• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI MAKALAH. Comment YA TIDAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI MAKALAH. Comment YA TIDAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI MAKALAH

No. : AR016

Judul Makalah :

MAKNA DAN FILOSOFI RAGAM HIAS PADA RUMAH

TRADISIONAL MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN

TANAH DATAR

A. Objek Evaluasi

Comment YA TIDAK

1. Apakah sistematika pembahasan mengikuti format? 2. Apakah isi paper orisinal?

3. Apakah judul paper merepresentasikan isinya? 4. Apakah abstrak merefleksikan isi paper?

5. Apakah kata kunci menggambarkan skop penelitian?

6. Apakah metode penelitian atau pendektan pemecahan masalah disebutkan dengan jelas?

7. Apakah presentasi dan interpretasi data sudah valid dan layak?

8. Apakah penggunaan gambar dan tabel membantu penjelasan penelitian? 9. Apakah diskusi dan/atau analisa relevan dengan hasil penelitian? 10. Apakah referensi yang digunakan relevan?

Sgt Baik Baik Rata2 Buruk

11. Makna sumbangan bagi kemajuan ilmu 12. Peristilahan dan kebahasaan

B. Keputusan Reviewer Makalah:

i. Dapat langsung dipublikasi

Catatan: 1. ... 2. ... ii. Dapat dipublikasi dengan perbaikan minor

Catatan: 1. ... 2. ... iii. Dapat dipublikasi dengan perbaikan mayor

Catatan: 1. ... 2. ...

iv. Dikembalikan ke reviewer untuk re-evaluasi sesudah revisi Catatan: 1. ...

2. ...

v. Tidak layak dipublikasikan berdasarkan alasan dibawah ini Catatan: 1. ...

(2)

MAKNA DAN FILOSOFI RAGAM HIAS PADA RUMAH TRADISIONAL

MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN TANAH DATAR

ABSTRAK

Minangkabau sebagai perwujudan arsitektur vernakukular tradisional dalam bentuk bangunan rumah adat Minangkabau atau yang biasa disebut dengan Rumah Gadang. Rumah atau bangunan tradisional, tidak bisa dilihat hanya pada bangunan semata, karena dalam bangunan tradisional, terdapat tradisi dan budaya yang diwariskan secara turun temurun, terdapat relief hidup, dari sejarah dan tradisi yang mewakili “ideology” dari masyarakat pendukungnya. Rumah gadang, sebagai warisan budaya masyarakat minangkabau, juga mewarisi tradisi masyarakatnya, tercermin dalam komponen bangunannya, salah satu komponen yang penting dalam arsitektur rumah gadang yaitu ukiran yang memiliki ragam hias yang unik dan rumit. Ragam hias arsitektur minang tidak hanya ukiran tetapi pada komponen-komponen rumah gadang lainnya, seperti atap, badan dan kaki rumah gadang. Observasi makna ragam hias tradisional rumah gadang, dilakukan di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, yang mewakili orisinalitas Nagari Pariangan sebagai luhak asal etnis minangkabau. Observasi dilengkapi dengan interview dan studi pustaka sebagai pelengkap, dilakukan pada obyek Rumah Gadang Dato Maharaja Depang dan Rumah Gadang Ibu Elevian. Penelitian pada obyek dua rumah gadang, memperoleh hasil, terdapat 13 (tiga belas) macam ragam hias pada rumah gadang milik Dato Maharaja Depang dan ada4 (empat) jenis ragam hias pada kediaman Ibu Elevian. Jumlah dan ragam hias yang terdapat pada rumah gadang secara tidak langsung menunjukkan hirarkhi dalam masyarakat Nagari Pariangan, menguatkan status Dato Maharaja Depang sebagai pemuka adat nagari Pariangan.

Kata kunci: ragam hias, makna dan filosofis Pendahuluan

Masyarakat Minangkabau berlokasi di bagian barat pulau Sumatra, sebagian mendiami wilayah daerah pesisir baratSumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian barat daya. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh suku bangsa Minangkabau tersebut, sebagian besar menempati wilayah daratan. Karena itulah, Arsitektur Nusantara Minangkabau dikatakan sebagai arsitektur nusantara daratan. (Ninka, 2008)

