• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secondary Drowning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Secondary Drowning"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

SECONDARY DROWNING

PENDAHULUAN

Drowning atau tenggelam adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam

saluran pernapasan. Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan. Tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau kolam renang tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di bawah permukaan air. Tenggelam, yang dahulu dianggap sebagai kematian yang secara langsung disebabkan oleh asfikisia (“asphyxial death”), kini diketahui terdiri dari serangkaian gangguan fisiologis dan biokimiawi yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap akibat fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam akan

memberikan warna yang berbeda-beda pada pemeriksaan korban1,2,3.Tenggelam pada umumnya

merupakan kecelakaan, baik kecelakaan saat naik kapal, berolahraga air, maupun yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan korban lebih jarang terjadi, korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada korban dewasa biasanya korban sebelumnya dianiaya, kemudian untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai. Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru kemudian terjun ke air. Dengan demikian, pemeriksaan kasus tenggelam juga ditujukan untuk mengetahui apakah kasus tersebut

merupakan kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri2,3.

Tenggelam merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Di seluruh dunia setiap tahun dilaporkan sekitar 1,5 juta kematian terjadi akibat tenggelam. Namun tingkat mortalitas dan morbiditas akibat tenggelam yang sebenarnya sulit ditentukan karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan dan banyaknya korban yang tidak mendapat pelayanan medis. Secara umum 90% kasus tenggelam terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) dan 10% terjadi di air laut. Tenggelam di dalam cairan lain lebih jarang terjadi dan biasanya merupakan kecelakaan kerja4,5.

(2)

Di Amerika Serikat, cedera yang berhubungan dengan tenggelam merupakan penyebab kematian akibat kecelakaan terbanyak kelima bagi semua kelompok umur, dengan insidensi 2,5– 3,5 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2002, Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat melaporkan 3447 korban meninggal akibat unintentional drowning (tenggelam karena kecelakaan), terbanyak terjadi pada kelompok usia di bawah 4 tahun dan kedua terbanyak adalah kelompok remaja dan dewasa muda laki-laki berusia antara 14-24 tahun. Pada kelompok

balita, sebagian insiden terjadi di bathtub dan kolam renang4.

Sejauh ini belum ada pengertian yang seragam mengenai definisi tenggelam. Beberapa ahli mencoba mengklasifikasikan tenggelam berdasarkan kondisi paru korban :

1. Typical drowning (wet drowning)

Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam. 2. Atypical drowning

a. Dry drowning

Pada keadaan ini hanya sedikit atau bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan, kematian disebabkan oleh laringospasme.

b. Immersion syndrome (vagal inhibition)

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu <20°C), yang menyebabkan terpicunya refleks vagal yang menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebral. Alkohol juga dapat merupakan pemicu.

c. Submersion of the unconscious

Bisa terjadi pada korban yang memang menderita epilepsi atau menderita penyakit jantung khususnya coronary atheroma atau hipertensi, atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air, atau dapat pula pecahnya aneurisma serebral dan muncul perdarahan serebral yang terjadi tiba-tiba.

(3)

d. Delayed death (near drowning and secondary drowning)

Menurut Verive, Michael (2007), near drowning adalah keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam (walaupun hanya untuk sementara) setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam. Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa hari setelah korban tenggelam diselamatkan

(dan diangkat dari air) dan korban meninggal akibat komplikasi6.

Secondary drowning merupakan hal yang menarik untuk dipelajari, karena kasus secondary

drowning yang diantisipasi, dikenali, dan ditangani dengan cepat dapat memberikan hasil akhir

yang lebih baik bagi prognosis perjalanan penyakit korban. Pada penanganan kasus secondary

drowning juga penting untuk diketahui beberapa faktor yang turut berpengaruh, antara lain

konsumsi alkohol, tipe air lokasi korban tenggelam (air asin, air tawar, atau air payau), dan

temperatur air, serta riwayat penyakit sebelumnya3.

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Terdapat berbagai macam pengertian mengenai definisi yang jelas dari secondary drowning. Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa

hari setelah korban tenggelam diselamatkan dan korban meninggal akibat komplikasi1.

