• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN HASIL PANEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK SUPER INTENSIF

Hidayat Suryanto Suwoyo*, Makmur dan Suwardi Tahe Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau

*e-mail: yayhat_95@yahoo.com Abstrak

Budidaya udang vaname pola super-intensif memberikan konsekuensi pada tingginya bobot biomassa udang di tambak. Pengendalian terhadap bobot biomassa udang agar tetap dalam batas daya dukung lingkungan tambak menjadi suatu keharusan dalam manajemen tambak pola super-intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman bobot hasil panen udang vaname di tambak super intensif. Pengamatan keragaman bobot udang vaname dilakukan pada tambak beton berukuran 1000 m2 sebanyak dua petak yang ditebari dengan benur vaname (Litopenaeus vannamei) ukuran PL.10 dengan padat tebar 500 ekor/m2 (A) dan 600 ekor/m2 (B). Kincir masing-masing 1 PK dipasang sebanyak 12 dan 14 unit per petak. Pakan diberikan dimulai setelah penebaran sebanyak 30% dari biomassa dan menurun pada bulan keempat pemeliharaan hingga 2,5 % dari berat total biomassa udang. Pengukuran bobot udang vaname dilakukan pada saat panen parsial yang dilakukan sebanyak 3 kali yakni pada usia pemeliharaan udang (DOC) 70, 90 dan 105 hari dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 3 kg udang sebanyak 3 kali dan ditimbang satu persatu. Data tersebut kemudian ditabulasi berupa bobot minimum, maksimum, standar deviasi, rata-rata dan koefisien variasi. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman udang pada saat panen parsial pertama, kedua atau panen total memperlihatkan nilai keragaman relatif sama baik pada petak A maupun petak B. Nilai koefisien variasi dari ketiga tahap panen antara 12,7-14,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar 85% ukuran udang yang dipanen memiliki bobot yang relatif seragam.

Kata kunci: bobot, keragaman, panen parsial, tambak super intensif, L. vannamei Pengantar

Udang vaname (L. vannamei) merupakan salah satu jenis udang introduksi yang banyak diminati, karena memiliki berbagai keunggulan dan sejak diperkenalkan udang ini sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan, kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang yang signifikan. Produksi udang juga terus mengalami kenaikan. dari 350.000 ton tahun 2010 meningkat menjadi 608.000 ton tahun 2013 atau mengalami kenaikan 18,43 %/tahun. Pada Tahun 2014 produksi udang ditargetkan mencapai 699 ribu ton (Anonim, 2013). Peningkatan produksi udang tersebut dapat dilakukan dengan ekstensifikasi (perluasan areal budidaya), intensifikasi (peningkatan teknologi) dan diversifikasi (penambahan jenis komoditi budidaya dan produk hasil budidaya). Budidaya udang vaname pola intensif atau super intensif pada tambak skala kecil menjadi orientasi sistem budidaya masa depan.

Budidaya udang vaname pola super-intensif memberikan konsekuensi pada tingginya bobot biomassa udang di tambak. Pengendalian terhadap bobot biomassa udang agar tetap dalam batas daya dukung lingkungan tambak menjadi suatu keharusan dalam manajemen tambak pola super-intensif. Panen parsial ditujukan untuk (1) mengurangi biomass udang sehingga biomass udang yang ada di dalam tambak tidak melebihi daya dukung tambak, namun dapat meningkatkan produktifitas tambak, dan (2) mengontrol ukuran udang sesuai dengan permintaan pasar. Sebagai piranti pengelolaan, panen parsial dapat membantu petambak dalam menentukan (a) jumlah padat penebaran udang yang terkait dengan daya dukung tambak, (b) waktu panen yang tepat terkait dengan situasi harga udang di pasaran serta (c) ukuran udang yang diharapkan terkait dengan lama waktu pemeliharaan. Oleh karena itu, panen parsial harus dipersiapkan sejak dini dengan pertimbangan yang matang (Rachmansyah et al., 2013). Pada umumnya, panen parsial dilakukan sebanyak 25 – 30% dari padat penebaran awal dan panen parsial berikutnya dapat ditentukan berdasarkan daya dukung tambak yang bisa dikendalikan dari

