• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Deskripsi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Ikan tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan

tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip tambahan

kecil-kecil (Auzi, 2008). D.XV (Sirip punggung berjari-jari keras 15), D.VII (berjari-jari

lemah 13), diikuti 8 - 10 jari-jari tambahan atau finlet. A.XIV (Sirip dubur berjari-jari

lemah 14) diikuti 6 - 8 jari-jari tambahan. Tongkol termasuk ikan buas, predator dan

karnivor. Pada umumnya mempunyai panjang 50 - 60 cm dan hidup bergerombol. Warna

tubuh bagian atas biru kehitaman dan bagian bawah putih keperakan (Bahar, 2004).

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridei Famili : Scombridae Genus : Euthynnus Spesies : Euthynnus sp.

Ikan tongkol hidup di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat. Panjang

maksimumnya yaitu 1 meter. Tongkol dewasa juga memijah di perairan dekat pantai. Di

Indonesia ikan ini merupakan ikan niaga bagi penduduk setempat (Nontji, 1993).

(2)

tongkol misalnya Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta

(DKP, 2001).

1.2 Komposisi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein kasar dan lemak.

Semuanya sekitar 98 % dari total berat daging. Komponen kimia tersebut berpengaruh

besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensor dan stabilitas penyimpanan

daging. Kandungan komponen kimia lain seperti karbohidrat, vitamin dan mineral hanya

berjumlah sedikit, yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan post-mortem.

(Sikorski, 1990).

Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber : Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)

Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi yaitu

dengan kandungan protein mencapai 24%, kadar lemak rendah yaitu 1% dan kandungan

garam-garam mineral. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion)

(3)

1.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan

Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan (Munandar 2008).

Ikan yang berpenyakit seringkali berada dalam kondisi stres dan kurang dapat menahan serangan bakteri patogen. Ikan yang sedang mengalami pemijahan banyak menggunakan energi untuk proses reproduksi, menyebabkan otot tidak sekenyal biasanya dan bila dibekukan akan terjadi pengeluaran air berlebihan (drip loss). Adapun ikan yang kelelahan (karena menggelepar. banyak menggunakan energi sehingga proses rigor mortis berlangsung cepat. Apabila penanganan ikan dilakukan pada saat ikan masih mengalami rigor mortis, maka akan terjadi kerusakan otot, yang akan semakin nyata bila ikan difillet. Fillet ikan sebaiknya dilakukan pada saat ikan memasuki fase pre rigor. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang difillet pada fase pre rigor masih memiliki kandungan protein yang lebih tinggi sebesar 20,38 % daripada fase rigor mortis dan post rigor (BPTP 2009).

Kerusakan atau pembusukan ikan dan hasil-hasil olahannya dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Kerusakan-kerusakan enzimatis yang disebabkan oleh enzim.

b. Kerusakan-kerusakan fisika yang disebabkan oleh kecorobohan dalam penanganan, misalnya luka-luka kekar, patah, kering, dan sebagainya.

(4)

c. Kerusakan-kerusakan biologis yang disebabkan oleh bakteri, jamur, ragi dan serangga.

d. Kerusakan-kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh adanya reaksi-reaksi kimia, misalnya ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lemak, dan denaturasi protein (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Tabel 1. Ciri-ciri ikan segar yang bermutu tinggi maupun yang bermutu rendah secara organoleptik.

