• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SEWA MENYEWA RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SEWA MENYEWA RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SEWA MENYEWA RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)

2.1. Perjanjian

2.1.1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian berasal dari istilah belanda yaitu overeenkomst. Definisi Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi perjanjian, sebagai “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan manasatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.1 Berdasarkan alasan tersebut, Abdul Kadir Muhammad “merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu persetujuan antara dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”2 Disamping pengertian perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad terdapat beberapa pendapat para sarjana yang mengartikan mengenai perjanjian, yakni sebagai berikut :

1Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

(selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 78.

2

Ibid.

(2)

1. R. Subekti mengartikan perjanjian sebagai suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3

2. R. Wiryono Prododikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.4

3. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.5

4. R. Setiawan mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6

Dari penjelasan beberapa pengertian perjanjian diatas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang

Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau berwenang dalam

3Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti

I), hal. 1.

4

R. Wiryono Prododikoro, 1987, Asas-asas Hukum Perjanjian, cet. VII, Sumur, Bandung, hal. 7.

5 RM. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,

Yogyakarta, hal. 97.

6

(3)

melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai debitur atau dalam kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.

c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksanakannya. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari suatu perjanjian.

e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis

Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti.

f. Adanya syarat tertentu

Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari pihak-pihak.

(4)

2.1.2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :

A. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya. Adanya kata sepakat, berarti bahwa subjek (kreditor dan debitor) yang mengadakan perjanjian itu dengan kesepakatan, yaitu setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian itu. Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

1) Kesepakatan bebas berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya berbunyi: “Tiada suatu perbuatan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.7

a) Tentang kekhilapan dalam perjanjian

Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat kita kemukakan disini:8 1. kekhilapan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

2. ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilapan mengenai:

a. hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

b. orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.

7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, cet.V.

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 94-95.

8

(5)

Kekhilapan dapat terjadi perihal orang atau barang yang menjadi tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian. Contohnya kekhilapan mengenai orang yang dikiranya adalah seseorang penyanyi yang tersohor, tetapi kemudian ternyata bukuan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Sedangkan contoh kekhilapan mengenai barang yaitu jika orang membeli sebuah lukisan dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja.9

b) Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.10 Jika ketentuan Pasal 1323 dan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbicara soal subyek yang dipaksa atau diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (di bawah paksaan atau ancaman tersebut).11 Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuan karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang

9 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet XXXI, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Subekti II), hal. 135.

10Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 120. 11

(6)

memang di izinkan oleh undang-undang, seperti ancaman akan menggugat yang bersangkutan didepan hakim dengan menyita barang, hal itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu paksaan.12

c) Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, yang keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:13

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan”.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya di persangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya tersebut disengaja olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut

12 Subekti II, Loc.cit. 13

(7)

tidak mungkin akan memberikan kesempatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.14

B. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Seseorang yang dapat membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Hakikatnya setiap orang yang sudah dewasa (sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun) dan sehat akal adalah cakap menurut hukum. Aspek keadilan dilihat dari orang yang membuat perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya atas perbuatannya itu.

C. Mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian atau objek perjanjian serta prestasi yang wajib dipenuhi, kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian itu dimaksudkan untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi itu tidak dilaksanakan maka perjanjian itu batal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat ketiga ini berakibat batal demi hukum, oleh karena itu perjanjian dianggap tidak pernah ada.

D. Suatu sebab yang halal. Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan dengan causa yang halal menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang

14

(8)

menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Menurut Abdulkadir Muhammad, akhibat hukum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal (nietig, void). Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan pejanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab) maka ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).15

2.1.3. Obyek dan Subyek Perjanjian a. Objek Perjanjian

Seorang kreditor berhak atas suatu prestasi yang diperjanjikan, dan debitor melaksanakan prestasi, dengan demikian hakikatnya dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan prestasi. Prestasi merupakan objek dari suatu perikatan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wujud prestasinya iyalah (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, dan (3) tidak berbuat sesuatu.

Tentang objek/prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis, takkan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian.16 Maka Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu. Sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu seperti yang

15 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, cet III, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), hal. 227.

