• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN KAYU DI KAWASAN HUTAN NEGARA (Studi Di Wilayah Hukum Polres Wonogiri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN KAYU DI KAWASAN HUTAN NEGARA (Studi Di Wilayah Hukum Polres Wonogiri)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN KAYU DI KAWASAN HUTAN NEGARA

(Studi Di Wilayah Hukum Polres Wonogiri) Oleh:

Alim

Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri. 2) Mengetahui Kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri. Tindak pidana pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri saat ini marak terjadi, oleh karena itu diperlukan peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri.

Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu, prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data yang diperoleh kemudian dianalisis dalam bentuk kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri dilakukan melalui tiga cara yaitu: Upaya Pre-emtif yakni: mengadakan penyuluhan atau sosialisasi tentang pemahaman hukum, risiko dari kerusakan hutan, dan pemanfaatan hutan secara prosedural kepada masyarakat dan internal penegak hukum. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan oknum-oknum dalam internal penegak hukum akan pentingnya memahami hukum, melestarikan hutan, dan memanfaatkan hutan secara prosedural. Memajang pamflet-pamflet atau baliho-baliho, dan menghimbau lewat media cetak atau media elektronik tentang pentingnya kelestarian hutan. Upaya Preventif yakni: tetap siaga, turut aktif, dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya kejahatan pencurian kayu, dengan bekerja sama dan meningkatkan koordinasi dengan personil Polisi Hutan yang melakukan patroli rutin di kawasan hutan, melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan dan hasil hutan, serta melakukan penjagaan dititik rawan peredaran hasil hutan. Upaya Represif yakni: mengamankan terlebih dulu yang diduga kuat sebagai pelaku kejahatan pencurian kayu dan selanjutnya dilakukan penyidikan terhadap setiap kasus kejahatan pencurian kayu. Setiap kasus kejahatan pencurian kayu yang tuntas dalam penyidikan dilimpahkan ke pihak kepolisian. 2) Kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri yaitu berkaitan dengan terbatasnya sarana prasarana dan jumlah personil polisi hutan, Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan Hutan dan kondisi masyarakat dan budaya masyarakat di sekitar hutan.

(2)

LATAR BELAKANG MASALAH

Salah satu dari beberapa bentuk kejahatan yang sekarang ini sering terjadi adalah kejahatan penebangan kayu secara ilegal, atau biasa disebut pencurian kayu, yang dilakukan di kawasan hutan di Indonesia. Kejahatan ini dilakukan masyarakat dengan maksud-maksud tertentu diantaranya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan juga menjalankan tradisi yang dilakukan secara turun temurun tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya. Padahal akibat yang ditimbulkan sangat besar yaitu selain merugikan negara milyaran rupiah, juga dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Apalagi bila sisa-sisa penebangan tersebut dibakar, akan menimbulkan kabut asap seperti yang terjadi saat ini di beberapa daerah di Indonesia.

Indonesia memiliki hutan seluas 144 juta ha, hanya 118 juta ha yang masih berupa hutan. Hutan seluas itu diperinci dalam hutan produksi seluas 49,3 juta ha, hutan lindung seluas 39,9 juta ha, serta hutan konservasi dan hutan lainnya seluas 29,0 juta ha (Herman Haeruman, 1992: 1) Apabila hutan seluas itu dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya akan memberikan dampak positif dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh organisasi PBB, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1991 dikemukakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia untuk kepentingan industri seluas 1.314.700 ha per tahun. Apabila dipresentasikan, kerusakan rata-rata 1,2% per tahun. Hal ini dapat diperkirakan dalam waktu kurang dari 84 tahun hutan tropis Indonesia akan habis.