Wilayah Minangkabau sebagai kesatuan suku atau etnis, tidaklah sebagaimana Propinsi Sumatera Barat saat ini, namun menempati cakupan yang jauh lebih kecil daripada yang ada sekarang (Agus 2011), dalam wilayah Minangkabau dikenal dengan Luhak Nan Tigo,

yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, danLuhak Limapuluh Kota. Ke tiga Luhak ini sering disebut dengan darek. Widya (2001) lebih jauh menjelaskan, pembagian tiga luhak ini berdasarkan periode pengembangan wilayah yang dilakukan nenek moyang masyarakat minangkabau, dan menjadikan gunung sebagai pembatas antara satu wilayah dengan wilayah lain, dijelaskan sebagaimana gambar berikut:

Gambar 1

Sketsa pola pembentukan wilayah luhak (Widya, 2001) Luhak Agam

(wilayah pengembangan

pertama)

Luhak Lima Puluh Kota (wilayah pengembangan

kedua)

Luhak Tanah Datar (wilayahasal masyarakat

(3)

Tatanan masyarakat Minangkabau hidup dalam suatu tatanan sosial berupa keluarga besar (paruik) yang berasal dari satu keturunan ninik, dimana setiap satu keturunan keluarga dipimpin oleh seorang mamak. Setiap keluarga mempunyai rumah gadang masing-masing, dimana didalamnya berlangsung aktifitas keluarga yang didominasi oleh pihak perempuan. Yang menempati rumah gadang tersebut ialah perempuan dan anak-anak, sedangkan yang laki-laki tinggal di surau untuk belajar mengaji dan menuntut ilmu (Navis, 1984).

Minangkabau memiliki perwujudan arsitektur vernakukular tradisional dalam bentuk bangunan antara lain: rumah pertemuan (balai adat), sarana ibadah (surau, masjid), dan rumah adat Minangkabau atau yang biasa disebut dengan Rumah Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang). Semua bangunan tersebut diidentikkan dengan bangunan yang didominasi material dari kayu sehingga suhu panas dari luar bangunan dapat direduksi sehingga kenyamanan termal dialam bangunan tetap terjaga.

Rumah adat minangkabau, disebut Rumah Gadang (besar) bukan semata secara fisik melainkan karena fungsinya selain sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran satu kaum dalam satu nagari, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.

Rumah adat minangkabau juga sering disebut sebagai rumah gonjong atau rumah bergonjong karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing dan menyerupai tanduk kerbau yang dibuat dari bahan ijuk. (Chandra, 2013)

Minangkabau, dalam tambo (cerita rakyat) merupakan suatu wilayah terdiri dari dua bagian dengan system pemerintahan yang berbeda yaitu luhak yang merupakan wilayah inti masyarakat minangkabau dan rantau yang merupakan wilayah pengembangan dari luhak.

Kedua system perwilayahan ini, terbagi atas beberapa teritori yang merupakan bagian dari luhak atau rantau yang disebut nagari (Widya, 2001).

Menurut Navis (1984) masyarakat Minangkabau hidup berkelompok bardasarkan keluaga besarnya (paruik) atau sering disebut suku,yaitu; Koto, Pilliang, Bodi dan Caniago, terdapat dua system hukum, yang disebut lareh, yaitu lareh Koto Pilliangdan lareh Bodi Caniago setiap suku memiliki bentuk rumah gadang yang khas dan bentuk yang ditampilkannya mampunyai ciri khas tertentu. Perbedaan ini diakibatkan perbedaan pola dan tatanan budaya yang dianut setiap suku berdasarkan keselarasan yang dianut (Widya, 2001).

Keselarasan Koto Pillian dan Bodi Caniago, lebih lanjut, menurut Usman (1995), dapat diceritakan, bahwa minangkabau dulunya merupakan satu kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja dan berpusat di Pariangan, raja ini mempunyai seorang panglima yang bernama Cati Bilang Pandai. Raja mempunyai seorang anak yang bernama Datuk Kutumanggungan dan setelah raja wafat, tampuk pimpinan diserahkan kepada Cati Bilang Pandai dan memperistri permaisurinya. Dari permaisuri ini Cati Bilang Pandai mempunyai anak yang diberi namaDatuk Perpatih Nan Sabatang. Ke dua anak ini nantinya berpisah dan memiliki daerah kekuasaan masing-masing dari kerajaan. Ke dua anak ini mempunyai karakter yang berbeda, yang satu demokrat dan satunya lagi aristokrat, dan akhirnya kelak memunculkan dua aliran politik yang ternyata mempengaruhi tatanan sosial budaya pengikutnya. Kedua aliran politik atau disebut keselarasan tersebut ialah:

1. Koto Piliang,dipimpin Datuk Ketumangungan, kepemimpinanya berdasarkan azas Aristokrat, dimana segala sesuatunya itu harus berdasarkan perintah pimpinan (top-down), terdapat tingkatan-tingkatan seperti kasta dalam masyarakatnya.