(2)

pertumbuhan udang dan dinamika kualitas air tambak. Panen parsial harus dilakukan oleh tenaga penjala yang profesional dengan waktu menjala tidak lebih dari dua jam. Hal ini ditujukan agar biomass udang yang tertinggal di tambak tidak mengalami gangguan sehingga tetap memiliki kondisi kesehatan yang prima. Dengan 4-5 orang penjala profesional mampu menjala udang sebanyak 1-1,5 ton/jam sehingga kegiatan panen parsial dapat diselesaikan dengan cepat dan udang yang tertinggal tidak mengalami gangguan dan stres yang berlebihan. Panen parsial yang dilakukan secara tepat dan cepat, akan memberikan peluang kepada udang yang tertinggal di tambak tidak mengalami stress dan tidak berpengaruh terhadap nafsu makannya. Banyak petambak yang berhasil melakukan panen parsial dan mengandalkan cara panen ini sebagai sarana untuk mencapai size udang yang besar. Skema panen parsial yang didesain dengan baik dapat meningkatkan keuntungan suatu kegiatan budidaya (Yu dan Leung, 2006). Moos et al. (2005) melaporkan bahwa panen parsial dapat meningkatkan keuntungan 8,8% lebih tinggi dibandingkan panen tunggal (total) jika panen kedua dilakukan setelah 4 minggu. Sebaliknya jika panen yang kedua dilakukan setelah 10 minggu maka diperoleh kerugian sebesar 5,9% dari penerimaan bersih dibandingkan dengan panen tunggal. Yu et al. (2010) melaporkan bahwa strategi panen parsial menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan panen tunggal (total) pada akhir masa pemeliharaan.

Keragaman ukuran udang yang dipelihara di tambak mempunyai arti penting ditinjau dari aplikasi budidaya udang secara komersial. Keseragaman ukuran udang baik berat maupun panjang pada saat panen dapat menguntungkan petani tambak karena panen relatif singkat sehingga biaya panen dapat lebih ekonomis. Tetapi banyak petani tambak melakukan panen selekstif yang kurang menguntungkan akibat keragaman berat udang yang cukup besar (Cholik dan Mustafa, 1987). Bila keragaman ukuran bersifat genetik maka dapat bermanfaat dalam usaha memperbaiki mutu udang bagi keperluan budidaya tambak melalui kegiatan seleksi atau pemuliaan. Koefisien variasi dapat digunakan sebagai peubah untuk menentukan besarnya keragaman.

Koefisien variasi merupakan suatu ukuran variansi yang dapat digunakan untuk membandingkan suatu distribusi data yang mempunyai satuan yang berbeda. Koefisien variasi (coefficient of variation) atau koefisien dispersi adalah ukuran persebaran yang dinormalkan dari suatu distribusi probabilitas. Kadang-kadang nilai dari koefisien variasi dinyatakan dalam persen. Harga mutlak dari koefisien variasi kadang-kadang dikenal dengan nama simpangan baku relatif (relative standard deviation – RSD). Koefisien variasi didefinisikan sebagai rasio dari standard deviasi dengan mean (Harinaldi, 2005; Setiawan, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaman bobot hasil panen udang vaname di tambak super intensif karena tingkat keseragaman ukuran udang menjadi salah satu indikator kualitas benur dan udang yang dihasilkan saat panen.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Desa Punaga, Kecamatan Mangngarabombang, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Pengamatan keragaman bobot udang vaname dilakukan pada 2 petak tambak beton berukuran 1000 m2 yang ditebari dengan benur vaname (L. vannamei) ukuran PL.10 dengan padat tebar 500 ekor/m2 (A) dan 600 ekor/m2 (B). Spesifikasi Tambak Percobaan disampaikan dalam Tabel 1. Kincir masing-masing 1 PK dipasang sebanyak 12 dan 14 unit per petak. Pakan diberikan dimulai setelah penebaran sebanyak 30% dari biomassa dan menurun pada bulan keempat pemeliharaan hingga 2,5 % dari berat total biomassa udang. Pengukuran bobot udang vaname dilakukan pada saat panen parsial yang dilakukan sebanyak 3 kali yakni pada usia pemeliharaan udang (DOC) 70, 90 dan 105 hari dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 3 kg udang sebanyak 3 kali pengambilan untuk ditimbang satu persatu. Data tersebut kemudian ditabulasi berupa bobot minimum, maksimum, standar deviasi, rata-rata dan koefisien variasi. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air selama pemeliharaan meliputi suhu, salinitas, Oksigen Terlarut, pH. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik.