Pihak yang paling bertanggung jawab penyebab kerusakan hutan akibat pencurian kayu dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), perambah hutan dan pencuri kayu. Masing-masing memiliki pola sendiri-sendiri dalam menjalankan aksinya. Suporahardjo mengemukakan kondisi kebijakan kehutanan seperti sekarang ini masih banyak menghadapi masalah kronis. Salah satu masalah kronis adalah membudayanya kolusi antara aparat kehutanan dan pihak pengusaha. Kondisi ini menyebabkan melembaganya berbagai pengawasan terhadap operasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan berbagai regulasi (aturan hukum) yang harus dilaksanakan oleh HPH hanya menjadi persyaratan administratif.

(3)

Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan oleh pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), perambah hutan dan pencuri kayu perlu dilakukan penegakan hukum secara konsekuen terhadap para pelaku tanpa memandang suku, agama, dan kedudukan sosialnya, karena semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Kejahatan penebangan kayu secara ilegal atau biasa disebut pencurian kayu banyak terjadi di daerah atau kota kecil yang mempunyai kawasan hutan luas, salah satu contohnya adalah KPH Surakarta. Saat ini luas hutan KPH Surakarta yaitu 33.149,8 H dengan perincian hutang produksi seluas 13.938,58 Ha dan luas hutang lindung yaitu 19.211,22 Ha.

Berdasarkan hasil penelitian Forum Kemitraan dan Keamanan Polisi Masyarakat (FKKPM) modus yang digunakan dalam praktek pencurian kayu adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan adakalanya pencurian kayu dilakukan melalui kerjasama antara perusahaan pemegang izin HPH dengan para cukong. Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tersebut (Cecep Aminudin, 2003).

Dalam hasil temuan lain modus yang biasa dilakukan dalam pencurian kayu adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta memanipulasi isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek pencurian kayu. Illegal loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan dengan para cukong bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan. Untuk mengatasi maraknya tindak pidana pencurian kayu jajaran aparat penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum untuk menanggulanggi tindak pidana pencurian kayu, meskipun secara limitatif undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya istilah pencurian kayu.

(4)

Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo, pencurian kayu merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan (Haryadi Kartodiharjo, 2003: 14). Adanya berbagai kasus didaerah dimana seseorang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil dan membawa sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang dikenakan tindak pidana pencurian kayu bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukup adilkah mereka yang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi/perut diancam dengan hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri?

2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri?

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri.

2. Mengetahui Kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wonogiri yang beralamat di Desa Ngadipiro Kecamatan Nguntoro Nadi Kabupaten Wonogiri. Metode yang dipergunakan adalah yuridis sosiologis, artinya

(5)

suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).

Metode analisis data dalam penulisan hukum ini dilakukan secara kualitatif yaitu data yang telah diperoleh dari penelitian di lapangan secara tertulis dan lisan dipelajari secara utuh dan menyeluruh kemudian dianalisis dan disajikan secara deskrptif dalam satu kesatuan yang utuh mengenai objek yang diteliti, sehingga dapat menghasilkan suatu alur pemikiran yang sistematis yang akan menjelaskan mengenai objek yang diteliti.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Peranan Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Pencurian Kayu di Kawasan Hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri

Kabupaten Wonogiri dengan hutan yang luas yaitu seluas 11.350,84 Ha, tentu tidak terlepas dari kejahatan terhadap hutan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengetahui perkembangan kejahatan pencurian kayu di Kawasan Hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri, penulis melakukan penelitian di instansi terkait yakni Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kabupaten Wonogiri dan masyarakat setempat untuk mendapatkan data yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dari data yang ada menunjukkan jumlah kejadian pencurian kayu selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel I

Jumlah Kejadian Pencurian Kayu Selama Tahun 2012-2014

No. Tahun Jumlah

Kejadian Jumlah Pohon Kerugian (Rp) 1. 2012 6 22 39.260.000 2. 2013 2 6 1.200.000 3. 2014 1 6 18.840.000 Jumlah 9 34 59.300.000

(6)

Dari data tersebut di atas mengindikasikan kepada dua hal, yaitu:

1. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingya kelestarian hutan secara umum dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingya kelestarian hutan di wilayah BKPH Wonogiri secara khusus.