2. Bodi Caniago, dipimpin Datuk Perpatih Nan Sabatang, berdasarkan azas demokrat, dimana segala sesuatunya

(4)

dimusyawarahkan dulu untuk mencapai mufakat (bottom-up), tak terdapat lapisan-lapisan seperti kasta dalam masyarakat, karena memang semua kita mempunyai hak sama. Ada pendapat lain mengatakan, ada satu keselarasan lagi, yaitu keselarasan Lareh Nan Panjang yang berasal dari Pariangan. Analisa sementara kemungkinan keselarasan ini merupakan yang pertama, setelah sekian lama akhirnya keselarasan ini terbagi dua sebagaimana diuraikan di atas. Karena kerajaan yang pertama berpusat di Pariangan. Maka kerajaan Pariangan yang di Batusangkar, diperkirakan masih merupakan salah satu daerah otonomi dari kerajaan di Pariangan. Azas yang dipakai bukan seperti Koto Piliang dan Bodi Caniago, tetapi sepertinya merupakan gabungan kedua keselarasan tersebut. ini baru merupakan satu analisa berdasarkan yang dikisahkan dalam tambo.

Keselarasan Koto Piliang dan Bodi caniago, hingga sekarang masih mempengaruhi bentuk rumah adat minangkabau, dimana tiap-tiap elemen arsitekturalnya mempunyai perbedaan bentuk berdasarkan azas yang dipakainya. Perbedaan bentuk dan ragam arsitektural rumah gadang minangkabau keselarasan koto piliang dengan bodi caniago dapat kita lihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2

Perbedaan bentuk rumah adat, keselarasan koto piliang dengan bodi caniago

(http://theserafinaamelia.blogspot.co.id/) Rumah atau bangunan tradisional, tidak bisa dilihat hanya pada bangunan semata, karena dalam bangunan tradisional, terdapat tradisi dan budaya yang diwariskan secara turun temurun, terdapat relief hidup, dari sejarah dan tradisi yang mewakili “ideology” dari masyarakat pendukungnya. Rumah gadang, sebagai warisan budaya masyarakat minangkabau, juga mewarisi tradisi masyarakatnya, tercermin dalam komponen bangunannya, salah satu komponen yang penting dalam arsitektur rumah gadang yaitu ukiran yang memiliki ragam hias yang unik dan rumit. Ragam hias arsitektur minang tidak hanya ukiran tetapi pada komponen-komponen rumah gadang lainnya, seperti atap, badan dan kaki rumah gadang.

Sehubungan dengan itu, seni ukir tradisional Minangkabau merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang dipahatkan pada dinding rumah gadang. Seni ukir tersebut juga dinyatakan sebagai wahana komunikasi yang memuat berbagai tatanan sosial dan pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, semua jenis ukiran yang dipahatkan di Rumah Gadang menunjukkan unsur penting pembentuk budaya Minangkabau bercerminkan kepada apa yang ada di alam.

Ragam hias atau ornamen secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, dari kata ornere yang berarti kerja menghias dan ornamentum yang berarti hasil karya atau hiasan. Ragam hias pada dasarnya merupakan penghias yang dipadukan, sebagai media mempercantik atau mengagungkan suatu karya (Baidlowi & Daniyanto, 2003 dalam Nuralia 2017). Ragam hias mempunyai perlambang/simbolik dan sekaligus pembentukan jati diri. Ragam hias pada bangunan juga menjadi salah satu pembentuk karakter bangunan dan merupakan salah satu cara untuk mengetahui langgam atau gaya bangunan (Amiuza, 2006, hal. 1 – 22 dalam Nuralia 2017).

(5)

Penggunaan ragam hias disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan kedudukan sosial pemilik di dalam masyarakat. Kepemilikan awal menjadi salah satu faktor penentu keberadaan ragam hias. Ragam hias adalah salah satu elemen dalam dunia arsitektur, yang berhubungan dengan segi keindahan suatu bangunan, sebagai hasil karya seni. Akan tetapi, hal tersebut bukan seni secara umum karena berhubungan dengan fungsi dan kepentingan hidup sehari-hari (Soekiman, 2000, hal. 192 dalam Nuralia 2017). Menurut Marizar (1996, hal. 65), ruang bagian dalam dan ruang bagian luar merupakan komponen totalitas dari ruang arsitektural. Karakter ragam hias terlihat dari penggunaan motif, pola, bahan, dan warna rumah. Keindahan karya seni arsitektur dapat diamati pada gaya arsitektur, eksterior, dan interior (Pertiwi, Pangarsa, & Antariksa, 2009 dalam Nuralia 2017).

