• Tidak ada hasil yang ditemukan

LRC. Oleh : Maharani / Direktur LRC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LRC. Oleh : Maharani / Direktur LRC"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Oleh : Maharani / Direktur LRC

The Coffee is one of C3 plant that needs a variably light intensity differently during its growth phase. Therefore, it is needed to efforts in the young coffee manner until mature of age to achieve optimally in growth, one of it is adding the shending plant. The regulating related with light intensity will be involved in photosintesis process become optimally for it. The result of photosintesis are, the first to perform bonding and or molecules and than, the second, to perform biomass and the third, ware stored in storage tube (the result of harvest). The lower light irridation had become the result of photosintesis in the lower rate photosintesis and than the biomass is also in lower. Whereas, the acquirement related with nutrient for the plant in other fertilizer and also butchering about shanding plants that returned to the soil. The purpose of this research is to understand the contribution of shanding plant in supplying nutrient at The Coffee Plantation Property that is in Sidomulyo Village, Silo Subdistrict, Jember regency. The measurement had been conducted in the coffee property which have three shanding plants, they are the leucaena sp., erythrena microcarpa and Albizzia falcata. The result represent that shanding plant of Albizzia falcata supplied with nutrient of the carbon and nitrogen in overambudance thah is 17.31 and 22,03 kilos gram hectare-1 year-1, respectively. For phosphorus and magnesium supplied with erythrena microcarpa that is 20.64 and 10.56 03 kilos gram hectare-1 year-1. The nutrient acquirement differently will become the property of nutrient is also defferent. The property of carbon and nitrogene of the soil in largest at the coffee which use Albizzia falcata shanding plant that is one percent in corbon and 0.17 percent nitrogene, respectively. For the largest phosphorus and magnesium of the soil had been presented at the coffee which use erythrena microcarpa shanding plant that is 32.83 phosphorus milligram kilosgram-1 year-1and 0.83 magnesium 100 g-1, respectively.

Key words: The shanding plant, nutrient, biomass, the coffee.

PENDAHULUAN

Sistem agroforestri merupakan sistem pertanian yang mengkombinasikan tanaman pertanian dan tanaman hutan (tanaman keras), sistem ini telah dipraktikkan secara luas oleh petani di pulau Jawa. Tanaman yang digunakan sebagai tanaman utama yaitu tanaman Kopi karena kopi merupakan tanaman C3, sehingga hanya membutuhkan intensitas cahaya yang rendah.

Cahaya yang terlalu tinggi dapat menekan kerja auksin dan sebaliknya cahaya yang rendah memacu kerja auksin (Prasetyo et al., 2006). Tertekannya kerja auksin dapat mengurangi pertumbuhan terutama perpanjangan sel tanaman. Selain itu intensitas cahaya tinggi yang terus menerus akan mengakibatkan daun-daun berwarna kuning karena klorofil rusak.

Salah satu cara untuk mengatur intensitas cahaya matahari agar sesuai dengan kebutuhan tanaman dilakukan dengan pemberian naungan. Pemberian naungan dapat dilakukan dengan penanaman tanaman lain di sela tanaman pokok (ditumpangsarikan). Naungan dapat menurunkan suhu udara di sekitar tanaman kopi sehingga dapat memacu aktivitas fotosintesis, karena tanaman kopi membutuhkan suhu sekitar 200C untuk dapat memaksimalkan fotosintesis (Prawoto, 2008).

Cahaya yang dapat dipergunakan untuk fotosintesis adalah cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 400 – 700 nm. Cahaya itu kemudian disebut sebagai radiasi aktif untuk fotosintesis (Photosynthetic Active Radiation/PAR)(Hall & Rao, 1999). Tanaman yang memperoleh pencahayaan di bawah optimum akan mengakibatkan hasil biji menjadi rendah, baik pada tanaman C4 (Sitompul 2003) maupun tanaman C3 (Adisarwanto et al., 2000). Hasil biji yang rendah

(3)

berhubungan dengan biomassa yang juga rendah meskipun faktor pertumbuhan lain optimum (Kiniry dan Knievel, 1995).