(3)

Tabel 1. Spesifikasi tambak percobaan

Letak Kawasan supratidal 8 m dpl

Jumlah petakan Konstruksi Kedalaman

Sistem pembuangan kotoran padat Colector drain

Pintu panen Sumber oksigen Tandon air pasok Tandon limbah Pompa

Biosekuriti Pengamanan

2 unit @1.000 m2

Full ceoncrete dengan lantai dasar miring ke pusat tengah

dengan derajat kemiringan ±0,5% Maksimum 2 m (kedalaman air 1,8 m) Central Drain Model Matahari

Berfungsi sebagai tempat panen sekaligus pembuangan limbah dari 4 petak tambak

Panen sistem jaring kantong

Kincir air 1PK, Ring blower 5,5Kw 3 inchi sebagai aerasi dasar Luas 0,8 ha

Tandon limbah sebagai kolam pengendapan 0,6 ha Submersible 10 inchi (memompa air luat ke tandon);

Submersible 8 inchi (memompa air dari tandon ke petak tambak percobaan

Bak pencuci kaki dan desinfeksi untuk sanitasi Pagar keliling tambak

Untuk menentukan tingkat keragaman bobot udang vaname dilakukan perhitungan koefisien variasi dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

KV = Koefisien variasi S = Standar deviasi x̄ = Rata-rata Hasil dan Pembahasan

Pengertian panen parsial. Panen parsial dapat mengurangi biomass udang sehingga biomasa udang yang ada di dalam tambak tidak melebihi daya dukung tambak, namun dapat meningkatkan produktifitas tambak. Panen parsial yang dilakukan selama pemeliharaan udang vaname pola super intensif dilakukan sebanyak 3 kali. Panen parsial pertama dilakukan pada pemeliharaan hari ke-70 dengan memanen sebanyak 1.200 kg, size 104 (petak A) dan 1.680 kg, size 102 (petak B). Panen parsial kedua dilakukan pada hari ke-90 dengan hasil 2.000 kg, size 68 (petak A) dan 2.000 kg, size 69 (petak B) dan terakhir panen total dilakukan pada kari ke-105 dengan produksi masing-masing 3.176 kg, size 53 (petak A) dan 4.727 kg, size 54 (petak B). Secara total produksi udang di petak A sebanyak 6.376 kg dan petak B sebanyak 8.407 kg.

Keragaman udang pada saat panen parsial pertama, kedua atau panen total memperlihatkan nilai keragaman relatif sama baik pada petak A maupun petak B. Nilai koefisien variasi dari ketiga tahap panen antara 12,7-14,6% (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar 85% ukuran udang yang dipanen memiliki bobot yang relatif seragam. Tingkat keseragaman ukuran udang menjadi salah satu indikator kualitas benur dan udang yang dihasilkan saat panen. Ukuran yang seragam akan mengurangi tingkat kompetisi pakan dan dominansi udang dalam mendapatkan ruang, pakan dan oksigen. Semakin kecil nilai koefisien keragamannya, semakin baik kualitas udang yang dihasilkan dan semakin tinggi nilai jualnya, begitu pula sebaliknya (Budiardi et al., 2005). Hermawan (2013) melaporkan bahwa keragaman ukuran benur udang vaname menentukan kualitas benur tersebut. Bila koefisien variasi adalah sama dengan atau kurang dari 15 %, variasi ukuran dianggap rendah (skor 10), jika koefisien variasi adalah antara 15 – 25 %, variasi ukuran sedang (skor 5), dan jika besar dari 25 % variasi ukuran tinggi (skor 0).

