• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialektika Kebohongan dan Kenyataan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dialektika Kebohongan dan Kenyataan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Dialektika Kebohongan dan Kenyataan

Oleh : Wayan „Jengki‟ Sunarta *

Sejak jaman Hindia Belanda hingga kini, propaganda industri pariwisata Bali telah melahirkan banyak kebohongan. Kebohongan yang disusun dengan rekayasa yang sangat sistematis melalui berbagai pencitraan Bali, di antaranya jargon Pulau Surga, Surga Terakhir, Pulau Dewata. Kebohongan itu kemudian dilembagakan dan disebar oleh industri pariwisata berkonspirasi dengan perangkat-perangkat lain, seperti media massa, lembaga pemerintah, adat dan agama. Kebohongan itu pada akhirnya membangun persepsi, memanipulasi alam pikiran (kognisi), mempengaruhi perilaku, untuk responsif terhadap target-target yang diinginkan oleh industri pariwisata.

Propaganda industri pariwisata Bali yang dirintis sejak awal abad ke-19, telah mampu menyatukan persepsi masyarakat Bali untuk melestarikan dan mempertahankan citra Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terpenting di dunia. Citra-citra Bali yang Mooi terus menerus dipelihara di benak banyak orang. Namun, ironisnya, pada saat bersamaan terjadi perusakan dan penghancuran yang sistematis terhadap elemen-elemen yang dijual oleh industri pariwisata itu sendiri, seperti perusakan terhadap seni dan budaya, serta penghancuran alam.

Kebohongan dan kenyataan saling tumpang tindih, merebut ruang kesadaran kita. Citra Bali sebagai Pulau Surga, misalnya, merupakan suatu bentuk kebohongan yang terus dipelihara. Sementara itu, kenyataan yang terjadi di Bali bertolak belakang dengan pencitraan itu. Tanah-tanah tepi pantai, pinggiran sungai, tepi jurang nyaris ludes disulap jadi hotel, restaurant, villa dan bungalow. Kawasan jalur hijau dan persawahan berubah jadi bangunan ruko (rumah toko), perumahan dan kafe.

Di kawasan kota, seperti Denpasar dan Kuta, kemacetan semakin memprihatinkan. Jalan-jalan yang sempit tak mampu menampung jumlah kendaraan yang makin membludak. Kemacetan makin diperparah dengan proyek-proyek perbaikan pipa air, kabel, saluran limbah, serta kerusakan jalan. Pasar rakyat berhadapan dengan hypermarket, warung-warung bersaing dengan Circle K, MiniMart. Sampah plastik, limbah rumah tangga, pabrik dan hotel mencemari saluran-saluran irigasi, sungai-sungai dan pantai.

(2)

Dalam bidang sosial, budaya, agama juga terjadi kegoncangan. Pratima dan benda sakral di sejumlah Pura dicuri, justru oleh orang Bali sendiri, dan dijual sebagai barang antik. Persoalan batas desa/banjar, rebutan tanah kuburan, sengketa tanah pelaba pura, rebutan lahan parkir, sanksi adat yang melanggar HAM, polemik tata ruang dan aturan ketinggian bangunan, pergolakan partai politik, korupsi, keculasan pejabat pemerintah, seringkali menjadi berita hangat di media massa. Bahkan, tak jarang, persoalan-persoalan ini menimbulkan korban jiwa dan harta benda.

Begitu pula dengan bidang kesenian. Batas antara sakral dan profan semakin tipis. Ritual sakral dengan mudah dipermak untuk hiburan bagi para turis. Misalnya, ritual Makare-kare di Desa Tenganan, Karangasem, dijadikan daya tarik pariwisata dan dikemas dalam brosur yang memikat. Seniman-seniman tradisional dibayar murah, diangkut dengan truk layaknya sapi, dipentaskan di hotel-hotel berbintang. Penari-penari joged bumbung makin berani menampilkan atraksi vulgar, seperti bergoyang sambil mempertontonkan selangkangan. Semua bisa dikemas demi pariwisata. Demi pariwisata pula, Bali dieksploitasi habis-habisan.

Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyak persoalan dan kenyataan yang terjadi di Bali. Namun hingga kini di benak banyak orang, Bali masih tercitrakan sebagai Pulau Surga. Bahkan, citra itu telah melenakan orang Bali sendiri sehingga kurang peduli dengan berbagai persoalan yang menimpa tanah kelahirannya.