Hasil biomasa tanaman sangat tergantung pada; 1) luas daun yang menerima cahaya matahari, 2) efesiensi penggunaan cahaya matahari oleh tanaman, 3) jumlah cahaya yang diterima selama siklus hidup tanaman dan 4) distribusi/alokasi hasil fotosintesis (fotosintat)(Soedradjad, 2008).

Partisi hasil fotosintesis tanaman, pertama untuk membentuk senyawa atau molekul lebih lanjut, kedua membentuk biomassa dan ketiga disimpan dalam tempat penyimpanan (hasil panen). Irradiasi cahaya rendah mengakibatkan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah dan akhirnya hasil tanaman rendah. Sedangkan pemenuhan keperluan unsur hara bagi tanaman kecuali tersedia adalah dari hasil biomasa tanaman naungan karena hasil pangkasan tanaman naungan dikembalikan kedalam tanah.

Pemilihan spesies tanaman penaung sebaiknya diketahui keuntungannya baik dari segi ekonomis maupun dari segi perbaikan kesuburan tanah dengan kandungan unsur hara yang tinggi di dalam brangkasannya. Namun yang lebih dipentingkan adalah bahan organik yang dikembalikan tersebut cepat terdekomposisi. Laju dekomposisi seresah ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C/N, kandungan lignin dan polyphenol. Seresah dikategorikan berkualitas tinggi apabila nisbah C/N <25, kandungan lignin <15 % dan polyphenol <3 %, sehingga cepat dilapuk (Kurniatun et al., 2002). Sampai saat ini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji efektifitas tanaman naungan dalam hubungannya dengan besarnya sumbangan bahan organik dari tanaman naungan yang dikembalikan ke dalam tanah dan seberapa besar sumbangan unsur hara yang diberikan dari bahan organik tersebut. Penelitian-penelitian yang sifatnya penelitian kaji tindak di lahan perkebunan rakyat juga belum banyak dilakukan, padahal sekitar 80% perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Untuk itu, penelitian tentang ” Kontribusi Tanaman Penaung

dalam Memasok Unsur Hara pada Lahan Perkebunan Kopi Rakyat ” sangat diperlukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi tanaman penaung memasok unsur hara di lahan perkebunan kopi rakyat.

METODE

Lokasi penelitian mempunyai kemiringan lahan rata-rata 0 – 15 %, dengan ketinggian tempat antara 571-575 meter dari permukaan laut. Letak geografisnya terletak pada 8o 13` 04“ LS dan 113o 55` 33,4“ BT. Tanah pada lokasi penelitian bertekstur pasiran dengan ordo inceptisol. Kedalaman solum tanah berkisar antara 30 – 45 cm, serta kedalaman perakaran berkisar antara 20 – 45 cm.

Luas lahan perkebunan kopi rakyat di Desa Sidomulyo adalah 30 ha. Jenis tanaman penaung yang ada didominasi oleh tanaman sengon, lamtoro dan dadap yang ditumpangsarikan dengan tanaman kopi.

Estimasi Biomas Tanaman (Berat Kering Tanaman)

Diukur diameter batang setinggi dada (dbh = diameter at breast height = 1.3 m dari permukaan tanah) plot-plot yang sudah ditentukan sebelumnya. Kemudian menghitung Volume tanaman dengan rumus sebagai berikut :

Volume (cm3) = Л R2 T

Dimana :

(4)

R = Jari-jari potongan kayu = ½ x diameter (cm) T = Panjang kayu

Berat Kering (biomas tanaman) = Berat Jenis (g cm-3) x Volume (cm3)

(Kurniatun dan Subekti, 2007)

Berat jenis kayu pohon naungan dari leguminose sekitar (0.3 g cm-3) lebih ringan dari pada pohon buah-buahan 0.61 g cm-3 dan kayu-kayuan berkisar antara 0.65 g cm-3 . Sementara berat jenis kayu pohon komersial 0.43 g cm-3 (www.worldagroforestry.org).