Menurut Tempake et al. (1992) menyatakan bahwa untuk menentukan keragaman suatu karakter digunakan kriteria sebagai berikut: rendah jika koefisien keragaman 0-20%, sedang jika 20-50%

(4)

dan tinggi jika > 50%. Nilai koefisien keragaman menunjukkan nilai keragaman dari populasi yang diukur, dimana semakin tinggi nilai koefisien keragaman menunjukkan bahwa populasi yang diukur memiliki keragaman yang luas atau lebih heterogen, sedangkan jika nilai koefisien keragaman rendah artinya populasi yang diukur mempunyai nilai keragaman yang sempit atau lebih homogen. Budianto et al., (2009) menyatakan keragaman fenotip sangat penting artinya pada proses seleksi. Bila nilai keragaman sangat sempit atau tergolong rendah, maka akan kurang leluasa untuk melakukan seleksi. Gomez dan Gomez (1995) menyatakan bahwa nilai koefisien keragaman menunjukkan tingkat ketepatan perlakuan dalam suatu percobaan dan menunjukkan pengaruh lingkungan dan faktor lain yang tidak dapat dikendalikan. Percobaan yang cukup terandal sebaiknya nilai koefisien keragaman tidak melebihi 20%. (Raupong dan Annisa, 2011).

Tabel 2. Keragaman hasil panen udang vaname super intensif. Panen Parsial Petak Kepadatan (ekor/m2) Min (g/ekor) Max (g/ekor) Avg (g/ekor) Sd KV Size (ekor/kg) Produksi (kg/petak) I A 500 3,6 14,1 9,8 1,3 13,2 104 1.200 B 600 3,6 13,2 9,6 1,3 13,5 102 1.680 II A 500 7,7 20,7 14,6 2,0 13,6 68 2.000 B 600 6,1 19,4 14,5 2,1 14,6 69 2.000 III A 500 12,9 24,5 18,8 2,4 12,7 53 3.176 B 600 9,0 23,8 18,5 2,6 14,0 54 4.727

Nilai koefisien variasi bobot udang vaname dari kedua petak tambak yakni petak A (kepadatan 500 ekor/petak) berkisar antara 12,7-13,6% dan petak B (kepadatan 600 ekor/petak) berkisar antara 13,5-14,6% (Gambar 1). Koefisien variasi tersebut lebih kecil dibanding dengan koefisien variasi bobot tubuh udang windu hasil budidaya di tambak dengan asal benur yang berbeda yakni berkisar 18,57-24,43% sedangkan koefisien variasi berat udang windu hasil budidaya dengan asal benur dari alam sebesar 22,14% (Cholik & Mustafa, 1987). Lebih lanjut dikatakan bahwa keragaman berat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti padat penebaran dan lama pemeliharaan atau umur. Keragaman berat pada padat penebaran rendah (< 10.000 ekor/ha) sebesar 23,99% lebih tinggi dibanding dengan padat penebaran lebih 10.000 ekor/ha dengan koefisien variasi mencapai 21,39%. Menurut Budiardi et al. (2005) bahwa Koefisien keragaman udang windu (Penaeus monodon) yang dipelihara selama 14 hari dengan kepadatan 250, 500, 750 dan 1.000 ekor/m2, masing-masing sebesar 14,71%, 11,45%, 11,97%, 12,18%.

Gambar 1. Koefisien variasi(%) bobot udang vaname super intensif dengan kepadatan berbeda Mustafa et al. (1987) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan keragaman panjang udang windu yang benurnya berasal dari hatchery dan alam. Koefisien variasi panjang udang windu hasil budidaya dengan sumber benih asal hatchery sebesar 7,35% dan asal alam sebesar 7,61%. Lebih lanjut dikatakan bahwa koefisien variasi panjang udang windu lebih kecil dibandingkan dengan koefisien variasi berat. Gjedream (1983) dalam Cholik dan Mustafa (1987) menyatakan bahwa koefisien variasi berat untuk jenis-jenis ikan Trout, Salmon, Karper, Catfish dan Tilapia sangat tinggi yaitu berturut-turut

(5)