Menurut Pearn, J.H. (1980), secondary drowning merupakan salah satu dari sindrom pada sistem respirasi yang terjadi paska suatu episode tenggelam. Selanjutnya, Pearn mendefinisikan secondary drowning sebagai penurunan fungsi pulmoner setelah terjadi penurunan pertukaran gas akibat hilang atau inaktivasi surfaktan. Hal ini diperkirakan terjadi akibat kerusakan surfaktan karena terjadinya kerusakan secara kimiawi, anoksik, mapupun osmotik pada pneumatosit yang melapisi alveoli. Sedangkan beberapa sumber lain tidak membatasi gangguan fungsi paru sebagai faktor yang mendasari secondary drowning, namun

(4)

2.2. Insiden

Di seluruh dunia setiap tahun dilaporkan terjadi sekitar 1,5 juta kematian akibat drowning. Jumlah insiden near drowning dan secondary drowning diperkirakan 20–500 kali dibandingkan angka kejadian kematian akibat drowning. Perkiraan jumlah kasus secondary

drowning belum pasti, namun diperkirakan terjadi pada 2% dari kasus near drowning4,5.

Dua kelompok umur yang terbanyak mengalami secondary drowning adalah kelompok usia di bawah 4 tahun dan kelompok usia 15-19 tahun. Pada bayi usia di bawah 1 tahun, tenggelam sering terjadi di seember air atau bak mandi. Perlu dipertimbangkan adanya child abuse pada kasus-kasus seperti ini. Sebagian besar kasus pada balita terjadi di bathtub dan kolam renang akibat kurangnya pengawasan, sedangkan pada remaja sebagian besar kasus tenggelam terjadi di laut, kolam atau sungai, dan biasanya berhubungan dengan olahraga air

atau penyalahgunaan alkohol4,5.

Pada kelompok usia remaja, sebagian besar secondary drowning terjadi pada laki-laki. Tiga puluh lima persen dari episode immersion yang terjadi pada anak-anak membawa akibat yang fatal, 33% korban selamat mengalami gangguan neurologis dalam beberapa derajat dan 11%

mengalami sequelae neurologik yang parah4,5.

Pada kasus near drowning dan secondary drowning, pemeriksa harus mencari tahu kemungkinan adanya penyebab sekunder dari tenggelam, meliputi epilepsi, trauma kepala atau trauma tulang belakang, serangan jantung, penggunaan alkohol dan obat-obatan,

hipoglikemia, dan sebagainya5.

2.3. Patofisiologi

Korban yang berada dalam keadaan sadar pada saat tenggelam awalnya akan berusaha untuk menahan napas secara volunter. Untuk menyelamatkan dirinya, korban dengan panik menggerak-gerakkan tungkai atas dan tungkai bawah untuk menjaga kepalanya tetap di atas permukaan air. Korban dapat menahan napasnya untuk sementara waktu sebelum akhirnya refleks untuk bernapas akan meningkat dan korban mencoba untuk bernapas walaupun masih di dalam air2,3,5.

(5)

Reflek bernapas pada tubuh manusia terutama berhubungan dengan kadar karbon dioksida dalam tubuh. Bila kadar oksigen menurun dan kadar karbon dioksida semakin meningkat, akan timbul rangsangan refleks bernapas yang semakin kuat sampai mencapai suatu titik dimana korban tidak lagi dapat menahan napasnya, akibatnya sejumlah air masuk ke dalam saluran pernapasan. Air yang masuk ke saluran pernapasan akan memediasi timbulnya reflek laringospasme, yang sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk melindungi diri agar cairan tidak masuk lebih banyak lagi. Hipoksia pada otak kemudian membuat korban mengalami penurunan kesadaran, dan saat ini terjadi maka laringospasme akan mengalami relaksasi

sehingga lebih banyak lagi air yang masuk ke saluran pernapasan3,5.

Gerakan yang tidak terkoordinasi pada saat korban mencoba menjaga tetap mengapung membuat korban berulang kali tenggelam dan muncul di atas permukaan air, lamanya bergantung dari kondisi fisik dan daya tahan korban. Akhirnya korban mengalami kelelahan dan dikombinasi dengan usaha bernapas dalam air sehingga banyak cairan masuk ke paru,

maka korban pun tenggelam ke dasar untuk terakhir kalinya3,5.

Sistem Respirasi

Aspirasi sejumlah besar cairan ke dalam paru menyebabkan (1) obstruksi pada saluran napas pulmoner ekstrinsik dan intrinsik dan (2) terbentuknya sawar obstruktif berupa busa dalam saluran napas yang terbentuk saat korban berusaha bernapas di permukaan air atau tepat di bawah permukaan air, mengaspirasi udara dan air secara bersamaan. Aspirasi cairan sebanyak 1-3 ml/kg berat badan dapat menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru dan

juga menyebabkan gangguan fungsi surfaktan3,4,5.

Air tawar bersifat relatif hipotonik dibandingkan plasma darah dan menyebabkan kerusakan pada surfaktan di alveoli. Air asin, yang bersifat relatif hipertonik dibandingkan plasma, meningkatkan gradien osmotik dan oleh karena itu menarik cairan masuk ke alveoli dan menyebabkan dilusi surfaktan (surfactant washout). Air asin juga dapat menyebabkan

(6)

Selain gangguan pada surfaktan, gangguan respirasi pada korban secondary drowning juga dapat diakibatkan oleh barotrauma pulmoner, kerusakan mekanis paru-paru akibat usaha resusitasi, pneumonitis akibat benda asing (pasir, lumpur, rumput laut, muntahan) atau bahan kimia yang teraspirasi (terutama terjadi pada kasus tenggelam di kolam renang yang diberi klorin atau di ember yang mengandung produk permbersih lantai), pemberian ventilasi yang tidak adekuat, atau apneu sekunder akibat kerusakan sistem saraf pusat (sering terjadi secara tiba-tiba). Pneumonia bakterial merupakan komplikasi yang lebih jarang, dan biasanya terjadi

pada kasus tenggelam di air tawar yang tidak mengalir dan hangat5,7.

Sistem Saraf Pusat

Cedera sistem saraf pusat merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kemungkinan korban dapat bertahan hidup dan morbiditas untuk jangka panjang. Kerusakan sistem saraf pusat secara primer berhubungan dengan hipoksia jaringan. Jika periode hipoksia hanya berlangsung singkat maka korban dapat sembuh dengan sequelae neurologis yang minimal. Namun pada kasus-kasus dengan hipoksia yang berkepanjangan kemungkinan akan berujung pada sequelae yang berat, bahkan pada kematian. Edema serebri merupakan dampak yang umum dijumpai pada kasus tenggelam yang berlangsung cukup lama. Namun proses tenggelam juga dapat dihubungkan dengan trauma (terutama pada kepala dan leher), maka mungkin terdapat defisit neurologis fokal atau persisten yang mengindikasikan terdapat

massa atau cedera lain yang memerlukan tindakan pembedahan. Infeksi pada sistem saraf

pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun cukup serius, dapat disebabkan oleh

jamur atau virus yang hidup di tanah atau air5.

Sistem Kardiovaskuler

Air tawar bersifat hipotonik terhadap plasma darah, sehingga akan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi peningkatan volume darah, hemodilusi dari elemen-elemen darah dan hemolisis. Kalium dalam plasma akan meningkat dan natrium berkurang, juga terjadi hipoksia yang hebat pada miokardium. Dalam waktu beberapa menit akan terjadi

(7)

fibrilasi ventrikel. Jantung dalam beberapa saat masih berdenyut dengan lemah, namun hipoksia serebri yang hebat2,5,9.

Air asin bersifat hipertonik terhadap plasma darah, sehingga cairan dari sirkulasi darah tertarik keluar dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga dalam waktu yang singkat. Volume darah menurun, terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan kadar natrium plasma. Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadinya hipoksia pada miokardium disertai

peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung2,5,9.

