• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka 1. PenelitianTerdahulu

Peneliti melakukan studi pustaka guna mengetahui kajian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penelusuran dilakukan melalui digital

library universitas-universitas di Indonesia, terhadap naskah monolog Balada

Sumarah karya Tentrem Lestari. Namun sampai penulisan skripsi ini, monolog

tersebut belum pernah diteliti dalam bentuk laporan ilmiah, skripsi maupun tesis di beberapa universitas, antara lain: UGM (Universitas Gajah Mada) di Yogyakarta, Universitas Sananta Dharma di Yogyakarta, UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) di Yogyakarta, Undip (Universitas Diponegoro) di Semarang, Unsoed (Universitas Jendral Soederman) di Purwokerto, Unesa (Universitas Negeri Surabaya) di Surabaya, Unair (Universitas Airlangga) di Surabaya, Unpad (Universitas Padjajaran) di Bandung, UNJ (Univesitas Negeri Jakarta) di Jakarta, UI (Universitas Indonesia) di Jakarta, dan Universitas Andalas di Padang. Akan tetapi, peneliti hanya menemukan beberapa bentuk tulisan berupa pers release dan berita feature, yang berisi pengumuman agenda pementasan teater, laporan pementasan teater, maupun pengumuman lomba teater dengan menggunakan naskah monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari dalam beberapa blog.

(2)

Kajian terdahulu dalam penelitian ini, dilakukan pula dengan cara menelusuri penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan feminisme dalam penelitian sastra. Penelitian yang berkaitan dengan feminisme yang pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Putri Ayuni Gamas pada tahun 2012 berjudul “Perlawanan Perempuan Akibat Ketidakadilan Gender Dalam Novel

Entrok Karya Okky Madasari”. Pembahasan difokuskan pada ketidakadilan yang

dialami oleh tokoh perempuan akibat adanya konstruksi gender yang dilanggengkan oleh budaya patriarki dan bagaimana tokoh perempuan melakukan perlawanan atas ketidakadilan tersebut. Hasil penelitian ini memperlihatkan bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan dalam berbagai bidang, di antaranya dalam bidang pembagian kerja, pembagian upah, dan juga kesewenangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Ketidakadilan tersebut membuat perempuan melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut dilakukan melalui kemandirian dan seksualitas perempuan.

Penelitian yang ditulis Rosita Isminarti tahun 2010 dengan judul “Citra Perempuan Dalam Novel Kesempatan Kedua Karya Jusra Chandra: Tinjauan

Feminisme Sastra”. Penelitian tersebut memfokuskan pada citra perempuan dalam

novel Kesempatan Kedua. Analisis yang digunakan adalah analisis struktural. Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan bahwa alur, penokohan dan latar merupakan penunjang tema. Alur cerita dalam novel dipengaruhi oleh kepribadian suami yang kurang menghargainya sebagai seorang istri dan tema yang dipilih, yaitu: kesabaran, keteguhan dan ketegaran seorang istri kepada suaminya yang kurang menghargainya sebagai seorang istri. Citra perempuan dalam novel

(3)

seorang istri yang setia, (b) citra perempuan sebagai istri yang sabar dan tabah, (c) citra perempuan sebagai seorang istri yang tegas, (d) citra perempuan yang memperhatikan keluarga, dan (e) citra perempuan di bidang pendidikan dan karier. Penelitian tersebut juga membahas mengenai tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan gender, tetapi lebih ditekankan pada cara tokoh perempuan dalam menghadapi suaminya yang tidak menghargainya sebagai seorang istri.

Skripsi yang ditulis oleh Nisa Kurniasih pada tahun 2014, dengan judul

Citra Perempuan Dalam Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA”. Fokus dari penelitian tersebut yakni, mengkaji

citra perempuan sebagai tokoh utama dalam ketiga cerpen Martin Aleida. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya beberapa citra perempuan diantaranya yakni, citra perempuan dalam aspek fisik yang ditunjukkan dalam fisik perempuan dewasa, citra perempuan dalam aspek psikis yang mengarah pada perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan memiliki perasaan, serta citra perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat. Perempuan digambarkan sebagai makhluk sosial yang memiliki hubungan dengan pihak lain. Dalam hubungan dengan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas kaum laki-laki. Perempuan berada dalam budaya patriarki, dimana kekuasaan didominasi oleh laki-laki. Dalam penelitian tersebut, pembahasan lebih difokuskan pada perlawanan perempuan terhadap superioritas kaum laki-laki.