2. Upaya-upaya yang ditempuh penegak hukum belum berhasil menyelamatkan kawasan hutan di wilayah BKPH Wonogiri.

Namun dari total kasus tersebut hanya ada sebanyak 21 kasus yang terselesaikan dan 13 kasus yang tidak terselesaikan. Sedangkan khusus untuk kasus terkait dengan kawasan Hutan BKPH Wonogiri tidak ada yang diselesaikan. Menurut Robi Rayendri selaku Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wonogiri menyatakan bahwa:

“Kendala utama penanganan kasus kejahatan pencurian kayu adalah tidak diketahuinya atau tidak teridentifikasinya pelaku. Lagi-lagi hanya temuan kayu di dalam hutan tanpa ada yang ketahui siapa pelakunya, dan yang membuat hal ini rumit adalah kurangnya saksi. Selain itu, pelaku-pelaku itu cerdik juga, beraksi dengan melihat kelemahan-kelemahan petugas. Terlepas dari itu, tidak hanya wilayah hutan BKPH Wonogiri saja yang polisi jaga, dan bukan hanya kasus terkait kejahatan pencurian kayu yang pihak kepolisian tangani, masih banyak kasus-kasus yang lain.

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penanganan kasus pencurian kayu di BKPH Wonogiri terdapat 3 kendala yang dialami pihak yang berwajib, yaitu:

1. Pelaku tidak diketahui; 2. Kurangnya saksi; dan

3. Kurangnya sumber daya penegak hukum.

Terlepas dari kendala yang dihadapi, pihak kepolisian dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab telah melakukan segala daya upaya dalam menanggulangi kejahatan pencurian kayu dan terus membuat upaya-upaya baru demi terjaganya hutan di BKPH Wonogiri. Adapun peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di Kawasan Hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri adalah sebagai berikut:

1. Upaya Pre-emtif

Dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif yaitu menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga nilai-nilai/norma-norma tersebut

(7)

tertanam dalam diri seseorang. Dengan demikian, meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Robi Rayendri selaku Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kabupaten Wonogiri, untuk mengatasi kejahatan pencurian kayu, pihak kepolisian melakukan upaya pencegahan dengan mengadakan penyuluhan atau sosialisasi tentang pemahaman hukum, risiko dari kerusakan hutan, dan pemanfaatan hutan secara prosedural kepada masyarakat dan internal penegak hukum. Selain penyuluhan, dilakukan juga pemasangan pamflet-pamflet atau baliho-baliho yang bertuliskan pentingnya kelestarian kawasan hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri.

Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan hukum tersebut dilakukan dengan mengundang warga masyarakat terutama tokoh masyarakat sekitar hutan dan Anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang pemahaman hukum, risiko dari kerusakan hutan, dan pemanfaatan hutan dilaksanakan oleh:

1. Wakil Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta 2. Perwira Pembina Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta 3. Asisten Perhutani BKPH Wonogiri

4. Polisi Sektor wilayah setempat 5. Danramil wilayah setempat

Dengan adanya pemberian penyuluhan dan sosialisasi tentang pemahaman hukum, risiko dari kerusakan hutan, dan pemanfaatan hutan tersebut diharapkan masyarakat memahami tentang pentingnya hutan bagi masyarakat serta sanksi yang diberikan apabila melakukan pencurian kayu di kawasan hutan negara. Selain dari pihak kepolisian, upaya pencegahan berupa penyuluhan hutan juga dilakukan oleh pihak dari dinas kehutanan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suyatno selaku Polisi Hutan BKPH Wonogiri menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pihak dari kepolisian hutan melakukan penyuluhan tentang pentingnya melestarikan dan menjaga hutan.

(8)

2. Upaya Preventif

Upaya preventif yang merupakan tindak lanjut dari upaya pre-Emtif yang menekankan pada menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat kepolisian hutan yaitu Bapak Suyatno menyatakan bahwa secara preventif yang telah dilakukan adalah tetap siaga, turut aktif dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya kejahatan pencurian kayu, dengan bekerja sama dan meningkatkan koordinasi dengan personil Polisi Hutan yang melakukan patroli rutin di kawasan hutan, melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan dan hasil hutan, serta melakukan penjagaan di titik rawan peredaran hasil hutan antara lain: industri pengolahan kayu dan lain-lain.