Kegagalan Multi Sistem Organ

Kondisi korban dapat diperburuk dengan adanya kegagalan multi sistem organ lain akibat hipoksia yang berlangsung lama, antara lain terjadinya disseminated intravascular

coagulation, insufisiensi hepatik, insufisiensi renal, asidosis metabolik dan cedera pada

sistem gastrointestinal5.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan tingkat keparahan hipoksia. Dampak yang paling signifikan terhadap mortalitas dan morbiditas korban secondary drowning adalah usaha resusitasi yang tepat dan berkelanjutan mulai dari lokasi kejadian hingga sampai di rumah sakit. Dari keseluruhan korban near

drowning, 35-60% meninggal di Unit Gawat Darurat dan 60% menderita sequelae jangka

panjang. Hipotermia dapat menurunkan cerebral metabolic rate, sehingga korban dengan

hipotermia memiliki prognosis yang lebih buruk5.

Menurut Pearn, J.H. (1980), kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya

secondary drowning adalah anak-anak yang tenggelam dalam air asin atau air yang terpolusi,

dimana pernapasan spontan tidak juga terjadi setelah 5-10 menit setelah penyelamatan, namun tampak menunjukkan perbaikan dengan cepat setelahnya. Perlu diingat bahwa pada

secondary drowning seringkali korban anak-anak memberikan respon yang sangat baik pada

resusitasi yang dilakukan di tempat kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke rumah sakit dan kemudian ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat beberapa jam kemudian. Pearn, J.H. (1980) menyarankan tim penyelamat dan petugas medik

(8)

harus mengantisipasi penurunan fungsi pulmoner terutama dalam 4 jam pertama setelah penyelamatan, yang dapat terjadi pada satu dari tiap 20 korban tenggelam yang selamat. Untuk itu, walaupun tidak selalu dilakukan, namun sebaiknya semua korban tenggelam yang diselamatkan harus dibawa ke rumah sakit untuk observasi, walaupun korban tampak baik-baik saja setelah usaha pertolongan pertama, karena penurunan fungsi pulmoner dapat terjadi dengan cepat. Pada kasus secondary drowning yang diantisipasi, dikenali dan ditangani

dengan cepat dan tepat maka prognosisnya akan jauh lebih baik7.

2.4. Presentasi Klinis

Presentasi klinis yang ditemukan pada korban tenggelam :

• Asimtomatis, terutama pada pasien tenggelam dengan adanya saksi mata yang

melihat kejadian, sehingga pertolongan dan resusitasi dapat segera diberikan. Namun perlu juga diingat bahwa pada secondary drowning seringkali korban anak-anak memberikan respon yang sangat baik pada resusitasi yang dilakukan di tempat kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke rumah sakit dan kemudian ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat beberapa jam kemudian. • Simtomatis :  Batuk  Sesak nafas  Mengi  Hipotermia

 Bradikardia atau takikardia

 Muntah-muntah, diare

 Gelisah, kesadaran menurun

Cardiopulmonary arrest, antara lain terjadi takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikel.

(9)

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan :

• Laboratorium : analisa gas darah, hitung sel darah, serum elektrolit, gula darah sewaktu, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, uji kadar etanol dan obat-obatan terlarang.

• Oksimetri dan monitoring fungsi kardiorespirasi.

• Pemeriksaan radiografi : rontgen toraks, CT-scan kepala dan tulang belakang (jika

dicurigai ada trauma), rontgen ekstremitas, abdomen dan pelvis (jika dicurigai ada

trauma), elektrokardiografi (jika dicurigai ada disfungsi miokardium)5.

2.5. Penanganan

• Keberhasilan atau kegagalan bantuan hidup dasar yang diberikan di lokasi

ditemukannya korban merupakan faktor penentu utama dari prognosis korban. Pada saat melakukan bantuan hidup dasar awal, selain menjaga patensi jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, harus dilakukan stabilisasi servikal jika dicurigai terdapat trauma tulang belakang.

• Pemberian oksigen 100% harus dimulai sedini mungkin.