(4)

Heri Aprilianto (2005) dengan judul penelitiannya “Tokoh Utama Wanita dalam Pandangan Gender pada Novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning

Pranoto”. Hasil penelitiannya yaitu: a) Tokoh utama wanita dalam novel Wajah

Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah Sumirah. Sumirah memiliki sifat

mudah tergoda atau dirayu, tidak mudah melupakan kebaikan orang lain, menghargai orang lain, dan tidak ingin orang lain khawatir atau sedih, takut menyinggung perasaan orang lain, dan pekerja keras. b) Jenis gender tokoh dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto meliputi sebagai berikut. (1) Gender differrenc, seperti terlihat pada saat tokoh Sumirah menjadi penjual bir di hotel karena disuruh oleh suaminya. (2) Gender Gap yaitu, adanya perbedaan dalam hubungan berpolitik dan bersikap antara laki-laki dan perempuan, seperti terlihat pada saat Sumirah diperlakukakan semena-mena oleh lurah di desanya. (3)

Genderization, seperti terlihat pada saat tokoh Sumirah menjadi penjual bir di

hotel, karena sebagai seorang wanita mempunyai sifat ulet, terampil, dan teliti, maka oleh suaminya ia disuruh menjual bir di hotel. (4) Gender Identity, seperti terlihat pada saat tokoh Sumirah merasa bersalah karena belum bisa membantu Toeti memasak dan membersihkan rumah. c) Ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah ketidakadilan yang berupa marginalisasi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan subordinasi pekerjaan perempuan.

(5)

Kasido pada tahun 2013 juga melakukan penelitian tentang feminisme dengan judul, “Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidikan Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Pendekatan

Feminisme dan Nilai Pendidikan)”. Fokus penelitian tersebut yakni mengkaji

bagaimana tokoh perempuan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala memperjuangkan kesetaraan gender. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, perjuangan kesetaraan tokoh wanita dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala melawan bentuk ketidakadilan gender yang berupa stereotip, marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Penelitian yang kurang lebih sama, dilakukan oleh Aulia Nurul Falah (2014), Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret dengan judul “Ketidakadilan Gender dalam novel Galaksi Kinanti karya

Tasaro GK: Tinjauan Kritik Sastra Feminis”. Secara keseluruhan, penelitian ini

terfokus pada bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh Tokoh Kinanti, serta wujud perjuangan tokoh perempuan dalam kesetaraan gender. Dalam penelitian tersebut, diuraikan bentu-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan fisik dan psikis, serta beban kerja. Salah satu contoh ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh Kinanti dalam novel Galaksi Kinanti adalah saat dia ditukar orang tuanya dengan 50 kilogram beras. Subordinasi yang terjadi dalam novel Galaksi

Kinanti pada penelitian tersebut ditunjukkan ketika orang-orang Arab yang

menganggap perempuan hanyalah pelayan. Pelabelan negatif terhadap perempuan, terjadi pada Kinanti saat dirinya tidak diperbolehkan berteman dengan Ajuj

(6)

karena anak baulawean. Kekerasan fisik dan psikis menimpa Kinanti ketika bekerja menjadi TKW di Arab. Beban kerja menurut penelitian tersebut, yaitu perempuan memikul beban kerja lebih banyak meskipun sebenarnya merupakan tanggung jawab suami dan istri atau laki-laki dan perempuan. Wujud perjuangan perempuan dalam novel Galaksi Kinanti karya Tasaro GK, ditunjukkan dengan keberhasilan tokoh Kinanti menjadi orang sukses dan mendapat gelar profesor.