22-33%, 27-78%, 22%, 27-46% dan 26%. Kamlawi et al. (2012) melaporkan koefisien keragaman benih ikan patin siam dari 9 famili yang berumur 5 bulan dengan bobot badan berkisar 16,38-22,38 g memiliki koefisien keragaman 17,88-43,8%. 11 famili berumur 2 bulan dengan bobot badan 14,82 g memiliki koefisien keragaman 34,37-97,45%. Budiardi et al. (2007) melaporkan bahwa nilai koefisien keragaman yang didapat pada ikan neon tetra yang dipelihara dengan kepadatan 20, 40 dan 60 ekor/ liter masing-masing sebesar 2,84; 3,02 dan 2,90%. Peningkatan kepadatan sampai 60 ekor/liter tidak mempengaruhi variasi ukuran ikan neon tetra.

Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh padat penebaran, oleh karena itu, panen parsial terhadap biomass udang di tambak dengan kepadatan tinggi dapat mengurangi kompetisi ruang dan pakan akibat meningkatnya biomasa sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan total produksi udang. Menurut Supriyono et al. (2006) bahwa pemberian pakan yang cukup serta dukungan kualitas air yang optimal mengakibatkan optimalnya pertumbuhan udang selama pemeliharan walupun dilakukan dengan kepadatan tinggi. Pertumbuhan udang vaname yang seragam dalam penelitian ini ditunjukkan oleh kecilnya nilai koefisien keragaman. Tersedianya pakan dan ruang gerak yang cukup akan mengurangi terjadinya kanibalisme antar udang yang dipelihara sehingga tingkat kelangsungan hidupnya menjadi lebih tinggi. Padat penebaran yang berbeda hanya berpengaruh pada kepadatan akhir udang yang dipelihara. Hal ini terjadi karena nilai kelangsungan hidup yang tinggi sehingga jumlah akhir udang yang hidup lebih tinggi pada perlakuan padat tebar yang lebih tinggi.

Umumnya yang menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan panen parsial adalah kondisi biomasa udang di tambak dan kondisi kualitas air tambak. Kedua aspek ini saling berkaitan dan berpengaruh nyata terhadap keberlangsungan budidaya tambak. Jika biomasa udang melebihi daya dukung tambak, maka stabilitas kualitas air tambak mudah mengalami gangguan dan mengarah pada kemunduran kualitas air meski dilakukan upaya pengelolaan secara ketat. Parameter kunci kualitas air yang menjadi pertimbangan utama adalah meningkatnya kadar amonia yang diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut <3ppm dan meningkanya kepadatan fitoplankton yang semakin pekat serta terjadinya penimbunan sludge di dasar tambak yang memicu munculnya gas-gas beracun yang mengganggu kehidupan udang.

Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air, karena udang adalah hewan air yang segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya tergantung pada kualitas air sebagai media hidupnya (Tricahyo, 1995). Kualitas air secara luas dapat diartikan sebagai setiap faktor fisik, kimiawi dan biologi yang mempengaruhi penggunaan air. Untuk keperluan budidaya udang kualitas air secara umum dapat diartikan sebagai setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup, kembang biak, pertumbuhan atau produksi. (Boyd 1982).

Tabel 3. Nilai peubah kualitas air selama pemeliharaan udang vaname super intensif

Peubah Petak Min Max Avg sd

Temperatur (°C) A 25,05 29,36 26,53 0,69 B 25,19 29,35 26,78 0,91 Salinitas (ppt) A 27,02 36,96 34,55 2,63 B 27,31 37,44 34,54 2,69 pH A 7,11 8,58 7,61 0,32 B 7,01 8,57 7,64 0,27 Oksigen terlarut (mg/L) BA 2,392,33 7,606,26 5,104,73 0,930,92 TAN (mg/L) BA 0,48480,4123 3,46703,2540 2,03991,5903 0,88761,0704 BOT (mg/L) BA 42,915347,5454 69,353267,1690 60,320758,1162 8,075,78 TSS (mg/L) BA 15,28,8 630,0538,0 143,6148,3 175,8147,6

(6)

Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, morfologi, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang. Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Hasil pengukuran suhu selama pemeliharaan udang vaname berkisar 25,05-29,36 °C. Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27 – 32 °C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 °C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29 – 30 °C, sedangkan suhu yang dapat menyebabkan pertumbuhan rendah < 26 – 28 °C dan batas tingkat lethal < 10 – 15°C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 15°C atau diatas 33 °C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15 – 22 °C dan 30 – 33 °C. Hasil pengukuran salinitas selama pemeliharaan udang vaname berkisar 7,01-8,58. Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3 – 8,5 dengan torelansi 6,5 – 9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4 – 8,9 dengan nilai optimum 8,0.