Ragam hias Minangkabau memiliki seni ukir hampir di seluruh muka bagian Rumah Gadang. Setiap ukiran membicarakan tentang kehidupan dan perkembangan seni ukirnya sejak dulu. Berkembangnya zaman membuat ukiran Rumah Gadang memiliki ratusan motif yang dibuat oleh para pengukir melalui penghayatan dan kreasi motif-motif rumah adat yang asli.

Minangkabau memiliki falsafah alam takambang jadi guru, cancang taserak jadi ukia, yang memiliki makna bahwa alam yang luas dapat dijadikan guru atau contoh/ teladan dan setiap cercahan pahatan akan menjadi elemen ukiran yang bersifat menghias. Pada dasarnya ukiran bangunan tradisional Minangkabau merupakan ragam hias yang mengisi bidang atau dinding yang umumnya terbuat dari papan kayu, yang terdapat pada dinding, pinggang tiang di tengah ruangan. (Chandra, 2013)

Ragam hias pada arsitektur minang dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan pola, nama, letak, warna, tata cara pembuatan dan komposisi.

elemen hias Minangkabau ditinjau berdasarkan pola:

Pola satu bentuk Pada satu bidang hanya terdapat satu macam unsur yang dapat diulang ataupun tidak diulang.

Pola satu arah Pola ini terdiri dari beberapa unsur yang disusun searah dari motif awal hingga akhir.

Pola berlawanan arah/silang

Terdiri dari beberapa macam unsur yang disusun secara silang dan terlihat tidak teratur seperti akar liar.

Pola

jalinan/anyaman

Berbeda dengan pola silang, pola anyaman tersusun secara rapih dan teratur. Pola ini terlihat seperti pola satu bentuk.

Pola bertingkat pola bertingkat menunjukkan sebuah hirarkhi dari susunan pola yang berjenjang dari pusat, menuju ke luar.

elemen hias Minangkabau ditinjau berdasarkanmotif:`

Ditinjau dari nama-nama motif ragam hias yang terdapat di Minangkabau, dapat dilihat bahwa motif-motif dibagi ke dalam tiga kelompok utama, yaitu:

a. Motif yang berasal dari tetumbuhan Motif tetumbuhan yang telah ditemukan mencapai 37 macam. Ukiran yang paling khas dan unik di Minangkabau terdapat pada kelompok ini, yaitu Siriah Gadang b. Motif yang berasal dari nama binatang.

Motif-motif binatang ragam hias minangkabau yang telah ditemukan mencapai 21 motif. Motif binatang ini diambil dari nama-nama binatang yang terdapat di lingkungan daerah Minangkabau. Pada motif tak terlihat bentuk-bentuk binatang, tetapi mirip

(6)

dengan motif yang berasal dari nama tetumbuhan.

c. Motif yang berasal dari nama benda (benda mati).

Nama motif berasal dari benda mati dan nama orang. Motif yang telah ditemuimencapai 31 motif.

elemen hias Minangkabau ditinjau berdasarkanletak

Letak elemen hias terdapat pada dinding, jendela atau pintu, tiang dan atap rumah gadang. Ukiran merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang, ada motif untuk bidang besar dan ada untuk bidang kecil.

Elemen hias Minangkabau berdasarkan warna

Ada tiga warna utama yang digunakan, sirah (merah tua kecoklatan), kuniang (kuning kunyit), dan hitam. Ketiga unsur warna ini melambangkan kaum (merah), adat (kuning) dan cerdik (hitam). Selain ketiga warna tersebut, terdapat warna putih sebagai penetral.

Makna tiga warna (merah, kuning dan hitam): 1) Tiga wilayah adat Minangkabau

Warna kuning, melambangkan Luhak Nan Tuo (Luhak yang Tua, yaitu daerah Tanah Datar). Warna merah, melambangkan Luhak Nan Tangah (Luhak yang Tengah, daerah Agam). Warna hitam, melambangkan Luhak nan Bungsu (Luhak yang Bungsu, yaitu daerah 50 Kota). 2) Tiga kekuatan masyarakat Minangkabau Warna kuning, melambangkan pengaruh yang tinggi dan berwibawa karena kecerdasan dan menunjukan kemenangan (Luhak nan Tuo). Warna merah, melambangkan Luhak Nan Tangah (Luhak yang Tengah, daerah Agam. Warna hitam, melambangkan kerelaan dan kesabaran dalam berusaha (Luhak nanbungsu). 3) Tiga pola kepemimpinan Minangkabau “Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin“, terdiri dari Niniak Mamak (penghulu adat di

dalam kaumnya), Alim Ulama (orang yang memiliki ilmu agama yang akan membimbing masyarakat mengenai agama), Cadiak Pandai (orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan dapat menyelesaikan masalah dengan cerdik serta menguasai undang-undang).