Dari beberapa uraian ringkas tentang hasil penelitian terdahulu yang telah peneliti paparkan, secara keseluruhan penelitian-penelitian tersebut memilih karya sastra berupa novel sebagai objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menunjukkan bahwa kritik sastra feminis, dapat pula dijadikan sebagai „alat‟ untuk menganalisis karya sastra bergenre naskah drama (yang berupa monolog). Penelitian-penelitian tersebut, sebenarnya berkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti, karena sama-sama mengkaji persoalan yang dialami oleh tokoh perempuan. Akan tetapi, dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan yang menyebabkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk, dan wujud perlawanan (resistensi) yang dilakukan oleh perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan sebagai akibat langsung dari diskriminasi, berupa marginalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan (fisik dan psikologis-psikis), serta beban kerja berlebih (Fakih, 1996:12).

Perbedaan penelitian-penelitian tersebut diatas dengan penelitian ini, terletak pada objek penelitiannya, yakni monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. Dalam menganalisis monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari, peneliti memilih kritik ragam feminis-sosialis untuk meneliti tokoh-tokoh wanita

(7)

dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas di masyarakat serta status sosialnya. Kritik ragam jenis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Terkait dengan monolog Balada

Sumarah karya Tentrem Lestari, akar penindasan yang dialami oleh perempuan

lantaran kelas dan status sosialnya di masyarakat.

Ada banyak aliran dalam penelitian sastra berspektif feminis, masing-masing mempunyai kecenderungan perjuangan berbeda-beda. Dalam penelitian ini, dipilih aliran feminisme Liberal yang berdasarkan pemikiran Naomi Wolf. Dalam pendekatan feminis, Wolf (1997:199) membaginya dalam dua hal, yaitu feminisme korban dan feminisme kekuasaan.

2. Landasan Teori

a. Feminisme dan aliran-aliran feminis

Feminisme merupakan generalisasi gagasan yang berpusat pada perempuan. Sebagai teori sosial kritis, feminisme melibatkan diri dalam persoalan pokok pada konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berbeda dalam kondisi tertindas, dan tujuannya adalah untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang tertindas (Ratna, 2010: 225). Secara etimologis, feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2003:184).

Feminisme juga dimaknai sebagai gerakan pembebasan perempuan. Feminisme sebagai gerakan, pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dari eksploitasi tersebut (Fakih, 1996:99).

(8)

Hakikat perjuangan feminis adalah pengakuan atas kedudukan perempuan, demi kesamaan martabat sebagai manusia. Selain itu, feminisme juga berjuang untuk mendapatkan keadilan hak perempuan dipelbagai bidang diantaranya, ekonomi, sosial, dan politik serta, menuntut kebebasan perempuan dalam mengontrol raga dan kehidupannya, baik di dalam maupun luar rumah (Fakih, 1996:99).

Feminisme sebenarnya bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan laki-laki saja, karena pada dasarnya mereka juga sadar bahwa, laki-laki (terutama kelas proletar), juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi, serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan dan juga laki-laki. Menurut Fakih (1996: 100) feminisme merupakan gerakan transformasi sosial menuju ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Feminisme, terbagi menjadi beberapa aliran dalam perjuangan mereka. Keragaman aliran tersebut, terjadi karena adanya perbedaan pemikiran dalam memandang sebab terjadinya opresi (penindasan) yang memicu ketidakadilan terhadap perempuan. Variasi pemikiran ini, selain merefleksikan bagaimana feminisme berusaha merespon terhadap kritik yang dilontarkan setiap mazhab satu sama lain, juga menunjukkan bahwa feminisme merupakan sebuah paradigma yang cair, responsif dan tidak dogmatis.

Muslikhati (2004:31-39) menyebutkan, sejauh ini ada lima aliran yang terlahir dari pandangan feminisme, yaitu: feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis dan ekofeminis. Penelitian ini

(9)

menggunakan pemikiran feminisme liberal, khususnya pandangan Naomi Wolf, yakni feminisme korban dan feminisme kekuasaan.

Feminisme liberal merupakan aliran feminis gelombang kedua. Feminisme liberal muncul pada awal abad 18, lahirnya bersamaan dengan zaman pencerahan. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang hak asasi manusia (natural right), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan (Megawangi, 1999:118-119).

Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan dapat memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menuntut kebebasan dan kesamaan hak-hak terhadap akses pendidikan, kesempatan kerja, serta pembaharuan hukum yang bersifat diskriminatif. Feminisme liberal, berusaha menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan yang tertindas.

Perempuan dalam perspektif feminisme liberal adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Feminisme liberal mendifinisikan nalar secara umum dalam istilah moral dan prudensial, sehingga mereka setuju bahwa masyarakat yang adil akan memungkinkan seseorang individu untuk menunjukkan otonominya, namun permasalahannya ada pada produk kebijakan negara (Tong, 2008:15-16). Tujuan feminisme liberal adalah untuk menempatkan masyarakat yang adil dan peduli (tempat kebebasan berkembang), sehingga hanya ditempat yang demikian perempuan dan laki-laki bisa berkembang.

(10)

Bagi penganut aliran feminisme liberal, negara sebagai penguasa yang memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda, yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa, negara didominasi oleh kaum laki-laki yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat ”maskulin”. Negara bagi feminisme liberal, adalah cerminan dari kelompok kepentingan dominan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut.

Persoalan mengenai kesetaraan dan kebebasan, setidaknya memiliki pengaruh tersendiri terhadap perempuan terkait dengan kebijakan dalam negara. Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, dengan konsep pemikiran “feminisme kekuatan” yang merupakan solusi.

Dalam pandangan Wolf (1997:x), menjadi feminis harus diartikan „menjadi manusia‟ karena baginya feminis adalah sebuah konsep yang mengisahkan harga diri pribadi dan harga diri seluruh kaum perempuan. Dalam pendekatan feminis, Wolf (1997:199) membaginya dalam dua hal, yaitu feminisme korban dan feminisme kekuasaan.

Feminisme korban memuat representasi citra „ketidakberdayaan perempuan‟, lantas kemudian memunculkan kesadaran. Kendati demikian menurut Wolf, konsep tradisi „feminisme korban‟ justru memperlambat kemajuan perempuan. Menurutnya, seseorang tidak perlu melakukan sublimasi apabila dia memiliki greget sejati untuk mengupayakan perbaikan bagi kehidupan kaum perempuan. Bagi Wolf, yang dibutuhkan perempuan adalah keberanian untuk terus menerus mensosialisasikan gagasan-gagasan feminis secara rasional yang simpatik, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Demikian maka, Wolf mensosialisasikan hasil pemikirannya yakni, feminisme kekuasaan (kekuatan).

(11)

Citra perempuan sebagai pemegang kekuasaan telah membebaskan perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai makhluk yang tidak hanya menarik dan memberikan perasaan ingin menyayangi, melainkan juga dapat mendorong ke arah aksi, yakni dengan citra tentang agresivitas, keahlian, dan tantangan, ketimbang pencitraan tentang korban. Oleh karena itu, yang diperlukan untuk menganalisis perempuan-perempuan yang memahami kekuatan dirinya adalah pendekatan feminisme kekuasaan. Pendekatan feminisme kekuasaan merupakan pendekatan yang luwes yang menggunakan dasar perdamaian, bukan dasar perang dalam perjuangan meraih hak setara. Pendekatan ini bersifat terbuka dan menghormati laki-laki serta dapat membedakan ketidaksukaan pada laki-laki. Perempuan dalam konsep feminisme kekuasaan, mempunyai kekuatan dari segi pendapatan dan pendidikan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkembang.

Prinsip pendekatan ini yang pertama adalah perempuan dan laki-laki mempunyai arti yang sama dalam kehidupan. Kedua, perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, pengalaman-pengalaman mempunyai makna bukan sekedar omong kosong. Keempat, perempuan berhak mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman mereka. Kelima, perempuan layak mendapatkan lebih banyak segala sesuatu yang tidak mereka punya karena keperempuanan mereka.

Dalam penelitian ini, pengaplikasian pendekatan feminisme kekuasaan dikaitkan dengan bentuk perlawanan Sumarah, sebagai respon atas tindak diskriminatif yang dialaminya dalam monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari.