HASIL

Perbedaan jenis tanaman penaung akan menyebabkan perbedaan kandungan carbon (C) dalam tanah. Kandungan C yang tertinggi diperoleh pada perlakuan kopi dengan tanaman penaung sengon dan lamtoro yaitu 1,00% sedangkan pada kopi dengan tanaman penaung dadap 0,87%. Kandungan C tanah pada penaung berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kandungan Carbon tanah pada tiga tanaman penaung yang berbeda.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh jenis dan kerapatan populasi pohon yang ditanam. Kerapatan populasi pada ketiga perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Walaupun ketiga jenis tanaman penaung tersebut merupakan leguminosa, namun karekteristik jaringan seperti luas daun, karakteristik batang dan lain-lainnya berbeda. Eve et al., (2002) menyatakan bahwa kadar C di dalam tanah tergantung pada tekstur tanah, iklim, tipe dan pertumbuhan tanaman, sejarah penggunaan lahan dan manajemen lahan.

Kandungan C tanah tersebut dalam taraf sesuai untuk kebutuhan kopi robusta (kebutuhan C tanaman kopi robusta >0,8). Untuk produksi tanaman yang berkelanjutan minimal C tanah harus dipertahankan sebesar 2%, dan untuk Itu diperlukan masukan bahan organik minimal sebesar 8.5 Mg ha-1 th-1 (Khasanan, 1999). C organik merupakan gambaran kandungan bahan organik di dalam tanah. Penentuan bahan organik umumnya dilakukan dengan cara mengukur C organik, karena C merupakan penyusun utama bahan organik.

Tabel 2. Kerapatan Populasi Pohon Kopi dengan Tiga Penaung Berbeda

LRC

(5)

Jenis Penaung Jumlah Pohon/ha TotalPopulasi/ha Kopi Penaung

Sengon 900 800 1700

Lamtoro 900 600 1500

Dadap 900 700 1600

Keterangan : Data Jumlah Populasi Pohon diperoleh dari data sekunder ( Kelompok Tani Sidomulyo I, 2007).

Selain sebagai penaung, jenis-jenis legume juga memiliki fungsi ekologi yang lain yaitu memfiksasi N dari udara bebas dengan jalan bersimbiosis dengan rhizobium (Mutuo et al., 2005). Meskipun tanaman jenis legume ini dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi petani masih belum mendapatkan keuntungan ekonomi yang memadai. Oleh karena itu secara bertahap petani menanam pohon penaung bernilai ekonomi tinggi lainnya yaitu pohon buah-buahan dan kayu-kayuan (Buana et

al., 2005).

Kandungan karbon tanah tidak berbanding lurus dengan kandungan karbon jaringan tanaman. Dengan adanya perbedaan karakteristik daun dan jaringan pada ketiga tanaman penaung tersebut, menyebabkan perbedaan kandungan carbon dalam jaringan. Kandungan carbon jaringan yang tertinggi dimiliki oleh dadap yaitu 32,03%, selanjutnya lamtoro 30,55% dan sengon 28,83%. Tanaman penaung juga akan menjadi pesaing bagi tanaman kopi untuk menyerap hara. Kandungan carbon pada ketiga tanaman penaung tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Carbon Seresah pada Tanaman Penaung

Jenis Penaung Rata-rata Seresah (kg/pohon) Kandungan C (%) Kontribusi (kg. th-1.ha-1) Sengon 3 28,83 17,31 Lamtoro 3 30,55 15,33 Dadap 3 32,03 16,35

Besarnya C yang disumbangkan oleh tanaman penaung akan dipengaruhi oleh jumlah populasi dan kandungan C pada seresah tanaman tersebut. Rata-rata setiap pohonnya menghasilkan seresah 3 kg/pohon (hasil pemangkasan), maka tanaman sengon akan menyumbangkan 17,31 kg. th-1.ha-1, sedangkan dadap 16,35 kg. th-1.ha-1 dan lamtoro 15,33 kg. th-1.ha-1.