Tungku tigo sajarangan, maksudnya ketika memasak diperlukan tiga buah batu sebagai tungku untuk mengokohkan tempat kuali atau periuk. Begitu juga dengan kepemimpinan di minangkabau, ketiganya sebagai pilar penyangga masyarakat Minangkabau. Jika salah satunya hilang, maka akan terjadi kesenjangan. Tali Tigo Sapilin diibaratkan tiga utas tali yang dipilin menjadi satu,sehingga menjadi kuat. Tali Tigo Sapilin adalah tamsil pedoman ketiga kepemimpinan masyarakat, antara lain aturan adat, agama dan undang-undang.

Metode penelitian

Metode penelitian yang dilakukan, adalah dengan melakukan studi observasi lapangan dan interview pada narasumber kompeten, yang berada di lokasi observasi, untuk mendapatkan data, langsung dari lapangan, yaitu di Desa Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut.

Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang masalah dan mungkin petunjuk-petunjuk tentang cara pemecahannya. Jadi, jelas bahwa tujuan observasi adalah untuk memperoleh berbagai data konkret secara langsung di lapangan atau tempat penelitian.

(7)

Metode kedua yang dilakukan adalah dengan wawancara, Wawancara ini dilakukan dengan dominasi berupa tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis kepada narasumber langsung, yaitu pemilik rumah yang diobservasi, dalam hal ini yanitu rumah adat milik Dato Maharaja Depang dan rumah adat milik Ibu Elevian .wawancara dilakukan secara terfokus, yaitu, berlandaskan kepada tujuan penelitian yaitu mencari makna dari ragam hias yang ada di rumah narasumber.

Pada penelitian, melalui teknik wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan data primer, pelengkap atau sebagai kriterium. Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari wawancara merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian. Sebagai metode pelengkap, wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode observasi yang telah dilakukan, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang telah diperoleh sebelumnya.

Metode ketiga yang juga dilakukan, adalah dengan studi pustaka, yang berguna untuk memperkuat dan memperluas landasan berpikir sebelum observasi langsung ke lapangan dan melakukan suatu penelitian. Studi pustaka berguna untuk memberibekal pengetahuan yang cukup dengan permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai dari suatu penelitian. Studi pustaka yang diwujudkan dalam landasan teori dapat mendukung untuk menganalisis data yang telah diperoleh dan menyelesaikan permasalahan yang timbul sebagai acuan untuk menentukan tahapan pemecahan masalah. Ketiga metode yang dilakukan yaitu: observasi, wawancara dan studi pustaka, dilakukan secara berkesinambungan, dan dilakukan uji silang, sehingga saat ditemukan ketidak akuratan, bisa langsung dilakukan konfirmasi ke narasumber yang ada di lapangan.

Hasil dan pembahasan

Obyek 1, Rumah Dato Maharaja Depang Pariangan terdiri dari 6 Nagari dan 21 Jorong. Pariangan merupakan nagari di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi

Sumatera Barat. Posisi peta - 0.457575,100.493344. Nagari ini terletak di lereng Gunung Marapi. Menurut Tambo Minangkabau,Pariangan merupakan nagari tertua di ranah Minang.

Nagari ini termasuk yang terbaik dalam menjaga rumah adat tradisional yang disebut rumah gadang, sehingga hingga saat ini masih ditemuirumah gadang yang terawat dengan baik. Pada nagari ini juga masih dijumpai surau, yang masih menjadi tempat tinggal komunal untuk pria yang belum menikah. Obyek penelitian, yaitu rumah Dato Maharaja Depang dan Ibu Elevian, berada di Nagari Pariangan, Jorong Pariangan. Jorong Pariangan, memiliki luas wilayah 4,32 Ha, meliputi 5,65 % dari wilayah Kecamatan Pariangan.

Berdasarkan interview dengan aparat pemerintahan setempat, di Nagari Pariangan terdapat 25 rumah gadang yang yang satu sama lain berbeda, berdasarkan luas rumah atau jumlah ruang, dapat dibedakan dalam jumlah ruang, sesuai dengan jumlah keluarga, biasanyaruangan berjumlah ganjil 5, 7, 9, 15. Dalam pelaksanaan pembuatannya, rumah gadang biasanya hanya mengalami 2 masa perubahan yaitu saat pembangunan dan renovasi. Rumah Gadang hanya terdapat di beberapa tempat karena pembangunanya yang memakan biaya yang sangat mahal. Material yang digunakan dalam pembuatan rumah gadang adalah kayu yang cukup sulit didapat, selain itu banyaknya ritual yang menyertai dalam pelaksanaannya menjadikan Rumah Gadang yang hanya ada dibeberapa tempat. Rumah gadang menjadikan simbol kekeluargaan dan kebersamaan.

Berdasarkan wawancara, proses pembuatan motif dan ragam hias pada rumah gadang diberikan kepada ahli pembuatan ragam hias yang dipercayai oleh masing masing ketua adat. Orang yang dipercaya tersebut dapat berupa orang yang ahli pahat dan ahli filsafat makna ragam hias. Tidak banyak orang yang mengerti arti dari ragam hias tersebut dan tidak banyak

(8)

juga orang yang dapat memahat sesuai pakem yang benar.

Segala petuah pelaksanaan diberikan oleh tetua desa. Segala dekorasi atas ragam hias diberikan tanggung jawab secara penuh kepada pemahat dan ahli filosofi. Kemudian makna dan segala peletakan dibuat mengikuti pakem para leluhur sehingga segala makna yang baik diharapkan mengikuti kehidupan para tetua dan datuk yang akantinggal didalamnya.

Penggunaan ragam hias memiliki gambarmahluk hidup berupa bentuk tumbuhan dan hewan. Makna secara global memiliki arti dari kehidupan yaitu tumbuh yang berkembang sebagai mana tumbuhan tumbuh untuk kehidupan seluruh makluk hidup dibumi.

Segala fungsi dari ragam hias tersebut, menurut ahli pahat pada rumah gadang Datuk Maha Raja Depang bahwa ragam hias pada dasarnya memiliki fungsi sebagai penghias untuk kemegahan. Terlepas dari arti dan makna ornamen tersebut penggunaan ornamen dalam rumah gadang dapat menjadi aktualisasi dari pemilik rumah, menunjukkan struktur sosial, kedudukan dan ekonomi yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya.

Gambar 3

Rumah Dato Maharaja Depang

Makna elemen ragam hias pada bangunan Dato Maharaja Depang, dapat diringkas sebagaimana table berikut:

Tabel 1. Makna dan elemen ragam hias rumah Dato Maharaja Depang

Jenis ragam hias Makna

AKA CINO

SAGAGANG

Menggambarkan suatu ke dinamisan hidup yang gigih dan ulet dalam memenuhi kebutuhan hidup.

PESONG AIA BA BUIH Menggambarkan suatu pemikiran mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah dan melam-bangkan kehidupan yang dinamis dan tidak purus asa.

WAJIK

Kita sebagai manusia diharuskan untuk selalu introspeksi diri sendiri atas perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan. MAHKOTA BULANDO Mengindikasikan kede-katan hubungan antara Belanda dengan unsur pemimpin masyarakat adat dinagari.

SIRIAH GADANG Kehidupan tidak berjalan dengan baik tanpa adanya

keteraturan dan

keterpaduan antar berbagai unsur yang ada. REDEANG SUDUIK

ANTING-ANTING Melambangkan suku yang mendiami rumah gadang. Masyarakat tunduk terhadap aturan, tetapi tetap berpegang teguh kepada Allah SWT.

(9)

KUPANG-KUPANG "SI AWANG LABIAH” Kupang-kupang

diibaratkan orang semenda (sumando) yang datang dari luar untuk mengokohkan Kedudukan gadis dalam rumah gadang, bila sudah bersuami.

LABAH MANGIROK Memiliki makna daun dan bunga mengandung dua akar perkara lahirnya akar didalam hutan, batinnya akar dalam kepala MAHKOTA BULANDO Mengindikasikan kede-katan hubungan antara Belanda dengan unsur pemimpin masyarakat adat dinagari. SAIK AJIK/SAIK GALAMAI JO BUNGO MATAHARI Keterbukaan masyarakat Minangkabau baik dalam menerima perubahan mau-pun dalam memper-tanggung jawabkan segala perbuatan.