(12)

b. Hakikat Feminisme dalam Sastra

Dalam hubungan gerakan feminis dengan karya sastra, Stimpson (1981:234, melalui Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:96) menilai bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang berguna bagi pengarahan kebebasan perempuan. Pendekatan feminisme merupakan suatu kritik ideologis atas perspektif yang mengalienansi masalah-masalah ketimpangan dalam pemberian peran dan identitas sosial terhadap perempuan. Teori feminis berkaitan dengan analisis dan penjelasan mengenai situasi sosial ketertindasan perempuan dalam berbagai bentuk, diantara yakni terdiskriminasi dan eksploitasi yang memicu ketidakadilan yang berakibat pada pelanggaran HAM.

Feminisme dalam penelitian sastra, dianggap sebagai gerakan kesadaran perempuan terhadap pengabaian beragam kasus ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, yakni terkait kasus diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan dalam masyarakat, seperti yang tercermin dalam karya sastra. Perempuan dalam karya sastra seringkali ditempatkan (hanya) sebagai korban. Faruk (1997:35, melalui Sugihastuti dan Suharto, 2002:66-67) berpendapat bahwa, perempuan dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka hubungan ekuivalensi dengan seperangkat tata nilai marginal dan yang tersubordinasi lainnya, yaitu sentimentalis, perasaan, dan spiritualitas. Perempuan hampir selalu merupakan tokoh yang dibela atau korban yang selalu diimbau untuk mendapatkan perhatian. Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, melainkan merupakan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan (Fakih, 1996:78). Sasaran feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan masalah “kemanusiaan” atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.

(13)

Menurut Selden (1986:130-131, yang dikutip oleh Ratna, 2003:194-195), ada lima masalah yang muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu: a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketidaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Dimensi sosiologis dibicarakan dalam kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam penelitian sastra, feminisme diasosiasikan sebagai konsep kritik sastra feminis (Sugihastuti, 1996:37).

c. Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan (Sugihastuti, 1996:37). Dasar pemikiran feminis dalam sastra adalah upaya pemahaman kedudukan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra (Endraswara, 2004:146). Kritik sastra feminis mengkaji karya sastra perempuan karena, sastra hasil karya penulis perempuan memiliki kekhususan dalam mengekspresikan kehidupan perempuan (Ryan, 2011: 180).

Kritik sastra feminis, merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme diberbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminis merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Tujuan dari kritik sastra feminis yakni menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan. Studi perempuan dalam sastra merupakan penelaahan tokoh perempuan sebagai manusia dan kelompok masyarakat lain secara lebih luas. Studi ini dilakukan dalam bentuk studi kasus. Dalam karya sastra tertentu sebagai objek studi kasus, hasil penelitian itu dapat menceritakan misalnya, kegagalan atau keberhasilan tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan warga masyarakat (Sugihastuti-Suharto, 2002: 22-23).

(14)

d. Ragam Kritik Feminis

Lebih lanjut Djajanegara (2000:27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis sebagai berikut.

1. Kritik ideologis

Kritik ideologis merupakan kritik yang melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Pusat perhatian perempuan sebagai pembaca adalah citra serta stereotip tokoh perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan dalam kritik sastra.

2. Ginokritik (gynokritik)

Ragam jenis gynokritik adalah upaya mengkaji penulis-penulis perempuan, termasuk sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan, dan kreatifitas perempuan, asosiasi profesi penulis perempuan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan.

3. Ragam kritik feminis sosialis

Meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas di masyarakat serta status sosialnya. Kritik ragam jenis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

4. Ragam kritik psikoanalisis

Memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan tokoh perempuan, tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

(15)

5. Ragam kritik feminis lesbian

Meneliti penulis dan tokoh perempuan saja, diawali dengan mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian, kemudian mengidentifikasi penulis dan karya-karya lesbian. Ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal perempuan yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, selain ini kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya, tujuan dari ragam kritik feminis lesbian adalah mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengritik sastra lesbian akan menentukan apakan definisi ini dapat diterapkan pada teks sastra.

6. Ragam kritik feminis ras/etnik

Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini bermula dari diskriminasi ras dan seksual yang dialami kaum perempuan yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati, 2003:136).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ragam kritik feminis sosialis untuk menganalis monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. Ragam jenis ini dirasa relevan, terkait dengan monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari, akar penindasan yang dialami oleh perempuan lantaran kelas dan status sosialnya di masyarakat.