Semakin tinggi berat jenis kayu pohon yang ditanam maka semakin banyak C yang disimpan dalam biomasa pohon. Berat jenis kayu pohon naungan dari leguminose sekitar (0,3 g cm-3) lebih ringan dari pada pohon buah-buahan 0,61 g cm-3 dan kayu-kayuan berkisar antara 0,65 g cm-3 . Sementara berat jenis kayu pohon komersial 0,43 g cm-3 (www.worldagroforestry.org.).

Perbedaan kandungan carbon pada tanah juga dipengaruhi oleh masukan yang diberikan baik berupa pupuk organik maupun anorganik. Selain pupuk anorganik berupa Urea, petani juga memberikan pupuk organik yaitu dari kulit kopi. Dari bawah permukaan, akar tanaman juga akan memberikan sumbangan C yang cukup besar. Masukan C kedalam tanah dapat melalui 3 cara yaitu (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c)

(6)

biota (Kurniatun et al., 2003).

Berat kering akar yang tertinggi dimiliki oleh lamtoro yaitu 1,34 kg, dadap 0,45 dan sengon 0,38. Besarnya masukan C asal akar tanaman tergantung pada besarnya masukan selama pertumbuhan (berat kering akar, mg/ha “root turn over” (umur paruh akar), kualitas masukan (nisbah C/N, lignin, polifenol) serta letaknya dalam profil tanah. Berat kering akar ketiga tanaman penaung dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Berat kering akar tiga tanaman penaung yang berbeda

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khasanah (1999), menunjukkan bahwa akar tanaman pagar memberikan masukan C dan N lebih tinggi dari pada tanaman pangan, karena kandungan C dan N (%) dan berat kering akar tanaman pagar jauh lebih tinggi dari pada tanaman pangan, walaupun “root turn over” (umur paruh akar) dari tanaman pangan lebih tinggi dari pada tanaman pagar.

Dengan hanya mengandalkan masukan dari sisa panen dan akar saja tidak akan mencukupi target masukan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan C tanah sebesar 2 %, dan dengan jalannya waktu, produksi akan mengalami penurunan sejalan dengan menurunnya C tanah

PEMBAHASAN

Agroforestri berbasis kopi merupakan salah satu teknik yang sudah lama diterapkan oleh petani khususnya di Desa Sidomulyo Kecamatan Silo, Jember. Sistem ini memiliki potensi yang cukup bagus dalam menjaga kesuburan tanah melalui pengembalian unsur hara, baik dalam biomasa dari berbagai komponen penyusunnya, dan sebagai fraksi stabil dalam bahan organik tanah, serta dalam produksi kayu yang dihasilkan. Sistem ini sangat sesuai untuk diimplementasikan pada daerah-daerah pertanian dan daerah-daerah-daerah-daerah terdegradasi yang harus dihutankan kembali. Kontribusi yang terbesar diberikan oleh tanaman penaung, yaitu dalam bentuk biomasa hasil pemangkasan.

Besarnya kontribusi tanaman penaung terhadap unsur hara dalam tanah tergantung pada kandungan jaringan tanaman penaung dan jumlah populasinya. Jumlah populasi tanaman penaung yang terbanyak yaitu tanaman sengon 800 pohon, sedangkan dadap 700 pohon dan lamtoro 600 pohon.

Selain jumlah biomasa yang berbeda, perbedaan jenis tanaman penaung juga akan mengakibatkan perbedaan jumlah unsur hara yang disumbangkan kedalam tanah. Kontribusi tanaman penaung untuk Carbon dan Nitrogen diberikan oleh tanaman sengon yaitu sekitar 17, 31 kg. th-1.ha-1 dan 22,03 kg. th-1.ha-1. Untuk Forfor dan Magnesium sumbangan terbesar dari lamtoro. Perbedaan

(7)

karakteristik dari jaringan tanaman akan mengakibatkan perbedaan respon dalam penerimaan cahaya matahari. Data menunjukkan bahwa cahaya yang diserap oleh kanopi tanaman kopi berbeda pada tiga jenis naungan yang digunakan. Tanaman kopi dengan naungan sengon memiliki nilai serapan cahaya tertinggi (81%), sedangkan naungan dadap (77,51%) dan lamtoro (67,12%) lebih rendah (Gambar 10). Distribusi cahaya yang diterima tanaman kopi tersebut disebabkan oleh efek penaungan (mutual shading) yang digunakan. Efek tersebut diantaranya adalah: 1) distribusi cahaya dalam tajuk tidak merata, 2) ada daun yang bersifat parasit terhadap fotosintat yang dihasilkan daun yang lain, 3) tercapainya titik kompensasi cahaya, dan 4) ILD telah melampaui nilai optimumnya (June, 2008). Efek penaungan yang terjadi berhubungan dengan besarnya intensitas cahaya yang terserap pada permukaan daun kopi.

Gambar 10. Cahaya yang diserap oleh kanopi tanaman kopi.

Tanaman yang memperoleh pencahayaan di bawah optimum akan mengakibatkan hasil biji menjadi rendah, baik pada tanaman C4 (Sitompul, 2003) maupun tanaman C3 (Adisarwanto et al., 2000). Hasil biji yang rendah berhubungan dengan biomassa yang juga rendah meskipun faktor pertumbuhan lain optimum (Kiniry dan Knievel, 1995).

Hasil biomasa tanaman sangat tergantung pada; 1) luas daun yang menerima cahaya matahari, 2) efesiensi penggunaan cahaya matahari oleh tanaman, 3) jumlah cahaya yang diterima selama siklus hidup tanaman dan 4) distribusi/alokasi hasil fotosintesis (fotosintat)(Soedradjad, 2008).

Bahan organik tanah merupakan kunci dalam peningkatan atau penurunan kesuburan tanah. Konversi hutan menjadi lahan pertanian dapat menurunkan persediaan hara didalam tanah. Penurunan ini akan diikuti dengan penurunan produksi tanaman. Bahan organik tanah dapat dipertahankan dengan menambahkan masukan bahan organik. Jumlah biomasa yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh berat jenis tanaman dan umur tanaman (Haeriah et al., 2007). Kelemahan tanaman penaung sengon yaitu ketika pada saat panen. Pada saat pemanenan Sengon, akan berdampak secara fisik maupun secara fisiologi kepada tanaman kopi itu sendiri. Secara fisik akan menyebabkan kerusakan tanaman kopi sekitar 40-50% dan secara fisiologi tanaman kopi akan mengalami gangguan dikarenakan fungsi penaung dari sengon sudah tidak ada lagi, sehingga akan mengakibatkan berkurangnya produksi dan membutuhkan masa perbaikan sekitar 3 musim.

Perbedaan jenis tanaman naungan dan jumlah populasi berpengaruh terhadap jumlah biomasa tanaman. Berat kering/ biomasa total (akar, batang dan daun) tanaman pada tiga jenis tanaman naungan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 11.

(8)

Gambar 11. Berat Kering (Mg ha-1) tiga Tanaman Penaung yang Berbeda

Berdasarkan hasil perhitungan biomasa total tanaman (akar, batang, daun), maka

kandungan biomasa tanaman yang tertinggi terdapat pada tanaman kopi dengan penaung lamtoro yaitu 21,6 Mg ha-1, pada kopi dengan penaung dadap 16,59 Mg ha-1, dan pada kopi dengan penaung sengon 9,37 Mg ha-1. Perbedaan yang cukup besar ini diduga disebabkan oleh komposisi dan umur tanaman naungan. Kerapatan tanaman juga akan mempengaruhi kandungan biomasa tanaman. Didaerah Silo petani tidak terlalu memperhatikan jarak tanam tanaman penaung sehingga jumlah pohon pada ketiga perlakuan juga berbeda, hal ini juga akan mempengaruhi jumlah biomassa yang dihasilkan.

Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi, secara bertahap akan diikuti oleh menurunnya kandungan bahan organik tanah (BOT) (Haeriah at al., 2002). Kandungan bahan organik tanah yang tertinggi terdapat pada kopi dengan penaung lamtoro yaitu 1,73 %, kopi dengan penaung sengon 1,72 % dan yang terendah pada kopi dengan penaung dadap 1,5 %. Kandungan bahan organik tanah pada tiga perlakukan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kandungan Bahan Organik Tanah pada Tiga Jenis Penaung Berbeda

Jenis Penaung Bahan Organik (%) C/N (Seresah) Sengon 1,72 6,67 Lamtoro 1,73 6,81 Dadap 1,5 7,73

Penurunan kandungan bahan organik pada suatu lahan ditentukan oleh sistem

penggunaan lahan dan pengelolaannya. Pada lahan dengan sistem berbasis kopipun terjadi perbedaan jumlah seresah antara kopi monokultur, kopi naungan dan kopi multistrata. Pada sistem kopi monokultur dan kopi naungan ada pengelolaan intensif misalnya penyiangan rerumputan, atau pembersihan cabang dan ranting yang ada di permukaan tanah sehingga menyebabkan berkurangnya seresah. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penilitian yang dilakukan di Sumberjaya Lampung, bahwa bila lahan hutan dikonversi menjadi sistem kopi multistrata, ketebalan seresah turun dari 2.1 Mg ha-1 menjadi sekitar 1.8 Mg ha-1, penurunan terus berlanjut hingga 1.2 Mg ha-1 bila lahan diusahakan menjadi kopi naungan atau kopi monokultur (Haeriah et al, 2002). Di daerah Sidomulyo, Jember petani banyak menggunakan pohon penaung untuk tanaman kopinya biasanya dari famili leguminosae. Seresah dari famili Leguminosae umumnya cepat dilapuk karena kualitasnya tinggi (Haeriah et al., 2000), sehingga keberadaannya diatas permukaan tanah relatif singkat. Semakin lambat terdekomposisi maka keberadaannya di permukaan tanah menjadi lebih lama.

Laju dekomposisi seresah ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C/N, kandungan lignin dan polyphenol. Nisbah C/N dari ketiga tanaman penaung yang tertinggi yaitu dimiliki oleh dadap 7,73 dan yang terendah yaitu sengon 6,67. hal ini menmunjukkan bahwa tanaman sengon akan paling cepat didekomposisi didalam tanah., walaupun ketiga jenis naungan ini berasal dari famili yang sama yaitu leguminosae. Seresah dikategorikan berkualitas tinggi apabila nisbah C:N <25, kandungan lignin <15 % dan polyphenol <3 %, sehingga cepat dilapuk (Palm dan Sanchez, 1991). Tingginya jumlah biomasa tanaman tidak diikuti oleh tingginya sumbangan unsur hara kedalam tanah, karena sumbangan hara juga dipengaruhi oleh kandungan hara yang berada didalam jaringan

(9)

tanaman tersebut. Selain itu keberadaan makrofauna didalam tanah juga akan mempengaruhi keberadaan hara di dalam tanah. Populasi/jumlah makrofauna tanah yang ditemukan di lapang disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Jumlah/Populasi Mikrofauna Tanah pada tiga penaung yang berbeda.

Perbedaan jenis biomassa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah memberikan pengaruh terhadap populasi makrofauna tanah. Jenis makrofauna tanah yang ditemukan pada perlakuan yaitu semut hitam, cacing tanah, gayas dan kumbang tanah. Pada perlakuan sengon ditemukan makrofauna tanah yang tertinggi yaitu 15 ekor/m2, pada dadap 4 ekor/m2 dan pada lamtoro 10 ekor/m2. Perbedaan diduga disebabkan oleh jenis sersah dan kandungan karbon tanah yang berbeda.

Banyaknya makrofauna tanah yang ditemukan terkait dengan ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan bagi makrofauna untuk tumbuh dan berkembang. Kandungan yang terdapat dalam bahan organik tanah dapat digunakan untuk memprediksi banyaknya jumlah cacing dalam tanah (Curry, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa biomassa dari tanaman sengon, dadap dan lamtoro memiliki kandungan hara yang digunakan makrofauna tanah untuk tumbuh dan berkembang biak. Hasil penelitian Dlamini dan Haynes (2004) dalam Maftu’ah et al., (2005) menunjukkan adanya peningkatan jumlah makrofauna dalam tanah berkorelasi positif dengan aplikasi bahan organik. Selain itu, makrofauna tanah khususnya cacing akan mempengaruhi sifat dan proses yang terjadi dalam tanah seperti aktivitas dan biomassa mikroba, bahan organik, ketersediaan hara, serapan hara tanaman dan produksinya, dan struktur tanah (Parmelee et al., 1998). Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994).

Makrofauna tanah biasannya menyukai bahan organik yang berkualitas tinggi (C/N ratio rendah). Hal ini ditunjukkan pada perlakuan tanaman kopi dengan tanaman penaung sengon memiliki makrofauna yang paling banyak. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Priyadarsini (1999) menyatakan bahwa fauna tanah umumnya menyukai bahan organik kualitas tinggi (bahan organik dengan rasio C/N rendah).

Selain berdampak positif, keberadaan makrofauna tanah juga akan merugikan. Misalnya dengan keberadaan gayas yang berlebihan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman penaung maupun tanaman kopi. Karena gayas mampu mematikan akar-akar tanaman dan dijadikan

(10)

makanan, jika bahan makanan dalam bentuk bahan organik di dalam tanah berkurang.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis, jumlah populasi dan kandungan unsur hara brangkasan tanaman penaung akan menyebabkan perbedaan jumlah unsur hara yang dikembalikan kedalam tanah. Tanaman penaung Sengon memberikan kontribusi Carbon dan Nitrogen ke dalam tanah yang tertinggi yaitu 17,31 kg th-1ha-1 dan 22,03 kg th-1ha-1, sedangkan untuk Magnesium dan Fosfor tanah yang tertinggi disumbangkan oleh Penaung Dadap yaitu 19, 35 kg th-1ha-1 dan 9,9 kg th-1ha-1.

DAFTAR PUSTAKA

Aak, 1989. Budidaya Tanaman Kopi. Kanisius. Yogyakarta.

Buana R Y, Suyanto S, Hairiah K, 2005. Kebun Lindung: Kajian ekologi dan sosioekonomi di

Lampung Barat. AGRIVITA, 27(3): 170-181.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, 2006. Rancangan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat. Jember.

Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1989. Tehnik

Pembuatan Tanaman Paraserianthes falcataria Neil. Direktorat Hutan Tanaman Industri. Jakarta.

Foth N.O. and Ellis B.G. 1988. Soil fertility. John Wiley & Sons. New York – Singapore. 212 p.

Gomez and Gomez, 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Harisusiani, 2006. Uji Alelopati Beberapa Spesies Tanaman Sela dan Penaung Terhadap

Pertumbuhan Bibit Kopi Robusta. Jember.

Hu, H., Li, X., dan He, J., 2001. Effect of Organic Acid on Desorption of Phosphate from surface of Aluminium and Agrochemistry. Huazhong Univevrsity. China.

Khasanah N, 1999. Studi Dinamika Perakaran Dan Estimasi Masukan C Dan N Dari Akar Tanaman

Serta Pengaruhnya Terhadap Kandungan C Tanah Dalam Sistem Budidaya Tanaman Pagar. Jurusan

Tanah, Universitas Brawijaya. Malang, Indonesia.

Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin., 2003. Pengamtar Agroforesti. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor

Kurniatun Hairiah, Didik Suprayogo, Widianto, Berlian, Erwin Suhara, Aris Mardiastuning, Rudy Harto, Cahyo Prayogo, dan Subekti Rahayu,. 2002. Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri

berbasis kopi: ketebalan seresah, populasi cacing tanah Dan makroporositas tanah. Universitas

Brawijaya, Fakultas Pertanian, Jurusan Tanah, Malang 65145.

Kurniatun Hairiah, Subekti Rahayu, dan Berlian,. 2002. Layanan Lingkungan Agroforestri Berbasis

Kopi: Cadangan Karbon Dalam Biomasa Pohon Dan Bahan Organik Tanah (Studi Kasus Dari Sumberjaya, Lampung Barat. Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Jurusan Tanah, Malang

(11)

65145.