3. Upaya Represif

Upaya represif dimaksudkan untuk penanggulangan kejahatan pencurian katu yaitu menindak para pelaku kejahatan pencurian kayu sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan mereka merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh hukum dan merugikan masyarakat, dengan mengamankan terlebih dulu yang diduga kuat sebagai pelaku kejahatan pencurian kayu dan selanjutnya dilakukan penyidikan terhadap setiap kasus kejahatan pencurian kayu. Setiap kasus kejahatan pencurian kayu yang tuntas dalam penyidikan dilimpahkan ke kepolisian dan kemudian untuk diadili kepengadilan dengan sanksi seberat-beratnya. Sehingga para pelaku kejahatan pencurian kayu tidak lagi mengulangi perbuatannya, karena dapat timbul efek jera dengan sanksi yang diberikan. Selain hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan secara maksimal yaitu sebagai berikut:

a. Memberdayakan masyarakat sekitar Hutan Lindung Jompi, dengan memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri untuk mengambil keuntungan dari kawasan hutan tersebut, dengan mengolah kawasan hutan yang telah rusak untuk menanam tanaman semusim.

b. Dalam hal pengambilan manfaat dari kawasan hutan, masyarakat sekitar hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri harus memperhatikan

(9)

hutan tersebut agar tidak mengalami kerusakan secara keseluruhan, yaitu dengan cara reboisasi.

c. Kegiatan reboisasi harus dilakukan oleh semua pihak, entah itu Pemerintah Daerah Kabupaten Wonogiri, Dinas Kehutanan Kabupaten Wonogiri, kepolisian dan masyarakat setempat, serta pihak-pihak lainnya yang terkait. Dengan catatan bahwa BKPH Wonogiri yang menyiapkannya bibit pohon.

Maksud dan tujuan dilakukannya hal tersebut di atas adalah menumbuhkan rasa kepedulian dan kepemilikan terhadap hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri oleh masyarakat sekitar hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri untuk menjaga dan melestarikan hutan tersebut yang sebagai penopang hidup bagi orang banyak pada umumnya dan khususnya masyarakat sekitar hutan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Robi Rayendri selaku Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) BKPH Wonogiri, diutarakan hal-hal sebagai berikut: “Dalam penanganan Kawasan hutan negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri agar dilakukan dengan pendekatan sosial kemasyarakat dan semaksimal mungkin dihindari terjadinya konflik.”

Menurut Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, Polisi Kehutanan berwenang untuk :

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk dilaporkkan ke pihak yang berwenang;

f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

(10)

Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan ditentukan bahwa Polisi Kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan walaupun telah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, namun dalam pelaksanaan tugasnya kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) dengan kata lain bahwa: 1. Kedudukan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana kehutanan adalah sebagai koordinator dan sebagai pengawas proses penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.

2. Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sebagai penyidik tindak pidana kehutanan.

Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional, sedangkan pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menjamin agar seluruh kegiatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan koordinasi dan pengawasan oleh Penyidik Polri terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilakukan berdasarkan asas Kemandirian, kebersamaan dan legalitas. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan:

1. Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Nomor 5 tahun 1990, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004.

- Melaporkan pelaksanaan Penyidikan kepada Penyidik Polri.

- Memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik polri.

(11)

- Setelah penyidikan selesai dilaksanakan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik Polri.

- Dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menghentikan Penyidikan, maka memberitahukan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya melalui Penyidik Polri.

