• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Persetujuan (Perjanjian)

1. Pengertian Persetujuan (Perjanjian)

“Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan. Karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”13

Masalah persetujuan (perjanjian) ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313, yang menyatakan bahwa, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dalam

hubungan dokter-pasien dalam bidang pengobatan jelas adanya ikatan ini. Untuk itu kalangan dokter harus menyadari adanya landasan hukum yang mengatur ikatan ini

.

14 Dijelaskan akibat persetujuan ini akan terjadi “perjanjian” karena terdapat 2 pihak yang bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu. Akibat dari perjanjian ini maka terjadi “perikatan” antara kedua belah pihak di atas (dokter dan pasien). Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh Buku III KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu berkewajiban memenuhi tuntutan .

13R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke XII, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1. 14 Amri Amir, op. cit. hal. 14.

(2)

itu15

a. Adanya perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum

. Perikatan tersebut dapat lahir dikarenakan dua hal yaitu karena persetujuan (perjanjian) dan karena Undang-Undang seperti yang tercantum di dalam Pasal 1233 KUHPerdata.

Mengenai pengertian dari persetujuan (perjanjian) yang terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata itu sendiri, sebenarnya menurut para sarjana belumlah lengkap atau jelas karena ada beberapa kata yang rancu, sehingga diperlukan adanya tambahan kata untuk memperjelasnya. Seperti pada kata “perbuatan”, tidak jelas di kata itu perbuatan seperti apa halnya, sehingga harus disempurnakan menjadi “perbuatan hukum”. Dan pada kata “satu orang” kata tersebut seolah-olah menjelaskan bahwa yang melakukan perjanjian itu hanya orang saja, padahal subjek hukum bukan hanya orang (manusia) saja tetapi juga termasuk badan hukum. Sehingga perlu diganti menjadi “pihak-pihak”. Perlu adanya tambahan kata “saling” di depan kata “mengikatkan” sehingga memiliki makna bahwa para pihak sama-sama sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Sehingga konsep mengenai pengertian dari suatu perjanjian atau persetujuan yang dianggap lebih baik pun dapat dijabarkan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dengan mana pihak-pihak saling mengikatkan dirinya terhadap pihak-pihak

lainnya”.

Adapun dari pengertian yang ada di atas dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

(3)

b. Adanya para pihak

c. Adanya kesepakatan untuk saling mengikatkan diri 2. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas-asas hukum yang penting diperhatikan pada waktu membuat perjanjian maupun melaksanakannya adalah sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme

Asas bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau consensus semata-mata.

b. Asas Kekuatan Mengikat dari Perjanjian (pacta sunt servanda)

Asas, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan kontrak tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu, Selama tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata.16

d. Asas iktikad baik (Togoe dentrow)

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) iktikad baik ada dua yakni : Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Dan bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang”.17

3. Unsur-Unsur Perjanjian

Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (Essensialia) dan bagian bukan inti (Naturalia dan Accidentalia).

16 Purwahid Pairik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 3.

17 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet. 1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta,

(4)

a. Unsur Essensialia.

Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. Contoh: Kesepakatan.

b. Unsur Naturalia

Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi.

c. Unsur Accidentalia

Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: Pemilihan tempat kedudukan18

4. Syarat Sah Perjanjian

.

Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian tersebut dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk sahnya suatu persetujuan (perjanjian) diperlukan 4 syarat, sebagaimana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Ad. a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Kesepakatan merupakan kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Adapun Unsur kesepakatan terdiri atas :

1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan.

(5)

2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran19 Sebelum para pihak melakukan kesepakatan, maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan apa yang dikendakinya, dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati para pihak. Pernyataan kehendak yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.

Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima tawaran yang disampaikan. Apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan tawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar-menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya para pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran yaitu:

.