16

(9)

dirumuskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Objek atau jenis objek merupakan persyaratan dalam mengikat perjanjian, dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika seluruh objeknya tidak tertentu.

b. Subjek Perjanjian

Kreditor dan debitor itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditor mempunyai hak atas prestasi dan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditor terdiri dari :17

1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu, rechts persoon atau badan hukum.

2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu : seorang bezitter atas kapal.

3. Beziteer dapat bertindak sebagai kreditor dalam suatu perjanjian. Kedudukannya sebagai subjek kreditor bukan atas nama pemilik kapal inpersoon.

4. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditor yang “dapat diganti” atau vervangbaar, berarti kreditor yang menjadi subjek pemula, telah ditetapkan dalam perjanjian; sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditor baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas order/atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan tooder” perjanjian “atas nama” atau “kepada

17

(10)

pemegang/pembawa” pada surat-surat tagihan hutang (schuldvordering papier).

Tentang siapa yang menjadi debitor, sama keadaannya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditor : (1) Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu, rechts persoon atau badan hukum. (2) Seseorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu. Dan (3) Seseorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitor semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin persetujuan debitor.

2.1.4. Unsur-Unsur Perjanjian

Kesepakatan antara pihak pertama dan pihak kedua untuk memenuhi aspek-aspek hukum perjanjian, karena terdapat unsur-unsur sebagai berikut :18

a. Essentialia

Unsur yang sangat esensi/penting dalam suatu perjanjian yang harus ada. Bagian ini merupakan sifat yang harus ada didalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructive oordeel). Seperti persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.

b. Naturalia

Unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak dikesampingkan oleh kedua belah pihak menurut Pasal 1474 KUHPerdata dalam perjanjian

18

(11)

jual beli barang, penjual wajib menjamin cacat yang tersembunyi. Merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian secara diam-diam melekat pada perjanjian.

c. Accidentalia,

Unsur perjanjian yang ada jika dikendaki oleh kedua belah pihak. Sebagai kelengkapan surat perjanjian pembiayaan konsumen yang dikeluarkan oleh pihak pertama, maka pihak pertama juga membuat kesepakatan lain dengan pihak kedua berupa surat penyerahan jaminan secara fidusia. bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjiakan oleh para pihak.

2.1.5. Asas-Asas Perjanjian

Berikut ini dibahas asas-asas hukum perjanjian: 1. Asas pacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Namun dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda di beri arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya , sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.19

19Salim HS, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cet. VII, Sinar Grafika,

(12)

2. Asas kebebasan berkontrak

Asan kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontarak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun: (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.20

Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditemukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas hukum kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:21

a. Asas Konsensualisme.

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Artinya perjanjian itu lahir karena adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para pihak. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

b. Asas Kepercayaan.

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak. Dengan

20 Ibid. 21

(13)

kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

c. Asas Kekuatan Mengikat

Demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan akan mengikat para pihak. d. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

e. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

(14)

f. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada “kesusilaan” (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

h. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo.1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti.

i. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai Undang-undang bagi para pihak.

(15)

2.1.6. Jenis-Jenis Perjanjian

Abdulkadir Muhammad, mengelompokkan perjanjian menjadi lima jenis yang terdiri dari:22

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Perbedaan perjanjian jenis ini dirasakan penting pada saat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata karena hanya perjanjian timbal balik yang dapat dimintakan pembatalan ke depan hakim.

2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani. Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari

22

(16)

pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Contohnya adalah A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata). Suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata). suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata).

3. Perjanjian bernama dan tidak bernama.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

(17)

perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata).

2.2. Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother)

2.2.1. Pengertian Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother)

Salah satu perkembangan teknologi dalam ranah kesehatan dan kedokteran adalah pelaksanaan sewa menyewa rahim ibu pengganti (Surrogate Mother). Dilaksanakannya sewa menyewa rahim ibu pengganti dikarenakan pasangan suami istri tidak mampu memiliki anak. Ketidak

(18)

mampuan tersebut dikarenakan salah satu pasangan baik istri ataupun suami tidak mampu memproduksi sperma ataupun ovarium (sel telur) sebagai bagian dari proses reproduksi. Khususnya sewa rahim ibu pengganti terjadi karena kandungan seorang wanita (dalam hal ini) seorang istri tidak dapat berfungsi untuk mengembangkan cabang janin, sehingga diperlukan rahim seorang wanita sebagai penampung/sebagai tempat pertumbuhan janin yang berasal dari sel telur si istri dan si suami.