• Pertimbangkan intubasi endotrakeal dengan ventilasi mekanis pada korban dengan

distres pernapasan berat atau gangguan jalan nafas, dengan penurunan kesadaran, hipoksemia berat, asidosis berat.

• Penggantian volume intravaskuler dapat dilakukan dengan pemberian infus kristaloid

atau koloid. Bila diperlukan inotropik dapat diberikan dopamin atau dobutamine.

• Sebagian besar kasus asidosis dapat dikoreksi dengan koreksi kehilangan volume

intravaskuler dan oksigenisasi yang adekuat. Sodium bikarbonat dapat diberikan pada kasus asidosis berat yang tidak dapat dikoreksi dengan dengan usaha-usaha tersebut, namun hanya diberikan bila ventilasi yang adekuat telah dipertahankan.

(10)

• Pemasangan pipa nasogastrik untuk mengeluarkan air atau kotoran yang tertelan (lakukan pemasangan pipa orogastrik jika dicurigai ada trauma wajah atau kepala).

• Kateter urin untuk memantau cairan keluar. Kateter vena sentral untuk memantau

tekanan vena sentral

• Hipotermia dapat terjadi dan memperburuk bradikardia, asidosis dan hipoksemia.

Perlu diperhatikan apakah korban tenggelam di air hangat atau air dingin. Pada kasus korban tenggelam di air dingin, pasien dengan hipotermia berat dapat tampak seolah-olah sudah mati karena bradikardia berat dan vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga usaha resusitasi harus tetap dilanjutkan sementara usaha untuk mengembalikan suhu tubuh normal harus tetap dilakukan.

• Perlu dicari kemungkinan adanya cedera-cedera yang lain, sebagaimana yang umum

ditemukan pada cedera kecelakaan yang lain. Pada kecelakaan saat menyelam, perlu dipertimbangkan cedera tulang belakang.

• Pemberian antibiotika propilaksis tidak diindikasikan kecuali korban tenggelam

dalam air yang terkontaminasi atau di saluran pembuangan. Pemberian kortikosteroid

tidak memberikan manfaat pada penanganan kasus secondary drowning5.

2.6 Temuan pada Pemeriksaan Korban Mati Pemeriksaan Luar

Ditemukan adanya cairan berbuih dari hidung dan mulut, yang dihasilkan dari campuran udara, mukus dan cairan aspirasi yang terkocok-kocok saat adanya upaya pernapasan yang hebat. Busa dapat berwarna putih, atau lebih merah muda jika berasal dari edema pulmonum. Terkadang busa tidak lagi keluar dari mulut dan hidung, terutama setelah dilakukan kompresi pada dinding dada. Namun jika dilakukan pemeriksaan dalam dapat masih ditemukan adanya

(11)

Dapat dijumpai adanya luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bawah bagian depan, yang dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai atau kolam, atau dengan benda-benda disekitarnya2,3,8,9,10.

Pemeriksaan Dalam

Dapat ditemukan adanya busa atau cairan dengan buih pada saluran pernapasan atas dan bawah. Dapat pula ditemukan adanya benda-benda asing yang teraspirasi di dalam trakea. Paru-paru pada korban tenggelam biasanya tampak sangat mengembang (bulky and

ballooned). Edema dan kongesti paru dapat sangat hebat sehingga beratnya mencapai

700-1000 gram, dimana berat paru normal adalah sekitar 250-300 gram. Paru-paru pucat dan diselingi bercak-bercak merah di antara jaringan yang berwarna kelabu. Pada pengirisan tampak banyak keluar cairan merah kehitaman bercampur buih dari irisan tersebut, dikenal

dengan nama ”emphysema aquosum” 2,3,8,9,10.