(6)

1) Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

2) Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

3) Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4) Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan20

Pernyataan kehendak itu dapat dilakukan secara tegas ataupun secara diam-diam. Jika dilakukan secara tegas dapat dilakukan secara tertulis, secara lisan ataupun dengan tanda. Pernyataan kehendak secara tegas yang dilakukan secara tertulis dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan ataupun dengan akta autentik.

Permasalahan lain tentang kesepakatan. Bagaimana bila terjadi pernyataan yang keluar tidak sama dengan kemauan sebenarnya? Untuk menjawab hal tersebut ada beberapa teori yaitu :

.

1) Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah adanya kehendak para pihak.

2) Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

3) Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang yang secara objektif dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai21

20

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2003, hal. 30-31.

21 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa

Aulia, Bandung, 2007, hal. 93-94.

(7)

Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUHPerdata) 22

1) Kekhilafan/ kekeliruan/ kesesatan/ dwaling (Pasal 1322 KUHPerdata). :

Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (disebut eror in persona) atau objeknya (disebut eror in subtantia). cirinya, yakni tidak ada pengaruh

dari pihak lain. Contoh:

a) Si A membeli lukisan ”potret” yang dikira lukisan Affandi, tapi ternyata bukan lukisan affandi melainkan lukisan palsu (eror in subtantia).

b) Si A memanggil Inul Daratista si Goyang Ngebor namun saat pentas ternyata Inul yang tampil bukan Inul Daratista melainkan Inul Dara Manja (eror in persona).

2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUHPerdata).

Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri,namun dipengarui orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan

(8)

jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Contohnya, orang menodongkan pistol guna memaksa orang yang lemah untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah perjanjian.

3) Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUHPerdata)

pihak menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.

Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang disebut di atas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak yang keempat yaitu penyalahgunaan keadaan/undue Influence (KUHPerdata tidak mengenal). Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpuh pada kedua hal berikut, yaitu: a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi

b) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi, pengetahuan, dan pengalaman.

Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak berpengalaman, atau tidak tahu. Apa yang menjadi dasar pengajuan ke pengadilan bila di KUHPerdata tidak mengaturnya? Dapat dengan dasar yurisprudensi. Konsekuensi bila ada penyalah-gunaan keadaan maka perjanjian itu dapat dibatalkan.

Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan dirinya timbul jika, pasien atau keluarga terdekat pasien setuju untuk

(9)

dilakukannnya tindakan medis/kedokteran, setelah sebelumnya dokter memberikan informasi atau penjelasan yang jelas mengenai apa saja yang berkaitan dengan tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat 3 PERMENKES No 290 tahun 2008.

Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Pada Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut dinyatakan bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian adalah :

1) Orang –orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3) Orang-orang perempuan (wanita bersuami)

4) Orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu.

Mengenai ketentuan yang ada pada nomor urut ketiga pada Pasal 1330 KUHPerdata yang ada di atas, berkenaan dengan kedudukan orang-orang perempuan (wanita bersuami) yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian telah dihapus, dengan keluarnya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan bahwa perempuan bersuami cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Serta keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan suami-istri seimbang dan

(10)

masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 31 undang-undang tersebut.

Mereka yang belum cukup umur menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali/perwalian (Pasal 331-414 KUHPerdata). Perwalian adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa23

1) Keadaan dungu. .

Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus),oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice), sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) :

2) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya).

3) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).24

“Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUHPerdata yaitu, keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan”.25

23

Ibid. hal. 53.

24 Ibid. hal. 53-54.

25 Juni Rahardjo, Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar, Atma Jaya, Yogyakarta, 1995,

(11)

“Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331 ayat (1) KUHPerdata)”26

Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) maka kecakapan ini harus datang dari kedua belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan pelayanan. Artinya dari kalangan dokter mereka harus mempunyai kecakapan yang dituntut atau diperlukan oleh pasien. Dokter umum sebagai dokter umum dan dokter spesialis menurut spesialis yang dipunyainnya. Hal tersebut harus ada buktinya (seperti izajah atau sertifikat yang diakui oleh organisasi keahliannya)

.