Bayak dan Lukisan “Sukawatian”

Ketidakpedulian, kurangnya sikap kritis terhadap Bali, telah merambah benak banyak perupa Bali. Pelukis-pelukis lulusan perguruan tinggi seni, misalnya, kebanyakan memilih jalan aman dan nyaman sebagai “pengerajin” lukisan. Sehingga karya-karya yang hanya mengejar keindahan, “made to order”, dan berbau turistik mendominasi seni rupa Bali. Karya-karya seperti ini turut andil mengekalkan kebohongan tentang Bali.

Di Bali, idealisme berkesenian menjadi “barang langka”. Tak mudah mencari perupa Bali yang peka terhadap berbagai persoalan yang menimpa Bali dan mengekspresikannya secara intens ke dalam karya. Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dan asyik meladeni selera pasar. Sibuk mengorek estetika yang formalistik, namun melupakan eksplorasi gagasan dan konten karya. Pendek kata, mereka asyik masyuk masturbasi dengan estetika, dan melupakan berbagai persoalan yang bersliweran di depan hidungnya.

(3)

Di tengah ketidakpedulian perupa Bali terhadap persoalan-persoalan yang menimpa tanah kelahirannya, saya tertarik dengan proses berkesenian Made Muliana Bayak. Saya mengikuti sepak terjangnya sejak dia masih aktif di Klinik Seni Taxu. Banyak karyanya secara intens mengritisi persoalan-persoalan sosial di Bali, bahkan isu-isu yang bersifat global. Tidak hanya lewat media seni lukis, Bayak juga menumpahkan unek-uneknya melalui seni instalasi, object

art, performance art, mural, dan musik rock. Bahkan, tak segan-segan dia berkolaborasi dengan

para aktivis untuk menyuarakan opininya tentang berbagai persoalan dan isu yang berkembang, baik isu sosial, budaya, ekologi, kapitalisme, globalisasi.

Gagasan pameran tunggal Bayak kali ini didasari oleh kegelisahannya menyaksikan berbagai persoalan yang menimpa Bali. Persoalan yang muncul dari imbas dan ampas negatif industri pariwisata yang begitu didewa-dewakan di Bali. Termasuk pencitraan Bali sebagai Pulau Surga, yang hingga kini masih terus diproduksi dan dikekalkan melalui lukisan-lukisan “Sukawatian”.

Istilah “Sukawatian” dipakai untuk menyebut lukisan tiruan Mooi Indie yang banyak dijual di Pasar Seni Sukawati, sebuah pasar seni yang sangat legendaris di Bali. Lukisan jenis ini dengan mudah juga ditemui di Pasar Seni Guwang, toko oleh-oleh, dan artshop-artshop di objek-objek pariwisata di Bali. Lukisan turistik ini diproduksi secara massal, karena sangat diminati para wisatawan, baik domestik maupun manca negara. Lukisan-lukisan ini menjadi benda kerajinan yang murah meriah, yang menggambarkan eksotisme Bali, terutama keindahan alam, seni budaya, dan perempuan telanjang dada.

Lukisan “Sukawatian” merupakan salah satu bentuk kebohongan. Kebohongan yang terus menerus dijejalkan ke dalam benak banyak orang, yang lama kelamaan dianggap sebagai suatu kenyataan. Lukisan-lukisan palsu ini atau jenis lukisan turistik lainnya memberi kesan seolah-olah tak ada persoalan gawat yang terjadi di Bali. Seseolah-olah alam Bali serba damai dan permai, seolah kehidupan sosial berlangsung bersahaja dan tentram, seolah seni budaya Bali paling eksotis, seolah masih bisa dijumpai gadis-gadis jelita telanjang dada di jalanan desa yang permai. Lukisan-lukisan ini hanya bentuk kecil dari produksi kebohongan yang lebih besar yang banyak terjadi di Bali.

Dalam proses mewujudkan gagasan pameran ini, Bayak membeli sejumlah lukisan tiruan Mooi Indie di Pasar Seni Sukawati. Kemudian, di atas lukisan-lukisan tiruan itu, Bayak menuangkan unek-uneknya, memberikan gambaran kenyataan dan permasalahan yang terjadi di Bali. Bayak membubuhkan kritik, sindiran, maupun gambaran ironis, di atas lukisan yang penuh

(4)

kebohongan. Dalam proses ini terjadi dialektika antara kebohongan dan kenyataan, yang memunculkan gambaran kontradiktif atau paradoks.

Misalnya, di atas lukisan “Sukawatian” yang bertema Pura Ulun Danu, Bayak membubuhkan grafiti warna merah berbunyi “SOLD”. Atau, pada lukisan pemandangan alam, Bayak menambahkan dengan objek-objek ironis, seperti tembok batako, perumahan, gedung-gedung bertingkat, papan reklame jual tanah, dan sebagainya. Persoalan ketinggian bangunan selalu menjadi polemik hangat di Bali, seiring semakin terbatasnya lahan. Dan bukan tidak mungkin suatu saat bangunan-bangunan yang ketinggiannya melebihi 15 meter akan menjadi pemandangan yang dianggap wajar di Bali, seperti perumahan-perumahan yang mengikis tanah-tanah persawahan. Begitu pula halnya dengan jalan layang akan menjadi kenyataan, sebagai upaya mengatasi kemacetan. Tata ruang Bali semakin amburadul. Begitulah. Karya-karya Bayak berupaya “mengganggu” persepsi pemirsa, bahwa Bali mengandung banyak persoalan yang harus terus dikritisi bersama.

Pameran ini dipersiapkan hanya dalam waktu sekitar dua bulan. Dimulai dari proses diskusi intensif berkaitan dengan gagasan-gagasan Bayak, pengumpulan bahan, pengerjaan hingga display karya. Pameran ini tidaklah bertujuan untuk menampilkan kecakapan teknis maupun kecanggihan pencapaian estetika yang sudah stagnan. Dengan pernyataan lain, buat apa melukis perihal keindahan atau eksotisme jika lukisan semacam itu dengan mudah ditemui di pasar seni sebagai benda souvenir atau kerajinan? Jadi, pameran parodi ini dirancang untuk mewadahi “gagasan”, “suara” atau “opini” dalam menyikapi berbagai rupa persoalan yang menyeruak di Bali.

Target pameran ini tidak hanya menampilkan opini di atas lukisan yang berbau kebohongan. Melainkan juga sebagai bentuk sindiran terhadap para “pelukis” yang memilih jalan aman sebagai “pengerajin” lukisan. Dalam tatanan yang lebih luas, pameran ini juga mengritisi kehidupan seni rupa di Bali yang kehilangan ruh gagasan dan idealisme, yang hanya tunduk pada selera pasar.

Karya-karya parodi ini mungkin membuat orang tertawa miris. Atau sebagian menganggapnya sebagai lelucon seperti melihat gambar kartun atau karikatur. Namun, Bayak telah berupaya mengritisi Bali dengan berbagai persoalannya. Ya, Bali telah banyak berubah. Ke depan, persoalan yang dihadapi Bali akan semakin bertambah kompleks. Orang Bali mesti terus mengritisi Bali. Sebab Bali bukan warisan, melainkan titipan untuk generasi mendatang.***

(5)

*Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar.

Referensi

Dokumen terkait

1) Perlu penempatan vegetasi dan penataan tata hijau berdasarkan fungsi ekologis, sosial, dan estetika yang mencerminkan karakter dominan tiap segmen. 2) Untuk menikmati

DFD level 1 proses 6 menjelaskan turunan dari proses 6, yaitu pengolahan data Plan Order dengan penurunannya yaitu tampil, tambah dan ubah data Plan Order. DFD level 1 proses 6

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ketercapaian siswa pada indikator pembelajaran

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

Penilaian Pendidikan Karakter yang Dicakup Alokasi Waktu Sumber Belajar Memperoleh informasi sederhana secara lisan Mengung- kapkannya secara lisan atau tertulis

kelompok dengan penggunaan campuran madu dan bubuk daun mangga kering 500 mg/KgBB menunjukan terjadi penyembuhan luka yang cepat dibandingkan dengan penggunaan

Banjir merupakan bencana alam yang perlu mendapat perhatian, karena mengancam jiwa dan ekonomi masyarakat dan merupakan bencana alam yang ke tiga terbesar di dunia

Dengan demikian peneliti tidak melanjutkan penelitian, karena adanya peningkatan disiklus II, berarti kemampuan pengenalan bentuk geometri melalui permainan congklak