Pelaksanaan dan pemberian wewenang ini diatur bersama antar Menteri Kehutanan dan Kapolri. Dalam rangka penegakan hukum yang pada prinsipnya bersifat koordinasi fungsional antara Polisi hutan dan Polri dalam hubungan koordinasi ditunjukkan melalui Keputusan Kapolri Nomor 242 tanggal 24 November 1981 Tentang Tugas, Fungsi, dan Peranan Polisi Hutan. Adapun ketetapan Kapolri antara lain sebagai berikut :

1. Polisi hutan dan jagawana melaksanakan perlindungan hutan dengan wewenang khusus yang disahkan oleh undang-undang, pelaksanaan harus sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara pidana yang berlaku.

2. Fungsinya meliputi segala usaha dan kegiatan pelestarian hutan di bidang masing-masing terutama langkah penyelidikan terhadap terjadinya pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku.

3. Fungsinya sebagai aparat penegak hukum baik secara preventif maupun represif dalam bidang masing-masing agar menegakkan sanksi-sanksi hukum berdasarkan ketentuan yang ada.

4. Fungsinya sebagai partner polisi dalam melaksanakan tugas preventif maupun represif dalam rangka penegakan hukum.

Kewenangan itulah yang harus dilakukan dan dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum terhadap para pelaku tindak pidana di bidang kehutanan. Selanjutnya dalam menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana illegal logging, seringkali polisi hutan lambat dalam mengambil tindakan karena terlebih dahulu berkoordinasi dengan Polres Wonogiri. Hal ini dikarenakan rendahnya kemampuan polisi hutan dan belum adanya penyidik dari Polisi Kehutanan.

(12)

Kendala-kendala yang Dihadapi Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Pencurian Kayu di Kawasan Hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri

Kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri antara lain sebagai berikut:

1. Terbatasnya Sarana Prasarana dan Jumlah Personil Polisi Hutan

Jumlah personil polisi hutan yang ada di BKPH Wonogiri saat ini berjumlah 10 orang, di mana dari 10 orang personil polisi hutan tersebut harus mengawasi kawasan hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri seluas 5.675,42 Ha. Selain itu 10 personil polisi hutan tersebut juga memiliki tugas tambahan yaitu sebagai mandor tanam, mandor sadap, serta mandor pemeliharaan hutan dan mandor pemeliharaan pungutan daun kayu putih. Sehingga dengan adanya tugas tambahan tersebut konsentrasi polisi hutan dalam mengawasi dan menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan BKPH Wonogiri kurang maksimal.

Dalam kaitannya dengan penegakan tindak pidana kehutanan, sarana dan fasilitas sangat diperlukan, misalnya jumlah tenaga Polisi kehutanan (POLHUT) yang ada untuk mengawasi luas wilayah hutan kabupaten Wonogiri yang luasnya mencapai 5.675,42 hektar apakah sebanding dengan jumlah tenaga Polisi khusus kehutanan tersebut, rasionya menurut Keputusan bersama Menteri kehutanan dan kepala Kepolisian R.I nomor 10/Kpts-II/1993 tentang susunan organisasi dan tata kerja Jagawana bahwa anggota Polisi Kehutanan dalam satu wilayah hutan minimal terdiri dari 30 (tiga puluh) orang. Sedangkan di Kabupaten Wonogiri yang memiliki 10 orang personil, wilayah hutan yang terpisah-pisah hanya memiliki lebih kurang 10 orang Polisi Kehutanan, kondisi yang demikian tentu saja sangat tidak mendukung bagi Polisi Kehutanan untuk bisa secara efektif mengawasi hutan yang ada.

Seperti diketahui bahwa pencurian kayu hutan, pengangkutannnya dilakukan sebagian besar melalui jalur darat dengan mempergunakan alat-alat yang khusus oleh karenanya untuk menanggulangi pencurian kayu melalui jalur darat ini bagi anggota Polisi Kehutanan memerlukan sarana transportasi misalnya

(13)

mobil Polhutmob, mengingat kondisi hutan yang ada dalam wilayah Wonogiri sebagian besar adalah wilayah pegunungan, untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif memerlukan sarana tranportasi yang memadai. Sedangkan kondisi yang ada saat ini sarana tranportasi yang dimiliki oleh polisi kehutanan Kabupaten Wonogiri hanya bantuan dari KPH Surakarta.