(16)

e. Penerapan Kritik Sastra Feminis

Menurut Djajanegara (2000:51), pada umumnya karya sastra berupa cerpen, novel, maupun naskah drama, dapat dikaji menggunakan pendekatan feminis, asalkan ada tokoh perempuannya. Kita akan dengan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh perempuan itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh protagonis maupun tokoh bawahan.

Adapun cara penerapan kritik sastra feminis dalam meneliti sebuah karya sastra, menurut Djajanegara (2000:40-41) adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasikan satu atau beberapa tokoh perempuan yang terdapat pada sebuah karya.

2. Mencari status atau kedudukan tokoh perempuan tersebut di dalam masyarakat.

3. Mencari tahu tujuan hidup dari tokoh perempuan tersebut di dalam masyarakat.

4. Memperhatikan apa yang dipikirkan, dilakukan dan dikatakan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut, sehingga kita dapat mengetahui perilaku dan watak mereka berdasarkan penggambaran yang langsung diberikan oleh pengarang.

5. Meneliti tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati. Kita tidak akan memperoleh gambaran secara lengkap mengenai tokoh perempuan tersebut tanpa memunculkan tokoh laki-laki yang ada disekitarnya.

(17)

f. Diskriminasi

Tindak diskriminatif selalu memicu ketidakadilan, baik ketidakadilan sosial, politik, maupun ekonomi. Praktek ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam lima bentuk, yaitu:

1. Peminggiran (marginalisasi)

Kelompok marginal adalah salah satu kelompok dalam struktur sosial masyarakat yang tidak memiliki kekuatan maupun kekuasaan, sehingga mereka mengalami peminggiran. Substansi dari kelompok marginal dalam istilah Gramscian disebut sebagai subaltern, adalah mereka yang lemah secara ekonomi maupun politik, meskipun secara kuantitas merupakan bagian terbanyak dalam sebuah komunitas. Buruh merupakan representasi dari subaltern. Buruh terdiri dari perempuan dan laki-laki. Polemik yang sering dihadapi oleh para buruh salah satunya adalah marginalisasi yang merupakan pemicu utama dari pemiskinan. Eksploitasi tenaga buruh tanpa upah yang layak, merupakan praktek nyata dari bentuk marginalisasi (peminggiran).

Menurut Fakih (1996:13), marginalisasi merupakan proses pengabaikan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pihak-pihak yang termarginal (dalam hal ini adalah perempuan), namun hak tersebut diabaikan dengan alasan tertentu. Ada beberapa faktor yang memicu marginalisasi terhadap perempuan, yakni kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Peminggiran seringkali terjadi dalam bidang ekonomi.

Dalam wacana pembangunan, perempuan hanya dimaknai sebagai reproduksi buruh murah (Fakih, 1996:88-89). Posisi perempuan yang menjadi buruh, membuat mereka harus mengalami dua bentuk marginalisasi. Pertama,

(18)

marginalisasi dalam hubungan relasi kuasa antara majikan dan buruh. Kedua, marginalisasi terhadap perempuan dalam konsepsi budaya patriarkhi.

Perempuan tidak memiliki akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi perempuan dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam masyarakat. Fakih (1996: 14) menyebutkan bahwa, proses marginalisasi mengakibatkan kemiskinan. Proses marginalisasi atau peminggiran, dapat pula terjadi sebagai akibat langsung dari melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, atau biasa disebut dengan stereotip.

2. Penomorduaan (subordinasi)

Definisi dari subordinasi adalah hubungan antara satu atau lebih dalam tingkatan hierarki yang berbeda (Sugono, 2008:1535). Subordinasi bisa juga diartikan sebagai anggapan tidak penting dalam suatu keputusan atau menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Seorang perempuan selalu dimaknai secara genderis. Pensifatan yang terlanjur disematkan masyarakat pada perempuan selalu dikaitkan dengan kelemahan, tidak penting, tidak berguna, sensitif dan lain sebagainya.