27

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

. Dari pihak pasien tentulah dituntut orang yang cakap pula untuk membuat perikatan yaitu orang dewasa yang waras, namun bila keadaan pasien masih di bawah umur atau tidak memungkinkan untuk membuat suatu perikatan maka dapat digantikan oleh pihak keluarga terdekat dari pasien.

Ad.c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut yaitu :

26 Handri Raharjo, l oc. cit. 27 Amri Amir, op. cit. hal. 15.

(12)

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).28

Suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata).

Jika dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang menjadi objek atau suatu hal tertentunya adalah tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan dokter terhadap pasien demi kepentingan kesehatan pasien.

Ad.d. Suatu sebab yang halal

“Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan”29

Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHperdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara

.

28 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 104-105. 29 Handri Raharjo, op. cit. hal. 57.

(13)

ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. sehingga timbul syarat suatu sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang halal atau suatu sebab yang terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketetiban umum disamping melanggar perundang-undangan hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak terpenuhi adalah perjanjian yang dibuat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain batal demi hukum. Jika dikaitkan dengan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang perlu juga diperhatikan disini

adalah mengenai “suatu sebab yang halal”. Yang dimaksud persetujuan itu (dalam bidang pengobatan) adalah hal-hal yang tidak melanggar hukum, seperti melakukan aborsi dan lain-lain30

“Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas biasa disebut syarat subjektif, yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya)”

.

31

30 Amri Amir, loc. cit. 31 R. Subekti, op. cit. hal. 20.

. Batas waktu untuk membatalkannya 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai objeknya, bila syarat

(14)

ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan)32

1) Syarat sah yang umum, yaitu :

.

Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang digolongkan sebagai berikut :

a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (3) Suatu hal tertentu

(4) Suatu sebab yang halal

b) Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari : (1) Syarat itikad baik

(2) Syarat sesuai dengan kebiasaan (3) Syarat sesuai dengan kepatutan

(4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum 2) Syarat sah yang khusus terdiri dari :

a) Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu b) Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu

c) Syarat akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu

d) Syarat izin dari yang berwenang33

5. Prestasi dan Wanprestasi a. Prestasi

Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “Prestasi” yang menurut Undang-Undang pada Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa :

1) Menyerahkan sesuatu barang

32 Ibid.

33 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung,

(15)

2) Melakukan sesuatu perbuatan

3) Tidak melakukan sesuatu perbuatan34

“Dalam kaitan dokter dengan pasien, prestasi yang utama disini adalah “melakukan sesuatu perbuatan” baik dalam rangka preventif, curatif, rehabilitatif, maupun promotif”35

b. Wanprestasi .

“Menurut Subekti, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia ingkar janji atau alpa atau lalai atau juga ia melanggar perjanjian. bila ia berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak boleh melakukannya”36

“Menurut Satrio, wanprestasi terjadi apabila apa yang dijanjikan oleh pihak lawan, debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya”

.

37

1) Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki.

.

Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu :

2) Terlambat memenuhi prestasi.

3) Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. 4) Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.38

34

Amri Amir, loc cit.

35 Ibid.

36 R. Subekti, op. cit. hal. 45.

(16)

“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal : 1) Kesalahan debitur karena: disengaja dan/atau lalai.

2) Keadaan memaksa”.39

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :

1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian

3) Peralihan risiko. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim40

Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada tiga macam yaitu : .

1) Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); 2) Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non

adimpleti contractus);

3) Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking).41

Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal pelayanan kesehatan maka, wanprestasi dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan jika, dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran sebagaimana yang telah diperjanjikan, atau melakukan tindakan medis yang sebenarnya tidak ada/sesuai

38

Handri Raharjo, op. cit. hal. 80-81.

39 Ibid.

40 R. Subekti, loc cit. 41 Ibid. hal. 61.

(17)

dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

6. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu : a. Perjanjian menurut sumbernya:

1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya , perkawinan. 2) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang

berhubungan dengan peralihan hukum benda.

3) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. 4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.

5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.42

b. “Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi” 43

1) “Perjanjian timbal-balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli”

:

44 2) “Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu

pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak. Contoh : hibah .

42

Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1992, hal. 11.

43 Salim HS, op. cit. hal. 19-20.

(18)

(Pasal 1666 KUHPerdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata)”45

c. “Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi”

.

46

1) “Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh, perjanjian hibah”

:

47

2) “Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum, contoh, perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain”

.

48

d. “Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus/ bernama/ nominaat dan perjanjian umum/ tidak bernama/ innominaat/ perjanjian jenis baru

(Pasal 1319 KUHPerdata)”

.

49

1) “Perjanjian khusus/bernama/nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata”

.

50

45 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 87. 46 Salim HS, loc. cit.

47

Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit.

48 Ibid.

49 Salim HS, op. cit. hal. 18. 50 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 88.

. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian penitipan

(19)

barang, perjanjian hibah, perjanjian pinjam-memimjam, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian perdamaian dan lain-lain.

2) “Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan”51

a) Perjanjian innominaat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.

. Karena perjanjian innominaat didasarkan pada asas kebebasan berkontrak maka sistem pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka/open system. Dilihat dari aspek pengaturannya perjanjian innominaat dibedakan menjadi 3, yaitu :

b) Perjanjian innominaat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, misalnya tentang waralaba/franchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

c) Perjanjian innominaat yang belum diatur atau belum ada undang-undangnya di Indonesia, misalnya kontrak rahim atau surrogate mother.52 Perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini asas lex spesialis derogat legi generale berlaku meskipun ketentuan umum mengenai perjanjian sendiri tetap mengacu atau tunduk pada KUHPerdata sebagaimana tertuang dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak

51 Salim HS, op. cit. hal. 4 dan 17. 52 Ibid. hal. 2.

(20)

terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang

termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”.

e. “Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah”53

1) “Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan”

:

54

2) “Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai”

.

55

Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu : .

a) “Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen”56

53 Ibid. hal. 19. 54

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 48.

55 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 92-93. 56 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 90.

(21)

b) “Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu”57

f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman :

. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata), perjanjian hibah dengan akta notaris.

1) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (Pasal 1438 KUHPerdata).

2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUHPerdata).

4) Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas58

g. Perjanjian campuran/contractus sui generis (Pasal 1601 C KUHPerdata). .

“Di dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contoh, perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu”59.

57 R. Subekti, op. cit. hal. 16.

58 Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit. 59 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 89.

(22)

h. Perjanjian penanggungan (borgtocht).

“Adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUHPerdata)”60

i. “Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUHPerdata)”

.

61

1) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (bukan pihak dalam perjanjian yang bersangkutan) akan melakukan sesuatu (atau tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu

.

62

2) Derden Beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata) dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata).

. Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian dimana seorang (A) berjanji kepada pihak (B) bahwa orang lain (C) akan melaksanakan/memenuhi prestasi.

60 Ibid. hal. 90

61 Handri Raharjo, op. cit. hal. 67-68. 62 J. Satrio, op. cit. hal. 97.

(23)

j. Perjanjian menurut sifatnya dibedakan menjadi : 1) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama.

2) Perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia63 Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut:

.

a. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. b. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan

haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik64 7. Akibat dari suatu perjanjian

.

Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu :

a. Perjanjian mengikat para pihak. yang dimaksud dengan para pihak antara lain : 1) Para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPerdata).

2) Ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci (enblock).

3) Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci/khusus65

b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata) merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

.

c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Melaksanakan apa yang menjadi hak di satu pihak dan kewajiban

63 Salim HS, loc. cit.

64 Handri Raharjo, op. cit. hal. 68-69. 65 R. Subekti, op. cit. hal. 32.

(24)

di pihak yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan. Sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai undang-undang66.

8. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah tercapai. Dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.

b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian. e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak67

Menurut Handri Raharjo untuk mengetahui apakah sebuah perjanjian itu sudah berakhir atau belum harus dilihat dulu masing-masing perikatan dalam perjanjian itu sudah hapus atau belum, kalau sudah maka tinggal melihat apakah sumber dari perikatan itu (perjanjian) juga sudah hapus atau belum sehingga untuk hal ini perlu dilihat perjanjian itu sendiri dari berapa perikatan

.

68

Cara berakhirnya perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai perkembangan zaman. Dengan kata lain, cara

.

66 Handri Raharjo, op. cit. hal. 58. 67 Ibid. hal. 64.

(25)

hapusnya/berakhirnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya cara hapusnya/berakhirnya suatu perikatan sebagaimana yang tertulis didalam Pasal 1381 KUHPerdata dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya/berakhirnya suatu perjanjian69

B. Perjanjian Terapeutik

.

1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

“Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara kedua belah pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terpeutik atau transaksi terpeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”70

a. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran”

.

Pengertian mengenai perjanjian terapeutik ada beberapa definisi dari para sarjana antara lain sebagai berikut :

71

b. “Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter”

.

72

69 Ibid.

70Y.A. Triana Ohoiwutun, op. cit. hal. 8. 71

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.

72Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal. 45-46.

(26)

c. “Bahder Johan Nasution : transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”73

d. “Al purwohadiwardoyo : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter”

.

74

e. Salim HS : kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya

.

75

Lebih lanjut menurut Salim HS, ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan di atas, yaitu :

.

1) Adanya subjek hukum; 2) Adanya objek hukum; 3) Kewajiban pasien.76

Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa

73 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, PT Rineka Cipta,

Jakarta, 2005, hal. 11.

74 Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal. 13.

75Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 46. 76 Ibid.

(27)

terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi77

“Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum”

.

78

a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang.

.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut :

b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu.

c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu79

Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

.

a. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis.

b. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan).

c. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan80

77

Ibid. hal. 47.

78 Y.A. Triana Ohoiwutun, loc. cit. 79 Ibid.

80 Ibid. hal. 8-9.

(28)

2. Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien81

Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya merupakan akibat kelalaian di bidang perdata serta tuntutannya terhadap pelayanan masyarakat. Aspek hukum pidana yang ditimbulkan adanya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien, pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis), penyalahgunaan pemberian resep obat yang mengandung psikotropika,

dan sebagainya.

Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien).

Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal itu menarik ditinjau dari aspek hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu,

(29)

meskipun rasa sakit merupakan salah satu unsur tindak pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut :

a. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu. b. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran.

c. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu.

Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan medis (pertindik), namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasien/keluarganya.

Dari aspek hukum administrasi, praktik dokter dalam melakukan tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis didasarkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kewajiban untuk memiliki izin praktik dokter yang sah.

Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian/transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter.

(30)

Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan inspanningverbintenis

(perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar).

Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi (1) kesepakatan antara para pihak, (2) kecakapan untuk membuat perikatan, (3) adanya suatu hal tertentu, dan (4) adanya sebab halal.

Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istimewa (khusus) dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

a. Kedudukan antara pihak (dokter dengan pasien) tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya.

(31)

b. Dalam tindakan medis tertentu ada informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujuinya secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati.

c. Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis.

3. Dasar hukum perjanjian terapeutik

Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa ’’tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang’’.

Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang. Kedua dasar hukum dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dapat digambarkan sebagai berikut :

a. karena kontrak (perjanjian terapeutik);

Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien.

b. karena undang-undang;

Timbulnya karena kewajiban yang dibebankan pada dokter (yang ditentukan dalam undang-undang, antara lain UU kesehatan, UU praktik kedokteran, termasuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan sebagainya)82

Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan

.