Hasil pengukuran salinitas selama pemeliharaan udang vaname berkisar 27,02-37,44 ppt. Menurut Bray et al. (1994) menyatakan bahwa udang vanname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 1-40 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15-25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. (Zweig et al. 1999). Menurut Mc Graw dan Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5 – 45 ppt.

Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Hasil pengukuran oksigen terlarut selama pemeliharaan udang vaname berkisar 2,33-7,60 mg/L. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vaname > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005) menngemukakan bahwa tanda-tanda sederhana terjadinya kekurangan oksigen yaitu udang berenang dipermukaan air atau berkumpul disekitar inlet air tambak. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan pemakaian kincir air. Nilai DO minimal pada malam hari dianjurkan tidak kurang dari 3 mg/L. Sedangkan untuk mengantisipasi oksigen yang terlalu tinggi akibat blooming plankton dilakukan dengan pergantian air (pengenceran) dan pengaturan jam operasional kincir air.

Hasil pengatan kandungan TAN pada media pemeliharaan udang vaname berkisar 0,41 – 3,46 mg/L. Hari et al. (2004) mendapatkan kandungan TAN pada media pemeliharan udang sistem indoor dengan perlakuan kandungan protein pakan 25% dan 40% tanpa bioflok diperoleh nilai TAN sebesar 4,7 dan 9,0 mg/L. sedangkan perlakuan protein pakan 25% dan 40% dengan bioflok diperoleh kandungan TAN sebesar 3,1 dan 3,7 mg/L. Menurut Crab et al. (2007) bahwa TAN bersifat toksik terhadap udang pada tingkat konsentrasi yang tinggi, batas maksimum konsentrasi TAN di perairan adalah 1,5 mg N/L. Penelitian yang dilakukan oleh Avnimelech (1999) menunjukkan adanya efek penambahan karbohidrat terhadap TAN. Dimana terjadi penurunan akumulasi TAN dengan penambahan glukosa sebagai sumber karbon. Diasumsikan amonium nitrogen (TAN) pada perairan sekitar 10 mg/L dan konsentrasi glukosa yang ditambahkan 20 kali lebih tinggi dari TAN atau untuk mereduksi konsentrasi total amonium nitrogen (TAN) dengan 1 ppm N ( 1 g N/m3) dibutuhkan sumber karbon sebesar 20 g/ m3, didapatkan bahwa semua amonium hilang setelah 2 jam.

Hasil pengamatan kadar TSS pada media pemeliharan udang vaname berkisar antara 8,8-630 mg/L. Nilai TSS tersebut tergolong tinggi, sehingga harus dikeluarkan/siphon secara periodik sehingga tidak membahayakan udang vaname. Azim dan Little (2008) memperoleh nilai TSS pada media budidaya ikan nila dengan sistem bioflok sebesar 560 – 597 mg/L. Menurut Avnimelech (2009) nilai normal TSS pada tambak udang intensif adalah pada kisaran 50 – 300 mg/L, sedangkan pada kolam budidaya ikan secara intensif mencapai 1000 mg/L.

(7)

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien variasi dari ketiga tahap panen berkisar antara 12,7-14,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar 85% ukuran udang yang dipanen memiliki bobot yang relatif seragam.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Prof Riset. Dr. Ir. Rachman Syah selaku Penanggungjawab Utama Kegiatan Penelitian ini serta rekan-rekan peneliti dan teknisi yang telah membantu dengan penuh tanggung jawab, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Penelitian ini dibiayai dari DIPA Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Tahun Anggaran 2013.

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. KKP optimis produksi udang 2013 capai 608 ribu ton. sindonews.com Tanggal 21 Agustus 2013.

Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176, 227−235.

Azim, M.E. & D.C. Little. 2008. The bioflok technology (bft) in door tanks: water quality, biofloc composition, and growth and wealfare of nila tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 283: p 29-35.

Boyd, C.E. 1982. Water quality for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 312 p

_______. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University. Birmingham Publishing Co, Alabama. USA. 482 p.

Bray, W.A., A.L. Lawrence & J.R. Leung –Trujillo. 1994. The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei with observations on interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122: 133 – 146.

Budianto, A., Ngawit & Sudika. 2009. Keragaman genetik beberapa sifat dan seleksi klon berulang sederhana pada tanaman bawang merah kultivar Ampenan. Crop Agro. Vol.2. No.1. 7 hal. Budiardi,T., R.D. Salleng dan N.B.P. Utomo. 2005. Penokolan udang windu, Penaeus monodon Fab.

dalam hapa pada tambak intensif dengan padat tebar berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 153–158.

Budiardi,T., N. Gemawaty & D. Wahjuningrum. 2007. Produksi ikan neon tetra Paracheirodon Innesi ukuran L pada padat tebar 20, 40 dan 60 ekor/liter dalam sistem resirkulasi. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 211–215.

Cholik, F. & A. Mustafa. 1987. Keragaman berat udang windu hasil budidaya di tambak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Vol 3 No.1: 22-27. Clifford, H.C. 1998. Management of ponds stocked with blue shrimp L. stylirostris. In Print, Proceedings

of the 1st Latin American Congress on Shrimp Culture, Panama City, Panama, 101- 109 p. Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier and W. Verstraete. 2007. Nitrogen removal techniques

in aquaculture for sustainable production. Aquaculture 270. p. 1-14.

Gomez, K. A. & A. A. Gomez. 1995. Prosedur statistika untuk penelitian pertanian. Terjemahan dari: Statistical Procedure for Agriculture Research. Penerjemah: E.Sjamsuddin dan J.S.Baharsjah.

(8)

Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

Haliman, R.W. & D. Adijaya S. 2005. Udang vannamei, pembudidayaan dan prospek pasar udang putih yang tahan penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hal.

Hari, B, Kurup B.M., Vargeshe J.T., Schrama J.W. & Verdegem M.C.J. 2004. Effect of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture 241.p. 179-194. Harinaldi, 2005. Prinsip-prinsip statistik untuk teknik dan sains, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hermawan, D. 2013. Monitoring kesehatan larva udang vannamei (L. vannamei) di PT. Suri Tani Pemuka unit hatchery Banyuwangi Desa Selogiri Kecamatan Ketapang Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Laporan Praktek Kerja Lapang. Akademi Perikanan Sidoarjo. Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan.

Kamlawi, Arsyad, Ikhsan & Sudarto. 2012. Performa pertumbuhan populasi benih ikan patin siam

(Pangasius hypophtalmus) generasi G1. Prosiding Pertemuan Teknisi Litkayasa. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Hal:261-264.

Mc Graw, W.J. & J. Scarpa. 2002. Determining ion concentration for L. vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3): 36-37.

Moos, S.M., C.A. Otoshi, P. Leung. 2005. Bigger shrimp: optimizing strategies for growing larger L. vanamei. Global Aquaculture Advocate. October 2005:68-69

Mustafa, A., M. Tjaronge & F. Cholik. 1987. Keragaman panjang udang windu hasil budidaya di Tambak Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Vol 3 No.2: 65-74.

Rachmansyah, E. Susianingsih, M. Mangampa, S. Tahe, Makmur, M. C. Undu. H. S. Suwoyo. A. I. J. Asaad, B. R. Tampangallo, E. Septiningsih. 2013. Laporan teknis akhir kegiatan pengembangan budidaya udang vaname superintensif di tambak kecil. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Raupong & Annisa, 2011. Mata kuliah perancangan percobaan. Program Studi Statistika. Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin. Setiawan, A. 2012. Perbandingan koefisien variasi antara 2 sampel dengan metode bootstrap (studi

kasus pada analisis inflasi bulanan komoditas beras, cabe merah dan bawang putih di kota semarang). JdC, Vol. 1 (1): 19-25.

Suprapto, 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (L. vannamei). CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hal.

Supriyono, E., E. Purwanto & N. B. P. Utomo. Produksi Tokolan Udang Vanamei (L. Vannamei) Dalam Hapa Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(1): 57-64 (2006)

Tampake, H., D. Pramono & H.T.Luntungan. 1992. Keragaman fenotipik sifat-sifat generatif komponen buah beberapa jenis kelapa di lahan gambut Pasang Surut, Sumatera Selatan. Buletin Balitka (18): 21.

Wyban, J.A, Sweeny J.N. 1991 Intensive shrimp production technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p.

(9)

Resources Economics, Volume 21,pp301-315.

Yu, R., P. Leung, L.E. Kam, P. Bienfang. 2010. A decision support system for scheduling partial harvesting in aquaculture. 2010. IGI. Global: 406-509.

Zweig R.D., Morton J.D., Stewart M.M. 1999. Source water quality for aquaculture. A Guide for Assessment. Enviromentally and Socially Sustainable Development. The World Bank Washington DC. U.S.A. 62 p.

Tanya Jawab

1. Penanya : Bambang Triyatmo

Pertanyaan : Model Automatic Feeder diperoleh darimana? Bagaimana analisa kualitas air? Bagaimana produksi dan FCR yang kepadatannya rendah (500 – 600)? Bagaimana

sistem IPAL?

Jawaban : Model Automatic Feeder diperoleh dari Jawa Timur dengan sistem yang diatur sedemikian rupa, ada pengaturan secara manual dan terbatas karena harus disetting setiap 30 menit sekali. Kualitas air bisa dilakukan secara otomatis baik suhu atau pH-nya. Dari hasil keseragaman ukuran relatif untuk 600, karena jumlah yang ditebar perlakuan lebih banyak. Sistem IPAL sudah dilakukan, modelnya yaitu sedimentasi, biokonversi, dan bioally.

2. Penanya : Ida Adha Anrosana P.

Pertanyaan : Kepadatan fungsi > 600 ekor? Permintaan pasar dari mana saja? Pernah atau tidak terkena penyakit? Jika iya, penyakit apa yang dominan?

Jawaban : Penelitian kami hingga tahun 2014 kepadatannya ditingkatkan mulai 750, 1000, dan 1250 ekor/m2. Permintaan pasar terdapat dari Sulawesi dan Jawa serta langsung diekspor ke luar negeri. Selama masa pemeliharaan sampai sejauh ini siklus masih aman dan melakukan pencegahan terhadap penyakit WSSV.

Gambar

Tabel 1. Spesifikasi tambak percobaan
Tabel 2. Keragaman hasil panen udang vaname super intensif.
Tabel 3. Nilai peubah kualitas air selama pemeliharaan udang vaname super intensif

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk pemberian kompensasi kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b, telah dialokasikan dana kompensasi guna memberikan kompensasi atas

Pada pengolahan secara biologis, pertumbuhan mikroorganisme dapat dilakukan secara melekat pada permukaan media penyangga (attached growth), yakni suatu proses pengolahan

Keluarga besar HMP PPKn periode 2015 dan BEM FKIP UMS periode 2016 terima kasih atas dukungan semangat, doa serta ilmu dan pengalaman yang luar biasa ini semoga

Tinjauan Tanah Asli dan Tanah + Pasir Vulkanik Merapi 88 Gambar 5.19 Grafik Hasil Pengembangan Pada CBR Rendaman dengan. Tinjauan Tanah Asli dan Tanah + Gipsum +

Penelitian yang dilakukan oleh purba (2011) dengan menggunakan enam variabel independen yaitu kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan,

Definisi konsepsional dalam penelitian ini yakni pelaksanaan erau di Kutai Kartanegara dalam perspektif komunikasi lintas budaya adalah suatu proses upacara adat yang

kemudian Anak korban berlari ke dalam ruang kelas, beberapa saat kemudian Anak korban kembali keluar dari ruang kelas dan bertemu kembali dengan Anak yang

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai media yang bisa digunakan dalam materi operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan