• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Muhammad Ma ruf 02/156813/PA/ Pembimbing: Dr. Indriana Kartini, M.Si. Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita, M.Si.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Muhammad Ma ruf 02/156813/PA/ Pembimbing: Dr. Indriana Kartini, M.Si. Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita, M.Si."

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

i

SURYA BERBASIS SENSITISER ZAT WARNA

Muhammad Ma’ruf 02/156813/PA/08956

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat Sarjana Sains Ilmu Kimia

Pembimbing: Dr. Indriana Kartini, M.Si.

Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita, M.Si.

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA

JOGJAKARTA 2007

(2)

ii

UNDERGRADUATE THESIS

PREPARATION OF TiO2-EXTRACT OF THE RIND OF MANGOSTEEN (Garcinia Mangostana L.) FILM FOR DYE SENSITIZED SOLAR CELLS

Muhammad Ma’ruf 02/156813/PA/08956

Submitted to fulfill one of the requirements to obtain the degree of Sarjana Sains in Chemistry

Supervisors : Dr. Indriana Kartini, M.Si.

Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita, M.Si.

CHEMISTRY DEPARTMENT

FACULTY OF MATHEMATICS AND NATURAL SCIENCES GADJAH MADA UNIVERSITY

JOGJAKARTA

(3)

iii

SURYA BERBASIS SENSITISER ZAT WARNA

Muhammad Ma’ruf 02/156813/PA/08956

Dinyatakan lulus ujian skripsi dalam Ujian Skripsi Pada tanggal 6 Januari 2007

DEWAN PENGUJI

Dr. Indriana Kartini, M.Si. Ketua/Pembimbing I

Dr. AH Bambang Setiaji Anggota

Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita, M.Si. Anggota/Pembimbing II

Dr. Bambang Rusdiarso, DEA Anggota

(4)

iv PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi berjudulKajian Pembuatan Lapis Tipis TiO2-Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia Mangostana L.) sebagai Elektroda Kerja

dalam Sel Surya Berbasis Sensitiser Zat Warna”. Penyelesaian penulisan skripsi ini tak lepas dari kemurahan hati dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu dengan segenap kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Indriana Kartini sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

2. Bp. Dr. rer. nat. Nurul Hidayat Aprilita sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing penulis dan memberikan arahan dalam penulisan skripsi. 3. Pimpinan dan seluruh staf Laboratorium Kimia Anorganik yang telah

memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.

4. Bapak, Ibu, kakak dan adikku tersayang serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dorongan semangat serta pengorbanan material maupun spiritual untuk studi penulis.

5. RUT XII sebagai sumber dana terlaksananya penelitian ini.

6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk para peneliti selanjutnya.

Jogjakarta, November 2006

(5)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PRAKATA…... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI….. ... xiii

ABSTRACT…... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

I.1 Latar Belakang... 1

I.2 Tujuan Penelitian ... 10

I.3 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

II.1 Sel Surya Berbasis Sensitiser Zat Warna (DSSC)... 13

II.2 Sensitiser DSSC ... 19

II.3 Zat warna alami antosianin... 22

II.4 Buah Manggis... 24

II.4.1 Morfologi dan taksonomi buah manggis... 24

II.4.2 Manfaat kulit buah manggis ... 25

II.4.3 Kandungan kimia kulit buah manggis... 25

II.4.4 Ekstraksi zat warna... 25

BAB III LANDASAN TEORITIK, HIPOTESIS DAN RANCANGAN EKSPERIMEN... 27

III.1 Landasan Teoritik... 27

III.1.1 Sel surya berbasis sensitiser zat warna... 27

III.1.2 Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna... 29

III.1.3 Kinerja sel surya... 30

(6)

vii

III.1.5 Teknik pelapisan TiO2 pada substrat kaca ... 37

III.1.6 Zat warna sebagai sensitiser sel surya... 38

III.1.7 Adsorpsi zat warna pada lapis tipis TiO2... 40

III.1.8 Metode analisis dengan spektrofotometer UV-Vis... 42

III.2 Hipotesis... 43

III.3 Rancangan Eksperimen... 45

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 47

VI.1 Bahan dan Alat... 47

VI.1.1 Bahan ... 47

VI.1.2 Alat... 47

VI.2 Prosedur Penelitian ... 48

VI.2.1 Preparasi lapis tipis TiO2... 48

VI.2.1.1 Perlakuan asam terhadap serbuk TiO2... 48

VI.2.1.2 Pencucian substrat kaca ... 48

VI.2.1.3 Pelapisan TiO2 pada substrat kaca ... 48

VI.2.2 Ekstraksi zat warna dari kulit buah manggis ... 49

VI.2.3 Optimasi adsorpsi ekstrak kulit manggis pada lapis tipis TiO2... 50

VI.2.3.1 Variasi pelapisan lapis tipis TiO2... 50

VI.2.3.2 Penentuan waktu interaksi optimum... 50

VI.2.3.3 Penentuan konsentrasi awal optimum... 51

VI.2.4 Karakterisasi ... 51

VI.2.4.1 Metode difraksi sinar X ... 51

VI.2.4.2 Spektrofotometri inframerah... 52

VI.2.4.3 Scaning Electron Microscopy (SEM) ... 52

VI.2.4.4 Spektrofotometri UV-Visibel... 53

VI.2.5 Kinerja sel surya TiO2 tersensitisasi zat warna ekstrak kulit manggis ... 53

VI.2.5.1 Pembuatan larutan elektrolit ... 53

VI.2.5.2 Pembuatan elektroda kerja dan elektroda lawan... 53

(7)

viii

V.1.2 Pelapisan TiO2 pada substrat kaca dengan menggunakan

teknik spray... 58

V.1.3 Karakterisasi serbuk dan lapis tipis TiO2... 61

V.1.3.1 Karakterisasi gugus fungsional ... 61

V.1.3.2 Karakterisasi fasa dan ukuran kristal ... 64

V.1.3.2 Karakterisasi morfologi lapis tipis ... 69

V.2 Optimasi adsorpsi zat warna ekstrak kulit manggis pada lapis tipis TiO2... 75

V.2.1 Penentuan ketebalan lapis tipis optimum... 77

V.2.2 Penentuan waktu interaksi optimum ... 78

V.2.3 Penentuan konsentrasi optimum... 79

V.3 Kajian serapan elektronik sistem lapis tipis TiO2-ekstrak kulit manggis ... 82

V.4 Karakterisasi sel surya TiO2 dengan menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai sensitiser ... 88

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

VI.1 Kesimpulan ... 95

VI.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA... 97

(8)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Distribusi jenis sel surya di pasaran dunia tahun 1998

(World market 1998 by Technology dalam Halme, 2002) ... 6

Gambar II.1 Struktur antosianin... 23

Gambar III.1 Susunan sel surya berbasis sensitiser zat warna ... 27

Gambar III.2 Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna (Kartini, 2004) ... 29

Gambar III.3 Tipe kurva I-V dari sel surya ... 31

Gambar III.4 Struktur kristal TiO2 (Farell, 2001 dalam Heriyanti, 2006)... 33

Gambar III.5 Pembentukan band gap pada semikonduktor (Hoffmann et al., 1995) ... 35

Gambar IV.1 Susunan sel surya ... 54

Gambar IV.2 Kontak pada konstruksi sel surya... 54

Gambar IV.2 Diagram alat pengukuran I-V sel surya... 55

Gambar V.1 Morfologi permukaan lapisan TiO2 diatas substrat kaca pada perbesaran 3000x (a) teknik slip (Heriyanti, 2006), (b) teknik spray tanpa perlakuan asam (Yufita, 2006) ... 58

Gambar V.2 Grafik hubungan antara berat lapis tipis rata-rata dengan frekuensi pelapisan... 60

Gambar V.3 Spektra FTIR, (a) serbuk TiO2 P25, (b) serbuk TiO2 P25 setelah perlakuan asam dengan HNO3 , dan (c) lapis tipis TiO2 yang dibuat dari serbuk TiO2/HNO3 setelah proses sintering... 62

Gambar V.4 Difraktogram TiO2, (a) serbuk TiO2 P25, (b) serbuk TiO2/HNO3, dan (c) lapis tipis TiO2 pelapisan 5x ... 65

Gambar V.5 Jalur rekombinasi dalam sistem sel surya TiO2 yang dapat diminimalisasi dengan adanya campuran fasa rutile... 68

(9)

x

banyaknya pelapisan lapis tipis... 70 Gambar V.8Scanning electron micrograph permukaan lapis tipis TiO2 pada

perbesaran 3000x, (a) lapis tipis TiO2 tanpa perlakuan asam

pelapisan 1x (Yufita, 2006), (b) lapis tipis TiO2 dengan perlakuan

asam pelapisan 1x ... 72 Gambar V.9 Scanning electron micrograph permukaan lapis tipis TiO2,

(atas) perbesaran 500x, dan (bawah) perbesaran 3000x, (a) pelapisan 1x, (b) pelapisan 5x, dan (c) pelapisan 8x ... 73 Gambar V.10 (a) Grafik hubungan berat lapis tipis terhadap jumlah pelapisan

lapis tipis, dan (b) grafik hubungan ketebalan lapis tipis terhadap jumlah pelapisan lapis tipis ... 74 Gambar V.11 Grafik hubungan konsentrasi ekstrak manggis teradsorp versus

banyaknya pelapisan lapis tipis... 77 Gambar V.12 Grafik hubungan konsentrasi ekstrak manggis teradsorp versus

waktu interaksi ekstrak manggis dengan lapis tipis TiO2... 79

Gambar V.13 Grafik hubungan konsentrasi ekstrak manggis teradsorp versus konsentrasi awal... 80 Gambar V.14 Spektra elektronik zat warna ekstrak kulit buah manggis, (a) dalam pelarut etanol, dan (b) setelah teradsorp pada lapis tipis TiO2... 83

Gambar V.15 Kemungkinan ikatan antara antosianin dengan ion Ti(IV)

(Polo et al., 2003)... 86 Gambar V.16 Kurva arus listrik versus tegangan, (a) kondisi gelap,

(b) kondisi terang ... 89 Gambar V.17 Perbandingan nilai Jsc dan efisiensi sel surya (η) yang dibuat

dengan sensitiser zat warna alami, (a) dilakukan oleh Heriyanti (2006), (b) sel surya dengan sensitiser ekstrak kulit manggis ... 92

(10)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC menggunakan semikonduktor alternatif

menggantikan TiO2 (Halme, 2002) ... 14

Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC dengan menggunakan zat warna yang berbeda (Halme, 2002)... 19

Tabel III.1 Perbandingan sifat TiO2 jenis rutile dan anatase (Fujishima et al., 1999 dalam Heriyanti, 2006) ... 34

Tabel III.2 Harga Eg beberapa semikonduktor... 37

Tabel V.1 Serapan spektra FTIR serbuk dan lapis tipis TiO2... 62

Tabel V.2 Ukuran fasa kristal serbuk dan lapis tipis TiO2... 66

Tabel V.3 Komposisi fasa anatase dan rutile serbuk dan lapis tipis TiO2... 67

Tabel V.4 Pergeseran serapan elektronik zat warna ekstrak kulit manggis ... 84

(11)

xii

Lampiran 2. JCPDS dari TiO2 anatase dan rutile... 106

Lampiran 3. Hasil analisis serbuk dan lapis tipis TiO2 dengan FTIR ... 108

Lampiran 4. Daftar berat lapis tipis TiO2... 109

Lampiran 5. Kenaikan berat TiO2 rata-rata pada setiap pelapisan lapis tipis.... 113

Lampiran 6. Hasil pengukuran ketebalan lapis tipis TiO2 pada foto SEM dengan menggunakan software Scion Image... 114

Lampiran 7. Scanning menggunakan spektrofotometer UV-Vis zat warna ekstrak kulit manggis dalam pelarut etanol ... 115

Lampiran 8. Scanning menggunakan DR UV-Vis, zat warna ekstrak kulit manggis setelah teradsorp pada lapis tipis TiO2... 118

Lampiran 9. Penentuan ketebalan lapis tipis optimum untuk proses adsorpsi.. 121

Lampiran 10. Penentuan waktu interaksi optimum dalam proses adsorpsi ... 122

Lampiran 11. Penentuan konsentrasi optimum dalam proses adsorpsi... 123

Lampiran 12. Hasil pengukuran arus listrik (I) dan tegangan (V) ... 124

Lampiran 13. Penentuan Isc, Voc, Fill Factor (FF) dan efisiensi (η)... 125

Lampiran 14. Karakterisasi sel surya dengan sensitiser zat warna alami (Heriyanti, 2006)... 126

Lampiran 15. Spesifikasi dan skema alat air brush AB-300 ... 127

Lampiran 16. Gambar lapis tipis TiO2 pelapisan 1x, 5x dan 8x ... 128

(12)

xiii

KAJIAN PEMBUATAN LAPIS TIPIS TiO2-EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) SEBAGAI ELEKTRODA KERJA DALAM SEL

SURYA BERBASIS SENSITISER ZAT WARNA Muhammad Ma’ruf

(02/156813/PA/08956) INTISARI

Telah dilakukan kajian pembuatan lapis tipis TiO2-ekstrak kulit manggis_yang

akan dimanfaatkan sebagai elektroda kerja dalam sistem sel surya berbasis sensitiser zat warna (DSSC). Kajian dilakukan untuk mengetahui karakter lapis tipis TiO2 sebagai substrat zat warna, menentukan kondisi optimum adsorpsi zat

warna ekstrak kulit manggis pada lapis tipis TiO2 serta mengkaji potensi zat

warna ekstrak kulit manggis sebagai sensitiser dalam DSSC.

Lapis tipis TiO2 dibuat dari serbuk TiO2 P25 (Degussa) yang telah

dimodifikasi dengan HNO3. Sebanyak 1 gram serbuk TiO2/HNO3 dicampurkan

dengan 25 mL larutan HNO3 pH 4,0 dan dideposisikan pada substrat kaca dengan

menggunakan teknik pelapisan spray. Lapisan TiO2 pada substrat kaca hasil

pelapisan spray dikalsinasi pada suhu 450 oC selama 1 jam. Proses optimasi adsorpsi zat warna ekstrak kulit manggis pada lapis tipis TiO2 dilakukan dengan

melakukan variasi pelapisan lapis tipis, waktu interaksi dan konsentrasi awal zat warna. Karakterisasi serbuk dan lapis tipis TiO2 dilakukan dengan menggunakan

metode difraksi sinar-X, spektrofotometri FTIR dan SEM (Scanning Electron Microscopy). Potensi zat warna ekstrak kulit manggis sebagai sensitiser dalam DSSC dikaji dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan melalui karakterisasi kurva arus (I) vs tegangan (v) dari sel surya.

Lapis tipis TiO2 hasil pelapisan spray memiliki karakter tersusun atas

komposisi fasa kristal ~84 % anatase dan ~16 % rutile, memiliki porositas dan kestabilan mekanis yang cukup baik sehingga dapat digunakan sebagai substrat zat warna yang efektif dalam sistem DSSC. Proses adsorpsi zat warna mencapai optimum pada pelapisan lapis tipis 5x, dengan waktu interaksi 120 menit dan konsentrasi awal 15 % (v/v). Efek sensitisasi zat warna ekstrak kulit manggis ditunjukkan dengan adanya pergeseran merah pada pola serapan elektronik sistem TiO2-zat warna pada daerah tampak dan dihasilkannya arus listrik pada sistem

DSSC. Sel surya TiO2 tersensitisasi zat warna ekstrak kulit manggis dalam

penelitian ini memiliki nilai tegangan (Voc) sebesar 0,15 V, kerapatan arus (Jsc) sebesar 3,52 µA/cm2, FF sebesar 37,5 % dan efisiensi konversi ~7,73.10-4 %. Kata kunci : lapis tipis TiO2, manggis, adsorpsi, sel surya

(13)

xiv ABSTRACT

In the present work, preparation of TiO2-extract of the rind of mangosteen film

for dye sensitized solar cells (DSSC) was studied. The study consists of preparation and characterization of TiO2 films as dye substrate and adsorption of

crude extract of rind of mangosteen on TiO2 films.

The suspension of TiO2 (Degussa P-25) powder was stirred in aqueous nitric

acid at 80 oC, and then evaporated to dryness, giving the nitric acid-adsorbed TiO2

powder. The coating paste was obtained by mixing the nitric acid-adsorbed TiO2

with pH 4.0 of nitric acid solution. TiO2 films were fabricated on glasses by

repetitive spray coating and calcined at 450 oC for 1 hour. The adsorption of the dye on the TiO2 film was optimized by varying the TiO2 film thicknesses,

adsorption time and the initial concentration of the dye. Characterization of the powder and TiO2 film were performed by X–Ray Diffraction (XRD) technique,

FTIR spectrophotometry and Scanning Electron Microscopy. Sensitization study was carried out by comparing the electronic spectra of the dye solution to TiO2 –

dye system in visible region. Solar cell characteristic was studied by analyzing its I-V curve.

The results showed that TiO2 films fabricated by spray coating have good

mechanical stability and porosity, consist of ~84 % anatase and ~16 % rutile. Therefore, the films can be used as effective dye substrate. The adsorption of mangosteen extract on to TiO2 films reached optimum conditions at five times

repetitive coating (film thickness of ~ 1.7µm), 120 minutes adsorption time and 15 % (v/v) of initial concentration of the dye. Dye sensitization of TiO2 film was

indicated by the observed red shift of electronic spectra of TiO2 – dye system in

visible region. Mangosteen extract as natural sensitizer enables a faster and simpler production of cheaper and environmentally friendly solar cells. The resultant DSSC has photogenerated current (Jsc) and voltage (Voc) as high as 3.52 µA/cm2 and 0,15 V respectively, the fill factor (FF) of 37.5 % and global efficiency (η) of ~7.73.10-4 %.

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Upaya mencari sumber energi alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengganti bahan bakar fosil masih menjadi topik yang menarik bagi banyak peneliti (Kartini, 2004). Sumber energi fosil merupakan sumber energi yang tak terbarukan, sehingga jika penggunaan fosil semakin meningkat maka sumber energi tersebut suatu saat akan habis. Jurnal Minyak dan Gas dalam Heriyanti (2006) memperkirakan cadangan minyak mentah dunia 1,27 triliun barrel dan untuk gas alam 6.100 triliun kaki kubik. Cadangan sebesar itu bisa bertahan selama 44,6 tahun untuk minyak dan 66,2 tahun untuk gas dengan menggunakan angka konsumsi tahun 2003. Setiap hari jutaan barel minyak mentah dieksploitasi tanpa memikirkan bahwa minyak tersebut merupakan hasil dari proses evolusi alam yang berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun yang mungkin tak dapat terulang lagi pada masa mendatang.

Tabel I.1 Cadangan dan produksi sumber energi fosil Indonesia (DESDM, 2004 dalam Heriyanti, 2006)

Cadangan (R) Produksi pertahun (P) R/P

Minyak bumi 5.109 BOE 0,5.109 BOE 10

Gas bumi 90 TSCF 3 TSCF 30

Batu bara 5.109 TCE 0,1.109 TCE 50

BOE= Barrel Oil Equivalent TSCF = Tera Standard Cubic Feet TCE = Ton Coal Equivalent

(15)

Dari Tabel I.1 terlihat bahwa ketersediaan sumber energi fosil, khususnya minyak bumi, yang merupakan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia semakin berkurang dan hanya bisa digunakan dalam jangka waktu

beberapa tahun. Sementara kebutuhan energi, khususnya energi listrik di Indonesia semakin bertambah seiring dengan pesatnya peningkatan

pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi nasional serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan membuat tuntutan untuk segera mewujudkan teknologi baru bagi sumber energi yang terbarukan.

Pemanfaatan energi terbarukan akan mengurangi dampak negatif bagi lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. Pembakaran sumber energi fosil akan membebaskan CO2 dan beberapa gas yang merugikan ke

atmosfer. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu bumi. Setiap KWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 g CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara.

Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah

kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon karena merusak zat hijau

daun serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx.

Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam

(16)

3

Salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan dan keberadaannya melimpah adalah energi matahari. Jutaan mega watt energi yang setiap hari dipancarkan oleh matahari belum dapat dimanfaatkan secara efektif. Jika energi matahari tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif kebutuhan energi manusia dapat terpenuhi sampai jangka waktu yang cukup lama (Kartini, 2004).

Energi matahari adalah bentuk energi elektromagnetik yang dipancarkan ke bumi secara terus menerus, tidak bersifat polutif dan dengan ketersediaan melimpah. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 % dari total energi pancaran matahari. Suplai energi dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi tersebut setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Sehingga dengan menutup 0,1 % saja permukaan bumi dengan sel surya yang memiliki efisiensi 10 % sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia yang dibutuhkan saat ini (Grätzel, 2001).

Teknologi photovoltaic berbasis semikonduktor yang dapat mengkonversi secara langsung cahaya matahari menjadi energi listrik yang disebut dengan sel surya merupakan salah satu pilihan yang menarik dan sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia. Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa dimana keberadaan cahaya matahari sangat melimpah sepanjang tahun, sangat mendukung dikembangkannya sel surya sebagai sumber energi alternatif yang aman, bersih dan ramah lingkungan dengan ketersediaan yang melimpah. Letak Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa yaitu pada 6oLU - 11oLS dan

(17)

95oBT - 141oBT dan dengan memperhatikan peredaran matahari dalam 1 tahun yang berada pada daerah 23,5oLU dan 23,5oLS, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama 10-12 jam dalam sehari. Posisi Indonesia di daerah khatulistiwa menyebabkan tingkat radiasi matahari di Indonesia sangat tinggi,

yaitu sebesar 4,8-5,1 KWh/m2/hari dengan variasi bulanan ± 9 %

(Anonim, 1994).

Namun penggunaan sel surya sebagai sumber listrik masih sangat minim dan belum bisa diandalkan sebagai suatu sumber tenaga alternatif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemampuan sel surya yang belum optimal dalam menghasilkan tenaga listrik serta proses pembuatan sel yang memerlukan pembiayaan mahal (Hariyadi, 1998).

Berbagai penelitian dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sel surya dalam mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik (Green et al., 2006). Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sel surya yang berhasil dikembangkan untuk mendapatkan sel surya yang memiliki efisiensi yang tinggi dan untuk mendapatkan sel surya dengan biaya produksi murah. Sel surya mengalami perkembangan dari sel surya kristal Si, sel surya lapis tipis anorganik sampai sel surya lapis tipis organik (Heriyanti, 2006).

Generasi pertama sel surya adalah sel surya silikon kristal tunggal dan sel surya silikon polikristal. Sel surya kristal tunggal merupakan tipe sel surya pertama yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti. Tipe ini dalam perkembangannya mampu menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan silikon kristal tunggal untuk dapat

(18)

5

diproduksi secara komersial adalah harga yang sangat tinggi sehingga menjadikan sel surya yang dihasilkan menjadi tidak efisien sebagai sumber energi alternatif. Sel surya silikon kristal tunggal mampu mencapai efisiensi tertinggi hingga 24,7 ± 0,5 % (Green et al., 2006). Jenis sel surya yang kedua adalah tipe wafer silikon polikristal. Saat ini, hampir sebagian besar sel surya yang beredar di pasar komersial merupakan jenis silikon polikristal. Jenis sel surya ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal (Yuliarto, 2006).

Penelitian yang lebih awal dan telah lama dilakukan, menjadikan sel surya berbasis silikon telah menjadi teknologi yang berkembang dan banyak dikuasai oleh peneliti maupun dunia industri. Modifikasi untuk membuat lebih rendah biaya pembuatan juga dilakukan dengan membuat pita silikon (ribbon Si) yaitu dengan membuat lapisan dari cairan silikon dan membentuknya dalam struktur multi kristal. Meskipun tipe sel surya pita silikon ini memiliki efisiensi yang lebih rendah (13-15 %), tetapi biaya produksinya dapat ditekan mengingat silikon yang terbuang dengan menggunakan cairan silikon akan lebih sedikit (Yuliarto, 2006).

Generasi kedua sel surya adalah sel surya tipe lapis tipis (thin film). Sel surya generasi kedua ini terdiri dari material lapis tipis seperti silikon amorf (a-Si), cadmium telluride (CdTe), copper indium gallium diselenide (CIGS), dan silikon kristalin lapis tipis (Halme, 2002). Sel surya lapis tipis mampu mengurangi biaya pembuatan sel surya mengingat tipe ini hanya menggunakan kurang dari 1 % dari bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk tipe wafer silikon.

(19)

Efisiensi tertinggi yang dihasilkan oleh jenis sel surya lapis tipis adalah sebesar 21,5 ± 1,5 % yang berasal dari sel surya CIGS (Green et al., 2006). Keunggulan lainnya dengan menggunakan tipe lapis tipis adalah semikonduktor dapat dideposisi pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan sel surya yang fleksibel. Kedua generasi dari sel surya ini masih mendominasi pasaran sel surya di seluruh dunia dengan silikon kristal tunggal dan multi kristal memiliki lebih dari 80 % sel surya yang ada dipasaran.

Si polikristal 43% Si kristal tunggal 39% Si amorf 13% ribbon Si 3% Si lapis tipis 1% CdTe 1%

Gambar I.1 Distribusi jenis sel surya di pasaran dunia tahun 1998 (World market 1998 by Technology dalam Halme, 2002)

Dari Gambar I.1 terlihat bahwa teknologi sel surya di pasar dunia masih dikuasai sel surya generasi pertama yaitu sel surya silikon kristal tunggal dan silikon polikristal yang merupakan sel surya konvensional berbasis silikon.

Sel surya konvensional berbasis silikon mengubah cahaya menjadi energi dengan menggunakan efek photovoltaic yang terjadi dalam junction dari semikonduktor tipe p dan tipe n. Serapan cahaya dalam sel surya menyebabkan elektron tereksitasi dan menyebabkan terjadinya hole. Medan listrik dalam p-n

(20)

7

junction menyebabkan pemisahan muatan. Perpindahan elektron dan hole menyebabkan sel surya bekerja. Tetapi untuk menghindari rekombinasi prematur elektron dan hole, Si harus sangat murni dan bebas dari kerusakan. Hal ini menyebabkan biaya produksi sel surya Si sangat mahal (Anonim, 2006).

Sel surya konvensional memiliki biaya produksi yang masih mahal dan bersifat kurang ramah lingkungan karena digunakan beberapa logam berat dalam proses pembuatannya. Penelitian untuk mendapatkan sel surya dengan biaya produksi murah dan lebih ramah lingkungan memunculkan sel surya generasi ketiga yaitu tipe sel surya organik atau tipe sel surya fotoelektrokimia (Yuliarto, 2006). Sel surya generasi ketiga ini menggunakan perangkat semikonduktor yang tidak tergantung pada p-n junction tradisional untuk memisahkan pembawa muatan. Generasi ketiga ini meliputi sel surya berbasis sensitiser zat warna (Dye Sensitized Solar Cells, selanjutnya disebut DSSC). Diantara sekian banyak sel surya berbasis semikonduktor, sel surya fotoelektrokimia dengan menggunakan sensitiser zat warna memiliki keunggulan berupa rendahnya biaya produksi dan relatif lebih aman terhadap lingkungan (Halme, 2002).

Proses sensitisasi dengan menggunakan zat warna berawal pada abad ke 19, ketika fotografi ditemukan. Penemuan Vogel (1873) dapat dianggap sebagai awal penemuan proses sensitisasi zat warna pada material semikonduktor, dimana emulsi halida perak dikenai proses sensitisasi menggunakan zat warna untuk menghasilkan film fotografi hitam putih (Grätzel, 1994). Penggunaan proses sensitisasi zat warna pada sel surya tidak pernah berhasil hingga pada awal 1990an di laboratorium Photonics and Interfaces EPFL Switzerland, Gratzel et al.

(21)

berhasil mengkombinasikan elektroda nanostruktur dan proses injeksi elektron zat warna menghasilkan sebuah sel surya dengan efisiensi konversi energi sekitar 7 % (O'Regan dan Grätzel, 1991) dan 10 % (Nazeeruddin et al., 1993). Sel surya ini sering disebut dengan Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) atau sering dikenal sebagai sel Gratzel sesuai dengan nama penemunya. Perbedaan sel Gratzel dengan semua jenis sel surya konvensional, sel ini merupakan sel surya fotoelektrokimia dengan larutan elektrolit atau fasa lain sebagai media transpor elektron.

Seiring dengan perkembangannya, sel Gratzel memberikan harapan komersial yang mampu menyaingi industri sel suryasilikon. Industri sel surya silikon telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun, akan tetapi biaya produksinya masih sangat tinggi yang disebabkan tingginya harga material. Sejak penemuan Gratzel, sel surya fotokimia tersensitisasi zat warna (DSSC) menarik banyak perhatian sebagai sel surya yang relatif efisien, murah, dan lebih ramah terhadap lingkungan. Dalam sel ini lapisan titanium dioksida berukuran nano dapat mengkonversi cahaya dengan lebih baik bila dibandingkan dengan elektroda tak berpori, karena diperkirakan TiO2 nanokristal memiliki luas permukaan ribuan

kali lebih besar (Nishimura et al, 2003).

Meskipun sel surya berbasis sensitiser zat warna lebih ramah terhadap lingkungan bila dibandingkan dengan sel surya konvensional, tetapi masih ditemukan tingkat toksisitas yang cukup tinggi dari beberapa komponen utama, salah satunya adalah pada zat warna ruthenium. Semua senyawa ruthenium adalah sangat toksik dan karsinogenik. Selain itu penggunaan kompleks Ru sebagai sensitiser membutuhkan lapis tipis TiO2 setebal 10 µm atau lebih untuk mencapai

(22)

9

efisiensi sel surya 10 %. Meski TiO2 relatif kurang berbahaya, banyak

nanopartikel ultrafine (kurang dari 1 mikron) seperti yang digunakan dalam DSSC bersifat patogenik dan paparan kronis dengan nanopartikel bisa menyebabkan fibrosis dan obstruksi (hambatan) aliran udara dalam saluran pernapasan (Heriyanti, 2006).

Sensitiser merupakan komponen penting dalam DSSC. Untuk mengatasi potensi toksisitas kompleks anorganik ruthenium yang digunakan sebagai sensitiser, perlu dicari sensitiser alternatif yang tidak bersifat toksik. Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan zat warna organik sebagai sensitiser sel surya. Diantaranya adalah penggunaan zat warna alami dari tumbuhan sebagai sensitiser dalam sel surya.

Proses sensitisasi celah pita semikonduktor menggunakan zat warna alami dari tumbuhan untuk membuat DSSC telah banyak dilaporkan (Tennakone et al., 1997; Smestad 1998; Smestad and Grätzel 1998; Dai dan Rabani 2001). Dalam kebanyakan kasus zat warna alami yang digunakan berasal dari bunga dan buah yang berwarna merah keunguan yang diduga mengandung antosianin.

Polo dan Murakami Iha (2003) berhasil mengkonversi cahaya tampak menjadi energi listrik dengan menggunakan sel surya semikonduktor titania tersensitisasi zat warna alami antosianin yang diekstrak dari kulit buah jaboticaba (Jaboticaba, Myrtus cauliflora, Mart) dan buah duwet (Jambolao, Eugenia jambolana, Lam). Untuk sel surya tersensitasi zat warna dari kulit buah jaboticaba diperoleh arus (Isc) tertinggi sebesar 2,75 mA/cm2 dengan tegangan (Voc) 590 mV, sedangkan

(23)

untuk sel surya tersensitasi zat warna alami dari buah duwet mampu menghasilkan Isc sebesar 2,5 mA/cm2 dengan Voc 439 mV.

Penggunaan zat warna alami sebagai sensitiser akan melibatkan langkah pembuatan dan pemurnian zat warna yang semakin mudah dan cepat sehingga bisa menurunkan biaya produksi, mengurangi resiko toksisitas sel surya serta melibatkan proses pembuatan yang ramah lingkungan.

Kulit buah manggis (Garcinia Mangostana L.) yang memiliki kenampakan warna merah keunguan diduga banyak mengandung zat warna alami, namun sampai saat ini belum ada yang melaporkan penggunaan zat warna dari kulit buah manggis sebagai sensitiser dalam pembuatan sel surya.

I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk

1. Membuat lapis tipis TiO2 pada substrat kaca dengan menggunakan metode

pelapisan spray beserta karakterisasinya.

2. Menentukan ketebalan lapis tipis, waktu interaksi, dan konsentrasi optimum dalam proses adsorpsi zat warna ekstrak kulit buah manggis pada lapis tipis TiO2.

3. Mempelajari karakteristik sel surya yang dibuat dengan menggunakan sensitiser zat warna alami dari kulit buah manggis.

(24)

11

I.3 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian antara lain :

1. Memberikan informasi mengenai zat warna alami alternatif yang dapat digunakan sebagai sensitiser dalam pembuatan sel surya fotoelektrokimia. 2. Meningkatkan kegunaan dan nilai ekonomis dari kulit buah manggis

3. Menghasilkan sel surya yang lebih ramah lingkungan, dan mudah diproduksi dengan biaya yang relatif murah dengan menggunakan sensitiser zat warna alami.

(25)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sel surya generasi pertama adalah sel surya berbasis silikon kristal tunggal dan sel surya silikon polikristal. Sel surya generasi kedua adalah sel surya tipe lapis tipis anorganik yang terbuat dari lapis tipis material semikonduktor seperti silikon amorf (a-Si), cadmium telluride (CdTe), copper indium gallium diselenide (CIGS), dan silikon kristalin lapis tipis (Halme, 2002).

Sel surya konvensional berbasis silikon mengubah cahaya menjadi energi listrik menggunakan efek photovoltaic yang terjadi pada junction semikonduktor tipe-p dan tipe-n. Semikonduktor tipe-p mengandung hole yang berlimpah sehingga mempunyai muatan listrik positif. Semikonduktor tipe-n mengandung elektron berlimpah sehingga bermuatan listrik negatif. Cahaya yang diserap sel surya menyebabkan elektron tereksitasi menghasilkan elektron dan hole. Medan listrik dalam p-n junction menyebabkan terjadinya pemisahan muatan. Pergerakan elektron dan hole menyebabkan sel surya bekerja (Anonim, 2006).

Sel surya konvensional memiliki beberapa kendala yaitu membutuhkan biaya produksi yang cukup tinggi, rumit dan menyebabkan masalah lingkungan karena pemakaian logam berat. Diantara sel surya berbasis bahan semikonduktor, sel surya fotoelektrokimia yang menggunakan zat warna sebagai sensitiser mempunyai beberapa kelebihan antara lain biaya produksi yang lebih murah dan ramah lingkungan.

(26)

13

II.1 Sel Surya Berbasis Sensitiser Zat Warna (DSSC)

Sel surya berbasis sensitisasi zat warna pada nanokristal TiO2 (DSSC)

ditemukan pertama kali oleh Grätzel et al. pada tahun 1991 sehingga sering disebut sebagai sel Gratzel. Sel Gratzel memiliki efisiensi tinggi mencapai 10 % (Grätzel, 1991). Sel ini relatif mudah dibuat dan biaya produksi yang dibutuhkan lebih rendah dibanding sel surya konvensional berbasis silikon.

Sel Gratzel tersusun dari 3 komponen utama yaitu elektroda kerja (working electrode), elektroda lawan (counter electrode) dan larutan elektrolit (Kartini, 2004). Elektroda kerja merupakan lapis tipis TiO2 pada substrat kaca transparan

berkonduksi yang mengadsorp zat warna kompleks Ru (II) sebagai sensitiser. Sedangkan elektroda lawan pada sel Gratzel berupa substrat kaca transparan berkonduksi yang dilapisi platina (Pt) sebagai katalis reaksi redoks. Larutan elektrolit yang digunakan adalah pasangan redoks I-/I3- dalam pelarut organik.

Dewasa ini banyak kajian dilakukan untuk mengembangkan dan memperbaiki kinerja sel surya berbasis sensitiser zat warna. Beberapa penelitian mengkaji penggunaan semikonduktor lain seperti SnO2, ZnO, dan Nb2O5, sebagai

semikonduktor alternatif dalam DSSC menggantikan TiO2. Secara umum

penggunaan beberapa semikonduktor alternatif belum dapat menghasilkan efisiensi yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan semikonduktor TiO2. Beberapa penelitian yang mengkaji penggunaan semikonduktor alternatif

(27)

Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC menggunakan semikonduktor alternatif menggantikan TiO2 (Halme, 2002).

Semi-konduktor

Zat Warna η

(%)

Luas

(cm2) Sumber Cahaya (mW/cm2) Referensi SnO2/ZnO N3 8 1,9 90 (direct sunlight) Tennakone et

al., 1999

ZnO Mercurochrome 2,5

1,4

0,09 0,25

100 (AM1.5) Hara et al.,

2000a

Nb2O5 N3 2 0,5 100 (AM1.5) Sayama et al.,

1998

ZnO N3 2 0,25 56

(solar simulator)

Rensmo et al.,

1997

Efisiensi konversi yang dihasilkan dengan menggunakan beberapa semikonduktor alternatif berkisar antara 1,4 – 2,5 % jauh lebih rendah dari efisiensi DSSC dengan menggunakan semikonduktor TiO2 yang mampu mencapai

efisiensi 11 % (Green et al., 2006). Hanya terdapat sebuah penelitian yang memberikan hasil yang cukup signifikan, yaitu campuran semikonduktor antara SnO2 dan ZnO yang mampu menghasilkan efisiensi sebesar 8 % dibawah sumber

cahaya matahari secara langsung pada intensitas radiasi 90 mW/cm2 yang dilaporkan oleh Tennakone et al. pada tahun 1999.

Brammer (2004) telah meneliti dan mengkaji tentang pengaruh perbedaan kondisi sintesis struktur pori dan permukaan lapis tipis TiO2, ketebalan lapis tipis

TiO2 dan waktu pewarnaan terhadap kinerja sel surya berbasis sensitiser zat

warna. Titania yang digunakan dibuat dengan teknik sol-gel yang dideposisikan pada substrat gelas F:SnO2 dengan teknik doctor blading dan menggunakan zat

warna N3 (kompleks ruthenium merah). Kajian tersebut memberikan hasil bahwa karakteristik semikonduktor titania seperti porositas, distribusi ukuran dan struktur pori menentukan kapasitas serapan sinar matahari.

(28)

15

Ketebalan lapis tipis bisa mempengaruhi kinerja sel surya karena elektron yang diinjeksi akan melewati sejumlah besar partikel koloid. Kemungkinan rekombinasi elektron akan lebih besar dengan naiknya ketebalan. Rekombinasi elektron ini bisa menurunkan efisiensi sel surya. Oleh karena itu dibutuhkan ketebalan optimum untuk mendapatkan efisiensi sel surya yang maksimum (Kalyanasundaram dan Grätzel, 1998). Salah satu kajian yang dilakukan oleh Ito et al. (2003) menunjukkan bahwa efisiensi sel surya meningkat sejalan dengan meningkatnya ketebalan lapis tipis TiO2 sampai tercapai ketebalan optimum.

Morfologi lapisan semikonduktor akan mempengaruhi kapasitas adsorpsi terhadap zat warna (Kalyanasundaram dan Grätzel, 1998). Morfologi yang berbeda memberikan kapasitas dan lama adsorpsi yang berbeda. Jumlah zat warna yang teradsorp sebagai lapis tunggal pada permukaan lapisan titania akan mempengaruhi efisiensi sel surya. Makin besar jumlah zat warna teradsorp, makin tinggi pula efisiensi sel surya. Perbedaan morfologi permukaan mempengaruhi kinerja sel surya. Naiknya porositas lapis tipis dan turunnya jumlah partikel yang mengalami agregasi menyebabkan Isc yang dihasilkan sel surya lebih tinggi. Sel surya yang menggunakan titania mesopori dengan sensitiser N3 menghasilkan efisiensi global mencapai 5 % (Kartini, 2004).

Elektroda kerja pada sel surya dibuat dengan melapiskan TiO2 pada substrat

kaca berkonduktivitas. Modifikasi permukaan dibutuhkan untuk memperoleh situs perlekatan yang lebih baik pada substrat kaca non-pori. Ito et al. (2003) menggunakan perlakuan NO3- pada titania P25 dan menggunakan teknik deposisi doctor-blading (slip-casting). Kartini (2004) menggunakan teknik deposisi spray

(29)

yang diharapkan lebih kuat perlekatannya dan lebih reprodusibel daripada slip-casting.

Wienke et al. (1997) telah meneliti tentang pengaruh sifat elektroda TiO2

terhadap efisiensi sel surya dengan membandingkan kinerja sel surya yang terbuat dari titania sintetis yang berbeda yaitu P25 (Degussa AG), H37 (Transcommerce International AG) Ak1 dan PK 5585 (Bayer AG). P25 membentuk lapisan homogen dengan distribusi ukuran pori yang kecil dan menunjukkan aglomerasi yang lambat dari partikel primer. Hasil penelitian menyatakan bahwa perubahan mikrostruktural elektroda yang dibuat dari serbuk TiO2 yang berbeda tidak

mempengaruhi efisiensi sel surya secara signifikan.

Modifikasi komposisi elektrolit dalam DSSC diperlukan untuk mendapatkan kinerja dan kestabilan yang lebih baik. Sifat fisika dan kimia dari komposisi elektrolit sangat memegang peranan penting dalam operasi dan kinerja sel surya. Elektrolit pasangan redoks dalam sistem DSSC dibuat dengan melarutkan I2

dalam suatu pelarut bersama dengan garam iodin seperti KI, LiI, alkil metilimidazolium iodin dan metil-heksilimidazolium iodin. Sejak penemuan DSSC hingga saat ini, belum ditemukan elektrolit pasangan redoks yang memiliki kinerja lebih baik dari pasangan redoks I-/I3- (Halme, 2002). Wolfbauer et al.

(2001) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kation dalam garam iodin dengan kinerja sel surya. Arus yang dihasilkan meningkat secara linier dengan adanya penurunan diameter kation, kation paling kecil Li+ dan K+ menunjukkan hasil yang terbaik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa

(30)

17

konsentrasi relatif antara I3-dengan I- dalam larutan elektrolit merupakan faktor

penting penentu kinerja sel surya.

Pelarut elektrolit yang digunakan secara umum dalam DSSC adalah asetonitril yang masih merupakan pilihan terbaik jika ingin mendapatkan efisiensi sel surya yang maksimum (Halme, 2002). Akan tetapi pelarut tersebut memiliki kelemahan diantaranya bersifat mudah menguap dengan titik didih 82 oC yang merupakan

temperatur yang dapat dicapai sel surya pada kondisi terkena radiasi sinar matahari secara penuh. Selain itu asetonitril bersifat toksik dan karsinogenik sehingga tidak dapat digunakan dalam DSSC komersial (Chmiel et al., 1998).

Dari sekian banyak pelarut elektrolit, metoksipropionitril memiliki potensial untuk digunakan dalam DSSC komersial. Berbeda dengan asetonitril dan

propionitril, metoksipropionitril tidak bersifat toksik dan karsinogenik (Chmiel et al., 1998). Metoksipropionitril merupakan pelarut yang telah dipilih

dan digunakan oleh Sustainable Technologies International (STI) Australia untuk memproduksi DSSC secara komersial.

Penggunaan elektrolit cair dalam DSSC menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kestabilan sel surya, karena sifatnya yang mudah menguap sehingga elektrolit dapat dengan mudah keluar dari sel surya jika terjadi lubang atau retakan pada perekat kedua elektroda. Beberapa penelitian mencoba mengganti elektrolit cair dengan menggunakan elektrolit berupa gel atau padat. Material yang digunakan berupa konduktor hole yang sesungguhnya seperti semikonduktor anorganik tipe p, semikonduktor polimer tipe p dan konduktor ionik seperti elastomer atau gel yang mengandung iodin. Kinerja sel surya dengan

(31)

menggunakan konduktor hole yang sesungguhnya memiliki efisiensi yang relatif kecil yaitu sekitar 2,56 % yang dilaporkan oleh Krüger et al. (2002) menggunakan turunan spirobifluoren yang diberi nama OMeTAD. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan melakukan gelatinisasi elektrolit cair. Cao et al. (1995) mampu mencapai efisiensi berkisar antara 3-5 % dengan menggunakan elektrolit gel polimer pada konfigurasi DSSC standar (serbuk TiO2 P25 Degussa, zat warna

N3). Elektrolit yang digunakan merupakan campuran poliakrilonitril, etilen karbonat, propilen karbonat, asetonitril, NaI dan I2. Elektrolit yang dihasilkan

memiliki sifat fleksibel dan tidak kehilangan konduktivitas yang cukup berarti (4,5 x 10-3 W-1cm-1) setelah dibiarkan lama di udara terbuka. Kubo et al. (1998) menggunakan turunan asam amino sebagai pembentuk gelatin untuk menghasilkan DSSC dengan efisiensi 3,5 %. Penelitian pada bidang yang sama mampu meningkatkan efisiensi sel surya dengan elektrolit berbentuk gel hingga 5,91 % (Kubo et al., 2001).

Perusahaan Toshiba telah mampu membuat DSSC quasi-solid dengan efisiensi 7,3 % dengan menggunakan elektrolit polimer berbentuk gel yang mengandung turunan imidazolium, iodin dan gelator, di mana komposisi dari elektrolit tersebut tidak dipublikasikan (Mikoshiba et al., 2000).

Untuk meningkatkan laju reaksi reduksi triiodida pada lapisan katoda diperlukan suatu lapisan katalis. Logam Pt merupakan katalis konvensional yang paling efisien dan paling umum digunakan dalam DSSC. Akan tetapi kinerja dari lapisan katalis Pt sangat tergantung pada metode deposisi yang dilakukan. Selain itu Pt bersifat kurang stabil dengan adanya elektrolit iodida (Halme, 2002).

(32)

19

Meskipun Pt merupakan katalis yang memiliki aktivitas paling baik, namun harganya sangat mahal. Kay and Grätzel (1996) menggunakan karbon berpori sebagai lapisan katalis dalam DSSC. Elektroda karbon tersebut dibuat dengan mencampurkan carbon black, serbuk grafit dan serbuk TiO2. Konduktivitas yang

tinggi (5 Ω/sq pada ketebalan 50 µm) dihasilkan oleh adanya partikel karbon yang saling berhubungan yang dipisahkan oleh serpihan grafit, dan TiO2 sebagai

binder. Elektroda tersebut memiliki luas permukaan yang tinggi sebagai akibat digunakannya carbon black dan memiliki aktivitas katalitik seperti katalis konvensional Pt.

II.2 Sensitiser DSSC

Pengembangan sistem sel surya berbasis sensitiser zat warna lebih banyak berpusat pada pencarian zat warna sebagai sensitiser untuk meningkatkan respon spektra dari sel surya. Beberapa penelitian sel surya berbasis sensitiser zat warna dengan menggunakan zat warna yang berbeda disajikan dalam Tabel II.1.

Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC dengan menggunakan zat warna yang berbeda (Halme, 2002)

Semi-konduktor Zat Warna η(%) Luas (cm2) Sumber Cahaya (mW/cm2) Referensi TiO2 Black Dye 10,4 ? 100 (AM1.5) Grätzel, 2000 TiO2 N3 10,0 0,3 96 (AM1.5) Nazeruddin et al.,

1993

TiO2 N719 9,2 1,5 ? (AM1.5) Deb et al., 1998

TiO2 RuL2(µ-(CN)

Ru(CN)L”2)2 7,1 7,9 0,5 75(AM1.5) 8(AM1.5) O’Regan & Grätzel, 1991

TiO2 N3 6

7,3 1 100(ELH 11,5(ELH lamplamp) )

Hagfeldt et al., 1994

TiO2 Turunan Ru-phenantroline

6,1 0,44 100 (AM1.5) Yanagida et al., 2000

TiO2 Turunan kumarin 5,6 ? 100 (AM1.5) Hara et al., 2001a TiO2 Cu-2-α-

oxymesoisochlorine

2,6 0,5 100 (white light) Kay & Grätzel, 1993

TiO2 Zat warna alami sianin

0,56 0,9 100 (AM1.5) Cherepy et al., 1997

(33)

Sel Gratzel pertama menggunakan nanopartikel TiO2 yang tersensitisasi

kompleks Ru(II) yaitu Ru(II)(4,4’-dikarboksi-2,2’-bipiridin)2(NCS)2 yang

mempunyai puncak serapan pada 550 nm. Sistem sel surya ini menunjukkan efisiensi konversi sebesar 7 % - 10 % (O'Regan dan Grätzel, 1991).

Dari Tabel II.1 terlihat bahwa DSSC dengan menggunakan sensitiser kompleks logam memiliki efisiensi yang cukup tinggi berkisar antara 2,6 – 11 %. Namun demikian, penggunaan kompleks logam ini melibatkan proses pemurnian dan produksi yang rumit sehingga biaya produksi yang dibutuhkan mahal. Penggunaan kompleks logam transisi Ru sebagai sensitiser membutuhkan lapisan semikonduktor minimal setebal 10 µm agar menyerap radiasi matahari yang cukup untuk mencapai efisiensi konversi energi sebesar 10 % (Spitler et al., 2002). Selain itu, penggunaan kompleks-kompleks logam ini bisa menimbulkan masalah bagi lingkungan karena sebagian besar kompleks logam bersifat toksik.

Beberapa penelitian kemudian dilakukan untuk mengembangkan penggunaan zat warna organik yang efisien sebagai sensitiser sel surya. Spitler et al. (2002) menyatakan bahwa zat warna organik umumnya memiliki koefisien absorbsi yang lebih tinggi daripada kompleks logam. Karakteristik tersebut memberikan keuntungan karena akan menurunkan jumlah zat warna yang digunakan dan menurunkan ketebalan film semikonduktor. Zat warna organik yang biasa digunakan sebagai sensitiser sel surya mempunyai koefisien ekstingsi absorbsi sekitar 105 M-1cm-1 (Spitler et al., 2002). Selain itu zat warna organik alami murni lebih mudah dibuat dan lebih murah (Yao et al., 2003).

(34)

21

Zat warna organik dalam rhodamin, sianin, kumarin dan santhen yang memiliki koefisien absorbsi mendekati 105 M-1cm-1 dapat melekat pada permukaan TiO2 melalui pembentukan kelat gugus hidroksil, karboksil atau

karbonil (Spitler et al., 2002). Efisiensi konversi sel surya dengan sensitiser zat warna organik sangat kecil bila dibandingkan dengan kompleks logam transisi ruthenium. Sel surya yang menggunakan turunan klorofil dan porfirin yang mengandung gugus karboksil sebagai sensitiser menghasilkan efisiensi konversi mendekati 3 % (Kay dan Grätzel, 1993). Efisiensi konversi ini hanya sepertiga dari efisiensi konversi kompleks Ru.

Beberapa penelitian yang lain mengkaji penggunaan zat warna yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan sebagai sensitiser sel surya. Penggunaan produk alami sebagai sensitiser sel surya melibatkan proses pembuatan yang lebih sederhana, cepat, murah dan ramah lingkungan.

Smestad dan Grätzel (1998) telah menggunakan berry california (Rubus ursinus) sebagai sensitiser alami. Berry california mengandung pigmen antosianin utama yang terdiri dari campuran sianin-3-glikosida dan sianin-3-rutinosida, merupakan zat warna alami yang baik untuk sensitisasi (Cherepy et al., 1997). Sensitiser berry california diadsorpsikan pada lapis tipis TiO2 (P25 Degussa) yang

dideposisikan pada substrat kaca F:SnO2 dengan teknik doctor blading dan

menggunakan larutan elektrolit iodida/triiodida dalam pelarut etilen glikol. Sel ini menggunakan elektroda lawan yang dilapisi karbon. Efisiensi sel diukur melalui karakterisasi I-V menggunakan lampu halogen 50 W yang dilengkapi dengan

(35)

Voc yang dihasilkan antara 0,3-0,5 V dan Isc 1-2 mA/cm2. Efisiensi konversi sinar matahari menjadi energi listrik untuk sel surya berbasis sensitiser antosianin atau klorofil berkisar antara 0,5-1 % (Smestad dan Grätzel, 1998).

Pemanfaatan zat warna alami yang diekstrak dari buah delima (Punica granatum L.) sebagai sensitiser DSSC fasa padat juga telah dilakukan

oleh Sirimanne et al. (2005). Ekstrak buah delima memiliki kandungan utama turunan sianin dan terdapat sebagai flavilium pada pH ~3,4. Pigmen buah delima menunjukkan pita serapan di daerah cahaya tampak dengan puncak pada 510 nm. Serapan pigmen buah delima yang teradsorp pada lapis tipis TiO2 menunjukkan

adanya pergeseran merah sebesar 40 nm dan puncak muncul pada 550 nm. Pembentukan kelat antara flavilium dengan TiO2 merubah bentuknya menjadi

kuinonoidal dan bisa menjadi salah satu sebab pergeseran merah dalam spektra serapan. Sel surya yang menggunakan sensitiser buah delima menghasilkan arus 5 ± 0.5 mAcm-2 dan tegangan 300 ± 40 mV. Hanya sedikit jumlah zat warna teridentifikasi yang menghasilkan arus lebih tinggi daripada pigmen buah delima dalam sel surya TiO2/zat warna/CuI. Tetapi sel surya TiO2/zat warna/CuI dengan

pigmen alami lain menghasilkan tegangan yang lebih tinggi pada kondisi yang sama (Sirimanne et al., 2006).

II.3 Zat warna alami antosianin

Beberapa buah, bunga atau daun dapat digunakan sebagai sumber fotosensitiser alami yang lebih cepat, murah, berenergi rendah dan ramah lingkungan untuk produksi sel surya berbasis sensitiser zat warna. Flavonoid seperti antosianin yang terdapat dalam struktur daun, buah dan bunga yang

(36)

23

bersifat stabil dan beberapa pigmen antosianin bisa digunakan sebagai sensitiser pengganti kompleks ruthenium bipiridil (Dai dan Rabbani, 2002).

Antosianidin termasuk dalam golongan flavonoid yang merupakan aglikon dari antosianin. Flavonoid adalah kelompok senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Menurut perkiraan Smith (Markham, 1982 dalam Acta, 2004), 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa fenolik yang mempunyai sistem aromatik dan sebagian besar mudah larut dalam air. Flavonoid yang umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai flavonoid glikosida dan flavonoid aglikon yang tidak terikat pada gula.

Lebih dari 300 antosianin telah ditemukan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa sub kelompok seperti sianin, delphinin, malvinin, pelargonin, peonin, dan petunin yang merupakan bentuk glikosida dari antosianin, sedangkan bentuk aglikonnya adalah sianidin, delphinidin, malvinidin, pelargodin, peonidin dan petunidin. Klasifikasi tersebut didasarkan pada gugus R1 dan R2 yang terikat pada cincin aromatik antosianin yang ditunjukkan seperti pada Gambar II.1.

O OH HO OH R1 R2 O H H OH OH H H OH H HOO R1 R2 antosianin OH H sianin OH OH delphinin OCH3 OCH3 malvinin

H H Pelargonin OCH3 H peonin

OCH3 OH petunin

(37)

Antosianin merupakan asam lemah dan terbentuk secara alami pada sebagian besar tumbuhan. Antosianin umumnya berwarna merah, biru, ungu, orange dan merah muda. Gugus kromofor dalam antosianin mengabsorb bagian cahaya yang berbeda dari spektrum UV-visibel, bukan hanya tergantung pada tipe antosianin tetapi juga pada tipe gula yang terikat (Hedbor dan Klar, 2005).

II.4 Buah Manggis

II.4.1 Morfologi dan taksonomi buah manggis

Manggis (Garcinia Mangostana L.) diduga berasal dari asia Tenggara terutama wilayah Indonesia. Manggis merupakan tanaman asli Indonesia yang terkenal dengan sebutan queen of fruit. Buah manggis berbentuk bulat dan pada bagian ujung bawah terdapat juring berbentuk bintang sekaligus menunjukkan ciri dari segmen daging buah. Jumlah juring buah ini berkisar 5-8 buah. Buahnya bila telah masak berwarna ungu kemerahan, kulit buahnya tebal dengan getah kuning yang rasanya pahit. Daging buah berwarna putih, rasanya manis dan mengandung banyak air (Acta, 2004).

Klasifikasi (taksonomi) tanaman manggis dalam tumbuhan adalah sebagai berikut: (Rukmana, 1995 dalam Acta, 2004)

Kingdom : Plantae Klas : Angiospermae Sub Klas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferales Genus : Garcinia

(38)

25

II.4.2 Manfaat kulit buah manggis

Kulit buah manggis dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing, disentri, peradangan usus dan obat diare (Heyne, 1987 dalam Acta, 2004). Kulit buah manggis juga telah digunakan dalam obat-obatan tradisional untuk mengatasi gangguan pernafasan (Wahyuono et al., 1999 dalam Acta, 2004).

Citra et al., (2005) telah memanfaatkan ekstrak kulit buah manggis sebagai zat warna alam untuk bahan tekstil yang terbuat dari kain kapas, poliester, akrilat dan poliamida. Kulit buah manggis sering digunakan sebagai bahan pembuat cat anti karat dan cat untuk melapisi kayu dinding. Selain itu kulit buah manggis juga digunakan sebagai bahan penyamak kulit (Citra et al., 2005).

II.4.3 Kandungan kimia kulit buah manggis

Acta (2004) mengidentifikasi adanya 9 senyawa yang termasuk dalam golongan alkana, terpena dan flavonoid dalam ekstrak petroleum eter kulit buah manggis kering dengan kromatografi gas-spektrometer massa (GC MS).

Zat warna utama yang terdapat dalam kulit buah manggis adalah cyanidin-3-sophoroside, dan dalam jumlah kecil adalah cyanidin-3-glucoside (Du dan Francis, 1977 dalam Ratanomarno et al., 2005). Cyanidin merupakan

senyawa polifenol yang termasuk ke dalam golongan flavonoid. II.4.4 Ekstraksi zat warna

Beberapa senyawa flavonoid dari bagian tumbuhan dapat diisolasi dengan cara ekstraksi. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Flavonoid umumnya dalam tumbuhan terikat dalam bentuk glikosida sehingga mudah larut dalam air

(39)

sebaliknya flavonoid aglikon yang kurang polar cenderung lebih mudah larut dalam pelarut dengan kepolaran lebih rendah. Flavonoid terdapat dalam bentuk campuran di dalam jaringan tumbuhan (Robinson, 1995)

Budiarto (1991) mengekstraksi kulit buah manggis menggunakan pelarut air, metanol dan etanol, ternyata intensitas warna ekstrak dengan air lebih rendah dibandingkan metanol dan etanol. Hal ini diduga polaritas senyawa tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan air sehingga pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang kurang polar (Wijayanto et al., 2001).

Ratanomarno et al. (2005) melakukan ekstraksi antosianin dari kulit buah manggis dengan menggunakan 100 mL etanol yang mengandung 1 % HCl untuk mengekstrak 2 gram kulit manggis.

Wijayanto et al. (2001) telah melakukan ekstraksi antosianin dari kulit buah rambutan dengan melakukan variasi konsentrasi etanol yang digunakan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intensitas warna ekstrak paling tinggi, dihasilkan dengan menggunakan konsentrasi pelarut etanol paling tinggi (95 %).

(40)

27 BAB III

LANDASAN TEORITIK, HIPOTESIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

III.1 Landasan Teoritik

III.1.1 Sel surya berbasis sensitiser zat warna

Sel surya berbasis sensitiser zat warna (dye sensitized solar cells, DSSC) pada lapis tipis TiO2 pertama kali dikembangkan oleh Grätzel et al. (1991). Sistem ini

tersusun dari 3 bagian utama yaitu lapis tipis semikonduktor (TiO2) dengan

senyawa komplek Ru (II) sebagai sensitiser, elektrode lawan (counter electrode) yang dilapisi katalis logam Pt dan larutan elektrolit (larutan elektrolit pasangan redoks). Sistem ini didasarkan pada sensitisasi semikonduktor TiO2 oleh lapisan

tunggal zat warna yang teradsorp pada permukaan TiO2.

(41)

Sel surya berbasis sensitiser zat warna memiliki prinsip yang sama dengan proses fotosintetik alami. Keduanya menggunakan zat warna organik untuk menyerap cahaya dan menyebabkan eksitasi elektron. Lapis tipis yang tersusun dari partikel TiO2 berukuran nanometer menggantikan NADP+ dan

karbondioksida sebagai akseptor elektron. Sedangkan iodida dan triiodida menggantikan air dan oksigen sebagai donor elektron dan sebagai produk oksidasi (Smestad dan Grätzel, 1998).

Karakteristik lapis tipis semikonduktor dengan energi celah pita sebagai substrat zat warna dalam DSSC (Kartini, 2004) antara lain :

1. Memiliki struktur pori yang interconnected untuk menghasilkan konduksi elektronik.

2. Memiliki luas permukaan yang tinggi untuk menghasilkan daerah monolayer zat warna yang lebih besar.

3. Memiliki porositas tinggi (volume pori minimal ~50 %, ukuran pori ~10 nm) sehingga larutan elektrolit bisa menyebar ke seluruh antarmuka semikonduktor.

4. Transparan sehingga serapan cahaya dapat optimal.

5. Memiliki faktor kekasaran permukaan (roughness surface factor) yang tinggi untuk mengurangi hamburan cahaya.

(42)

29

III.1.2 Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna

Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna ditunjukkan pada Gambar III.2.

Gambar III.2 Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna (Kartini, 2004) Ketika elektroda kerja dikenai sinar matahari, molekul zat warna (D) yang teradsorp pada permukaan semikonduktor tereksitasi (proses 1) dari keadaan dasar (Do) menuju keadaan tereksitasi (D*). Pada kondisi yang tidak stabil ini, elektron dilepas dan diinjeksikan ke dalam pita konduksi (CB) oksida semikonduktor (proses 2) menghasilkan molekul zat warna bermuatan positif (D+). Elektron yang

diinjeksi pada pita konduksi semikonduktor akan ditransfer (proses 3) melalui TiO2 menuju elektroda lawan lewat sirkuit eksternal (proses 4).

Pada elektroda lawan triiodida direduksi menjadi iodida menggunakan elektron dari sirkuit eksternal (proses 6). Reaksi redoks akan terus berlangsung dan elektron yang dihasilkan dari reaksi oksidasi didonasikan pada molekul zat warna bermuatan positif (proses 5). Reaksi akan terus berlangsung menghasilkan siklus

(43)

yang berulang (looping) sehingga diperoleh arus listrik. Reaksi yang terjadi pada proses fotosensitisasi DSSC (Matthews et al., 1996 dalam Halme, 2002) dapat ditulis sebagai berikut:

Anoda : D + hv → D* (proses absorbsi cahaya) (3.1) D* + TiO2 → D+ + 2 TiO

e

− (injeksi elektron) (3.2) 2D+ + 3I- → 2D + I3- (regenerasi) (3.3) Katoda I3- + 2e-(Pt) → 3I- (3.4) Sel e-(Pt) + hv → 2 TiO

e

− (3.5)

Prinsip kerja DSSC yang tersaji pada Gambar III.2 terdiri dari proses yang diharapkan dan tidak diharapkan. Proses yang tidak diharapkan meliputi reaksi balik elektron (rekombinasi elektron) yang sudah terinjeksi dengan zat warna teroksidasi (proses 7) atau dengan spesies teroksidasi dalam larutan elektrolit (proses 8), dan proses rekombinasi elektron dari keadaan tereksitasi kembali ke keadaan dasar (proses 9).

III.1.3 Kinerja sel surya

Pada umumnya kinerja sel surya didefinisikan sebagai kemampuan sel surya mengkonversi energi global (η) serta jangka waktu kestabilan dari sel tersebut. Kestabilan dipelajari dengan mengukur efisiensi konversi energi dari sel surya pada berbagai waktu, sedangkan efisiensi konversi energi ditentukan dengan menggunakan kurva arus-tegangan, yang dapat menghasilkan 3 parameter sel surya yang terdiri dari:

(44)

31

1. Arus hubung pendek (short circuit current, Isc) yang secara ideal sama dengan arus yang dihasilkan cahaya dan dapat juga disebut short circuit current density, Jsc yang melibatkan daerah aktif sel.

2. Tegangan (open circuit voltage), Voc; dan 3. Fill factor (FF)

Tiga parameter tesebut ditentukan dari kurva karakteristik arus - tegangan (I-V) dari sel surya. Kurva karakteristik I-V ditunjukkan pada gambar III.3.

Gambar III.3 Tipe kurva I-V dari sel surya

Pada kurva I-V sumbu vertikal menunjukkan arus dan sumbu horizontal menunjukkan tegangan (voltase)

Kurva I-V melewati 2 titik penting yaitu:

1. Short circuit current (Isc) yaitu arus yang dihasilkan ketika ujung positif dan negatif sel short circuited dan tegangan antar ujung adalah nol.

2. Open-circuit voltage (Voc) yaitu tegangan yang melalui ujung positif dan negatif berada dibawah kondisi open circuit dan arus bernilai nol.

Pada kurva I-V titik energi maksimum terjadi ketika hasil kali arus dan tegangan bernilai maksimum, tidak ada energi yang dihasilkan ketika terjadi Voc ataupun Isc. Energi maksimum dihasilkan di daerah antara kedua titik tersebut.

(45)

Titik saat terjadi energi maksimum menunjukkan efisiensi maksimum dari sistem sel surya dalam mengubah cahaya matahari menjadi listrik.

Fill factor merupakan ukuran luas persegi kurva I-V. Fill factor adalah ukuran kuantitatif kualitas sistem sel surya dan diperoleh dari persamaan (3.6) :

oc sc maks maks V I V I FF = (3.6)

Konversi energi sel surya (η) didefinisikan sebagai:

input oc sc input maks P FF V I P P = = η (3.7)

Pinput adalah total radiasi yang mengenai sel (yaitu densitas daya sumber cahaya

yang digunakan untuk menyinari sel). II.1.4 Titanium dioksida

Titanium dioksida digunakan secara luas sebagai pigmen putih pada cat, kosmetik atau sebagai builder pada tablet vitamin. TiO2 murni merupakan padatan

berwarna putih dengan titik lebur 1855 0C. Kristal ini bersifat asam yang tidak larut dalam air, asam klorida, asam sulfat encer dan alkohol, tetapi larut dalam asam sulfat pekat dan asam fluorida (Cotton et al., 1999).

Titanium dioksida merupakan semikonduktor fotokatalis yang dapat diaplikasikan dalam penanganan masalah lingkungan, bersifat foto aktif, dapat digunakan pada daerah sinar tampak dan UV dekat, bersifat inert, stabil, serta murah untuk diproduksi. Di antara sekian banyak partikel semikonduktor yang digunakan sebagai fotokatalis, TiO2 paling banyak digunakan sebab TiO2 sifatnya

inert baik secara biologi maupun secara kimia, stabil terhadap fotokorosi maupun korosi oleh bahan kimia (Hoffmann et al., 1995).

(46)

33

Titanium dioksida memiliki tiga fase kristal yaitu anatase, rutile dan brookite. Akan tetapi hanya anatase dan rutile yang memiliki peran penting dalam aktivitas fotokatalitik. Kemampuan fotokatalitik semikonduktor titanium dioksida dipengaruhi oleh morfologi, luas permukaan, kristalinitas dan ukuran partikel. Anatase dikenal sebagai fase kristal titanium dioksida yang memiliki aktivitas fotokatalitik paling besar. Secara termodinamik anatase kurang stabil bila dibandingkan dengan rutile, akan tetapi pembentukannya lebih disukai pada temperatur rendah (< 600 0C)..

Anatase mempunyai struktur kristal tetragonal dimana Ti-O oktahedral sharing 4 sudut sedangkan rutile mempunyai struktur kristal mirip dengan anatase, dengan pengecualian bahwa Ti-O oktahedral sharing 4 sisi bukan 4 sudut. Brookite mempunyai struktur orthorombik yang sulit dibuat dan jarang ditemukan. Struktur kristal anatase dan rutile ditampilkan dalam Gambar III.4.

Gambar III.4 Struktur kristal TiO2 (Farrell, 2001 dalam Heriyanti, 2006)

Pada struktur rutile setiap oktahedral dikelilingi oleh 10 oktahedral tetangga, sedangkan pada struktur anatase setiap oktahedral dikelilingi oleh 8 oktahedral lainnya. Jarak antara atom Ti-Ti pada anatase lebih besar dari rutile (3,79 Å pada anatase dan 2,96 Å pada rutile). Jarak Ti-O pada anatase lebih kecil dari rutile (1,934 dan 1,98 Å pada anatase serta 1,949 dan 1,98 Å pada rutile) (Linsebigler,

(47)

et al., 1995). Perbedaan struktur ini menyebabkan perbedaan densitas massa dan struktur pita elektronik.

Rutile dan anatase mempunyai struktur tetragonal dengan tetapan kisi kristal dan sifat fisika yang berbeda seperti terlihat pada Tabel II.2

Tabel III.1 Perbandingan sifat TiO2 jenis rutile dan anatase

(Fujishima et al., 1999 dalam Heriyanti, 2006)

Sifat Rutile Anatase

Bentuk kristal Tetragonal Tetragonal

Tetapan kisi-kisi a 4,58 Å 3,78 Å Tetapan kisi-kisi c 2,95 Å 9,49 Å Berat jenis 4,2 3,9 Indeks bias 2,71 2,52 Kekerasan 6,0-7,0 5,5-6,0 Permitivitas 114 31

Titik didih 1858 0C Berubah menjadi rutile

pada temperatur tinggi

Pembentukan struktur semikonduktor dapat dijelaskan melalui teori orbital molekul. Berdasarkan teori orbital molekul, interaksi antara orbital-orbital atom dapat menghasilkan orbital-orbital molekul. Jumlah orbital molekul yang dihasilkan identik dengan jumlah atom induknya yang berupa pasangan orbital molekul bonding dan anti bonding. Apabila orbital atom yang terlibat berjumlah tak berhingga, maka akan terbentuk pita kontinyu, kombinasi dari pita kontinyu orbital anti bonding yang energinya lebih rendah, disebut dengan pita valensi, dan dengan pita kontinyu orbital anti bonding yang energinya lebih tinggi, disebut pita konduksi. Struktur pita suatu semikonduktor ditunjukkan oleh Gambar III.5.

(48)

35

Gambar III.5 Pembentukan band gap pada semikonduktor (Hoffmann et al., 1995)

Dalam kristal logam transisi yang memiliki jumlah kisi tak berhingga dan jumlah orbital mendekati bilangan Avogadro 6,02x1023, tumpang tindih antar orbital atom terluar yang berdekatan akan membentuk suatu pita energi. Mengingat bahwa setiap orbital atom membentuk satu orbital molekul, maka orbital atom yang tingkatnya sama dan jumlahnya tak berhingga akan membentuk orbital molekul yang tingkatnya sama dalam pita kontinyu. Setiap tingkat energi dapat terisi dua elektron, sedangkan setiap ion dalam logam transisi hanya menyumbang satu elektron untuk berinteraksi dengan orbital atom tetangganya sehingga pita kontinyu hanya akan terisi sebagian saja.

Suatu batas yang menunjukkan terisi penuhnya suatu pita oleh elektron adalah fermi level (Ef). Pada suatu konduktor, tingkat energi fermi terletak pada bagian tengah pita konduksi yang menyebabkan logam memiliki konduktivitas listrik

(49)

yang tinggi sedangkan pada suatu isolator, tingkat energi fermi terletak diantara pita valensi yang terisi penuh dan pita konduksi di mana kedua pita tersebut terpisah cukup besar (sekitar 3,0 eV) sehingga elektron tidak dapat dipromosikan dari pita valensi menuju pita konduksi yang menyebabkan isolator tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menghantarkan arus listrik. Pada suatu bahan semikonduktor, letak tingkat energi fermi hampir sama dengan isolator akan tetapi pemisahan kedua pitanya tidak terlalu besar sehingga elektron masih dimungkinkan untuk dapat dipromosikan dari pita valensi ke pita konduksi dalam kondisi pada suhu kamar dan energi termal yang cukup. Kondisi yang demikian menyebabkan semikonduktor memiliki sifat konduktivitas relatif tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai sarana transfer muatan antar muka dan digunakan untuk menyimpan energi. Dengan semakin kecil jarak pisah kedua pita, semakin tinggi temperatur dan semakin banyak jumlah elektron yang terlibat akan memperbesar konduktivitas semikonduktor.

Semikonduktor merupakan struktur yang dikarakterisasi oleh adanya pita valensi yang terisi elektron dan pita konduksi yang kosong dan membentuk celah yang disebut energi celah pita atau band gap energy (Eg) sebesar 2 - 3,5 eV (Hoffmann et al., 1995). Harga Eg untuk beberapa semikonduktor disajikan pada Tabel III.2.

Gambar

Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC menggunakan semikonduktor alternatif  menggantikan TiO 2  (Halme, 2002)
Tabel II.1 Beberapa penelitian DSSC dengan menggunakan zat warna yang  berbeda (Halme, 2002)
Gambar III.2 Prinsip kerja sel surya berbasis sensitiser zat warna (Kartini, 2004)  Ketika elektroda kerja dikenai sinar matahari, molekul zat warna (D) yang  teradsorp pada permukaan semikonduktor tereksitasi (proses 1) dari keadaan dasar   (Do) menuju ke
Tabel III.1 Perbandingan sifat TiO 2   jenis rutile dan anatase  (Fujishima et al., 1999 dalam Heriyanti, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer spesifik H5 yang digunakan dalam metode RT-PCR untuk mendeteksi virus AI dapat mengamplifikasi sampel lapang dengan keberhasilan

Penilaian kerja adalah proses untuk mengukur prestasi kerja karyawan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan dengan cara membandingkan sasaran atau hasil

Capaian yang rendah pada salah satu komponen tidak dapat ditutupi oleh komponen lain yang capaiannya lebih tinggi. Rata-rata Hitung 

Jika volume cairan kurang dari 500 ml pada usia kehamilan 32-36 minggu, maka akan dicurigai mengalami oligohidramnion.. Kondisi ini bisa terjadi selama masa kehamilan,

1) Guru memberi tahu kepada siswa bahwa materi yang akan dipelajari pada hari ini berkaitan atau bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. 2) Guru menyampaikan

Nasional direktorat jendral pendidikan tinggi, 2006 ), hal.. yang lain menanggapi. Begitu seterusnya sampai kelompok terakhir. Namun dari semua kelompok hanya diminta untuk

Pernyataan kebijakan Freeport Indonesia tentang HIV/AIDS mengakui implikasi penting HIV/AIDS yang berpotensi terjadi pada karyawan kami dan pada masyarakat setempat serta

Empat kunci penting agar pelaksanaan perkuliahan menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah dapat menjadi kegiatan belajar-mengajar yang berpotensi mengembangkan beberapa