• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Wangi Feminisme dan Generasi Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastra Wangi Feminisme dan Generasi Baru"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA

Oleh: Anja Pradnyaparamita (51412109)

Universitas Kristen Petra Surabaya

I. Fungsi dan Kegunaan

Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian

banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan

tetapi, definisi yang singkat dan sederhana itu dapat didebat dengan pendapat yang

mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah kesuluruhan sastra yang berkembang di

Indonesia selama ini. Istilah sastra klasik Indonesia dipergunakan oleh Robson (1978)

dengan pengertian keseluruhan sastra daerah yang berkembang di Indonesia sebelum

zaman modern atau sebelum abad ke-19. Perlu dicatat bahwa sekarang pun berkembang

sastra-sastra daerah (sastra Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain) bersamaan dengan sastra

(berbahasa) Indonesia. Jadi, istilah sastra klasik Indonesia tidak berhubungan dengan istilah

sastra Indonesia modern yang terbatas pada sastra berbahasa Indonesia. Paparan singkat itu

memberikan gambaran bahwa istilah sastra Indonesia ternyata tidak bermakna tunggal.

Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan normatif agar jelas maknanya dalam konteks

pengkajian tertentu. Adapun hasilnya berupa ribuan teks puisi, ratusan cerita pendek

(cerpen), ratusan novel atau roman, dan puluhan sastra drama yang telah tercetak di koran,

majalah, dan buku. Semuanya merupakan khazanah pemikiran budaya bangsa yang telah

diaktualisasikan oleh para pengarang dengan semangat zaman dan gaya pengucapan

masing-masing. Dalam rentang sejarah sastra Indonesia selama ini tercatat sejumlah teks sastra yang boleh dikatakan “menembus zaman” dengan pengertian tidak hanya dibaca oleh generasi semasa penciptaan, tetapi juga dibaca oleh generasi semasa penciptaan, tetapi juga

dibaca oleh generasi kemudian. (K.S., Yudiono. 2007, p. 11-13)

Sastra wangi muncul pada awal 2000an, dengan ciri khas penuh dengan ekspresi

(2)

tidak layak diperbincangkan menjadi layak untuk dipublikasikan. Tentu saja yang paling

dominan dalam sastra wangi adalah bidang seksualitas, baik dari segi psikologis maupun

sosiologis karena sastra wangi mengandung unsur seksualitas yang frontal dan telanjang.

Para penulis sastra wangi didominasi oleh perempuan-perempuan urban, sangat mencolok

karena biasanya penulis sastra merupakan para lelaki. Para penulis sastra wangi

menyuguhkan kehidupan yang selalu terlihat sebagai sisi gelap atau negatif dengan

kemasan yang menarik dengan berbagai sudut pandang. Sastra wangi banyak menimbulkan

pro dan kontra dari berbagai kaum karena membuat norma-norma yang sudah ada terlihat

menyimpang.

Ibnu Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal mengatakan sastra wangi

adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan

tubuh. Dari definisi tersebut nampak jelas, bahwa penulis perempuan tersebut tidak hanya

mengandalkan karyanya, tapi kecantikan dan seksinya penulis. Suatu Hal yang tidak dapat

dipungkiri adalah, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini

diramaikan oleh para pengarang wanita. Dari situlah kehidupan sastra Indonesia semakin

riuh—dengan munculnya beberapa penulis wanita—yang usianya relatif cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, bebas , dan berani. Sehingga banyak

pemikir dan penikmat sastra, mereka disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk

pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal

yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan

sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang

menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi

dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para

perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan

mandiri secara ekonomi.

Memang karya sastra adalah sebuah cerminan zaman yang penulis alami, suatu

(3)

kedatangannya karya mereka di dunia sastra Indonesia tidak lepas hanya sebuah cerminan

fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang menjadi alternatif

dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata. Nilai-nilai yang disodorkan

dalam karya sastra ini bisa jadi baik atau bahkan lebih buruk, tergantung dari masyarakat

yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud. Penulis hanya memainkan parodi,

paradok, dan ironi, sehingga tidak bisa memaksa masyarakat untuk menganut nilai-nilai

dan norma-norma sosial tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa menyuguhkan sesuatu

yang up to date dan sedikit banyak bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat,

walaupun dari segi emosional. Sebenarnya banyak novel yang berbau seksual, tapi tidak

sevulgar novel-novel dari sastra wangi. Begitu eksplisitnya penggambaran tentang bagian

selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga bisa dipastikan karya-karya dari sastra wangi

banyak yang menyengat aroma selakangan dan seks dijadikan permasalahan utama dalam

penulisan. Kalau dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas karya mereka sudah pasti masuk

dalam segmen pembaca dewasa.

Bukan hanya seks dan kevulgaran dalam pendeskripsian. Ditengok dari sudut

pandang lain penulis sastra wangi juga banyak mengangkat ajaran moral yang baik, kritikan

terhadap pemerintah, dan pernyataan gender. (Agus Sulton, 2010)

II. Tokoh Penting

Berikut beberapa penulis sastra wangi yang mempunyai reputasi nasional dan

internasional.

a. Ayu Utami

(4)

Ayu Utami adalah penulis Indonesia yang memenangkan penghargaan nobel

Pangeran Claus 2000. Karyanya dianggap telah memperluas cakrawala sastra Indonesia.

Saman, novel debutnya, memenangkan juara pertama dari Dewan Kesenian Jakarta pada

tahun 1998, menjadi best seller dan telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Selama rezim militer Indonesia ia adalah seorang jurnalis dan aktivis kebebasan. Dia adalah salah

satu pendiri dari Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi yang kemudian dilarang

oleh Soeharto. Setelah perubahan politik, ia fokus menulis novel. Cerita-cerita yang ia buat

mencerminkan masyarakat Indonesia dan situasi politik di negara pada saat itu. Di antara

karya-karyanya ada trilogi 'True Stories' (Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan

Eks-Parasit Lajang) yang berbicara secara terbuka mengenai seks dan hubungan gender,

dan serial 'Bilangan Fu', novel misteri yang berhubungan dengan budaya dan warisan

Indonesia. Ayu Utami juga bekerja di Komunitas Salihara, sebuah pusat seni independen di

Jakarta. (Ubud Writers Festival, 2013)

Saman, yang diluncurkan pada 1998 sempat membuat heboh dunia sastra Indonesia.

Di novel itu, Ayu dianggap terlalu berani. Dia mendobrak norma dan bicara hal yang masih

tabu bagi sebagian besar orang Indonesia. Di novel itu, Ayu Utami bicara amat terbuka soal

seks. Tak hanya berhenti di situ. Ayu masih terus menggebrak kemapanan di novel

berikutnya, Larung dan Bilangan Fu. “Orang bilang saya pendobrak. Tapi, saya bukan anti kemapanan,” kata Ayu. “Kalau ada yang tidak adil, maka perlu dibicarakan. Dan, pemberontakan bukan tujuan utama saya.” Ketidakadilan dan moralitas berlebihan sangat mengganggu Ayu. Ketika bisa bikin novel, lulusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas

Indonesia pada 1994 ini ingin membebaskan bahasa Indonesia dari moralitas berlebihan itu.

Sekalian, tentunya menggugat banyaknya ketidakadilan pada perempuan. Pada Bilangan

Fu, pendobrakan itu makin luas. Ayu juga menggugat fundamentalisme yang selama

sepuluh tahun belakangan ini makin berlebihan. (Tanjung, 2009)

(5)

1968 ini. “Jadi yang memakai istilah sastra wangi biasanya tidak bicara soal isi sastra melainkan tentang tampilan penulisnya.”

Karya-karya Ayu Utami:

a. Novel Saman, KPG, Jakarta, 1998 b. Novel Larung, KPG, Jakarta, 2001

c. Kumpulan Esai "Si Parasit Lajang", GagasMedia, Jakarta, 2003

d. Novel Bilangan Fu, KPG, Jakarta, 2008

e. Novel Manjali dan Cakrabirawa (Seri Bilangan Fu), KPG, Jakarta, 2010

f. Novel Cerita Cinta Enrico, KPG, Jakarta, 2012

g. Novel Soegija: 100% Indonesia, KPG, Jakarta, 2012

h. Novel Lalita (Seri Bilangan Fu), KPG, Jakarta, 2012

i. Novel Si Parasit Lajang, KPG, Jakarta, 2013

j. Novel Pengakuan: Eks Parasit Lajang, KPG, Jakarta, 2013

Penghargaan:

a. Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998

b. Prince Claus Award 2000

b. Djenar Maesa Ayu

Djenar Maesa Ayu adalah seorang wanita kelahiran Jakarta, 10 Januari

(6)

dua orang anak, Banyu Bening dan Batari Maharani. Djenar Maesa Ayu adalah salah satu

penulis perempuan Indonesia yang cukup menonjol. Cerpen-cerpennya yang bernuansa

feminine membuat namanya dikenal dan diperhitungkan. Namanya semakin melambung

saat dia terjun ke dunia film. Djenar mengawali kariernya sebagai penulis cerita pendek

(cerpen) dan kemudian menulis novel. Dia lahir dari keluarga yang dekat dengan seni.

Ayahnya Sjumandjaya adalah seorang penulis dan sutradara terkemuka, sedangkan ibunya

Toety Kirana adalah aktris era '70an. Dari kecil Djenar telah terbiasa dengan aktivitas

seperti baca buku sastra, dan nonton film. Dalam menulis Djenar mengaku berguru pada

nama-nama besar seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Coulzum

Bachri. Mereka, menurut Djenar, memperkenalkannya pada keberanian dalam menulis.

Keberaniannya menulis bertema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan

perempuan pengarang era 2000-an. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra

sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang,

setiap karyanya terbit, selalu disertai kontroversi. Dia tak segan memasukan sejumlah

tema-tema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya, seperti hubungan tak lazim dalam

dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang

dijamah penulis lain. Karya-karya Djenar banyak mendobrak tabu dan tak jarang dinilai

vulgar. Namun di sisi lain banyak yang menilai karyanya mencerahkan.

Djenar termasuk perempuan penulis yang produktif. Dalam kurun waktu tujuh

tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist

anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Dan

setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku best seller. Buku pertama Djenar yang berjudul „Mereka Bilang, Saya Monyet!‟ telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, selain itu,

(7)

versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan. Buku keduanya, „Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)‟ juga meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan pada bulan Februari 2005. Kumpulan cerpen berhasil

ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004. „Nayla‟ adalah novel pertama Djenar yang juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Bukunya yang terbaru berjudul „Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek‟, yang merupakan kumpulan cerpen. Djenar akhirnya mengikuti jejak orang tuanya dengan terjun ke dunia film. Filmya yang

paling terkenal adalah Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang digubah dari cerpennya

sendiri dan disutradarainya sendiri.

Menurut Djenar dia membuat film itu karena selalu saja ada niat untuk menuangkan

sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda. Berbeda dengan buku dalam film ini, dia bisa

menuangkan kekayaan sastra dalam bentuk visual. Memang sebagaimana bukunya, film

Djenar masih kental dengan feminisme. Karena itu orang menilai karya kakak musisi

Aksan Sjuman itu tak jauh dari tema tentang seks dan kekerasan seks. Bahkan sisi

kehidupan pribadinya juga dihadirkan dalam filmnya. Sebelum filmnya yang terkenal,

Djenar mengaku telah membuat sebuah film, sayangnya tak bisa diterima penonton

Indonesia. Menurut dia hal itu mungkin memang bukan pasarnya di Indonesia. (Viva Life)

Karya Djenar

2002 Mereka Bilang, Saya Monyet!, kumpulan cerpen

2003 Jangan Main-main Dengan Kelaminmu, kumpulan cerpen

2005 Naila, novel

2006 Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek, kumpulan cerpen

(8)

FILMOGRAFI

1990 Boneka dari Indiana

2006 Koper

2007 Mereka Bilang, Saya Monyet!

2008 Cinta Setaman

2009 Dikejar Setan

2010 Melodi

2011 Purple Love

ACARA TELEVISI

2006 Fenomena

2007 Silat Lidah

PENGHARGAAN

2003 Buku Mereka Bilang Saya Monyet masuk dalam nominasi 10 besar buku

terbaik Khatulistiwa Literary Award

Cerpen “Waktu Nayla” menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas

Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik versi Jurnal Perempuan

2004 Buku Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) berhasil ini meraih

(9)

c. Fira Basuki

Seorang wanita kelahiran Surabaya, 7 Juni 1972, sastrawan berkebangsaan

Indonesia, dan menjabat sebagai pemimpin redaksi di majalah Cosmopolitan, Fira Basuki.

“Bagi dia, menulis adalah kebutuhan. Sama seperti makan, minum bahkan bernafas, jika tidak menulis, ia akan merasa blingsatan.”

Sejak masih kanak-kanak, Fira Basuki sudah yakin kalau dirinya terlahir untuk

menjadi penulis. Bakat menulisnya mulai terasah saat ia masih berseragam sekolah. Saat

duduk di bangku SMU, Fira terbilang rajin mengikuti berbagai lomba menulis yang

diselenggarakan oleh majalah-majalah seperti Tempo dan Gadis. Beberapa lomba yang

diikuti berhasil dijuarainya. Ketika keinginannya untuk menjadi seorang penulis mendapat

dukungan dari kedua orangtuanya, Fira pun semakin memantapkan pilihannya.

Untuk mengasah bakat yang dimiliki, maka setamat dari SMA, ia melanjutkan

pendidikan ke jurusan jurnalistik di Pittsburgh State University, Amerika Serikat. Waktu itu

Fira merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mengambil kuliah jurnalistik di Negeri

Paman Sam itu. Menginjak usia 29 tahun, wanita yang pernah menetap di Amerika Serikat

selama 6 tahun itu mulai aktif menulis novel. Jendela-jendela, merupakan judul novel pertamanya yang berkisah tentang kehidupan pasangan suami istri dengan segala

problematika rumah tangga. Karya pertamanya itu disambut hangat para penikmat novel

ketika itu.

Mendapat respon positif dari masyarakat, Fira kemudian menulis lanjutan kisah

novel Jendela-Jendela. Sekuel novel itu kemudian diberi judul Pintu yang diterbitkan pada tahun 2002. Setahun kemudian, menyusul novel Atap yang juga masih merupakan lanjutan dari novel trilogi karya ibu satu anak itu. Koleksi karya sastra lulusan Wichita State

(10)

Dari sekian banyak karyanya, hampir semua mengambil latar tempat di

negara-negara dimana ia pernah menetap, seperti Amerika, Singapura, dan Indonesia. Alasannya

sederhana saja, supaya ia dapat mendalami dan mendeskripsikan budaya setempat dengan

begitu jelas.

Fira juga tak memungkiri novelnya sedikit terinspirasi dari kejadian yang pernah

dialaminya, juga teman-temannya. Tapi, ada juga yang ia tangkap dari sekeliling, imajinasi,

dan mimpi. Semua itu tercampur dalam proses kreatif. Tentunya hanya ia yang tahu mana

pengalaman pribadinya dan temannya.

Fira yang sejak kecil dididik dengan disiplin oleh kedua orangtuanya ini juga tidak

menemui banyak hambatan saat harus menjalani profesi gandanya sebagai wartawan dan

penulis. Sehingga tidak heran jika ia tak merasa kesulitan saat harus mengatur waktu di

tengah jadwalnya yang padat. Ia juga tidak pernah bekerja berdasarkan mood melainkan

didasari rasa tanggung jawab dan kecintaannya terhadap profesi.

Sebagai seorang penulis perempuan, Fira Basuki juga mengangkat isu-isu yang

berkaitan dengan kaum hawa. Dengan pengalaman dan sudut pandangnya, ia mampu

merangkai kata-kata dalam memaparkan penderitaan serta ketidakadilan yang kerap kali

harus diterima seorang perempuan. (Copyright © tokohindonesia.com)

d. Dewi Lestari

Novel “Supernova Satu”: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, itu diluncurkan 16 Februari 2001 di Taman Komponis Ismail Marzuki, Jakarta. Novel yang laku 12.000

eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini

banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta.

Dee lahir di Bandung, 20 Januari 1976 sebagai anak ke-4 dari 5 bersaudara dari

(11)

anggota TNI yang belajar piano secara otodidak sedangkan saudara-saudaranya pemain

biola, guru piano, yang profesional. Keluarga Dee sama seperti keluarga kebanyakan yang

hidup sederhana dan harus pandai-pandai mengatur keuangan.

Tak banyak yang tahu bahwa sebelum ia banyak dibicarakan orang karena novelnya

Supernova, ternyata cerpen Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya

berjudul Sikat Gigi pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter. Sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri.

Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul Ekspresi ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun

berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul Rico the Coro yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15

karangan untuk buletin sekolah.

“Sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini mengakui bahwa novel Supernova berawal dari pergumulan dan perenungannya yang

dalam tentang spiritualitas.”

Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris untuk menembus

pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling, ahlinya dalam urusan menerjemahkan

karya Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin sastra Indonesia ke bahasa Inggris. Ia juga telah

merilis album solo pertamanya - sebuah proyek yang dimulainya sejak 1997 - berjudul Out of The Shell, diambil dari judul salah satu di antara delapan lagu yang semuanya berbahasa Inggris. Supernova pernah masuk nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan

(12)

Sukses dengan novel “Supernova Satu”: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, bagian pertama “Supernova Dua” (Supernova 2.1) berjudul Akar sudah lepas ke pasaran pada 16 Oktober 2002 di 20 kota utama Indonesia. Novel Supernova 2.1 sempat mendapat protes keras dari kalangan umat Hindu karena dianggap melecehkan lambang keagamaan Hindu -

lewat surat tertanggal Bali, 26 Februari 2003 yang diatasnamakan Ketua Umum DPP

FIMHD AA Ngrh Arya Wedakarna MWS dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum

Intelektual Muda (FIMHD) Hindu Dharma yang berkedudukan di Bali.

Mereka menolak dicantumkannya lambang OMKARA/AUM yang merupakan

aksara suci BRAHMAN Tuhan yang Maha Esa dalam HINDU sebagai cover dalam

bukunya. Akhirnya disepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada

cetakan ke 2 dan seterusnya.

Dalam memasarkan Supernova 2.1 Akar, ibu dari Keenan Sidharta ini memilih tidak lagi memasarkan 'sendirian' bukunya dengan menjalin kerjasama dengan BArK

Communication, suatu perusahaan penerbitan yang sekaligus perusahaan promosi. Di

samping BArK, muncul sebuah wadah baru: Truedee Semesta. Di BArK dan Truedee

Semesta, Dewi memiliki sejumlah saham dan mendapatkan royalti sekitar 20%. Namun,

sayang, pertengahan tahun 2003, Dee akhirnya berpisah jalan dengan penerbit buku

keduanya ini dan ia kembali 'sendirian' memasarkan bukunya. Menurut rencana, Dee di

sela-sela kesibukannya sebagai spoken person sebuah produk kosmetika berharap

Supernova 2.2 yang berjudul Petir sudah tuntas akhir 2003.

Dalam hal strategi pemasaran, Dee yang menyukai warna hitam ini, tidak semata

bergantung pada jaringan toko buku besar. Prioritas pertama Dee adalah memanfaatkan

keunggulan internet dengan membuka sebuah website beralamat www.truedee.net (situs

sudah tidak aktif, red). Lewat situs ini pengunjung bisa membeli Supernova 2.1 Akar. Lewat media ini, ia juga sempat mengundang 50 pembeli untuk menghadiri perayaan ulang

tahunnya. Prioritas kedua adalah menggunakan strategi penjualan langsung misalnya

(13)

Universitas Indonesia (UI). Terakhir, lahirlah strategi ketiga berupa penjualan tunai ke toko

buku di sejumlah kota besar di luar Jakarta.

Pada Januari 2005, Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode PETIR. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya dengan memasukkan 4 tokoh baru.

Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut.

Lama tidak menghasilkan karya, pada Agustus 2008, Dee merilis novel terbarunya

berjudul Rectoverso yang merupakan paduan fiksi dan musik. Tema yang diusung adalah Sentuh Hati dari Dua Sisi. Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi. Buku Rectoverso terdiri dari 11 fiksi dan 11 lagu yang saling berhubungan. Tagline dari buku ini adalah Dengar Fiksinya, Baca

Musiknya.

Pada Agustus 2009, Dee menerbitkan novel Perahu Kertas. Novel ini kemudian dituangkan dalam bentuk film dan ditayangkan di bioskop di seluruh Indonesia pada

pertengahan Agustus 2012. Film arahan Hanung Brahmantyo ini dibintangi oleh Maudy

Ayunda dan Adipati Dolken sebagai pemeran utama. Sementara Dee tampil sebagai

pemeran pembantu. Kemudian, pada 4 April 2012, Dee kembali mengeluarkan novel

lanjutan serial Supernova yang berjudul PARTIKEL dengan tokoh utama Zarah. (Copyright © tokohindonesia.com)

III. Timeline

Berbagai masalah sejarah sastra Indonesia selama ini akan dipetakan secara garis

besar dengan memperhitungkan masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan

kata lain, pemetaan itu dilakukan secara periodik. Periodisasi dipandang penting dalam

pengkajian sejarah sastra karena memudahkan peminat dan peneliti sastra memahami,

merunut, atau melacak berbagai gejala dan peristiwa yang pernah terjadi sehingga peneliti

berkemungkinan memiliki wawasan yang luas. Masalah tersebut pernah menjadi bahan

(14)

Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (Rosidi, 1978). Namun, selama

belasan tahun kemudia tidak terdengar lagi perdebatannya, termasuk gagasan Korrie Layun

Rampan tentang Angkatan 2000. Belakangan muncul tulisan Yudiono K.S. di harian

Kompas (2004) yang menawarkan format baru periodisasi sejarah sastra Indonesia menjadi

empat masa, yaitu:

1. Masa Pertumbuhan, 1900-1945,

2. Masa Pergolakan, 1945-1965,

3. Masa Pemapanan, 1965-1998, dan

4. Masa Pembebasan, 1998-.

Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas

apabila diketahui asal usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman

yang melingkunginya. Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah

Hypolyte Taine (1828-1893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang

dipengaruhi oleh ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi

manusia dalam jiwa dan raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan

momen ialah situasi sosio-politik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui

dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang

melahirkan seorang pengarang besera karyanya.

Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Sherer (1841-1886) mempergunakan tiga

faktor tertentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte

(hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerjasama yang erat antara ahli fisiologi,

psikologi linguistik, dan sejarah kebudayaan.

Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh

(15)

Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa

Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995).

Secara garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai

berikut:

I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang

dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu:

a. Period awal hingga 1933

b. Period 1933-1942

c. Period 1942-1945

II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period,

yaitu:

a. Period 1945-1953

b. Period 1953-1961

c. Period 1961-1968

Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah

persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai

problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942

diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan

pandangan romantis-idealis.

Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang

melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan

pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan

selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan

leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak

(16)

sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan

sastra. (Yudiono, K.S., 2007)

Pada masa 1970an sampai sekarang, karya sastra berperan untuk membentuk

pemikiran tentang ke Indonesia an. Munculnya gebrakan-gebrakan baru di era ini, beberapa

karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan

kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd

mulai tampak.

Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang

terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang

memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis

Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu

karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu

tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Kritik Rezim Orde Baru

b. Wacana Urban dan Adsurditas

c. Kritik Mengenai Pemerintahan

d. Masuknya sastra melalui majalah selain majalah sastra

e. Sastra bersanding dengan seni lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman

sekarang.

Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada

tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun

1980-an hingga awal 1990-1980-an, sastra memiliki karakter y1980-ang diimb1980-angi deng1980-an arus budaya

populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman khazanah

(17)

IV. Kondisi Terkini

Berikut kutipan-kutipan dari BBC UK

“It all got going in 1998, the same year as the downfall of former President Soeharto. In that turbulent social and political climate, Ayu Utami’s challenge to tradition in the best seller Saman proved that young women had something to say, and that there were plenty of people who wanted to listen.”

“And there’s no doubt “sastra wangi” is a marketing man’s fantasy made real. Dreamy black and white photos of these writers adorn the walls of bookshops, projecting an image of cool sophistication. It may help sell the books, but it does little to reveal their literary merits. And that’s a problem for 32-year-old first time novelist Nukila Amal, who’s resisting the “sastra wangi” tag. “That label is really negative,” she said. “Writers should be categorized in genre or style and spirit, not on their physical appearance.”

Sastra wangi mempunyai karakteristik yang kuat dan mendominasi pada generasi

2000 ini. Gaya penulisan yang cenderung bebas, lebih bersifat pop culture dan untuk sebutan sastra kanon, tampaknya sudah mulai ditinggalkan. Karya sastra yang dihasilkan

lebih bersifat komersil. Ada pengaruh penerbit untuk menentukan bentuk maupun isi cerita.

Contohnya, karya Dewi Lestari dan Djenar Maesa Ayu dengan mengalami perubahan

cover. Muncul fenomena baru, karya sastra yang dihasilkan sengaja untuk di film-kan.

Banyak karya-karya yang berlatar dan hasil kontemplasi spiritual. Pengarang-pengarang

aliran feminis lebih bebas menyuarakan pemikirannya melalui karyanya, contohnya

karya-karya Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami yang lebih bebas mengutarakan pemikirannya

melalui diksi-diksi yang dipakainya. Dunia sastra Indonesia periode 2000-an lebih

didominasi genre prosa daripada puisi dan drama. Dan banyak pihak yang memperdebatkan

karya yang berbau motivasi layak dianggap sebagai sastra atau tidak karena adanya

(18)

V. REFERENSI

V.I. DATA PRIMER

Percakapan dengan Ayu Utami mengenai Sastra Wangi

www.twitter.com/BilanganFu

V.II. DATA SEKUNDER

a. BUKU

K.S., Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

b. MEDIA ONLINE

Lipscombe, Becky. Chick-lit becomes hip lit in Indonesia. Jakarta: BBC News, 2003. Web.

Sulton, Agus. Sastra Wangi Aroma Selangkangan. Jombang: Kompas, 2010. Web.

Agata, Vassilisa. Seks dalam Balutan Sastra. Kompas, 2012. Web.

Ubud Writers Festival, 2013. Web.

http://www.ubudwritersfestival.com/writers/ayu-utami/

Tanjung, Leanika. Ayu Utami: “Kenapa Agama Tak Membuat Orang Lebih Baik?”. Diskusi Klub Buku dan Film SCTV, 2009. Web.

http://klubbukufilmsctv.wordpress.com/2009/08/07/ayu-utami-“kenapa-agama-tak-membuat-orang-lebih-baik”/

(19)

Profil Djenar Maesa Ayu. Viva Life, Web.

http://life.viva.co.id/news/read/316691-djenar-maesa-ayu Sira. Terlahir Sebagai Penulis. Ensikonesia, 2010. Web.

http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2426-terlahir-sebagai-penulis

Sira. Terkenal Lewat Supernova. Ensikonesia, 2003. Web.

Referensi

Dokumen terkait

mampu melahirkan sosok hakim sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum yang dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan

Memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta berdasarkan hasil evaluasi terhadap seluruh

Adapun Rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini bagaimana Peran Dinas Pendapatan Daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kota Bandar

Pertumbuhan penduduk yang melonjak membuat kota Jakarta tidak lagi bisa menampung penduduk dan orang-orang dari daerah yang terus berdatangan

The accuracy of classification obtained using TFPC is, however, relatively sensitive to the choice of support and confidence thresholds used when mining the classification rules.. We

Grafik 4.2 Grafik Pengaruh Pemberian Larutan Kulit Bawang Merah Terhadap Panjang Akar Stek Batang Tanaman Sirih Merah Umur 50 hst. Dari hasil analisis variansi

11/ ULP/Pokja 5/Konsultansi/SS-P/2015 tanggal 24 Nopember 2015 tentang Penetapan Pemenang Pengadaan Barang/Jasa dengan Seleksi Sederhana Pascakualifikasi Metode Evaluasi

prestasi belajar matematika lebih baik dari pada model pembelajaran CL. b) Karakteristik antara tingkat kecerdasan interpersonal untuk setiap model. pembelajaran