Menurut Desriza Ratman Surrogate Mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami-istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami-istri tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat (gestational agreement) sementara pengertian surrogate sendiri adalah someone who takes the place of another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain).23 Pengertian ini tidak terbatas apakah terhadap pasangan suami istri, melainkan juga terbuka peluang pada hubungan yang tidak terikat perkawinan yang sah.

Menurut Salim HS kontrak surogasi adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat antara orang tua pemesan dengan ibu surogat akan mengandung, melahirkan dan menyerahkan anak tersebut kepada orang tua

23

(19)

pemesan berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya.24

Menurut Fred Ameln Surrogate Mother diartikan sebagai seorang wanita yang mengikat dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya suami istri) untuk menjadi hamil setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki-laki (sperma) dan sel benih perempuan (ovum) yang dilakukan pembuahannya diluar rahim sampai melahirkan sesuai kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami istri dengan mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati.25

2.2.2. Motivasi Dilakukannya Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam Pasal tersebut dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga. Keluarga disini dimaksud juga untuk melanjutkan keturunannya, dengan reproduksi menghasilkan keturunan dalam hal ini adalah anak. Bahwa anak sebagai pelanjut keturunan merupakan hal penting dalam suatu perkawinan. Tidak ada perkawinan yang tidak bertujuan untuk memiliki keturunan. Pentingnya

24H. Salim HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak diluar Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS III), hal. 13.

25

(20)

memperoleh keturunan menyebabkan masalah reproduksi juga menjadi penting. Dalam kehidupan masyarakat terkadang manusia tidak ditakdirkan dengan mudah untuk memiliki keturunan, hal ini ditandai dengan adanya berbagai persoalan yang menyebabkan pasangan suami istri sulit atau bahkan tidak bisa memiliki keturunan. Hal ini berdampak pada terciptanya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, kemudian kemajuan teknologi memberikan suatu perkembangan dalam bidang reproduksi buatan, dengan adanya ahli teknologi pembuahan diluar kandungan/rahim seorang wanita, di mana suatu janin dikembangkan pada rahim seorang wanita lain, yang memiliki rahim sehat dan kondisi yang mampu mengembangkan janin, dalam hal ini disebut sebagai ibu pengganti (Surrogate Mother).

Berdasarkan pada tujuan berkeluarga untuk melanjutkan keturunan oleh karenanya menjadi motivasi seseorang untuk melakukan sewa rahim, yang utama adalah keinginan memiliki keturunan yang mana keturunan tersebut tidak dapat diperoleh melalui proses normal pada umumnya (seorang wanita mengandung), adanya masalah reproduksi membuat pasangan suami istri melakukan sewa rahim. Hal itu bertujuan untuk melanjutkan keturunannya. Sebetulnya hukum Indonesia sudah mengenal istilah adopsi anak untuk pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan, akan tetapi solusi tersebut tidak memberikan kepuasan batin untuk memiliki anak dari sperma ataupun sel telur sendiri. Oleh karenanya

(21)

mendorong motivasi pasangan suami istri untuk melakukan sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti (Surrogate Mother).

2.2.3. Proses Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother)

Bayi Tabung yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : (a) benih yang ditanam berasal dari suami istri kemudian ditanam ke rahim istri; (b) salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian ditanam ke rahim istri; (c) benih berasal dari pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lainnya.26 Berdasarkan cara sebagaimana dijelaskan diatas, sewa rahim dikenal dengan 2 (dua) tipe, yaitu sebagai berikut :27

a. Tipe Gestational Surrogacy, dimana embrio berasal dari sperma suami dan sel telur berasal dari istri dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang bukan istri (disewa); b. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain

yang bukan istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam rahim perempuan tersebut.

Adapun proses teknis bayi tabung menurut Suradji Sumapraja, terdiri dari beberapa tahapan :28

26 Fred Ameln, Op.Cit, hal.80. 27

Fred Ameln, Loc.Cit.

28Inna Nurlna, 2010, “Dampak Perkembangan Biotenologi Dalam Insiminasi Buatan

(Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Perdata di Indonesia)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, hal. 34, dikutif dari Suradji Sumapraja, 1990, Penuntun Pasutri Program Melati, Program Melati RSAB Harapan Kita, Jakarta, hal. 47.

(22)

- tahap pertama : pengobatan merangsang indung telur. Pada tahap ini istri diberi obat untuk merangsang indung telur sehingga dapat mengluarkan banyak ovum, dan cara ini berbeda dengan cara biasa, hanya satu ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat yang diberikan kepada istri dapat diberikan obat makan dan obat suntik yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru diberhentikan setelah ternyata sel-sel telurnya matang;

- tahap kedua : pengambilan sel telur. Apabila sel telur istri sudah banyak, maka dilakukan pengambilan sel telur yang akan dilakukan degan suntikan lewat vagina dibawah bimbingan USG;

- tahap ketiga : tahap pembuahan atau fertilisasi sel telur. Setelah berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta mengeluarkan sendiri sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel sperma yang baik akan dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam tabung gelas di laboratorium.

Sel-sel telur istri dan sel-sel telur suami yang sudah dipertemukan itu kemudian dibiak dalam lemari pengeram. Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel;

- tahap keempat : Pemindahan embrio. Kalau terjadi fertilisasi sebuah sel telur dengan sebuah sperma maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah menjadi beberapa sel, yang disebut embrio.

(23)

Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina kedalam rongga rahim ibunya 2-3 hari kemudian;

- tahap kelima : pengamatan terjadinya kehamilan. Setelah implantasi embrio, maka tinggal menunggu apakah kehamilan akan terjadi. Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka dilakukan pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan. Kehamilan baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu kemudian.

2.2.4. Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother) di Indonesia

Penemuan dan perkembangan bayi tabung bermula dari proses teknologi bayi tabung pertama kali yang dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr. R.G Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Bahwa sperma dan sel telur yang digunakan berasal dari pasangan tersebut, yang mana kemudian embrio atau cabang janin ditransplantasikan ke dalam rahim istrinya (nyonya Brown), sehingga tanggal 25 Juli 1978 lahirlah bayi tabung pertama dengan nama Louise Brown di Oldham Inggris.29

Keberhasilan pelaksanaan bayi tabung diluar negeri merambah ke Indonesia. Alih teknologi pada bidang reproduksi tersebut kemudian mendorong bagi dokter-dokter di Indonesia untuk menerapkan/mempraktekkannya di Indonesia. Pelaksanaan bayi tabung di

29 Husni Thamrin, 2014, Aspek Bayi Tabung dan Sewa Rahim Perspektif Hukum Perdata

(24)

Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 1988 dengan lahirnya bayi dari pasangan Tn. Markus dan Ny. Chai Ai Lian dengan bayi yang diberi nama Nugroho Karyanto. Kemudian bayi tabung kedua lahir pada tanggal 6 November 1988 dengan nama Stefanus Gepvani dari pasangan suami istri Ir. Jani Dipokusumo dan Ny. Angela. Sedangkan bayi ketiga pada tanggal 22 Januari 1989 dengan nama Graciele Chandra. Bayi tabung keempat lahir pada tanggal 27 Maret 1989 kembar tiga dari pasangan suami istri Tn Wijaya yang mana nama anak kembar 3 (tiga) mereka oleh Ibu Presiden ke-2 Ibu Tien Soeharto diberi nama Melati-Suci-Lestari.30