Parameter Ikan yang bermutu tinggi Ikan yang bermutu rendah Mata Cerah, bola mata menonjol,

kornea jernih

Bola mata cekung, pupil putih susu,kornea keruh

Insang Warna merah cemerlang,

tanpa lendir Warna kusam dan berlendir Lendir

Lapisan lendir jernih,

transaparan, mengikat cerah, belum ada perubahan warna

Lendir berwarna kekuningan sampai coklat tebal,warna cerah hilang, pemutihan nyata

Daging dan perut

Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar

Sayatan daging kusam, warna merah jelas sepanjang tulng belakang, dinding perut memebubur dan bau busuk

Bau Segar, bau rumput laut, baut

spesifik menurut jenis Bau busuk

Konsistensi

Padat, elastis bila di tekan dengan jari sulit menyobek daging dari tulang belakang,

Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang bila di tekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang Sumber : BSN (2006)

(5)

1.4 Pengolahan Tradisional

Pengolahan tradisional adalah suatu cara pengolahan yang didasarkan pada konsepsi (undang-undang tidak tertulis) yang diwariskan turun menurun secara tradisional. Dari segi cita rasa, produk yang produk tersebut disukai oleh konsumen yang terbiasa mengkonsumsi secara turun-menurun pula (Litbang Pertanian, 2002).

Ciri khas yang menonjol dari pengolahan tradisional adalah jenis dan mutu bahan baku serta pembantu yang sangat bervariasi dan kondisi lingkungan yang sulit dikontrol. Cara proses dan prosedur selalu berbeda menurut tempat, individu dan keadaan, lebih banyak tergantung pada faktor alam, perlakuan tidak diukur secara kuantitatif, satuan tidak rasional sehingga proses tidak dapat diulang dengan hasil yang identik. Akibatnya produk yang dihasilkan tidak seragam secara kuantitatif maupun kualtatif, dengan daya awet bervariasi (Anisah & Susilowati 2007).

Menurut Nitibaskara (1988), ciri-ciri khas pengolahan ikan tradisional adalah sebagai berikut :

a. Mutu bahan mentah sangat bervariasi. Bahan mentah untuk pengolahan tradisional adalah ikan-ikan yang sangat beragam komposisi kimiawi, kondisi fisik dan bakteriologisnya dan sering pula tidak seragam tingkat kesegarannya.

b. Proses dan kondisi lingkungan sukar dikontrol. c. Bahan pembantu sangat bervariasi.

(6)

Sifat produk akhir pengolahan tradisional adalah : a. Perubahan-perubahan pada produk tidak terkontrol.

Setelah proses pengolahan selesai, proses enzimatis, kimiawi dan biologis agak terhambat, tetapi beberapa saat kemudian berlangsung kembali.

b. Produk tidak terlindung

Nasib produk akhir umumnya diserahkan kepada kondisi lingkungan berupa suhu, kelembaban dan kemungkinan pencemaran udara.

c. Bentuk dan mutu produk sangat bervariasi.

Bentuk dan mutu organoleptik dari produk (rupa, warna, tekstur dan cita rasa) sangat beragam, tergantung dari lokasi pengolahannya.

1.5 Pengasapan

Pengasapan merupakan suatu cara pengawetan ikan yang menggunakan asap sebagai bahan pengawet dan pemberi warna serta rasa yang khas (Moeljanto, 1992). Pengasapan merupakan suatu cara pengawetan ikan yang menggambungkan beberapa tahap pekerjaan, yaitu : penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapan. Penggaraman dapat menciptakan daging yang kompak, membunuh bakteri dan meningkatkan rasa daging. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan dan memudahkan daging ikan menyerap partikel-partikel asap pada saat pengasapan. Pemanasan bertujuan untuk mematangkan daging ikan, menghentikan enzim perusak, menggumpalkan protein dan menguapkan sebagian air dalam badan ikan (Moeljanto, 1992). Daging asap adalah irisan daging

(7)

yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang menghasilkan asap dan lambat pembakaran (BPPT, 2002).

Memasak ikan dalam suhu ±70oC sekurang-kurangnya 30 menit dalam proses pengasapan mungkin bagian terpenting dalam pengasapan yang sering dilupakan pada pengasapan skala rumah tangga (Hildebrandt, 2003). Pengasapan harus dilakukan pada waktu dan kepakatan asap serendah mungkin, karena asap mengandung senyawa-senyawa karbonil yang akan bereaksi dengan lisin dan mereduksi kualitas protein (Litbang Pertanian 2002).

1.6 Metode Pengasapan

Proses pengasapan biasanya dilakukan untuk beberapa tahap agar memperoleh hasil asapan yang berwarna indah dengan rasa prima. Saat ini telah banyak dikembangkan teknik pengasapan dengan menggunakan asap cair atau asap buatan, yang aplikasinya dengan cara dioleskan pada permukaan bahan pangan, tanpa atau sedikit panas. Pada dasarnya, dalam pengasapan ikan ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking) (Irawan, 1995).

Pengasapan panas bertujuan untuk mengawetkan dan memberi warna serta rasa yang khas pada ikan. Dalam pengasapan panas, jarak antara ikan dengan sumber asap dilakukan sedekat mungkin, dan sumber pemanas yang berasal dari api itu juga cukup besar. Suhu di dalam ruangan pengasapan panas biasanya sekitar 70-85 oC. Cara ini dapat dikatakan merupakan suatu proses pemanggangan ikan secara

(8)

perlahan-lahan. Suhu panas yang ada dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh ikan, sehingga dengan cepat ikan menjadi kering, matang dan berdaging lunak dengan rasa yang enak, tetapi proses pengasapan panas ini hasilnya tidak mampu bertahan lama. Artinya ikan-ikan yang diasapi dengan pengasapan panas masih mengandung kadar air yang tinggi sehingga tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama (Irawan 1995).

Salah satu perbedaan antara pengasapan panas dengan pengasapan dingin adalah suhu yang digunakan untuk mengasapi. Suhu yang biasanya digunakan dalam alat pengasapan dingin yaitu antara 40-50 oC. Pada pengasapan dingin, asap yang ditimbulkan dari api tidak banyak berpengaruh pada ikan-ikan yang diasapi. Sebab, selain asapnya tipis (api tidak terlalu besar) juga jarak antara sumber asap dengan ikan-ikan yang diasapi agak jauh. Oleh karena itu, lamanya pengasapan dingin dapat sampai beberapa hari atau bahkan sampai beberapa minggu. Selama proses pengasapan, ikan-ikan itu akan menyerap asap cukup banyak sehingga air yang ada di dalam daging ikan akan terus menguap dan ikan akan menjadi kering. Oleh sebab itu, hasil pengasapan dingin tahan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama (Irawan 1995). Secara umum perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin seperti disajikan pada Tabel 2.

(9)

Tabel 2. Perbedaan pengasapan panas dan pengasapan dingin

Kriteria Pengasapan Panas Pengasapan Dingin Suhu pengasapan 70-90 oC Sekitar 30 oC

Lama pengasapan 4-5 Jam 5 Hari-2 minggu

Sumber asap/panas Langsung Tidak langsung Tekstur produk Lembek, berair, masak Keras, kering, mentah

Kadar air produk 60-70% 45-55%

Tujuan Untuk mendapat rasa dan aroma yang disukai

Mengawetkan produk Sumber: Nitibaskara (1988)

1.7 Komposisi dan Sifat Kimiawi asap

Dalam proses pengasapan ikan unsur yang paling berperan adalah yang dihasilkan dari bahan bakar yang digunakan pada proses pengasapan seperti kayu dan sabut kelapa. Asap yang dihasilkan terdiri dari uap dan partikel padatan yang berukuran sangat kecil. Kedua unsur itu mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dengan perbandingan yang berbeda. Asap mempunyai kandungan unsur kimia yaitu karbondioksida, fenol, asam formiat, alkohol, keton, asam asetat, aldehida dan air (BPPT, 2002).

Pengasapan membutuhkan bahan yang menghasilkan asap yang baik untuk mengawetkan ikan. Untuk menghasilkan asap, sebaiknya dipakai jenis kayu yang keras (non resinous) atau tempurung kelapa. Asap dari kayu yang lunak sering mengandung zat-zat yang menyebabkan bau kurang baik pada hasil asapan. Bila menggunakan kayu keras, maka bagian selulosanya akan terurai menjadi

(10)

senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Senyawa-senyawa-senyawa itu adalah alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik termasuk furfural, formaldehida, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet yang sudah umum dikenal. Bagian ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol, guaiacol, dan pyrogalol yang merupakan bagian dari 20 jenis senyawa-senyawa antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1992).

Warna ikan yang telah mengalami pengasapan berwarna kekuningan (keemasan) atau agak coklat. Warna tersebut terbentuk karena hasil proses persenyawaan reaksi kimia dari unsur fenol selama pengasapan dengan zat asam dari udara maupun unsur amonia dari tubuh ikan itu sendiri sehingga meningkatkan kadar zat asam di dalam lingkungan ruang pengasapan. Tingginya daya awet ikan yang diasap, diakibatkan oleh penyerapan komponen-komponen aldehida, fenol maupun asam yang dapat terurai menjadi zat-zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada tubuh ikan. Dalam hal ini tidak terlepas dari proses penanganan awal, sebelum dilakukan pengasapan seperti penyiangan, pemisahan tulang, penggaraman dan pemanasan yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri dan enzim dalam tubuh ikan (Sutoyo, 1987).

1.8 Proses Pembuatan Ikan Asap

Proses pembuatan ikan asap menurut Hildebrant (2003) terdiri dari beberapa tahap yaitu:

(11)

a. Persiapan ikan

Ikan yang harus disiapkan harus ikan yang segar atau ikan yang dibekukan setelah ditangkap dan harus dilelehkan (thawing) terlebih dahulu sebelum di asap. Ikan lalu di cuci dengan air bersih dan dibersihkan dari tulang dengan cara diiris (fillet) serta kulit dapat dibiarkan ataupun dihilangkan dari daging ikan.

b. Penggaraman

Tempat untuk menggarami ikan dapat berupa wadah gelas, plastik ataupun dari keramik asalkan bukan merupakan bahan metal/logam. Penggaraman dilakukan dalam kondisi dingin dan dipastikan semua ikan terendam dengan sempurna. Waktu yang digunakan untuk perendaman bervariasi mulai dari 30 menit sampai dengan 5 jam, tergantung dari jenis ikan dan beratnya.

c. Pengeringan

Setelah direndam dalam larutan garam, ikan dapat dicuci dengan air bersih dalam waktu yang singkat ataupun tidak perlu dicuci namun dengan konsekuensi produk akhir yang dihasilkan akan lebih asin. Pengeringan dilakukan dengan menempatkan ikan pada rak-rak bersusun dan jauhkan dari jangkauan serangga serta binatang penggangu lainnya. Waktu pengeringan yang dipakai adalah 1 jam. d. Pengasapan

Metode pengasapan yang dilakukan tergantung pada berbagai macam peralatan mengasap yang digunakan. Suhu yang digunakan untuk mengasap adalah ±90 oC dengan lama waktu yang bervariasi mulai dari 1 jam 25 menit sampai 3 jam

(12)

tergantung berat tubuh ikan yang diasap. Jika pengasapan dingin yang digunakan maka suhu diatur sekitar 15-30 oC(rata-rata 25 oC) selama 4-6 minggu. Pada pengasapan panas suhu berkisar 30-90 oC, apabila pengasapan panas dengan suhu 30-50 oC yang dilanjutkan dengan suhu pengasapan 50-80 oC.

1.9 Pengaruh pengasapan terhadap mutu ikan asap

Asap bersifat antioksidan dan efektif mencegah oksidasi udara terhadap lemak ikan, minyak ikan serta pada makanan yang diasap. Warna, aroma dan rasa yang lezat dari ikan yang diasap dapat berbeda-beda, tergantung jenis bahan bakar yang digunakan. Senyawa asam organik dalam asap akan memberikan warna pada makanan yang diasap. Formaldehida dan fenol akan membentuk lapisan damar pada bagian permukaan, sehingga tampak mengkilat (Tampubolon 1988).

Menurut Moeljanto (1992), pengaspan yang dilakukan memiliki pengaruh terhadap ikan yang diasapi, antara lain :

a. Daya simpan

Ikan menyerap zat-zat yang terkandung dalam asap seperti aldehida, fenol dan asam-asam. Zat-zat pengawet tersebut bersifat racun bagi bakteri, karena jumlah zat-zat pengawet tersebut sangat kecil maka daya awetnyapun terbatas. Oleh karena itu, pengasapan didahului dengan tahap-tahap lainnya.

b. Penampilan

Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya berwarna mengkilat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya reaksi kimia dari senyawa-senyawa dalam asap, yaitu fomaldehida

(13)

dari fenol yang akan menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan kulit ikan.

c. Perubahan warna

Warna daging ikan setelah diasap akan berubah menjadi kuning emas sampai kecoklat-coklatan. Warna ini dihasilkan oleh reaksi kimia fenol dengan O2(zat asam) dari udara.

d. Rasa sedap asam keasaman

Pengasapan menimbulkan rasa yang khas. Rasa ini dihasilkan oleh asam-asam dan fenol serta zat-zat lain pembantu. Dalam hal ini ketebalan asap yang terserap ikan akan menentukan rasa asap yang disesuaikan dengan selera konsumen, sehingga perlu ada keseimbangan antara rasa enak ikan asap dengan daya simpan (shelf life) dari ikan asap tersebut.

1.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan

Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengasapan harus diperhatikan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi:

(14)

Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan asap dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak digunakan di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang, ampas tebu, tempurung dan sabut kelapa.

2) Mutu dan volume asap

Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar. Volume asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran.

3) Suhu ruang pengasapan

Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan merata. Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh ikan akan menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air terhalang dan proses pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam daging ikan.

4) Kelembaban udara ruang pengasapan

Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pengasapan. Kelembaban udara ruang pengasapan yang rendah akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap, proses pengasapan

(15)

lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan dan ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90% akan memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70% banyak digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang maksimal dengan kejadian case harderning (pengerasan kulit) yang paling minimal.

5) Sirkulasi udara

Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan merata.

6) Lama pengasapan

Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur simpannya. Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan beberapa vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya nilai ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama pengasapan yang dilakukan.

Gambar

Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)  Sumber : Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)
Tabel  1.  Ciri-ciri  ikan  segar  yang  bermutu  tinggi  maupun  yang  bermutu  rendah  secara organoleptik
Tabel 2. Perbedaan pengasapan panas dan pengasapan dingin

Referensi

Dokumen terkait

olumsuz bir özelliktir 45. Çünkü bu tipteki sermayeyi ülke içine getiren birimler istedikleri anda piyasadan çekmekteler ve kazançları hangi ülkede daha fazla

Dalam penelitian ini korelasi pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara aspek kinerja dosen dalam mengajar berdasarkan hasil wawancara persepsi mahasiswa dengan aspek

Tepat waktu diartikan bahwa informasi harus disampaikan sedini mungkin agar dapat digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan untuk

Probolinggo Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2020, dan disahkannya Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran

(5) Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf e, identitas pasien dapat dibuka kepada

Dala m unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat fenomena dimana penutur akan merendahkan diri lewat bentuk ragam bahasanya. Penutur akan menggunakan pilihan kata/leksikon ngoko untuk

Udang windu yang diberi pakan dengan penambahan enzim bromelin sebesar 0,4%/kg pakan (C) memiliki nilai EPP tertinggi, hal ini diduga dosis tersebut paling

Cahaya Haramain Tour Umroh dan Haji Khusus merancang kegiatan strategi pemasaran islami dengan menggunakan bauran pemasaran ( marketing mix ) tidak hanya itu untuk