SAJAMBA MAKAN Melambangkan adanya aturan dalam melaksa-nakan suatu pekerjaan. CACANDU

MANYASOK BUNGO

Obyek 2, Rumah Ibu Elevian

Berbeda dengan rumah Dato Maharaja Depang, sebagai sesepuh Jorong Pariangan, rumah ibu Elevian tampak sebagaimana rumah wargabiasa, yang minim ornamen sehingga hanya kayu-kayu dan ornamen yang bisa ditempel dan bersifat berulang horizontal maupun vertikal.

Gambar 4 Rumah gadang Ibu Elevian

Rumah gadang milik Ibu Elvian dan Mamak Daniah dibangun sekitar tahun 1966. Rumah yang berada di dekat rumah dari Datuk Maha Raja Depang ini masih asli sampai saat ini karena tidak banyak perubahan dari saat di bangun.

Tampak bangunan Rumah Gadang tampak sederhana karena memiliki ragam hias yang minim. Terdapat banyak ornamen yang berulang dan dapat dikatakan hanya memiliki 1 ornamen dasar yaitu Bunga Teratai.

Arti dari Ornamen Bunga Teratai adalah mengajarkan bahwa kehidupan seseorang antara batin dan kelakuan harus seimbang. Kebaikan dan akhlak seseorang akan tercermin oleh perilaku sehari-hari orang tersebut. Motif ini terletak diatas kamar mamak Dania. Limpapeh bertafsirkan seorang wanita minangkabau yang mendiami rumah gadang, yaitu wanita yang berbudi, sopan santun, pandai menjaga diri serta berperan dalam pembinaan pendidikan anak. Terlihat bahwa rumah gadang pada warga biasa yang bukan golongan bangsawan, memiliki ornamen dan ragam hias yang terbatas dan penting saja, dan dapat dikatakan sederhana. Beberapa ornamen hanya digunakan sebagai penanda ruangan dan beberapa ornamen Eksterior lain untuk keindahan. Terlepas dari arti dan maknanya bahwa Ragam hias dapat dikatakan sebagai tanda kemegahan, semakin banyak dan kompleks ragam hias dalam suatu rumah gadang maka akan menjadi megah rumah tersebut dan juga sebagai penunjuk status sosial seseorang di daerah tersebut.

Tabel 2. Makna dan elemen ragam hias rumahIbu Elevian

Jenis Ragam Hias Makna

BUNGO TERATAI

DALAM AIA

Mengajarkan bahwa dalam kehidupan sese-orang antara batin dan kelakuanharus

(10)

seim-bang. Kebaikan dan akhlakseseorang akan tercermin oleh kelakuan sehari-hari orang tersebut.

TAMPUAK MANGGIH Kita sebagai manusia diharuskan untukselalu introspeksi diri sendiri atasperbuatan-perbuatan yang tidakberkenan. BUNGA TERATAI Mengajarkan bahwa dalam kehidupan sese-orang antara batin dan kelakuanharus seim-bang. Kebaikan dan akhlakseseorang akan tercermin oleh kelakuan sehari-hari orang tersebut. LIMPAPEH seorang wanita minangkabau yang mendiami rumah

gadang, yaitu wanita yang berbudi, sopan santun, pandai menjaga diri serta berperan dalam pembinaan pendidikan anak.

Kesimpulan

Setiap daerah memiliki keunikan yang berbeda bukan hanya dari adat istiadat, bahasa , maupun rumah adatnya, bahkan ukiran setiap daerah memiliki keunikan tersendiri. Khususnya untuk wilayah Sumatera Barat. Setiap Daerah atau Nagari memiliki nama dan bentuk ragam hias yang sama, tetapi filosofi ragam hias berbeda. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan secara tertulis baik secara adat istiadat, sehingga terjadi pergeseran makna dari generasi ke generasi karena hanya di ceritakan secara turun temurun.

Nagari Pariangan pada obyek yang diteliti, menunjukkan bahwa rumah adat milik golongan bangsawan, memiliki ornament ragam hias yang lebih beragam (14 jenis ragam hias) dibandingkan dengan rumah adat milik warga biasa (hanya 4 jenis ragam hias).

Saat ini rumah adat tradisional di wilayah Sumatera Barat semakin sedikit karena kurangnya minat masyarakat untuk

mempertahankan budaya tanah lahir mereka. Pengrajin ragam hias rumah adat, yang semakin terbatas juga menjadi tantangan tersendiri, perlu didokumentasikan secara khusus jenis-jenis ragam hias pada rumah adat minang, agar kekayaan budaya nusantara tetap terjaga lestari.

Daftar pustaka

Amiuza. (2006). Tipologi Rumah Tinggal Administratur P.G. Kebon Agung di Kabupaten Malang. Ruas, 1-22.

Baidlowi, H., & Daniyanto, H. (2003). Arsitektur Permukiman Surabaya. Surabaya: Karya Harapan.

Komputer, Universitas. (2013). Ukiran Tradisional Minangkabau Pada Rumah Gadang.

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/495/jb ptunikompp-gdl-zodiomeker-24713-2-babii.pdf

Marizar. (1996). Interior dan Lingkungan Hidup Serta Seni Dekorasi dan Interior Bangunan dalam Upaya Membangun Citra Arsitektur, Desain Interior, dan Seni Rupa Indonesia. Jakarta: Djambatan Martamin, Mardjani & Amir Brenson . (1976)

Ragam Ukiran Rumah Gadang Minangkabau . Padang. IKIP Padang Jurusan Sejarah FKPS.

Nuralia, Lia (2017)Arti Dan Fungsi Ragam Hias Pada Rumah Tuan Tanah Perkebunan Tambun, Kabupaten Bekasi, Jurnal Purbawidya Vol. 6, No. 1, Juni 2017: 43 – 59

Soekiman, D. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Jogja: Bentang Budaya.

Syamsidar (ed).(1991) Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Dep.P & K Dirjen kebudayaan: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.

Usman, Ibenzani, (1984), Seni Ukir Tradisional Minangkabau, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Widya, Darma, 2001, Kajian Arsitektur Rumah

(11)

Panyalaian Kabupaten Tanah Datar. Tesis Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang. Artikel dari internet:

Agus, Elfida, Kajian Topologi, Morfologi Dan Tipologi Pada Rumah Gadang

Minangkabau, 2011

(https://mazeka82.files.wordpress.com/20 11/04/icci2006s5pp04.pdf) diakses 20 November 2017

Arch, Ninka. Tugas Besar Arsitektur

Nusantara. 2008

(https://ninkarch.files.wordpress.com/2 008/11/ars-nus-tgs-besar.pdf) diakses Oktober 2016.

Chandra, Dodi. 2013. Motif Hias Sirih Gadang Pada Rumah Gadang.

(https://www.kompasiana.com/dodicha ndra/motif-hias-sirih-gadang-pada-

ukiran-rumah-gadang_552bc4236ea834a8078b45d9) diakses pada 1 Oktober 2016

Difference between Minangkabau in

Sumatera and Negeri Sembilan (PART 2), 2016

(http://theserafinaamelia.blogspot.co.id /) diakses pada 7 Desember 2017 Pertiwi, P. A., Pangarsa, G. W., & Antariksa.

(2009, Maret). Tipologi Ragam Hias Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto-Lawang.

(https://www.academia.edu/7024069/Ti pologi_Ragam_Hias_Rumah_Tinggal_ Kolonial_Belanda_di_Ngamarto-Lawang) diakses pada 9 Oktober 2014

Gambar

Tabel  1.  Makna  dan  elemen  ragam  hias  rumah Dato Maharaja Depang
Gambar 4  Rumah gadang Ibu Elevian

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kesan sumber stres kerja ke atas kesejahteraan psikologi anggota penguat kuasa KPDNHEP dikaji dengan lebih mendalam, sumber stres kerja yang berkaitan dengan tekanan kerja

He will also send all kinds of diseases and epidemics that are not mentioned in this book of God’s laws and teaching, and you will be destroyed... The heavenly powers bow down

Selain bagi hasil pajak yang tidak kalah penting adalah Pendapatan asli daerah yang berpengaruh positif terhadap belanja rutin .hasil penelitian ini sesuai dengan

Sedangkan pada pencanangan RB Gelombang ke-2 (2009-2014), yang bukan hanya bersifat instansional tapi menjangkau K/L secara nasional, maka peran Kementerian PAN dan RB semakin

Karet pegangan setang (grip handle) sering mengalami kerusakan, yaitu akibat pengaruh cuaca atau pemakaian. Penelitian ini menggunakan bahan pelunak epoksi minyak

subyektif, persepsi terhadap pengendalian, niat dan kepatuhan dalam pelaksanaan SOP antara Puskesmas Ketapang dengan Puskesmas Omben.. 3. Sikap, norma subjektif dan

UPAYA BARACK OBAMA DALAM MENGATASI CITRA BURUK AMERIKA SERIKAT DI DUNIA ISLAM AKIBAT ISLAMOPHOBIA DI..

Smear layer yang terdapat pada saluran akar akan menghambat penetrasi medikamen intrakanal ke dalam sistem saluran akar yang tidak teratur termasuk ke dalam tubulus dentin,