Praanggapan tidak penting serta berbagai stigmasisasi negatif inilah yang disebut Beauvoir sebagai The Second Sex (jenis kelamin kedua), The Otherness atau Sang Lain (Liyan). Budaya patriarkhi merupakan akar dari keterasingan yang dialami oleh perempuan, sehingga membentuk subordinasi. Perempuan kemudian diposisikan sebagai Sang Lain dalam struktur masyarakat melalui mitos-mitos yang sengaja diproduksi oleh budaya patriarkat, dan ditebar ke pelbagai pranata sosial seperti; keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan juga negara.

(19)

Asumsi inilah yang memicu Beauvoir (2003:15) menyatakan bahwa, “Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan”. Akibat dari subordinasi, perempuan menjadi tidak bebas, kehilangan ruang untuk mengolah kebebasannya dan menemukan identitas dirinya, serta mendapatkan haknya.

Fakih (1996:15) berpendapat bahwa, subordinasi pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial. Subordinasi adalah anggapan tidak penting dalam suatu keputusan atau menempatkan seseorang pada posisi tidak penting. Perempuan seringkali menjadi objek subordinasi lantaran adanya anggapan bahwa, perempuan mahluk yang lemah, sentimentil, tidak mampu berpikir logis dan sering menangis.

3. Pelabelan negatif(stereotyping)

Secara artifisial, stereotip ialah konsepsi mengenai suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (Sugono, 2008:1528). Stereotip dimaknai sebagai pelabelan negatif terhadap suatu kelompok tertentu (Fakih, 1996:15). Stereotyping merupakan produk dari konstruksi ideologis suatu masyarakat maupun negara terhadap perempuan, dan merupakan akar dari opresi (penindasan) yang memicu ketidakadilan.

4. Kekerasan (violence)

Kekerasan merupakan bagian dari suatu bentuk kejahatan yang membuat seseorang terdiskriminasi, sehingga mengalami ketidakadilan. Menurut Fakih (1996:17), kekerasan (violence) yaitu serangan atau invansi (assault) terhadap fisik, maupun intergritas mental psikologis seseorang. Kekerasan bisa dilakukan, maupun dialami oleh laki-laki dan perempuan.

(20)

Ada dua jenis kekerasan, yakni kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik terbagi menjadi dua, yaitu seksual dan non seksual. Kekerasan fisik seksual adalah kekerasan yang terkait dengan masalah seksual, yaitu bentuk pelecehan seksual (molestation) hingga pemerkosaan. Namun pada umumnya, kekerasan fisik seksual yang berupa pemerkosaan dialami oleh perempuan. Tubuh perempuan yang sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki menerapkan nilai dan norma patriarkhi. Ideologi tersebut ada di kepala kaum laki-laki maupun perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi pembangunan (Fakih, 1996:151).

Difinisi kekerasan fisik nonseksual adalah kekerasan yang dilakukan dengan cara, memukul, menampar, meninju, dan lain sebagainya. Kekerasan fisik nonseksual juga bisa dimaknai sebagai penyiksaan. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat (Fakih, 1996: 17). Stereotip yang melekat dalam masyarakat patriarkhi, mencitrakan perempuan dengan kelemahan, cengeng, tidak rasional, penurut dan tidak berkuasa, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang bersifat rasional, memimpin, kuat, perkasa, dan berkuasa. Perbedaan gender tersebut juga melahirkan kekerasan (violence) dan penyiksaan terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun mental. Keberagaman bentuk kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk.

(21)

Perempuan dalam sistem patriarkhi, seringkali dimaknai sebagai „hak milik‟. Posisi perempuan sebagai „hak milik‟, membuat laki-laki merasa berhak berlaku semena-mena terhadap perempuan, termasuk melakukan kekerasan seksual (memperkosa). Akibatnya, perempuan sering menjadi objek kekerasan fisik secara seksual maupun psikologis, yang menyebabkan diskriminasi.

Selanjutnya, kekerasan psikis atau kekerasan secara psikologis adalah kekerasan yang menyangkut mental seseorang (Fakih, 1006:17). Wujud dari kekerasan psikis adalah dengan menghina, mencibir, mencerca, memaki, memarahi, mengancam, dan menuduh.