Meskipun belum ada payung hukum yang melindungi, sewa rahim sudah banyak terjadi di Indonesia dan dilakukan secara diam-diam. Biasanya hal itu dilakukan secara sukarela dengan segala risikonya oleh mereka yang menyewakan rahimnya untuk mengandung anak dari pasangan keluarga lain. Bukti formal memang belum bisa dikatakan. Namun kenyataan di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan, kata Agnes Widanti dalam seminar Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari Sudut Nalar, Moral, dan Legal di Ruang Teater Thomas Aquinas, Unika Soegijapranata, Sabtu (5/6). Mengacu pada tesis mahasiswinya yang berjudul “Penerapan Hak Reproduksi Perempuan dalam Sewa-menyewa Rahim’’, dan koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng juga mengatakan, kasus sewa rahim di Indonesia belum muncul ke

30

(25)

permukaan dan masih terselubung. Sewa rahim ini biasanya dilakukan oleh pasangan keluarga yang rahim isterinya mengalami masalah sehingga tidak bisa hamil. “Kasus ini memang menjadi satu dilema. Di satu sisi masyarakat membutuhkan, namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya sangat sulit,’’ katanya. Oleh karenanya, kebutuhan akan aturan hukum yang melindungi ibu pengganti (Surrogate Mother) memang merupakan kebutuhan demi keadilan dan kemanfaatannya. Tentunya hal itu tidak hanya menjadi pemikiran bagi perguruan tinggi saja tetapi dibutuhkan juga peran serta masyarakat.31

Walaupun dalam hukum sudah dikenal istilah adopsi anak sebagai solusi untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi secara psikologis bahwa setiap mahluk hidup terutama manusia menghendaki memiliki keturunan yang berasal dari darah dagingnya, berasal dari sperma dan sel telurnya. Oleh karena itu dalam aplikasinya dilapangan terkadang ada pasangan suami istri yang menghendaki adanya keturunan yang berasal dari sperma dan sel telurnya yang kemudian dibuahkan pada seorang wanita yang bukan pemilik sel telur. Hal ini terjadi di Mimika, Papua. Pada tahun 2004, seorang wanita bernama S didiagnosa oleh dokter bahwa ia tidak bisa hamil karena kandungannya terinfeksi parah. Menurut adat suku Key, bila pasangan menikah belum dikaruniai anak, maka suami harus menceraikan istrinya. S dan B lalu memutuskan untuk melakukan program bayi tabung pada sebuah

31 Suara Merdeka, 08 Juni 2010, “Perlu Payung Hukum Sewa Rahim” URL:

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/06/08/112214/Perlu-Payung-Hukum-Sewa-Rahim , diakses tanggal 2 Pebruari 2016.

(26)

rumah sakit di Surabaya, namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa S tidak bisa hamil. Sebelumnya dokter yang memeriksa telah menjelaskan bahwa program bayi tabung dapat juga dilakukan dengan menanam hasil pembuahannya pada rahim wanita lain. Cara ini dilakukan oleh S dan B dengan bantuan dari M, yang merupakan adik dari S dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.32

Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa pembuahan bayi tabung yang diberitakan secara luas kesemuannya berasal dari sperma dan sel telur pasangan suami istri yang kemudian ditransplantasi ke dalam rahim istri. Sedangkan untuk pengembangan sperma dan sel telur didalam rahim wanita yang bukan pemilik sel telur (sewa rahim) di Indonesia terjadi akan tetapi tidak diberitakan secara luas. Hal tersebut dikarenakan sewa rahim tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena bertentangan dengan aturan hukum yang ada.

32 Agnes Sri Rahayu, 2009, “Penerapan Hak Reproduksi Perempuan Terhadap Perjanjian

Sewa Menyewa Rahim dalam Kerangka Hukum Perdata Indonesia”, Tesis, Program Pascasarjana

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga permasalahan yang muncul bagaimanakah pengaturan tentang perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti serta bagaimanakah status hukum anak

Jadi dapat kita simpulkan bahwa menurut Pasal 1338 perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku

Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Asas ini dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

Perjanjian juga dapat diartikan ketika seseorang berjanji kepada orang lain, atau ketika 2 (dua) orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu perbuatan. Perjanjian

Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang menciptakan perjanjian-perjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata,

Demikian juga halnya dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini dapat berarti bahwa, sekalipun telah

Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat