• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A. Deskripsi Konseptual 1. Perilaku Menyontek

Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan mudah ditemukan yaitu perilaku menyontek. Perilaku menyontek terjadi pada semua tingkatan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebagian besar siswa sudah sangat mengenal istilah menyontek, hal ini dikarenakan ada yang melakukan tindakan menyontek atau hanya sebatas mengetahui perilaku tersebut dari teman-teman, maka dari itu, di bawah ini akan dijelaskan tentang definisi, indikator, bentuk-bentuk dan penyebab menyontek.

a. Definisi Menyontek

Abdullah Alhadza dalam Admin mengutip pendapat dari Bower, 1964 (Sujinalarifin, 2009) yang mendefinisikan “cheathing is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” yang berarti menyontek adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan sah atau terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis, sedangkan menurut Donald D. Carpenter (Hartanto, 2012:10) menjelaskan bahwa menyontek dapat dimaknai sebagai perilaku ketidakjujuran akademik.

(2)

Sejalan dengan pernyataan Carpenter, Wilkinson (Barzegar dan Khezin, 2011) menyatakan bahwa menyontek adalah menyalin dari siswa lain selama ujian, salah satu dari perbuatan yang tidak baik yang menjadi salah satu dari masalah yang serius dalam institusi pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, menyontek adalah perbuatan tidak jujur yang dilakukan dengan cara menjiplak, mengutip tulisan sebagaimana aslinya dengan tujuan mendapatkan keberhasilan akademik.

b. Indikator Menyontek

Menyontek sebagai perilaku ketidak jujuran akademis memiliki indikator. Hartanto (2012: 23-29) menjelaskan terdapat delapan indikator menyontek, yaitu sebagai berikut :

1. Prokraktinasi dan Self-efficacy

Gejala yang paling sering ditemui pada siswa yang menyontek adalah prokraktinasi dan rendahnya self-efficacy. Prokraktinasi (kebiasaan menunda-nunda tugas penting) menjadi gejala yang sering ditemui pada siswa yang menyontek karena siswa yang diketahui menunda-nunda pekerjaan memiliki kesiapan yang rendah dalam menghadapi ujian atau tes. Pernyatan tersebut diperkuat oleh studi yang dilakukan oleh Ferrari & Beck (1998; Miguel Roig & Marissa Caso: 2005) yang menjelaskan bahwa prokraktinasi menjadi indikasi bagi perilaku menyontek.

(3)

Rendahnya self-efficacy (kepercayaan akan kemampuan diri untuk bertindak) merupakan indikasi lain dari perilaku menyontek. Siswa dengan tingkat keyakinan diri yang tinggi cenderung lebih percaya diri dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan lebih baik dan cenderung menolak melakukan tindakan menyontek.

2. Kecemasan yang berlebihan

Munculnya kecemasan yang berlebihan juga merupakan gejala lain dari siswa yang menyontek. Kecemasan yang berlebihan pada siswa memberikan stimulus pada otak untuk tidak dapat bekerja sesuai dengan kemampuannya. Keadaan tersebut membuat siswa terdorong melakukan perilaku menyontek untuk menciptakan ketenangan pada dirinya.

3. Motivasi belajar dan berprestasi

Pintrich (Hartanto, 2012:25) menyatakan bahwa siswa yang memiliki motivasi berprestasi akan berusaha menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya melalui usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya. Pernyataan tersebut dapat berarti siswa yang memiliki motivasi berprestasi akan menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa menyontek.

Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah akan menyelesaikan tugas atau pekerjaan dengan apa adanya dan lebih memilih untuk meminta bantuan kepada orang laian. Hal tersebut

(4)

dikarenakan siswa ingin berprestasi baik akan tetapi motivasi belajarnya rendah sehingga untuk mendapatkan prestasi yang baik maka siswa tersebut menggunakan jalan pintas yaitu dengan cara menyontek.

4. Keterikatan pada kelompok

Siswa yang memiliki keterikatan pada kelompok cenderung akan melakukan kegiatan menyontek. Hal tersebut terjadi karena siswa merasa memiliki ikatan yang kuat diantara mereka, sehingga mendorong untuk saling menolong dan berbagi, termasuk dalam menyelesaikan tugas atau tes dan ujian yang sedang dilakukan. 5. Keinginan mendapatkan nilai tinggi

Keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi juga menjadi gejala lain bagi perilaku menyontek. Siswa yang berpikir bahwa nilai adalah segalanya dan akan berusaha mendapatkan nilai yang baik dengan berbagai macam cara termasuk menyontek.

6. Pikiran negatif

Pikiran negatif yang dimiliki siswa adalah ketakutan dikatakan bodoh dan dijauhi oleh teman-temannya, ketakutan dimarahi oleh orang tua dan guru karena mendapatkan nilai yang jelek.

7. Harga diri dan kendali diri

Seorang siswa yang memiliki harga diri yang tinggi atau berlebih akan cenderung melakukan perbuatan menyontek.

(5)

8. Perilaku impulsive dan cari perhatian

Siswa yang menyontek menunjukkan indikasi impulsive (terlalu menuruti kata hati) dan terlalu mencari perhatian . Individu atau siswa dikatakan impulsive jika keputusan yang ia buat lebih banyak didasarkan pada dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dibandingkan memikirkan alasan. Individu atau siswa lain memiliki kebutuhan akan sensasi (perhatian) yang berlebihan adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang tersebut melakukan perbuatan menyontek yang dianggap bersifat alami sehingga harus terus diikuti untuk terus bertahan hidup.

Berdasarkan indikator perilaku menyontek yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa ada delapan indikator menyontek, yaitu (1) menunda-nunda tugas dan kepercayaan diri, (2) kecemasan yang berlebihan, (3) motivasi belajar dan berprestasi, (4) keterikatan pada kelompok, (5) keinginan mendapatkan nilai tinggi, (6) pikiran negatif, (7) harga diri, dan (8) mencari perhatian.

c. Bentuk-Bentuk Menyontek

Bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Klausmeier (1985, h. 388), menyontek dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes. b. Mencontoh jawaban siswa lain.

(6)

d. Mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis dalam peraturan ujian maupun yang ditetapkan oleh guru.

Bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Hertherington and Feldman (Hartanto, 2012:17) menyebutkan empat perilaku menyontek, yaitu:

1. Individualistic-Opportunistic

a. Menggunakan HP atau alat ektronik lain yang dilarang ketika ujian berlangsung.

b. Mempersiapkan catatan untuk digunakan sebagai saat ujian akan berlangsung.

c. Melihat dan menyalin sebagian atau seluruh hasil kerja teman yang lain pada saat tes.

2. Individual-Planned

a. Mengganti jawaban ketika guru keluar kelas. b. Membuka buku teks ketika ujian berlangsung. c. Memanfaatkan kelengahan/kelemahan guru. 3. Social Active

a. Melihat jawaban teman yang lain ketika ujian berlangsung. b. Meminta jawaban kepada teman lain ketika ujian sedang

berlangsung. 4. Social-Passive

a. Mengijinkan orang lain melihat jawaban ketika ujian. b. Membiarkan orang lain menyalin pekerjaannya.

(7)

c. Memberikan jawaban tes pada teman pada saat tes berlangsung. Berdasarkan uraian mengenai bentuk-bentuk perilaku menyontek, dapat disimpulkan bentuk-bentuk perilaku menyontek adalah menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes, mencontoh jawaban siswa lain, memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman, dan mengelak dari aturan-aturan.

d. Penyebab Menyontek

Hartanto (2012, 37-38) dalam bukunya merangkum dari berbagai sumber penyebab individu melakukan perilaku menyontek adalah sebagai berikut.

1. Adanya tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi

Keinginan siswa pada dasarnya adalah sama, yaitu mendapatkan nilai yang baik (tinggi). Keinginana tersebut yang tekadang membuat siswa melakukan berbagai macam cara termasuk menyontek.

2. Keinginan untuk menghindari kegagalan

Hal yang paling sering dialami oleh siswa adalah ketakutan mendaptakan kegagalan. Bentuk dari kegagalan adalah takut tidak naik kelas dan mengikuti ulangan susulan. Hal tersebut yang memicu terjadinya perilaku menyontek.

3. Adanya persepsi bahwa sekolah melakukan hal yang tidak adil Sekolah dianggap hanya memberikan perhatian ke siswa-siswi yang cerdas dan berprestasi sehingga siswa-siswi yang memiliki

(8)

kemampuan menengah merasa tidak diperhatikan dan dilayani dengan baik.

4. Kurangnya waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah

Banyaknya tugas yang diberikan kepada siswa dan waktu penyerahan tugas yang secara bersamaan membuat siswa kesulitan dalam membagi waktu mengerjakan tugas-tugas tersebut.

5. Tidak adanya sikap yang menentang perilaku menyontek di sekolah Perilaku menyontek kadang-kadang dianggap baik oleh siswa sebagai pelaku maupun oleh guru. Oleh sebab itu, banyak siswa yang membiarkan perilaku menyontek atau kadang justru membantu terjadinya perilaku tersebut.

2. Kemampuan Penalaran Matematis

a. Definisi Kemampuan Penalaran Matematis

Menurut Suriasumantri (1999:42), penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Shadiq (2009), penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau suatu proses berpikir dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa kenyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.

Dalam NCTM (2000) penalaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam melakukan pembelajaran matematika. Hal tersebut

(9)

sejalan dengan Shadiq (2009), bahwa materi matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dipahami melalui belajar matematika. Oleh karena itu, kemampuan penalaran harus dimiliki oleh siswa dalam menyelesaiakan persoalan matematika.

Berdasarkan uraian di atas, dapat didefinisikan bahwa kemampuan penalaran matematis merupakan kesanggupan untuk melakukan sesuatu atau suatu proses berpikir yang bersifat sistematis untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.

b. Indikator Kemampuan Penalaran Matematis

Salah satu tujuan mata pelajaran matematika dalam SI dan SKL matematika SMP menurut Wardhani (2008:8) menyebutkan bahwa siswa harus memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat geneneralisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika. Sedangkan dalam Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 menyebutkan aktifitas yang dinilai dalam penalaran matematis siswa, yaitu: (a) mengidentifikasi contoh dan bukan contoh; (b) menduga dan memerikasa kebenaran suatu pernyataan; (c) mendapatkan atau memeriksa kebenaran dengan penalaran induksi; (d) menyusun algoritma proses pengerjaan/pemecahan masalah matematika; (e) membuktikan rumus dengan penalaran induksi. Penalaran dibagi menjadi dua macam yaitu penalaran induktif dan

(10)

penalaran deduktif, yang dinyatakan dalam Depdiknas (Shadiq, 2009 ) sebagai berikut:

“Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya. Sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, dalam pembelajaran, pemahaman konsep sering diawali secara induktif mellaui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi”.

Terkait uraian di atas, diketahui bahwa penarikan kesimpulan dalam matematika dibagi menjadi dua, yaitu secara induktif dan deduktif.

1) Penalaran Induktif

Penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum (Wardhani, 2008:12). Sedangkan menurut Ihsan (2010), penalaran induktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan pada satu proses berpikir dengan menyimpulkan sesuatu yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Shadiq (2009), menyatakan bahwa penalaran induktif terjadi ketika proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta khusus yang sudah diketahui menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.

(11)

Dapat disimpulkan bahwa penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan dari pernyataan khusus menjadi menjadi kesimpulan yang bersifat umum.

2) Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif adalah suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus (Wardhani, 2008:12). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Shadiq (2009) bahwa penalaran deduktif merupakan proses berpikir dari bentuk umum ke bentuk khusus.

Menurut Sumarmo dan Hendriana (2014: 38), kegiatan yang tergolong penalaran deduktif, yaitu: (a) melaksanakan perhitungan bedasarkan aturan atau rumus tertentu; (b) menarik kesimpulan logis (penalaran logis); (c) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika; (d) menyusun analisis dan sintesis beberapa kasus.

Dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktif merupakan proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus.

Berdasarkan kedua uraian kemampuan penalaran matematis di atas, maka pada penelitian ini indikator yang akan diukur oleh peneliti yaitu: a. Mampu mengajukan dugaan

Adalah kemampuan siswa dalam merumuskan/menemukan berbagai kemungkinan alternatif penyelesaian persoalan atau permasalahan

(12)

dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Kriteria pada soal yaitu apabila siswa dapat menduga, menyebutkan, dan memberikan alasan dari jawabannya.

b. Mampu melakukan manipulasi matematika

Adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan/mengerjakan suatu permasalahan dengan menggunakan cara sehingga mempermudah perhitungan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika. Kriteria pada soal yaitu apabila siswa dapat menyelesaikan /menentukan suatu nilai dengan cara dari yang ditanyakan pada soal. c. Mampu memerikasa kesahihan suatu argumen

Adalah kemampuan yang menghendaki siswa agar mampu menyelelidiki tentang kebenaran dari suatu pernyataan yang ada. Kriteri pada soal yaitu siswa dapat membuktikan kebenaran dari suatu pernyataan yang ada pada soal.

d. Mampu menarik kesimpulan dari pernyataan

Adalah kemampuan dalam menekankan pada kejelian siswa dalam melakukan kebenaran dari suatu pernyataan. Kriteria pada soal yaitu apabila siswa dapat menyimpulkan inti pernyataan pada soal dan dapat menyelsaikannya.

3. Pokok Bahasan

Dalam penelitian ini kemampuan penalaran matematis siswa yang akan diukur adalah pada pokok bahasan relasi dan fungsi, yaitu lebih

(13)

spesifiknya memahami relasi fungsi dan menentukan nilai fungsi, sesuai dengan silabus mata pelajaran matematika sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah kelas VIII, pokok bahasan relasi dan fungsi meliputi:

Standar Kompetensi :

1. Memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi, dan persamaan garis lurus. Kompetensi dasar :

1.3 Memahami relasi dan fungsi 1.4 Menentukan nilai fungsi Indikator :

1.3.1 Menentukan fungsi yang dapat terbentuk dan menyatakannya dalam diagram panah berdasarkan pada gambar.

1.3.2 Menentukan range dari suatu pernyataan dalam kehidupan sehari-hari.

1.4.1 Menyatakan suatu fungsi dengan notasi

1.4.2 Menentukan bentuk fungsi jika nilai dan data fungsi diketahui.

B. Penelitian Relevan

Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2014), menyimpulkan bahwa di SMP Muhammadiyah 5 Purbalingga memiliki perilaku menyontek dengan frekuensi 36 siswa dengan presentase 41,86% kelompok sedang, 3 siswa dengan presentase 3,49% kelompok sangat tinggi, 23 siswa dengan presentase

(14)

26,74% kelompok tinggi, 22 siswa dengan presentase 25,58% kelompok rendah, dan 2 siswa dengan presentase 2,33% dalam kelompok sangat rendah.

Kemudian mengenai perilaku menyontek dalam jurnal ilmiah oleh Kushartanti (2009), menyimpulkan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah perilaku menyontek, dan semakin rendah kepercayaan diri maka semakin tinggi perilaku menyontek.

Berkenaan dengan kemampuan penalaran matematis dalam penelitiannya Tarigan (2012), menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah bagi siswa dengan kemampuan penalaran tinggi: (1) dapat menentukan syarat cukup dan syarat perlu dalam memahami masalah; (2) dapat menentukan keterkaitan syarat cukup dan syarat perlu dalam tahap perencanaan masalah; (3) dapat menyelesaikan masalah dengan langkah-langkah yang benar dan tepat; (4) dapat menggunakan informasi yang sudah ada untuk memeriksa kembali jawaban yang diperoleh. Kemampuan pemecahan masalah bagi siswa dengan penalaran sedang: (1) dapat menentukan syarat cukup dan syarat perlu dalam memahami masalah; (2) dapat menentukan keterkaitan syarat cukup dan syarat perlu dalam tahap perencanaan masalah; (3) dapat menyelesaikan masalah dengan langkah yang benar dan tepat; (4) dapat menggunakan informasi yang sudah ada untuk memeriksa kembali jawaban yang diperoleh. Sedangkan kemampuan pemecahan masalah bagi siswa penalaran rendah: (1) tidak dapat menentukan syarat cukup dan syarat perlu dalam memahami masalah; (2) tidak dapat menentukan keterkaitan syarat cukup dan syarat perlu dalam tahap perencanaan masalah; (3) tidak dapat

(15)

menyelesaikan masalah dengan langkah yang benar dan tepat; (4) tidak dapat menggunakan informasi yang sudah ada untuk emmeriksa kembali jawaban yang diperoleh.

Selain itu terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Razak dkk (2016), menyimpulkan bahwa pada model pembelajaran GI dengan saintifik, siswa yang mempunyai kemampuan penalaran tinggi memiliki hasil belajar yang smaa baiknya dengan kemampuan penalaran sedang, siswa yang mempunyai kemampuan penalaran sedang memiliki hasil belajar sama baiknya dengan siswa yang mempunyai kemampuan penalaran rendah. namun, siswa yang mempunyai kemampuan penalaran tinggi mempunyai hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai kemampuan penalaran rendah. Sedangkan pada model pembelajara TPS dan pembelajaran klasikal dengan saintifik, siswa dengan semua tingkat kemampuan penalaran mempunyai hasil belajar yang sama.

Penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian relevan yang ada, yaitu tentang deskripsi perilaku menyontek siswa ditinjau dari kemampuan penalaran matematis. Penelitian ini hanya sebatas untuk mendapatkan gambaran perilaku menyontek siswa ditinjau dari kemampuan penalaran matematis pada siswa kelas VIII SMP Ma’arif NU 2 Majenang.

C. Kerangka Pikir

Menyontek menurut Donald D. Carpenter (Hartanto, 2012:10) adalah perilaku ketidak jujuran akademik. Menurut Hertherington and Feldman

(16)

(Hartanto: 2012) terdapat empat macam bentuk menyontek, yaitu individualistic-opportunistic, individual-planned, active, dan social-passive. Sedangkan penyebab menyontek, yaitu (1) adanya tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi; (2) keinginan untuk menghindari kegagalan; (3) adanya persepsi bahwa sekolah melakukan hal yang tidak adil; (4) kurangnya waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah; dan (5) tidak

adanya sikap yang menentang perilaku menyontek di sekolah. Untuk menentukan perbuatan menyontek diperlukan suatu indikator, terdapat delapan indikator seperti yang disebutkan oleh Hartanto (2012:23-29), yaitu (1) menunda-nunda pekerjaan dan kepercayaan diri; (2) kecemasan yang berlebihan; (3) motivasi belajar dan berprestasi; (4) keterikatan pada kelompok; (5) keinginan mendapatkan nilai tinggi; (6) pikiran negatif; (7) harga diri; dan (8) mencari perhatian.

Selanjutnya, perilaku menyontek siswa tersebut ditinjau dari kemampuan penalaran matematisnya. Kemampuan penalaran matematis merupakan kesanggupan untuk melakukan sesuatu atau suatu proses berpikir yang bersifat sistematis untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Untuk menentukan soal kemampuan penalaran matematis diperlukan suatu indikator, dalam kajian ini terdapat empat indikator yaitu mampu mengajukan dugaan, mampu memanipulasi matematika, mampu memeriksa kesahihansuatu argumen, dan mampu menarik kesimpulan dari

(17)

suatu pernyataan. Pada kajian teori ditunjukkan bahwa kemampuan penalaran dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kategori penalaran tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan teori tersebut diduga ada perilaku menyontek pada masing-masing kelompok penalaran.

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman masyarakat Bandar Lampung akan makna sebuah pernikahan tersebut adalah sesuai dengan makna dan arti pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Nomor

Xiangping Wu (2012) meneliti tentang faktor–faktor yang mempengaruhi turnover intention pada industri retail Bangkok dan hasil penelitian ini menegaskan bahwa

Biaya variabel yaitu tenaga kerja biaya tenaga kerja yang dihitung hanya biaya pemeliharaan rambutan sebesar Rp 160.963.33 didapat dari jumlah orang kerja dikali hari

Jumlah / Volume yang disepakati dalam perjanjian ini sesuai jumlah dalam volume kontrak antara pihak pertama dengan pihak pabrik / PKS yang menjadi rekrsnan /

Oleh karena itu diperlukannya kesadaran dalam diri Polisi Lalu lintas untuk menanamkan kepercayaan akan bahaya / ancaman yang akan ditimbulkan oleh polusi udara; adanya

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.. Semua sumber yang

Kegiatan Bantuan Hukum dan pertimbangan hukum Kejaksaan kepada

Pada pertemuan kedua siklus I yang diperoleh dari aktivitas siswa adalah 26 dengan rata-rata 2,9 (72,22%) kategori baik.Pada pertemuan kedua ini aktivitas siswa sudah