Karenanya Polisi kehutanan dalam melaksanakan tugasnya melakukan pengamanan hutan kendaraan yang dipakai hanya kendaraan seadanya. Demikian juga dengan senjata yang melengkapi personil Polisi khusus kehutanan sangat tidak memadai. Fasilitas lain yang kiranya juga berpengaruh terhadap efektivitas anggota polisi khusus kehutanan adalah, uang akomodasi yang mereka terima selama melakukan tindakan pengamanan dan penjagaan kawasan hutan, sangat tidak wajar dalam setiap kali melakukan tindakan pengamanan hutan yang memerlukan waktu lebih kurang satu minggu anggota POLHUT hanya dibayar Rp. 300.000/ per orang, termasuk biaya akomodasi dan transportasi.

2. Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan Hutan

Para aparat penegakan hukum yang terkait belum berhasil menggunakan kewenangannya dalam mengatasi kejahatan pencurian kayu. Hal ini didasarkan pada banyaknya jumlah kasus yang tidak terselesaikan dan besarnya jumlah kerusakan hutan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Robi Rayendri selaku Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) BKPH Wonogiri, Kasus kejahatan pencurian kayu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 di BKPH Wonogiri banyak yang tidak ditindak lanjuti, karena beberapa hal: pertama, tidak adanya PPNS di BKPH Wonogiri. Kedua, kasus-kasus yang sempat dibuatkan laporan kejadiannya dilimpahkan semua kepada pihak kepolisian. Hal ini tetap dimonitoring oleh pihak dinas kehutanan, tapi semua kasusnya tidak ada yang sampai masuk pengadilan.

Pengawasan hutan juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kejahatan pencurian kayu. Lemahnya pengawasan hutan dapat memicu kejahatan pencurian kayu terus meningkat. Sehingga pelaku kejahatan pencurian kayu merasa tidak akan ada ancaman karena tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal inilah yang mesti diperhatikan sebagai langkah dalam mengatasi kejahatan pencurian kayu.

(14)

3. Kondisi Masyarakat dan Budaya

Masyarakat sebagai objek dalam penegakan hukum dalam kasus pencurian kayu di kawasan hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri cukup mempengaruhi keberhasilan dari penanganan pencurian kayu di kawasan hutan Negara di Wilayah Hukum Polres Wonogiri. Beragam latar belakang dan karakteristik pribadi yang dimiliki para anggota masyarakat, turut mempengaruhi tingkat kesadaran hukum masyarakat, ada yang tinggi dan ada yang rendah, yang pada akhirnya sebagai akumulasi akan mempengaruhi tingkat kesadaran hukum masyarakat, baik latar belakang pendidikan, adat istiadat yang dianut, termasuk beragamnya, karakter kualitas emosional dan intelejensia setiap anggota masyarakat, kualitas mental dan keimanan setiap orang yang juga sangat beragam.

Kondisi masyarakat disekitar kawasan hutan yang ada di kabupaten Wonogiri se-bagian besar masih mengandalkan hasil hutan terutama kayu sebagai mata pencaharian pokok mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum terhadap pelaku pencurian kayu hutan, hal lain yang juga mempengaruhi pe-negakan hukum adalah sifat masyarakat yang selalu berpindah-pindah dari kawasan hutan tertentu ke kawasan hutan lainnya apabila persediaan kayu disuatu daerah sudah habis. Oleh karenanya perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat tersebut, dengan cara-cara yang tradisional yang sesuai dengan bu-daya masyarakat dengan memanfaatkan para pemuka masyarakat dan tokoh-tokoh agama agar mereka mencari alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dengan cara melakukan penebangan kayu hutan yang semakin lama semakin berkurang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Peranan penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri dilakukan melalui tiga cara yaitu: Upaya Pre-emtif yakni: mengadakan penyuluhan atau sosialisasi tentang pemahaman hukum, risiko dari kerusakan hutan, dan pemanfaatan hutan secara

(15)

prosedural kepada masyarakat dan internal penegak hukum. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan oknum-oknum dalam internal penegak hukum akan pentingnya memahami hukum, melestarikan hutan, dan memanfaatkan hutan secara prosedural. Memajang pamflet-pamflet atau baliho-baliho, dan menghimbau lewat media cetak atau media elektronik tentang pentingnya kelestarian hutan. Upaya Preventif yakni: tetap siaga, turut aktif, dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya kejahatan pencurian kayu, dengan bekerja sama dan meningkatkan koordinasi dengan personil Polisi Hutan yang melakukan patroli rutin di kawasan hutan, melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan dan hasil hutan, serta melakukan penjagaan dititik rawan peredaran hasil hutan. Upaya Represif yakni: mengamankan terlebih dulu yang diduga kuat sebagai pelaku kejahatan pencurian kayu dan selanjutnya dilakukan penyidikan terhadap setiap kasus kejahatan pencurian kayu. Setiap kasus kejahatan pencurian kayu yang tuntas dalam penyidikan dilimpahkan ke pihak kepolisian. 2) Kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi pencurian kayu di kawasan hutan negara di wilayah hukum Polres Wonogiri yaitu berkaitan dengan terbatasnya sarana prasarana dan jumlah personil polisi hutan, Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan Hutan dan kondisi masyarakat dan budaya masyarakat di sekitar hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Cecep Aminudin, 2003, Penegakan Hukum Pencurian kayu Permasalahan dan Solusi, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penegakan Hukum Lingkungan di Mataram tahun 2003.

Down to Earth, No. 53/54, Agustus 2002, Nota Kesepahaman (MOU) Indonesia-Inggris mengenai Penebangan Kayu Liar, dari Webpage http://www.dte.gn.apc. Org/53iMo.htm,: (diakses tanggal 5 Desember 2014).

FWI dan GFW, 2001, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch: Bogor, edisi ketiga.

Garner, B.A., 1999, Blak’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group: Dallas Texas.

(16)

Haryadi Kartodiharjo, 2003, Modus Operandi, scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus Pencurian kayu, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta.

IGM. Nurdjana dkk., 2008, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Kartonegoro, 1990, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo.

P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Rahmi Hidayati D, dkk, 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyeludupan Kayu: Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Tanggerang.

Salim H.S, 2013, Dasar-dasar Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto.

Soejono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1989, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grapindo.

Salim, P., 1987, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Edisi keenam, Modern English Press: Jakarta.

Sukardi, 2005, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, cetakan Pertama.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dibuatnya sistem informasi digital raport berbasis android pada SMK Negeri 13 Kota Bekasi , agar dalam penyampaian informasi lebih efisien.. Sistem informasi digital

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan minyak atsiri lengkuas merah serta konsentrasi penambahan minyak atsiri lengkuas merah yang

Tujuan : Guna mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiktomi yang meliputi pengkajian, intervensi, implementasi, dan

Sifat kimia yang memiliki pengaruh terhadap perbedaan vegetasi mangrove adalah nilai daya hantar listrik (DHL/EC), persentase kadar air lapang, persentase kejenuhan

Cara efektif menghindari hambatan pelaksanaan proyek konstruksi secara berurutan adalah faktor desain dan perencanaan, faktor material, faktor tenaga kerja, faktor

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini ialah untuk mengetahui mengenai apakah perusahaan yang memiliki kualitas laba yang rendah yang diukur menggunakan perusahaan

Konsep desain yang menunjang fungsi fasilitas bangunan dalam perencanaan dan perancangan Perpustakaan Anak ini adah melalui penataan tata ruang luar dan dalam

• Pengujian dan perhitungan dilakukan pada genset motor bensin 4 langkah 1 silinder merk Vorex seri V1500 1000 watt, volume silinder 100 CC menggunakan karburator sebagai