Kurniatun Hairiah, Subekti Rahayu, 2007. Pengukuran Carbón Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Word Agroforetry Centre. Bagor. Indonesia.

Leiwakabessy, F. M., dan Koswara, O., 1985. Metode dan Teknik Pengumpulan, Analisis dan Interpretasi Data Kesuburan Tanah. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Marschner, 2002. Mineral Nutrition of Higher Plants. Fifth Printing. Academic Press. London.

Maftu’ah E., Alwi M., Willis M., 2005. Potensi Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan. Menristek. Morfologi Tanaman Dadap. www. warintek.ristek.go.id. Diakses 21-02-2008.

Mutuo, P.K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C.A. and Verchot, L., 2005. Potential agroforestry for

carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas emissions from soils in the tropics. Nutrient

cycling in Agroecosystems 71(1): 43-54.

Prawoto Adi, 2008. Bahan Kuliah Fisiologi Tanaman Kopi. Program Pasca Sarjana Universitas Jember. Jember.

Prasetyo, Hotma Ulianna, dan Bambang Gonggo M. 2006. Pola Pertumbuhan Tanaman Jahe Merah

dengan Intensitas Naungan dan Dosis Pupuk KCl pada Sistem Wanafarma di Perkebunan Karet.

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Rosmarkam S dan Yuwono W.N, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Schnitzer, M., 1978. Humic subtance, Chemistry and Reactions in Soil Organic Matter. Elsevier. Amsterdam. P : 1-46.

Soedradjad, R. 2008. Bahan Ajar Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember. Subekti Rahayu, Anang Setiawan, Endang A. Husaeni dan S. Suyanto, 2006. Pengendalian Hama

(Xylosandrus compactus) pada Agroforestri Kopi Multistrata Secara Hayati: Studi kasus dari Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat World Agroforestry Centre, ICRAF S.E. Asia, P.O.Box 161,

Bogor 16001

Suprayitno, 1981. Lamtoro dan Manfaatnya. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.

Widianto, Didik Suprayogo, Herman Noveras, Rudi Harto, Pratiknyo Purnomosidhi dan Meine van Noordwijk,. 2001. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis

Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur. World Agroforestry Centre, ICRAF S.E. Asia,

P.O.Box 161, Bogor 16001.

Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.

Referensi

Dokumen terkait

*statistično značilne razlike Vročevodni N N_hw za Moškanjce Moškanjci 1 in 2 Pri analizi tal za N_hw Moškanjci na treh različnih globinah 0–10 cm, 10–30 cm in 30– 60 cm

Selain KTI terbit dalam bentuk buku apabila peneliti tersebut telah memiliki 1 KTI terbitan majalah ilmiah internasional atau mempunyai penemuan baru atau internasional atau

– Jika pesan membutuhkan pilihan harus dibuat, menyediakan tombol perintah untuk setiap opsi :. - Sertakan tombol OK dan Cancel hanya bila pengguna memiliki pilihan untuk

Model MIP dapat digunakan untuk memodelkan kasus penjadwalan produksi flowshop fleksibel dengan waktu proses yang dinamis.. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah

51 BIANA HASTARI,S.Pd TK DHARMA WANITA SENDANGHAJI MERAKURAK 52 NISWATIL ELYA, S.Pd,S.PdI TK TUNAS HARAPAN KORO MERAKURAK 53 ZUMROTUL AINI LAILATUL. FITRI,S.Pd TK BINA

Graf disini digunakan bukan untuk mencari alur tercepat dalam penyusunan dan eksekusi materi dan metode dalam kaderisasi, tetapi digunakan agar hasil akhir yang diharapkan

Bahan yang digunakan dalam studi ini adalah Surfaktan MES yang berbahan dasar dari minyak jarak pagar (Slamet, Ibadurrohman, dan Wulandari 2017), nanokomposit Cu/TiO 2

Dengan latar belakang ini penulis mengangkat masalah mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Pembajakan Buku (Ditinjau Terhadap Undang-Undang No. Adapun tujuan dari penelitian