Secara mikroskopik, dapat ditemukan adanya diatome pada aluran napas, jaringan paru, darah jantung, atau sumsum tulang. Diatome merupakan kelompok alga yang uniseluler, mikroskopik dengan dinding sel yang mengandung silika dan mengandung klorofil dan diatomin. Diatome secara universal ditemukan pada air tawar dan air asin dan terdapat lebih dari 10.000 spesies diatome. Uji diatome didasarkan pada asumsi bahwa pada korban tenggelam diatome dalam media air tawar atau air laut akan terbawa masuk ke dalam parenkim paru bersama dengan air yang teraspirasi. Diatome kemudian akan masuk ke kapiler alveolar dan terbawa dalam aliran darah sirkulasi ke seluruh tubuh. Ukurannya yang sangat kecil memungkinan diatome masuk ke dalam hepar, ginjal, otan dan sumsum tulang femoral. Sampel untuk uji diatome diperoleh dengan mengambil beberapa ratus gram organ yang dicurigai mengandung diatome (paru, ginjal, hepar, atau otak) kemudian diberi asam sulfat dan asam nitrat untuk mendestruksi jaringan organ, baru kemudian di-sentrifuge dan dilihat dibawah mikroskop2,3,8,9,10.

(12)

KESIMPULAN

Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa hari setelah korban tenggelam diselamatkan (dan diangkat dari air) dan korban meninggal akibat komplikasi. Jumlah insiden secondary drowning (dan near drowning) diperkirakan cukup tinggi, yaitu sekitar 20–500 kali dibandingkan angka kejadian kematian akibat

drowning.

Patofisiologi terjadinya secondary drowning berhubungan adanya kegagalan multi sistem organ lain akibat hipoksia yang berlangsung lama.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan tingkat keparahan hipoksia. Oleh sebab itu, kasus secondary drowning yang diantisipasi, dikenali dan ditangani dengan cepat dan tepat akan memberikan prognosis yang jauh lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto, A., et al, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2. Idris, Mun’im Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Penerbit Binarupa Aksara.

Jakarta.

3. Adelson, Lester, 1994. The Pathology of Homicide. Charles Thomas Publisher. Springfield USA.

4. Shepherd, Suzanne Moore, 2003. Drowning. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/772753). (Accessed: April 1st, 2009).

5. Verive, Michael, 2007. Near Drowning. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/908677). (Accessed: April 1st, 2009).

6. Parikh, C.K, 1983. Drowning: Immersion: Parikh’s Textbook of Medical Jurisprudence and

(13)

7. Pearn, J.H., 1980. Secondary Drowning in Children. British Medical Journal, Vol. 281 p. 1103-1105. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/pagerender.fcgi?

artid=1714551&pageindex=3#page). (Accessed: April 1st, 2009).

8. Giertsen, J.C., 1997. Forensic Medicine : Volume III Environmental Hazards. W.B. Saunders

Company. Philadelphia.

9. Knight, Bernard, 1996. Forensic Pathology, Second Edition. Arnold. London.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis penelitian tindakan kelas dari siklus I sampai siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan metode quantum learning teknik peta pikiran dapat

Rendemen protoplas kacang panjang hasil isolasi dari perlakuan interaksi antara enzim Mace- rozyme R-10 dengan enzim Cellulase RS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

Buku pop-up adalah buku yang memiliki bagian yang dapat bergerak atau berunsur tiga dimensi (3D). Buku yang dikemas dengan teknik ini memberikan visualisasi cerita yang lebih

Berdasarkan identifikasi masalah yang sesuai dengan judul, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pada perbandingan aasil belajar ekonomi dengan menggunakan metode

Dalam penelitian ini data primer yang dimaksud digunakan untuk mengetahui faktor internal yang mempengaruhi pendapatan PKL di Sekitar Kampus Universitas Pendidikan

Maka secara operasional, mengingat kembali Inggris yang merupakan sebuah negara demokratis pemerintah tentu memberatkan pendapat rakyat terkait dengan hal tersebut, sehingga

14 Description of your UltraOne: 1 Display 2 Hepa filter cover 3 Hepa filter 4 Parking slot 5 Power cord 6 Motor filter 7 Motor filter holder 8 S-bag® 9 Dust compartment cover 10

Hal ini dimaksudkan agar proses data lebih cepat dan tidak menumpuk pada basis data di pusat.Untuk itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam penelitian