(32)

bahwa : ”semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu”83

Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUHPerdata, seperti Perjanjian terapeutik yang termasuk perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata (perjanjian innominaat). Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus tetap dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian

.

84

a. KUHPerdata (khususnya Buku III) .

Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa dasar hukum perjanjian/kontrak terapeutik adalah :

b. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

c. Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran d. Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/III/2008

4. Para pihak yang terkait beserta subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik

a. Para pihak yang terkait dalam perjanjian terapeutik

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

83 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 139. 84 Ibid.

(33)

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Ada 3 ciri tenaga kesehatan, yaitu :

1) Orang yang mengabdi di bidang kesehatan;

2) Memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan; dan

3) Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan.

Dari ketiga ciri itu, ciri yang harus melekat pada tenaga kesehatan adalah mempunyai pengetahuan dan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Sementara itu, kewenangan upaya kesehatan adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada tenaga kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah ditentukan para pihak dalam kontrak terapeutik, yaitu pasien dengan dokter atau dokter gigi. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran). Ciri pasien, yaitu : 1) Orang yang melakukan konsultasi;

2) Untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan; 3) Dilakukan secara langsung atau tidak langsung;

4) Yang melakukan pelayanan itu adalah dokter atau dokter gigi.

Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Dokter dalam defenisi ini digolongkan menjadi dua golongan, yaitu dokter dan dokter spesialis. Begitu juga dokter gigi. Dokter gigi dibagi menjadi dua golongan, yaitu dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Syarat dari dokter atau dokter gigi adalah

(34)

lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Lulusan itu terdiri dari lulusan dalam negeri dan luar negeri. Lulusan luar negeri harus diakui oleh Pemerintah RI85 b. Subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik

.

Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 (dua) kelompok subjek-subjek yang dinamakan :

1) Pemberi pelayanan kesehatan (health provider),

Umumnya yang diartikan dengan ”pemberi pelayanan kesehatan” adalah semua tenaga kesehatan (tenaga medis, para-medis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya) yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan (cure and care). Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti : rumah sakit, rumah bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut. 2) Penerima pelayanan kesehatan (health receiver).

Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan medik tertentu, lazim disebut sebagai ”pasien”, walaupun ia sebenarnya atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat dibedakan antara : a) Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian

terapeutik dengan dokter/rumah sakit,

b) Pasien yang sebenarnya ”tidak sakit” dan datang ke rumah sakit/dokter hanya untuk :

(1) Menjalankan pemeriksaan kesehatan (untuk keuring, general check-up, asuransi),

(2) Menjadi donor darah,

(3) Menjadi peserta Keluarga Berencana86.

5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik

Mengenai syarat sahnya perjanjian terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut 87

85 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 52-54. 86 J. Gunandi, op. cit. hal. 34.

87 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 155.

(35)

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Toestemming van Degene Die Zich Verbinden)

Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan ialah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Sepakat ini dilihat dari rumusan aslinya, berbunyi persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian, minimal harus ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua subjek hukum itu saling sepakat, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi kehendak yang lainnya secara bertimbal balik. Dengan demikian, agar kehendak itu saling bertemu, maka harus dinyatakan.

Adapun cara menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Karena itu, yang dimaksud dengan sepakat sebenarnya adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian, didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disyaratkan adanya persesuaian pernyataan kehendak dari kedua belah pihak.

Saat terjadinya perjanjian terapeutik jika dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien, yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Antara pasien dan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang objeknya adalah upaya penyembuhan. Apabila kesembuhan adalah tujuan utama, akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan, baik penyakit maupun daya tahan

(36)

tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.

b. Kecakapan untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid Om Eene Verbintenis Aan Te Gaan)

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan (ketentuan sudah dicabut dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 1963), dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.

Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan demikian, berarti ketidakwenangan hanya mengahalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu dan orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum tidak cakap untuk bertindak. Dengan perkataan lain, orang yang tidak cakap

(37)

untuk bertindak adalah orang yang tidak mempunyai wewenang hukum karena orang yang wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah.

Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri atas orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.

c. Suatu Hal Tertentu (Een Bepaald Onderwerp)

Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, ayat (1). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, ayat (2).

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang dari objek perjanjian tersebut diatas merupakan terjemahan kata zaak. Akan tetapi, kata zaak itu berarti urusan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan objeknya harus dapat ditentukan adalah urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan.

Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya

(38)

diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medis.

Ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan upaya medis sesuai dengan standar pelayanan medis yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien.

Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan objek perjanjian/transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya, objeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung pada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya, daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.

d. Suatu Sebab yang Sah (Geoorloofde Oorzaak)

Hal ini oleh undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

(39)

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang sah, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang.

Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya.

Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran dengan alasan yang dilarang oleh undang-undang merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita dengan tujuan penelitian terapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang sah.

6. Pola hubungan dalam perjanjian terapeutik

”Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya”88

88 Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Cet.

1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 97.

. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter.

(40)

”Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti hubungan antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan Hubungan yang bersifat paternalistik”89

Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya ditangan dokter

.

90

Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien

.

91

Sebaliknya, berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ”bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya yang diperoleh melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang

.

89

Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana

Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 36.

90 Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 98. 91 Ibid.

(41)

mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya92

Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan doker yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual

.

93

Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat ”inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjadi sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu resultatverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti

.

94

”Szasz dan Hollender mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototipe hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa”

.

95

a. Pola Hubungan Aktif-pasif

.

Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna 92 Ibid. hal. 98-99. 93 Ibid. hal. 99. 94 Ibid. 95 Ibid. hal. 100.

(42)

karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipien atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan.

Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekedar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak dapat menjalankan suatu peran. Prototipe hubungan aktif-pasif ini dapat dilihat pada hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil, yang hanya menerima semua hal yang dilakukan orang tua terhadapnya. Anak tidak dapat memberikan respons atau peran aktif sehingga seluruh hubungan hanya bergantung kepada orang tua.

Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi. Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat, dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam hubungan dengan dokter.

Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Menurut Jones dan Marmor, hubungan ini memberikan kepada dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan. Dalam penelitiannya masing-masing, ditemukan bahwa para dokter tidak lagi mengidentifikasi pasien sebagai manusia, tetapi hanya sebagai benda biomedis, yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak.

Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan keahliannya berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita. Bahkan, oleh John (seorang ahli sosiologi) dikatakan bahwa dokter adalah the God complex. Namun, dilihat dari segi tanggung jawabnya, dokter dapat dikatakan bertanggung jawab tunggal terhadap risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tindakannya96

b. Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sama

.

Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif maka dari itu dalam penelitian ini akan menggambarkan secara rinci tentang Implementasi Peraturan

satu tahun dengan sistem tumpangsari yang umum dilakukan di lahan kering bukan hanya dapat mengurangi resiko kegagalan panen, tapi juga dapat memberikan keuntungan terhadap

Artinya : “ Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagiandalam. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : pangkal hidung, batang hidung,

Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Promosi Higiene Tabel 4.1 Rencana Program dan Kegiatan PHBS dan Promosi Higiene Saat ini (Tahun n+1) Rencana Program dan Kegiatan PHBS

Masalah timbul kapan saja bahkan tidak kenal waktu maka dari itu selaku aparat Satuan Polisi Pamong Praja yang memang sudah memiliki kewajiban menjaga keamanan

Hasil: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 20 orang subjek penelitian didapatkan hasil yaitu terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL setelah melakukan latihan

Hasil akhir dari penelitian ini didapatkan bahwa sistem pendukung keputusan dengan metode SAW mampu mengatasi permasalahan dalam menyeleksi calon penerima bantuan