• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MENURUT KONSEP AL-GHAZALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MENURUT KONSEP AL-GHAZALI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MENURUT

KONSEP AL-GHAZALI

Azhar

Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Abstract

Al-Ghazali is not only known as a philosopher, but also as a former of Islamic education. According to him, the teaching concept must be based on students’ integrity which is taught through systematic teaching methods which are applied continuously. The Islamic teaching aims at making everyone closer to Allah in order to achieve a happy life in this world and in the hereafter.

Abstrak

Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai seorang filosof, tetapi juga sebagai pakar pendidikan Islam. Menurutnya, konsep mengajar harus berdasarkan integritas murid yang diajarkan melalui metode pembelajaran yang sistematis dan dilakukan secara berkesinambungan. Ajaran Islam bertujuan membuat seseorang lebih dekat kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kata Kunci: pendidikan Islam, Al-Ghazali

PENDAHULUAN Al-Ghazali1

(1059-1111 M), selain dikenal sebagai seorang filosof dan sufi, juga dapat digolongkan sebagai tokoh dan pemikir pendidikan Islam. Ketokohan al-Ghazali sebagai pemikir pendidikan, tidak hanya dilihat dari perjalanan pengalaman hidupnya, tetapi juga dari berbagai karya tulis tentang konsep dan pemikiran pendidikan. Salah satu konsep atau gagasan yang perlu dikaji adalah konsep pembelajaran agama Islam.

1Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang populer dengan sebutan “Al Ghazali”, dan diberi gelar hujjah al-Islam. Beliau dilahirkan di Gazalen, suatu desa dekat

Thus di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 450 H./ 1059 M. Beliau wafat pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H. (18 Desember 1111 M.). Lihat: Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Semarang:

(2)

Dewasa ini, istilah pembelajaran telah banyak dibahas oleh para pakar pendidikan modern, antara lain Mulyani Sumantri yang dikutip dari Jones, yaitu: suatu alat atau proses yang dilakukan para guru atau pengajar untuk membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar.2

Demikian juga Nana Sudjana mengatakan bahwa pembelajaran adalah proses yang dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan kegiatan belajar siswa yang akan menghasilkan perubahan tingkah laku.3

Ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pembelajaran, yaitu: tujuan, isi atau bahan, metode dan alat dan penilaian. Keempat unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tujuan akan mempengaruhi bahan, metode dan penilaian. Bahan akan mempengaruhi metode dan penilaian. Psenilaian akan mempengaruhi tujuan. Hubungan keempat unsur di atas digambarkan dalam bagan berikut ini:

Bagan 1. Keterkaitan antara empat aspek dalam pembelajaran.

Pembelajaran seperti di atas, tampaknya belum begitu populer pada masa al-Ghazali, terutama unsure-unsur yang terkandung di dalamnya, hanya masih terdapat dalam berbagai karya tulisnya. Oleh karena itu untuk menemukan konsep-konsep penting mengenai pembelajaran perlu dikaji beberapa ide, gagasan dan pikiran yang telah dituangkan oleh al-Ghazali dalam berbagai karya tulisnya. Hal ini dianggap penting dalam rangka pengembangan khazanah ilmu pengetahuan klasik ditengah pencaturan pengetahuan modern. Di samping itu kajian ini dianggap penting, mengingat orientasi pengembangan pembelajaran di tanah air dewasa ini lebih mengacu kepada konsep-konsep Barat.

2 Mulyani Sumantri, Pembelajaran dan Pengajaran, Proyek Pengembangan LPTK, Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1988, hal. 95.

3 Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, hal. 7.

Tujuan

Bahan

Penilaian Metode

(3)

Kajian tentang konsep pembelajaran menurut al-Ghazali ini hanya difokuskan pada tiga hal, yaitu: (1) tujuan pembelajaran; (2) materi pembelajaran; (3) metode pembelajaran. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan (library research). Data diperoleh dengan menela‘ah buku, jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain, terutama buku karangan al-Ghazali. Setelah data terkumpul, dinalisis dengan menggunakan analisis historis.

Konsep Pembelajaran

Sebelum membahas tentang pemikiran al-Ghazali tentang konsep pembelajaran, terlebih dahulu perlu membahas tentang kondisi dan situasi lembaga pendidikan pada masa itu (zaman klasik). Hal ini diperlukan untuk melihat pelaksanaan pendidikan di lembaga-lembaga tersebut. Pada masa itu telah dikenal beberapa jenis dan jenjang lembaga pendidikan, seperti: kuttab, masjid,

madrasah dan lembaga-lembaga tertentu sebagai tempat pendidikan, seperti:

perpustakaan, laboratorium, rumah sakit dan sebagainya.4

Kuttab adalah sejenis lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan

al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam. Ada juga kuttab yang mengajarkan pelajaran menulis, membaca, puisi, al-Qur’an, gramatika bahasa Arab dan matematika.5

Hal ini menunjukkan tidak adanya kesamaan dalam lembaga ini dalam mengajarkan materi pelajaran. Akan tetapi lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar, dan siswa yang masuk lembaga ini pada usia lima tahun. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Ibn al-Jawzi bahwa ia memulai pendidikan kuttab pada usia lima tahun, akan tetapi banyak diantara teman sekelasnya yang lebih tua dari dia.6

Masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai

lembaga pendidikan. Pada masjid terdapat pendidikan dalam bertuk halaqah.

Halaqah adalah bentuk kegiatan pendidikan yang diberikan oleh syaikh yang

biasanya duduk didekat dinding atau pilar masjid, sementara mahasiswa duduk

4 Ahmad Salabi, History of Muslim Education, Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954, hal. 16

5 Charles M. Stanton, Higher Learning in Islam, Maryland: Rowman & Little field, 1990, hal. 15.

6 Ibn al-Jawzi, Laftat al-Kabad ila Nasihat al-Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987, hal. 35-36.

(4)

didepannya membentuk setengah lingkaran.7

Masjid melaksanakan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bidang kajian yang dibahas dalam halaqah tidak terbatas pada bidang-bidang kajian keagamaan saja, tetapi sangat bervariasi, seperti al-Qur’an, hadith, tafsir, fiqh, bahasa Arab, sastra, astronomi, ilmu kedokteran dan sebagainya.8

Madrasah merupakan lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Sebagai layaknya sebuah lembaga pendidikan, maka madrasah tidak hanya mengajarkan satu bidang kajian saja. Akan tetapi yang menjadi kajian madrasah adalah ilmu-ilmu keagamaan, seperti: al-Qur’an, hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, ‘ilmu-ilmu kalam dan lain-lain. Sedangkan ilmu pengetahuan umum secara sepesialisasi, seperti kajian filsafat, kedokteran, astronomi dan lain-lain diajarkan pada sekolah khusus.9

Lembaga-lembaga pendidikan lain seperti laboratorium, perpustakaan dan rumah sakit melaksanakan pendidikan dengan kajian spesialisasi pada bidang tertentu yang lebih spesifik dengan kelembagaannya. Mahasiswa umumnya berasal dari orang-orang yang berkeinginan untuk memperdalam bidang kajian tertentu.

Uraian di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan pendidikan di berbagai lembaga pendidikan pada masa al-Ghazali telah diatur sedemikian rupa, sehingga telah mengandung komponen-komponen pembelajaran yang berkembang selama ini, seperti: tujuan, materi, dan metode. Komponen tersebut dapat diuraikan berikut ini:

Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran merupakan implementasi dan penjabaran dari tujuan pendidikan.Tujuan pembelajaran dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu tujuan dari program pendidikan dan pengajaran yang harus ditempuh oleh anak semasa hidupnya, dan dapat pula menyangkut lingkup yang sempit, seperti tujuan program pengajaran satu unit pelajaran.

7 Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with an

Introduction to Medival Muslim Education, Boulder: The University of Colorado Press, 1964, hal.

45.

8 Ahmad Salabi, History of Muslim …., hal. 219.

9 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga

Pendidikan, Bandung: Mizan, 1994, hal. 79-87.

10Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum …., hal. 13-14.

