas individu (melahirkan yang baru). Mungkin kita bisa bandingkan dengan bahasa, norma yang ada di sini disebut gramar. Dengan mengikuti tata bahasa yang baik, orang bisa ber bahasa dengan runtut dan kreatif. Melalui kata­kata yang di menger ti orang lain, dan dengan tata­bahasa teratur, kita justru dapat menghasilkan

(13)

ungkapan baru. Jika tanpa aturan untuk menyusun perbendaharaan kata, bahkan kita akan sulit untuk dapat mengutarakan sesuatu “yang baru.” Demikian juga dalam kesenian, walau tidak sejelas analogi bahasa, dengan mengikuti norma sese orang tidak berarti akan kehilangan ruang kreativitas untuk men ciptakan hal yang baru. Improvisasi yang tanpa aturan bisa berupa sesuatu yang kacau, seperti halnya jika orang bicara tanpa gramar.

Tarian anak­anak yang dilakukan sambil bermain, tampaknya tidak memiliki aturan gerak secara rinci seperti tarian­tarian dalam pertunjukan formal untuk panggung kesenian. Lihatlah misalnya tari ulo alu dari Buton (atau awi alu dari Flores), tari an sambil meloncat­loncat di antara bambu yang diadukan. Gerakan tangan dan jari­jarinya, tolehan kepalanya, atau liukan tubuh nya mungkin tidak diatur rinci, tapi, langkah­langkahnya harus dilakukan dengan sangat tepat. Kalau tidak, kaki penari bisa terjepit bambu. Singkatnya, dalam suatu keteraturan terdapat ruang kebebasan.

Gbr. 1.36: Tarian kelompok dari Flores, masing-masing penari berimprovisasi dalam detail gerakannya, intensitas masing-masing saling merespons.

(14)

Gbr. 1.38: Tari ulo alu dari Buton, meloncat-loncat di antara bambu yang diadukan.

(15)

Sebaliknya, dalam kebebasan terdapat aturan­aturan.

1.10 Penyesuaian Konteks

Jika dalam tari tradisi banyak unsur atau peluang untuk impro­ visasi, hal itu berhubungan juga dengan konsep bahwa yang utama dalam pertunjukan adalah menyesuaikan dengan konteksnya, yang berbeda dari satu situasi ke situasi lainnya. Panjang­pendeknya suatu tarian pun umumnya tidak sama, karena menyesuaikan dengan konteks tersebut. Penonton dalam tarian tradisional, ter­ utama tari komunal, sangat terlibat dengan peristiwanya, sehingga sering tampak menjadi bagian dari pertunjukannya sendiri. Selain itu, waktu pertunjukannya sering berjalan sangat lama sehingga antara menari dan bukan menari, antara penari dan bukan­penari tidak terlalu jelas batasnya.

Jadi, tarian yang memiliki kebebasan untuk improvisasi itu tidak berarti bahwa tidak ada aturan sama sekali. Dalam tradisi, improvisasi pun harus dilakukan secara benar. Jika ada yang me­ laku kan improvisasi (artinya memakai kebebasan) sambil melang­ gar aturan, maka ia akan dianggap salah. Karena itu, sesungguhnya untuk bisa improvisasi dengan benar sangat sulit. Seringkali lebih sulit daripada mempelajari yang telah sangat tersusun geraknya. Aturan berimprovisasi kebanyakan tidak bisa diuraikan atau di­ terangkan, melainkan harus diserap dari suatu pengalaman yang lama, yang pengetahuannya berada di wilayah bawah­sadar. Dengan demikian, penari tradisional yang memiliki kemampuan improvisasi tinggi, sehingga spontanitasnya itu tepat pada waktu dan situasinya, adalah suatu kreativitas yang tinggi pula. Di situ, kreativitas bukanlah menyusun bentuk baru, melainkan melahirkan isi baru yang tepat dengan tuntutan tempat, waktu, dan konteks.

Hal itu mengingatkan kita pada peran individu dan sosial. Kreativitas, seperti halnya improvisasi, adalah wilayah interpretasi personal, sedangkan persesuaiannya dengan tempat, waktu dan konteks adalah wilayah sosial. Di satu sisi, kreativitas individu mem beri kesegaran atau daya baru dalam ruang sosial sebagai kancah (wadah) dan bingkainya. Sebaliknya, ruang sosial dan norma

(16)

budaya mem beri modal atau vokabuler artistik pada individu, yang kemudian dicerna, diinterpretasikan, dan diolah sebagai daya kreatif. Jadi, antara individu (personal) dan sosial selalu memiliki hubungan timbal­balik, keduanya saling memberi dan saling tergantung.

Pengalaman (dan latihan) dan pengetahuan bukan saja melahir­ kan keterampilan teknis (ibarat “vokabuler” dalam bahasa), melain­ kan juga memberi pemahaman terhadap “norma” (gramar, bagai­ mana menggunakan vokabuler). Dari situ, maka kita akan memiliki

prediksi, atau pemahaman terhadap kemungkinan­kemungkinan

yang akan terjadi. Spontanitas menari (improvisasi) merupakan respons seketika terhadap situasi yang secara persis tak terduga (unpre dictable), dari berbagai persen kemungkinan yang telah ter pre diksi (predictable). Seniman yang berpengalaman memiliki banyak kekayaan keterdugaan (sadar dan bawah­sadar) untuk dapat merespons situasi yang tak terduga, sehingga respons spon tan nya akan dirasa tepat menurut norma­norma yang telah terbentuk

(17)

Gbr. 1.42: Tari topeng Cirebon, Jawa Barat, dalam upacara tahunan kasinoman (ritus muda-mudi) dan mapag sri (panen). Dalam upacara itu penonton anak-anak berebutan uang saweran sehingga berdesakan bersama penarinya.

Gbr. 1.40: Empat gerak (posisi) tangan yang baku dalam tortor Batak Toba, sesuai dengan status penarinya atau tujuannya masing-masing: a. manea-nea (meminta berkat, turut menanggung beban), b. mamasu-masu (memberi berkat), c. mangido tua (meminta atau menerima berkat), dan d. manomba (menyembah, meminta berkat).

Gbr. 1.41: Barong bangkal (babi), yang dilakukan keliling dari halaman ke halaman, sehari menjelang hari raya Nyepi di Bali.

kesenian, baik tingkat menengah atas (SMK) maupun tingkat perguruan tinggi (Institut Seni Indonesia, Jurusan Sendratasik, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, dan lain­lain) dalam beberapa dekade terakhir cu kup gencar dalam mengambil materi­materi tradisi dari kampung­kampung, yang kemudian diolahnya menjadi pertunjukan yang baru.

Tarian yang semula merupakan tari komunal kini banyak yang menjadi tontonan, yang dipanggungkan di kota­kota besar, dalam forum festival kesenian tingkat propinsi, nasional, dan bahkan di luar negeri. Dengan itu, pertemuan antarbudaya pun semakin intensif. “Identitas budaya,” yang dahulu hampir tak pernah di­ persoal kan, kini menjadi isu yang gencar, di antaranya karena suatu budaya berhadapan dengan budaya lainnya. Demikian juga sebalik nya, beberapa jenis tarian modern ada yang masuk kampung,

(18)

dalam lingkungan sosial­budayanya.

1.11 Perubahan Nilai dan Sistem

Seorang seniman yang melahirkan suatu pembaruan yang disenangi masyarakatnya, biasanya akan menjadi idola, menjadi guru, atau ditiru, oleh seniman lain dalam masyarakat tersebut. Tetapi, bisa juga akan mendorong seniman lain untuk “menyaingi” dengan usaha untuk melahirkan cara atau teknik baru. Lahirnya kreativitas indivi dual, besar atau kecil, akan berpengaruh terhadap perubahan dalam masyarakatnya, karena terjadinya proses interaksi dialektis seperti telah dikatakan di atas. Perubahan sosial, akan pula memberikan tantangan baru pada masing­masing individunya. Dengan demikian dalam suatu komunitas akan terjadi dinamika perubahan secara me nerus (kontinu). Karena itu, dalam teori kebudayaan, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak berubah sama sekali.

Jika kita ingat uraian sebelumnya bahwa “komunitas” tidak tunggal, melainkan berlapis­lapis misalnya dalam satu kampung pun ada komunitas keagamaan, ada komunitas profesi (tani, nela­ yan, buruh pabrik), ada pelajar, tua­kampung, dan sebagainya maka perubahan itu bisa berlapis­lapis pula tingkatannya. Apalagi jaman sekarang, terutama di kota­kota, ada banyak pendatang (dari komu­ nitas lain), ada pernikahan antarsuku, ada peraturan peme rintah, pemekaran desa, pembukan lahan pertanian baru, pelebaran jalan, dan lain­lain ada pelajaran baru di sekolah, ada informasi dari luar daerah, luar negeri, teknologi baru, dan lain­lain. Jadi, konteks sosial pun akan dengan sendirinya berubah­ubah, yang makin lama makin cepat dan makin kompleks.

Jika ada perubahan sosial, maka norma atau nilai­nilainya pun akan berubah. Tradisi pun berubah. Yang lama diperbarui, yang baru lambat laun menjadi lama. Tari Serampang Dua Belas (Melayu), Tari Merak Sunda (Jawa Barat), misalnya saja, dahulu dianggap modern, kini sudah tidak lagi demikian. Sebaliknya, tarian­tarian tradisi yang lebih tua dari kedua tarian ini, kini banyak bermunculan kembali, dengan wajahnya yang baru. Sekolah­sekolah

(19)

dan menjadikannya sebagai bagian dari peristiwa komunal. Setelah maraknya media kesenian komersial, hak cipta pun kini dianggap penting untuk dirumuskan dalam undang­undang. Aspek perubahan kebudayaan memang merupakan hal penting dan menarik untuk dipelajari. Perubahan merupakan sifat alamiah dari kebudayaan. Banyak disiplin ilmu yang secara terfokus mempelajari “per ubahan” ini. Dalam buku ini, perihal perubahan akan dibicarakan lagi dalam

Gbr. 1.43: Sardono W. Kusumo (kedua dari kanan), seorang koreografer ternama, menari di tengah sawah bersama ibu-ibu yang menyanyi, sambil menanam padi di Mamasa.

(20)

Gbr. 1.47: Tari huda-huda dan toping-toping dari Simalungun, yang dulu sebagai tari upacara komunal, kini biasa pula menjadi tari tontonan di berbagai tempat.

Gbr. 1.46: Tari belian (dukun) yang biasanya merupakan tarian untuk upacara penyembuhan, kini bisa dan biasa ditampilkan untuk acara hiburan di panggung atau untuk wisatawan.

Gbr. 1.45: Tari Jawa di Aceh, jaman kolonial (Dokumen KITLV ca. 1890): kesenian dari suatu daerah berpindah lokasi yang dengan sendirinya akan berubah sesuai dengan lingkungan baru.

(21)

Gbr. 1.48: Tarian dengan sapu tangan dari Flores, yang awalnya mungkin merupakan pengaruh tarian dari Ambon, musiknya ala Barat, tapi kemudian dianggap menjadi tradisi setempat.

Gbr. 1.49: Tari jaranan (“kuda-kudaan”) di Bontang, Kaltim, yang dipertunjukkan oleh anak-anak dari masyarakat transmigrasi asal Jawa Timur dan setempat (Dayak, Kutai, Banjar), sebagai pertunjukan tontonan (tanggapan).

Referensi

Dokumen terkait

Terwujudnya kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Persentase ikan dan  hasil perikanan  impor memenuhi  persyaratan mutu 

Nofeenamo seemie megaluno, “Noafa pedaghoo anagha?” Nobhalomo, “Rampahano kaparendeno kontu foliu-liuno kambaka nefumaaku, dotaburiane dagi moneu sedodo.” Noeremo

Faktor internal perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing Bank XYZ Purna Bakti yaitu memiliki sumber daya dengan reputasi tinggi, memiliki kompetensi inti

Indragiri Hulu Guru Kelas SD SD N 009 KAMPUNG PULAU Hotel NUANSA Jl.. Indragiri Hulu Guru Kelas SD SD N 015 PETALING JAYA GEDUNG GURU

Pada pengujian calon induk dari 24 famili yang dihasilkan secara komunal diperoleh keragaan pertumbuhan terbaik pada populasi persilangan antara betina GIMacro dengan jantan Musi

selaku ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis

Hasil studi pengembangan ini dapat dijadikan masukan bagi pemerintah lokal/setempat untuk meningkatkan pelayanan air minum perpipaan PDAM dari kondisi pelayanan

Oleh karena itu atlet petanque harus memiliki fisik yang kuat dan mental bermain yang kuat pula agar atlet mampu bermain dengan konsisten dan stabil dalam bermain