5. Beban Kerja Berlebih (double-burden)

Penyifatan masyarakat yang disematkan pada perempuan bahwa, perempuan itu rajin dan memelihara, maka semua pekerjaan domestik dibebankan pada perempuan. Sejak kecil, anak perempuan sudah dilatih untuk menekuni dan berperan dalam pekerjaan domestik (memasak, mencuci, membersihkan rumah), sedangkan laki-laki tidak. Konsepsi kultural di masyarakat dalam pembentukan serta pembedaan pembagian peran dalam pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, secara tidak langsung turut melanggengkan sistem patriarkat yang memicu opresi.

Sebagian perempuan juga mempunyai beban kerja berlebih, yaitu terkait tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Fakih (1996:22) menyatakan bahwa bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban kerja itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic

(22)

g. Bentuk Perlawanan Perempuan

Menurut Foucault (2009:39), konsekuensi dari dominasi kuasa adalah resistensi (perlawanan). Kendati demikian, subjek yang terdominasi oleh suatu kuasa, akan melakukan resistensi sebagai upaya negosiasi pembentukan identitas, meskipun seringkali tidak berhadapan secara langsung. Perlawanan yang dilakukan oleh subjek yang terdominasi terepresentasi dalam bentuk ideologi, tindakan, maupun dalam wujud gerakan.

B. Kerangka Pikir

Deskripsi penelitian ini tertuang dalam kerangka pikir sebagai berikut. 1. Menemukan permasalah. Dalam penelitian ini, permasalahan yang paling

menonjol adalah mengenai diskriminasi terhadap perempuan.

2. Langkah selanjutnya dengan melakukan pembacaan, serta memahami dengan cermat dan teliti monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. 3. Menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan

tersebut. Pada penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis.

4. Analisis permasalahan dengan cara memaparkan, menunjukkan, dan menjelaskan yang disertai kutipan-kutipan pendukung mengenai, bentuk diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan dalam monolog Balada

Sumarah karya Tentrem Lestari. Bentuk diskriminasi tersebut meliputi

lima hal, yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan, dan beban kerja berlebih. Tokoh perempuan dalam monolog tersebut pada akhirnya melakukan perlawanan, sebagai respon atas tindak diskriminatif yang dialaminya.

(23)

5. Tahap akhir adalah simpulan, disajikan dengan menjawab permasalahan yang ada dalam monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. Memaparkan hasil penelitian secara ringkas mengenai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, serta perlawanannya, yang terdapat dalam monolog tersebut.

Bagan Kerangka Pikir

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam Monolog

Balada Sumarah Karya Tentrem

Lestari

KRITIK SASTRA FEMINIS

Bentuk perlawanan perempuan atas tindak

diskriminatif yang dialaminya dalam monolog

Balada Sumarah karya

Tentrem Lestari Bentuk-bentuk diskriminasi berupa: 1. Marginalisasi 2. Subordinasi 3. Stereotyping 4. Kekerasan

5. Beban kerja berlebih

(24)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa sebagai penjabaran lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bupati Hulu Sungai Selatan Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keuntungan usaha tani bawang merah, menganalisis daya saing bawang merah melalui keunggulan kometitif dan komparatif, serta

 Kelebihan : (1) pengarang jurnal ini semua berasal dari tingkatan RN dan telah berpengalaman dalam dunia keperawatan, sehingga analisis pemikiran mereka juga tentunya sangat

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Sedangkan berbeda dengan hasil penelitian dari Husnatarina dan Nor (2007), Falikhatun (2007) dan Sardjito dan Muthaher (2007) menyatakan bahwa partisipasi penganggaran yang

Sementasyon derinliğini artıran tuzlar (yüksek sementasyon sıcaklığında çalışılan tuzlar). Bu durumda ise tuz banyosundaki siyanür miktarı %10’dur ve kullanılan

Setelah data dianalisis dalam dis- tribusi persentase sederhana, maka didapat hasil dari penelitian ini, dan dapat disimpulkan mengenai Peranan Objek Wisata Kimal

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa terdapat satu sampel yaitu pada pedagang 1 dengan pengambilan sampel pukul 14.00 WIB dinyatakan tidak layak