• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Terapeutik

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN UMUM (Halaman 25-51)

.

1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

“Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara kedua belah pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terpeutik atau transaksi terpeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”70

a. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran”

.

Pengertian mengenai perjanjian terapeutik ada beberapa definisi dari para sarjana antara lain sebagai berikut :

71

b. “Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter”

.

72

69 Ibid.

70Y.A. Triana Ohoiwutun, op. cit. hal. 8.

71

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.

72Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 45-46.

c. “Bahder Johan Nasution : transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”73

d. “Al purwohadiwardoyo : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter”

.

74

e. Salim HS : kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya

.

75

Lebih lanjut menurut Salim HS, ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan di atas, yaitu :

.

1) Adanya subjek hukum; 2) Adanya objek hukum; 3) Kewajiban pasien.76

Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa

73 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 11.

74 Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal. 13.

75Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 46.

terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi77

“Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum”

.

78

a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang.

.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut :

b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu.

c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu79

Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

.

a. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis.

b. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan).

c. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan80

77

Ibid. hal. 47.

78 Y.A. Triana Ohoiwutun, loc. cit.

79 Ibid.

80 Ibid. hal. 8-9.

2. Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien81

Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya merupakan akibat kelalaian di bidang perdata serta tuntutannya terhadap pelayanan masyarakat. Aspek hukum pidana yang ditimbulkan adanya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien, pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis), penyalahgunaan pemberian resep obat yang mengandung psikotropika,

dan sebagainya.

Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien).

Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal itu menarik ditinjau dari aspek hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu,

meskipun rasa sakit merupakan salah satu unsur tindak pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut :

a. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu. b. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran.

c. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu.

Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan medis (pertindik), namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasien/keluarganya.

Dari aspek hukum administrasi, praktik dokter dalam melakukan tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis didasarkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kewajiban untuk memiliki izin praktik dokter yang sah.

Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian/transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter.

Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan inspanningverbintenis

(perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar).

Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi (1) kesepakatan antara para pihak, (2) kecakapan untuk membuat perikatan, (3) adanya suatu hal tertentu, dan (4) adanya sebab halal.

Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istimewa (khusus) dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

a. Kedudukan antara pihak (dokter dengan pasien) tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya.

b. Dalam tindakan medis tertentu ada informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujuinya secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati.

c. Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis.

3. Dasar hukum perjanjian terapeutik

Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa ’’tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang’’.

Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang. Kedua dasar hukum dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dapat digambarkan sebagai berikut :

a. karena kontrak (perjanjian terapeutik);

Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien.

b. karena undang-undang;

Timbulnya karena kewajiban yang dibebankan pada dokter (yang ditentukan dalam undang-undang, antara lain UU kesehatan, UU praktik kedokteran, termasuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan sebagainya)82

Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan

.

bahwa : ”semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu”83

Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUHPerdata, seperti Perjanjian terapeutik yang termasuk perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata (perjanjian innominaat). Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus tetap dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian

.

84

a. KUHPerdata (khususnya Buku III) .

Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa dasar hukum perjanjian/kontrak terapeutik adalah :

b. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

c. Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran d. Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/III/2008

4. Para pihak yang terkait beserta subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik

a. Para pihak yang terkait dalam perjanjian terapeutik

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

83 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 139.

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Ada 3 ciri tenaga kesehatan, yaitu :

1) Orang yang mengabdi di bidang kesehatan;

2) Memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan; dan

3) Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan.

Dari ketiga ciri itu, ciri yang harus melekat pada tenaga kesehatan adalah mempunyai pengetahuan dan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Sementara itu, kewenangan upaya kesehatan adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada tenaga kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah ditentukan para pihak dalam kontrak terapeutik, yaitu pasien dengan dokter atau dokter gigi. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran). Ciri pasien, yaitu : 1) Orang yang melakukan konsultasi;

2) Untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan; 3) Dilakukan secara langsung atau tidak langsung;

4) Yang melakukan pelayanan itu adalah dokter atau dokter gigi.

Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Dokter dalam defenisi ini digolongkan menjadi dua golongan, yaitu dokter dan dokter spesialis. Begitu juga dokter gigi. Dokter gigi dibagi menjadi dua golongan, yaitu dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Syarat dari dokter atau dokter gigi adalah

lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Lulusan itu terdiri dari lulusan dalam negeri dan luar negeri. Lulusan luar negeri harus diakui oleh Pemerintah RI85 b. Subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik

.

Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 (dua) kelompok subjek-subjek yang dinamakan :

1) Pemberi pelayanan kesehatan (health provider),

Umumnya yang diartikan dengan ”pemberi pelayanan kesehatan” adalah semua tenaga kesehatan (tenaga medis, para-medis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya) yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan (cure and care). Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti : rumah sakit, rumah bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut. 2) Penerima pelayanan kesehatan (health receiver).

Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan medik tertentu, lazim disebut sebagai ”pasien”, walaupun ia sebenarnya atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat dibedakan antara : a) Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian

terapeutik dengan dokter/rumah sakit,

b) Pasien yang sebenarnya ”tidak sakit” dan datang ke rumah sakit/dokter hanya untuk :

(1) Menjalankan pemeriksaan kesehatan (untuk keuring, general check-up, asuransi),

(2) Menjadi donor darah,

(3) Menjadi peserta Keluarga Berencana86.

5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik

Mengenai syarat sahnya perjanjian terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut 87

85 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 52-54.

86 J. Gunandi, op. cit. hal. 34.

87 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 155.

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Toestemming van Degene Die Zich Verbinden)

Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan ialah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Sepakat ini dilihat dari rumusan aslinya, berbunyi persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian, minimal harus ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua subjek hukum itu saling sepakat, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi kehendak yang lainnya secara bertimbal balik. Dengan demikian, agar kehendak itu saling bertemu, maka harus dinyatakan.

Adapun cara menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Karena itu, yang dimaksud dengan sepakat sebenarnya adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian, didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disyaratkan adanya persesuaian pernyataan kehendak dari kedua belah pihak.

Saat terjadinya perjanjian terapeutik jika dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien, yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Antara pasien dan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang objeknya adalah upaya penyembuhan. Apabila kesembuhan adalah tujuan utama, akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan, baik penyakit maupun daya tahan

tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.

b. Kecakapan untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid Om Eene Verbintenis Aan Te Gaan)

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan (ketentuan sudah dicabut dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 1963), dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.

Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan demikian, berarti ketidakwenangan hanya mengahalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu dan orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum tidak cakap untuk bertindak. Dengan perkataan lain, orang yang tidak cakap

untuk bertindak adalah orang yang tidak mempunyai wewenang hukum karena orang yang wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah.

Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri atas orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.

c. Suatu Hal Tertentu (Een Bepaald Onderwerp)

Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, ayat (1). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, ayat (2).

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang dari objek perjanjian tersebut diatas merupakan terjemahan kata zaak. Akan tetapi, kata zaak itu berarti urusan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan objeknya harus dapat ditentukan adalah urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan.

Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya

diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medis.

Ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan upaya medis sesuai dengan standar pelayanan medis yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien.

Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan objek perjanjian/transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya, objeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung pada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya, daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.

d. Suatu Sebab yang Sah (Geoorloofde Oorzaak)

Hal ini oleh undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang sah, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang.

Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya.

Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran dengan alasan yang dilarang oleh undang-undang merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita dengan tujuan penelitian terapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang sah.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN UMUM (Halaman 25-51)

Dokumen terkait