(5)

Begitu juga halnya dengan tujuan pembelajaran pendidikan Islam merupakan implementasi dari tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali ialah mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan kebahagiaan dunia dan akhirat.10

Rumusan tujuan ini merupakan tujuan yang harus dipegang dalam merumuskan tujuan pembelajaran pada setiap jenjang dan lingkup pendidikan. Untuk itu setiap rumusan tujuan pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek untuk kepentingan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Tujuan di atas dapat dicapai dengan terwujudnya kesempurnaan insani. Manusia akan sampai pada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan terwujudnya keutamaan-keutamaan, yaitu: keutamaan akhirat, jiwa, badan, luar dan tawfiq. Keutamaan jiwa meliputi keutamaan ilmu dan kemampuan berpikir. Keutamaan badan meliputi terbentuknya kesehatan, kekuatan, estetika dan usia yang panjang. Keutamaan luar meliputi harta, kehormatan, kedudukan dan keturunan yang baik. Keutamaan tawfiq berkaitan dengan mendapatkan hidayah dari Allah yang berbentuk kebaikan hidup di dunia ini.11

Menurut al- Ghazali, di antara keutamaan di atas yang menjadi tujuan pokok yang perlu dituangkan dalam konsep pembelajaran pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah keutamaan akhirat. Untuk mencapai keutamaan akhirat tersebut diperlukan keutamaan-keutamaan lainnya, terutama keutamaan jiwa, karena dalam keutamaan jiwa itu akan melahirkan akal dengan cara menguasai ilmu atau hikmah.12

Menurut al-Ghazali menguasai ilmu saja tidak cukup, ia perlu diamalkan, karena ilmu yang tidak disertai dengan amalan itu namanya gila, dan

12 Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal..., hal. 71.

13Al- Ghazali, Ayyuha al-Walad, Beirut: Al-Lajnah al-Dawliyyah li al-tarjamah al-Rawai’, 1959, hal. 8.

14Domain kognitif berkenaan dengan pengenalan dan pemahaman pengetahuan serta perkembangan kecakapan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam minat, sikap, nilai-nilai, perkembangan apresiasi dan kemampuan menyesuaikan diri. Domain psikomotor berkenaan dengan ketrampilan-ketrampilan atau kemampuan kerja dan ketrampilan manipulatif. Lihat: Ivon K. Davies, Objectives in Curriculum

Design, London: Mc. Graw-Hill Book Company, 1980, hal. 147.

(6)

tidak akan dapat menjauhkan maksiat di dunia, sedangkan Amal tanpa ilmu akan sia-sia.13

Jika dicermati pemikiran al-Ghazali tentang tujuan pendidikan di atas mengandung domain kognitif, afektif dan psikomotor14

. Dari itu dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam konsep pembelajaran al-Ghazali menghendaki terwujudnya tiga domain tersebut. Meskipun al-Ghazali tidak secara tegas menyebutkan ketiga domain tersebut dalam rumusan tujuan, tetapi al-Ghazali memberi penekanan tentang perlunya ilmu pengetahuan dan pengamalannya. 15

Hal ini terlihat jelas pada materi pembelajaran yang ia kemukakan yang harus dikuasai oleh setiap individu atau peserta didik dalam proses pendidikan. Dan dalam rumusan materi tersebut ia tidak hanya menawarkan mata pelajaran yang menekankan keilmuan, tetapi juga mata pelajaran yang menekankan pada pembinaan sikap dan keterampilan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali menghendaki agar tujuan pembelajaran diarahkan untuk terbinanya domain afektif, kognitif dan psikomotor dalam bentuk terwujudnya keutamaan pribadi yang meliputi jiwa, badan, luar dan tawfiq. Semua itu pada gilirannya akan mewujudkan kedekatan diri kepada Allah Swt dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Materi Pembelajaran

Untuk mencapai tujuan diperlukan seperangkat ilmu pengetahuan yang harus diberikan kepada peserta didik. Ilmu pengetahuan itu dikembangkan berdasarkan rumusan tujuan yang ada. Untuk itu rumusan tujuan harus dapat memberikan patokan untuk menentukan keluasan cakupan materi pelajaran yang harus dimasukkan sebagai isi pembelajaran. Jika al-Ghazali menetapkan kedekatan diri kepada Allah dan kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai rumusan tujuan pokok, maka materi pelajaran yang diberikan dalam pembelajaran harus mengarah kepada sasaran pokok tersebut.

(7)

Untuk terwujudnya sasaran tersebut, maka al-Ghazali sesuai dengan pembagian ilmu pengetahuan, menitik beratkan ilmu syar‘iyyah sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu, baik yang bersifat fardu ‘ayn maupun fardu

kifayah. Di samping itu sebagai penunjang diajarkan ilmu pengetahuan ghayr syar‘iyyah, baik yang bersifat fardu kifayah maupun ghayr fardu kifayah.

Meskipun al-Ghazali tidak mengemukakan secara tegas tentang materi pembelajaran yang harus diberikan dalam proses pendidikan, namun dalam Ihya’

‘Ulum al-Din menjelaskan secara panjang lebar tentang ilmu pengetahuan atau

mata pelajaran yang dapat diberikan dalam proses pendidikan. Dari itu dapat diketahui bahwa materi pengetahuan itulah yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran pendidikan Islam. Untuk lebih jelas tentang materi pembelajaran menurut konsep al-Ghazali tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama: ilmu pengetahuan syar‘iyyah ini dibagi kepada ilmu pengetahuan

yang bersifat fardu ‘ayn dan fardu kifayah. Ilmu pengetahuan yang bersifat fardu

‘ayn adalah ilmu pengetahuan yang wajib diberikan atau diterima oleh setiap

peserta didik dalam proses pendidikan. Ilmu pengetahuan ini meliputi: (1) sesuatu yang harus diucapkan/dikerjakan oleh orang Islam, yaitu: syahadat, salat, puasa, zakat dan haji; (2) ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang wajib dipercaya, seperti iman kepada Allah, malaikat, para nabi dan rasul, kitab, iman kepada yang ghaib dan sebagainya; (3) ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang dibolehkan dan diharamkan.

Ilmu pengetahuan syar‘iyyah yang bersifat fardu kifayah adalah ilmu pengetahuan yang wajib diberikan atau dipelajari jika tidak ada satu orangpun yang mempelajarinya. Dengan istilah lain ilmu pengetahuan ini adalah ilmu yang wajib diberikan atau dipelajari minimal satu orang dalam suatu kelompok masyarakat. Ilmu pengetahuan ini meliputi:

(1) ilmu pengetahuan yang bersifat pokok (usul), terdiri dari: al-Qur’an, sunnah rasul, ijma’ al-ummah (pendapat kolektif), dan ijma’ al-sahabah (pendapat para sahabat; (2) ilmu yang bersifat cabang (furu‘), terdiri dari: ilmu yang berhubungan dengan kepentingan dunia, yaitu fiqh dan ilmu yang berhubungan dengan kepentingan akhirat, yaitu akhlak; dan (3) ilmu yang bersifat sebagai alat dasar yang harus dikuasai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat

(8)

pokok yang disebut dengan ‘ilm al-muqaddimah, terdiri dari: membaca, menulis, dan ilmu kebahasaan.

Demikian juga, al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada ilmu pengetahuan yang bersifat pelengkap bagi ilmu pengetahuan pokok (‘ilmu

mutammimah). Ilmu ini terdiri dari: (a) ilmu yang menunjang penguasaan

Qur’an, seperti ilmu qira’a’t, tafsir dan berbagai cabang pembahasan ‘ulum

Qur’an ; (b) ilmu yang menunjang penguasaan hadits nabi, seperti ‘ilm rijal al-hadith, ‘ilm asma’ al-rijal, tabaqat ar-ruwah, dan berbagai aspek pembahasan ‘ulum al-hadith; (c) ilmu yang menunjang pemahaman hukum Islam, seperti ‘ulum al-fiqh

dan usul fiqh; dan (d) ilmu sejarah (tarikh).

Kedua: ilmu ghayr syar‘iyyah adalah ilmu pengetahuan yang merupakan

produk akal (al-‘ulum al-‘aqliyyah). Ilmu ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: (1)

‘Ilmu fardu al-kifayah, yang meliputi: (a) ilmu yang berkaitan dengan kehidupan

dunia, seperti: ilmu pertanian untuk pangan, pertekstilan untuk sandang, ilmu teknik pertukangan dan perumahan untuk papan, ilmu politik untuk mengatur kehidupan masyarakat dan negara, ilmu kedoteran, dan ilmu hitung/ matematika; (b) ilmu penunjang yang berkaitan dengan kehidupan dunia, seperti: ilmu tentang perisdustrian pupuk untuk melayani pertanian, ilmu tentang industri pemintalan kapas untuk menunjang pertekstilan, dan ilmu yang menunjang perumahan, politik dan lain-lain; (c) ilmu pelengkap bagi keahlian pokok, seperti: ilmu tentang masak memasak, tata busana, teknik sispil dan arsistektur; (2) ilmu pengetahuan yang dianjurkan, tetapi tidak termasuk fardu kifayah; ghayr syar‘iyyah yang bersifat

fardu kifayah. Ilmu pengetahuan ini merupakan pendalaman dan pengembangan

dari semua ilmu ghayr syar‘iyyah dalam bentuk spesialisasi, seperti: spesialisasi dalam bidang kedokteran, matematika, teknik, perindustrian dan lain-lain; dan (3) Ilmu yang dibolehkan (mubah), yaitu ilmu yang bertujuan meningkatkan sifat keutamaan dan akhlak yang mulia, seperti: ilmu budaya, sastra dan syair.16

Di samping itu ada juga ilmu pengetahuan yang digolongkan al-Ghazali sebagai ilmu tercela adalah ilmu yang dapat merusak dan menyesatkan manusia dari tuntunan agama. Ilmu ini tidak boleh dimasukkan dalam pembelajaran atau

(9)

diajarkan seperti: ilmu sihir, guna-guna, dan lain-lain, karena ilmu ini dapat mendatangkan kekufuran dan kemudharatan bagi pemakainya maupun bagi orang lain. 17

Metode Pembelajaran

Jika dilihat kepada pengaturan dan penyusunan materi pelajaran, nampaknya al- Ghazali menggunakan sekuens hirarki belajar, yaitu penyusunan materi pelajaran berdasarkan materi yang pertama diajarkan, berturut-turut sampai dengan materi yang terakhir. Materi pelajaran yang pertama diajarkan adalah ilmu pengetahuan fardu ‘ayn, dilanjutkan dengan ilmu pengetahuan fardu kifayah, ilmu pengetahuan yang dianjurkan dan akhirnya diajarkan ilmu pengetahuan yang dibolehkan.

Dalam penjabaran setiap mata pelajaran, al- Ghazali menghendaki agar materi pembelajaran dirumuskan dengan memperhatikan tingkat kemampuan anak dengan mengacu kepada tingkat perkembangan intelektual anak. Hal ini didasari bahwa bayi tidak akan dapat menyerap pengetahuan balita, balita tidak akan dapat menyerap pengetahuan anak-anak, dan anak-anak tidak akan dapat menyerap pengetahuan orang dewasa.18

Di samping itu al- Ghazali menyadari bahwa setiap individu memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Ada yang memiliki tingkat para nabi dan wali, orang-orang jenius dan manusia biasa. Oleh karena itu dalam penyusunan materi harus memperhatikan perbedaan individual ini. Sebagai contoh dijelaskan dalam

munqiz, bahwa pemikiran filsafat tidak mudah dikuasai oleh setiap orang. Ia

mengumpamakan dengan tukang ular tidak boleh mengajarkan kemampuan memegang ular kepada anak-anak yang masih kecil.19

Hal ini disebabkan anak kecil belum mampu untuk menguasai kemampuan itu. Dari contoh itu dapat dipahami bahwa al- Ghazali menghendaki agar materi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak.

Demikian juga dari klasifikasi ilmu yang dikemukakan di atas, tampaknya al- Ghazali mengutamakan ilmu pengetahuan fardu ‘ayn, karena hal itu merupakan

17 Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum …, hal. 17.

18Ahmad Salabi, Mawsu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarat al-Islamiyyah, Juz III, Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1978, hal. 8.

(10)

kewajiban pokok bagi setiap manusia. Karena itu ilmu yang berkenaan dengan kewajiban pribadi ini merupakan ilmu yang pertama sekali harus diperhatikan dan diajarkan kepada setiap peserta didik, dan diberikan pada setiap jenjang pendidikan.

Klasifikasi ilmu berikutnya adalah ilmu fardu kifayah, dan yang paling utama diperhatikan dari kelompok ilmu ini adalah ilmu fardu kifayah syar‘iyyah, karena merupakan penunjang bagi terlaksananya ajaran agama dalam kehidupan individu. Kelompok ilmu ini terdiri dari ‘ilm usul, ‘ilm furu‘, ‘ilm muqaddimah dan ‘ilm

al-mutammimah.

Uraian di atas menunjukkan bahwa al- Ghazali tampaknya mengarah kepada bentuk metode pembelajaran didasarkan pada hirarkhi materi yang diajarkan sesuai kemampuan peserta didik . Oleh karena metode pembelajaran yang ia kembangkan core curriculum (pembelajaran inti). Bentuk pembelajaran ini dikembangkan dengan memilih mata pelajaran tertentu sebagai inti (core), sedangkan mata pelajaran lainnya dikembangkan di sekitar core tesebut atau sebagai pendukung.

Ada beberapa metode pelaksanaan pembelajaran yang dianggap penting yang berkaitan dengan kosep pembelajaran tersebut, yaitu:

Pertama: pelaksanaan pembelajaran dilakukan melalui jalur ilmu mukasyafah dan jalur mu’amalah.20

Jalur mukasyafah dilakukan dalam bentu

khalwah atau mengasingkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan

jalur mu’amalah dilakukan melalui pendidikan atau mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari;

Kedua: al-Ghazali mengehendaki bidang ilmu syar‘iyyah fardhu ‘ayn

dijadikan sebagai fokus dalam pengembangan pembelajaran lainnya, sehingga pengembangan kajian ilmu lainnya tidak keluar dari tuntunan syara’ (agama). Untuk itu bidang ini harus ditempuh oleh setiap peserta didik, ditambah dengan ilmu muqaddimah sebagai ilmu alat. Sedangkan ilmu lain dapat dipilih oleh peserta didik, sesuai dengan keinginan dan bakat masing-masing;

20 Al-Ghazali, Mukasyafat Qulub Muqarabah min ‘Alam Ghuyub, Kairo: Dar al-Sya’b, t.t, hal. 8.

(11)

Ketiga: dalam pelaksanaan pembelajaran al- Ghazali memisahkan dalam tiga

bidang keilmuan, yaitu bidang ilmu syar‘iyyah (keagamaan), bidang ilmu ghayr

syar‘iyyah (diwakili oleh ilmu-ilmu klasik), dan ilmu muqaddimah (ilmu alat). Ilmu

keagamaan mencakup: al-Qur’an, hadith tafsir, fiqh, usul fiqh, ‘ilmu kalam dan disiplin ilmu lain yang tergolong dalam kelompok ini. Ilmu ghayr syar‘iyyah mencakup: filsafat, kedokteran, teknik, astronomi, ilmu lam dan lain-lain. Sedangkan ilmu muqaddimah atau ilmu alat mencakup ilmu bahasa dan sastra;21

Keempat: dalam pelaksanaan pembelajaran, ilmu pengetahuan diajarkan

oleh ahlinya. Ilmu keagamaan diberikan oleh syaikh atau mudarris, ilmu alat diajarkan oleh nahwi (ahli bahasa dan sastra, ilmu ghayr syar‘iyyah diterima oleh peserta didik melalui lembaga pendidikan yang melaksanakannya, seperti perpustakaan, rumah sakit, halaqah di masjid, dan sebagainya.

SIMPULAN

Al-Ghazali telah memberikan konsep pembelajaran Agama Islam, walaupun tidak begitu sistematik dan jelas sebagaimana lazimnya pembelajaran modern dewasa ini, akan tetapi konsep pembelajaran tersebut dapat dikaji dengan menela‘ah ide, gagasan dan pikiran yang dituang dalam berbagai karya tulisnya, juga situasi dan kondisi lembaga pendidikan pada masa hidupnya.

Tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan al-Ghazali perlu diimplementasikan dalam tujuan pembelajaran. Tujuan tersebut adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tujuan ini diarahkan untuk terbinanya keutamaan pribadi yang meliputi: jiwa, badan, luar dan tawfiq. Dari keutamaan itu akan terwujud kedekatan diri kepada Allah dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Materi yang dimasukkan ke dalam pembelajaran agama Islam menurut al- Ghazali meliputi: ilmu pengetahuan syar‘iyyah yang terbagi kedalam ilmu pengetahuan fardu ‘ayn dan fardu kifayah, dan ilmu pengetahuan ghayr syar‘iyyah yang bersifat fardu kifayah, serta ilmu pengetahuan yang dianjurkan, tetapi tidak

(12)

kedalam ilmu fardu kifayah. Materi pembelajaran ini dipelajari secara berurutan sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual peserta didik.

Al-Ghazali tampaknya mengemukakan metode pembelajaran pendidikan Islam dengan mengacu kepada sekuens hirarki belajar, yaitu penyusunan materi pelajaran berdasarkan materi yang pertama diajarkan, berturut-turut sampai dengan materi yang terakhir. pelaksanaan pembelajaran difokuskan pada klasifikasi dan tingkatan ilmu yang diajarkan, mulai dari ilmu syar‘iyyah (keagamaan), ilmu

muqaddimah (ilmu alat), dan ilmu ghayr syar‘iyyah (ilmu penunjang). Kedua

disiplin ilmu di atas (syar‘iyyah dan muqaddimah) harus diajarkan kepada setiap peserta didik. Sedangkan ilmu ghayr syar‘iyyah diajarkan sesuai dengan keinginan dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga

Pendidikan, Bandung: Mizan, 1994.

Davies, Ivon K., Objectives in Curriculum Desaign, Mc. Graw-Hill Book Company, London, 1980.

Al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalal, Beirut: Maktab al-Sa’biyyah, t.t

______, Ayyuha al-Walad, Beirut: Al-Lajnah al-Dawliyyah li al-tarjamah al-Rawai’, 1959.

______, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Semarang: Maktabat wa Matba’ah Toha Putra, t.t. ______, Mukasyafat Qulub Muqarabah min ‘Alam Ghuyub, Kairo: Dar

al-Sya’b, t.t,

______, Mizan al-‘Amal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.

Ibn al-Jawzi, Laftat al-Kabad ila Nasihat al-Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987.

Nakosten, Mehdi, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with

an Introduction to Medival Muslim Education, Boulder: The University of

Colorado Press, 1964.

Salabi, Ahmad, History of Muslim Education, Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954.

______, Mawsu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarat al-Islamiyyah, Juz III, Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1978.

Stanton, Charles M., Higher Learning in Islam, Maryland: Rowman & Little field, 1990.

Sudjana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.

Sumantri, Mulyani, Pembelajaran dan Pengajaran, Proyek Pengembangan LPTK Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1988.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Pepaya ( Carica papaya ) terhadap Kadar Protein dan Lemak pada Telur Puyuh.. Effect of Papaya ( Carica papaya ) Leave Meal Supplementation on

barbeque , rasa kari, aroma amis, aroma bawang putih, aroma lada, aroma pala, aroma barbeque , aroma kari, warna, kekerasan dan kekenyalan) direduksi menjadi

Dengan mengambil kasus pada komunitas pertanian di dataran tinggi (desa Kedungpoh dan Katongan), kecamatan Nglipar, kabupaten Gunung Kidul diperoleh beberapa gambaran,

Tidak ditemukannya hubungan antara indeks massa tubuh dengan kebugaran jasmani pada penelitian ini dikarenakan meskipun indeks massa tubuh para pekerja sebagian

Ensiksikin motiivin kotekstin ("tekstiympäristön") ja kontekstin erilaisuus ei voi olla heijastumatta siihen merkitykseen tai sanomaan, jota viestitään. Toiseksi

(1) Hasil evaluasi dan penilaian kelayakan calon Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 oleh TPV disampaikan kepada Penyelenggara Pemuliaan dalam jangka

• Bentuk penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam melakukan tugas pada situasi

L’oggetto della parte empirica è stato quello di analizzare gli errori orali degli apprendenti d’italiano come lingua straniera, la loro correzione svolta nella maggior parte dei