• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian perjanjian

Istilah “perjanjian” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut menunjuk pada perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang menimbulkan perikatan. Sejak permulaan abad ke-18 dikenal pula perjanjian-perjanjian lainnya yang bukan semata-mata perjanjian yang menimbulkan perikatan, melainkan merupakan perjanjian-perjanjian yang sifat dan akibat hukumnya di bidang hukum keluarga, hukum kebendaan dan hukum pembuktian.14

Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.

15

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

14 Purwahid Patrik, Azas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, (Semarang :

Fakultas Hukum. UNDIP, 2001), hal 3

(2)

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.16

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

17

Perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.18

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari suatu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.

16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Edisi 2, Cetakan 2, (Jakarta : Penerbit Prenada Media Group, 2011), hal 15-16

17 Ahmadi Miru, Hukum dan Kotrak Perancangan Kontrak, Cetakan ke-4, (Jakarta :

Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal 2

18 H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Penerbit

(3)

B. Asas-asas dan syarat sahnya perjanjian

Asas-asas dalam hukum perjanjian yaitu: 1. Asas konsensualisme (Consensualisme)

Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapainya tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. Contohnya jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik notaris.19

Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Kesepakatan antara para pihak, lahirnya kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau bisa juga disebut bahwa kontrak tersebut bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak.20

Asas konsensualime dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.

21

19 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 29 20 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 3

(4)

Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang – undang.22

Asas konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) tertentu, maka diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.23

22 Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan Berkontrak, (Bandung :

CV Utama, 2003), hal.27

(5)

2. Asas kekuatan mengikat (verbindende kracht der overeenkomst)

Para pihak harus memenuhi apa yang telah disepakati dalam perjanjian yang telah dibuat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu perjanjian hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.24 Para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para pihak.25 Orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.26 3. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum perjanjian dan tidak berdiri sendiri, hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas hukum perjanjian yang lain, secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya bebas menentukan apakah ia akan

24 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 30-31 25 Johanes Ibrahim, Op.Cit, hal 92

(6)

melakukan perjanjian atau tidak, bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian, bebas menentukan isi atau klausul perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian dan kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.27

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontak tersebut.28 Pihak-pihak bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.29

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa“ dan dengan “siapa” perjanjian ini diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian kebebasan adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia.30

Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak untuk membuat dan mengadakan perjanjian serta untuk menyusun dan membuat kesepakatan

27

Ibid., hal 4

28 Munir Fuady, Op.Cit, hal 12 29 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 31

30Mariam Darus Badrulzman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, (Bandung : PT

(7)

atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.31

Adanya kebebasan untuk sepakat tentang apa saja dan dengan siapa saja merupakan hal yang sangat penting. Sebab itu pula, asas kebebasan berkontrak dicakupkan sebagai bagian dari hak-hak kebebasan manusia. Kebebasan berkontrak sebegitu pentingnya, baik bagi individu dalam konteks kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas kehidupan kemasyarakatan serta untuk menguasai atau memiliki harta kekayaannya.

Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum maupun kesusilaan.

32

4. Asas Keseimbangan (Evenwichtsbeginsel)

Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang di satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.33

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur

31 Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal 275 32 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 31-32 33

(8)

mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.34

Sah atau tidaknya perjanjian dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :35

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing – masing syarat tersebut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikat dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.36

34 Johanes Ibrahim, Op.Cit, hal 93 35 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 73 36 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal 205

Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”.

(9)

Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi.37

Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.38Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu atau diam-diam. Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik.39 b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.40 Untuk mengadakan kontrak, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap menurut hukum.41

37

Herlien Budiono, Op.Cit, hal 73

38 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit. hal 25 39 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 14

40 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal 208 41

Kecakapan adalah ketentuan umum, sedangkan ketidakcakapan merupakan pengecualian darinya. Terminologi yang digunakan undang-undang, kecakapan (bekwaamheid) dan ketidakcakapan (onbekwaamheid) harus dimaknai secara berbeda dari arti umum yang diberikan padanya dalam pergaulan sehari-hari

(10)

dan juga tidak merujuk pada sifat seseorang. Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami konsekuensi tindakan-tindakannya.42

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang – undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang – orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang – orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.43

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.44Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur.45 Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang-barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian.46

42

Herlien Budiono, Op.Cit, hal 103

43 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal 25 44Ibid., hal 210

45 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 107 46 H. Riduan Syahrani, Op.Cit, hal 210

(11)

d. Suatu sebab yang halal

Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.47Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.48 Kausa yang palsu dapat terjadi jika suatu kausa yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atau kausa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah terjadi kekeliruan terhadap kausanya.49

Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.50

C. Jenis-jenis perjanjian

Jenis perjanjian yang dimasud adalah perjanjian yang bukan merupakan perjanjian yang bersahaja atau perjanjian yang dapat dilaksanakan dengan mudah karena para pihak hanya terdiri atas masing-masing satu orang dan objek perjanjiannya pun hanya satu macam dan lain-lain yang terkait dengan perjanjian tersebut serba bersahaja.51

47

Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 30

48 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal 211 49 Herlien Budiono, Op.Cit, hal 112

50 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 26 51

(12)

Perjanjian dapat dibagi menjadi enam jenis yaitu: 1. Perjanjian bersyarat

Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1267 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perjanjian hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perjanjian menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Perdata).52 Perjanjian bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi.53

a. Syarat yang menangguhkan

Ada dua macam syarat dalam perjanjian bersyarat, yaitu :

Perjanjian dengan syarat menangguhkan adalah perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan sampai syaratnya terpenuhi. Perjanjian dengan syarat batal adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak terjadi suatu perjanjian.54

Apabila syarat "peristiwa" yang dimaksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (Pasal 1263 KUHPerdata). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban debitur untuk berprestasi segera dilaksanakan.

52 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika Offset,

2002), hal 175

53 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 53 54 Salim HS, Op.Cit, hal 176

(13)

Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi.55

b. Syarat batal

Perjanjian bersyarat hanya disyaratkan pada suatu perjanjian yang mungkin terlaksana, sedangkan yang tidak dapat dilakukan, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan undang-undang adalah batal demi hukum artinya bahwa perjanjian itu dari semula dianggap tidak ada.56

Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi.57

2. Perjanjian dengan ketetapan waktu

Perjanjian dengan ketetapan waktu diatur dalam Pasal 1268 sampai dengan Pasal 1271 KUHPerdata. Yang disebutkan dengan perjanjian dengan ketetapan waktu adalah suatu perjanjian yang ditangguhkan pelaksanaannya sampai pada waktu yang ditentukan.58Perjanjian dengan ketetapan waktu ini tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya perjanjian, melainkan menangguhkan pelaksanaan perjanjian.59

55

Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 53

56 Salim HS, Op.Cit, hal 177 57 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 53 58 Salim HS, Op.Cit, hal 178 59

Keuntungan perjanjian dengan ketetapan waktu adalah membantu pihak si berutang, karena ia dapat menangguhkan pelaksanaan utangnya/prestasinya sampai waktu yang

(14)

ditentukan.60Penetapan waktu tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu dianggap selalu dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali kalau secara nyata jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur. Penetapan jangka waktu pembayaran suatu utang memang pada umumnya diketahui dibuat untuk kepentingan debitur, tetapi mungkin saja jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur.61

3. Perjanjian alternatif

Perjanjian mana suka atau alternatif diatur dalam Pasal 1272 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1277 KUHPerdata. Dalam perjanjian alternatif, debitur dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu di antara prestasi yang telah ditentukan. Di sini alternatif didasarkan pada segi sisi dan maksud perjanjian.62

Dalam hal terjadi perjanjian mana suka ini, debitur diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam perjanjian. Hak untuk memilih dalam perjanjian mana suka ini selalu dianggap diberikan kepada debitur, kecuali kalau secara tegas hak memilih terebut diberikan kepada kreditur.63

4. Perjanjian tanggung renteng

Perjanjian tanggung renteng diatur dalam Pasal 1278 KUHPerdata dan 1295 KUHPerdata. Perjanjian tanggung renteng adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan dengan satu orang kreditur, dimana salah satu dari debitur itu telah membayar

60 Salim HS, Op.Cit, hal 179 61 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 55 62 Salim HS, Op.Cit, hal 180 63 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 56

(15)

utangnya pada kreditur, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari utang.64

Suatu perjanjian dikatakan tanggung menanggung jika dalam perjanjian tersebut terdiri atas beberapa orang kreditur dan dalam perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan bahwa masing-masing kreditur berhak untuk menagih seluruh utang atau pembayaran seluruh utang kepada salah seorang kreditur akan membebaskan debitur pada kreditur lainnya.

65 5. Perjanjian dapat dibagi dan tak dapat dibagi-bagi

Perjanjian dapat dibagi dan tak dapat dibagi diatur dalam Pasal 1296 KUHPerdata sampai dengan 1303 KUHPerdata. Perjanjian dapat dibagi adalah suatu perjanjian di mana setiap debitur hanya bertanggungjawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya. Masing-masing kreditur hanya berhak menagih sebesar bagiannya saja. Jadi, di sini barang atau harga yang menjadi objek prestasi memang sesuai untuk dibagi-bagi.66

Pembagian atas perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, bagi debitur dan kreditur, semua perjanjian pelaksanaannya dianggap tidak dapat dibagi karena hal dapat dibaginya suatu prestasi perjanjian hanya berlaku bagi Dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah tergantung dari apakah barang nya dapat dibagi atau tidak serta penyerahannya dapat dibagi atau tidak. Meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan sifatnya dapat dibagi, tetapi jika penyerahan atau pelaksanaan perbuatan itu tidak dapat dilakukan sebagian-sebagian, maka perikatan itu harus dianggap tidak dapat dibagi.

64 Salim HS, Op.Cit, hal 181 65 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 57 66

(16)

ahli waris kedua belah pihak yang tidak dapat menagih utangnya atau tidak berkewajiban membayar utangnya melainkan hanya untuk bagian masing-masing ahli waris. Hal yang sama berlaku bagi orang yang mewakili debitur atau kreditur.67

6. Perjanjian dengan ancaman hukuman

Perjanjian dengan ancaman hukuman diatur dalam Pasal 1304 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1312 KUHPerdata. Perjanjian dengan ancaman hukuman adalah suatu perjanjian di mana seseorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perjanjian diwajibkan melakukan sesuatu manakala perjanjian itu tidak dipenuhi.68 Ancaman hukuman merupakan suatu klausul perjanjian yang memberikan jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi dan ketika debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu.69

D. Akibat hukum perjanjian

Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut Pasal 1338 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikan halnya jika melanggar suatu perjanjian maka sama seperti melanggar suatu undang-undang yang mempunyai suatu akibat hukum tertentu berupa sanksi-sanksi seperti yang telah ditetapkan pada undang-undang.

Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Serta harus dilaksanakan dengan

67 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 60 68 Salim HS, Op.Cit, hal 183 69 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 61

(17)

itikad baik. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan antara para pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian juga haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw atau bona fide atau good faith), demikian yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “pembuatan”) dari suatu perjanjian yang harus beritikad baik. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.70

Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati karena perjanjian menurut kebanyakan dari kebiasaan masyarakat adalah dalam bentuk tertulis. Setiap perjanjian menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban, sehingga setiap perjanjian mempunyai akibat hukum hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata yaitu “tiap-tiap perikatan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu apabila yang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya rugi dan bunga”. Penegasan tentang akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila yang berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap

(18)

melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.71

Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak, maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama. Dengan demikian, akibat hukum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPerdata dijelaskan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.72

Perjanjian bukanlah perikatan moral tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali apabila

71 Aulia Muthiah, Op.Cit, hal 74

72

(19)

telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.73 Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang.74 Sebenarnya akibat hukum perjanjian merupakan pelaksanaan dari isi perjanjian itu sendiri. Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, namun juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diwajibkan oleh kebiasaan, kepatutan dan undang-undang.75

Pasal 1234 KUH Perdata bahwa “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Memberikan sesuatu adalah menyerahkan suatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, hibah. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan berupa membangun gedung. Kemudian dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya debitur tidak boleh melakukan aktivitas berjualan selama

E. Wanprestasi/pembelaan debitur yang wanprestasi

73 Alfa Sidharta Brahmandita.Tinjauan Teoritis - Sah dan mengikatnya, Program Studi

Fakultas Hukum. (Depok: FH UI, 2010), hal 48

74 Mellyana, Hukum Perjanjian, melalu

(20)

perikatan berlangsung, jika perbuatan debitur berlawanan maka ia bertanggung jawab karena telah melanggar ketetapan.76

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.77 Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, debitur dianggap telah melakukan ingkar janji.78

Dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu perjanjian perlu dijaga prinsip umum berlakunya hukum perjanjian. Dengan demikian antara hak dan kewajiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan kewajiban tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak, maka terjadi konflik kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi. Apabila terjadi ingkar janji atau wanprestasi diperlukan instrumen hukum perjanjian untuk menyelesaiannya bahkan penyelesaiannya memerlukan putusan hakim.79 Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.80

2. 76Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal 199

77 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan

Ketuju, (Jakarta : Penerbit Kencana, 2014), hal 41

78

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal 53

79 Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Cetakan Kedua,

(Jakarta : Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, 2012), hal 50-77

80 J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung :

(21)

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.81 Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian. R. Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.” 82

Pengertian umum mengenai wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”.83 Wanprestasi sebagai “ketiadaan suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam hukum perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.84 Perkataan wanprestasi sering juga dipadankan pada kata lalai atau alpa, ingkar janji, atau melanggar perjanjian, bila saja debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.85 Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.86

81 R. Subekti, Op.Cit, hal. 45. 82Ibid.,

83

Handri Raharjo, Op.Cit, hal 40

84 Wirjono Prodjodiko, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Mandar Maju,

2011), hal 38

85 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal 18 86

(22)

Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.87

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengingatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.88

Ketentuan lain dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagai

87Ibid., hal. 28.

88 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra

(23)

undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik”. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan, bahwa perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak adalah mengikat untuk pihak-pihak yang melakukan perjanjian pemborongan dan akan membawa akibat hukum bagi keduanya. Menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini telah memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian, para pihak dapat menciptakan sendiri bentuk dari perjanjian asalkan perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian, supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa adanya pelaksanaan dalam suatu perjanjian, yaitu :

a. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1234 KUHPerdata).

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241 KUHPerdata). c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUHPerdata).

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu

(24)

perjanjian tidak dapat kembali selain dengan kata sepakat diantara para pihak atau kerena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pekerjaan tersebut.

Pelaksanaan pekerjaan kemungkinan timbul wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikian, berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian kerugian atau pemenuhan. Pada umumnya wanprestasi baru terjadi apabila salah satu pihak dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada bila salah satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka salah satu pihak dipandang perlu untuk memperingatkan atau menegur agar segera memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie.

Pada dasarnya, tidak semua kerugian yang dimintakan penggantian. Undang-undang menentukan, bahwa kerugian yang harus dibayar sebagai akibat dari wanprestasi, adalah sebagai berikut :

1) Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut Pasal 1247 KUHPerdata, bahwa debitur harus diwajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.

(25)

2) Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi. Menurut Pasal 1248 KUHPerdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam, yaitu : (a) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

(b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

(c) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlamat.

(d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.89 Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:90

1.3 Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari 1.1 Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi, disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

1.2 Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata)

89 R. Subekti, Op.Cit, hal. 43

90 Romadijawis, Ketentuan-Ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Kontrak Bisnis

(26)

pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

1.4 Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.

Pihak yang wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan pembelaan untuk membebaskan diri dari akibat buruk karena wanprestasi tersebut. Pembelaan tersebut dapat berupa :

a.1 Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena keadaan memaksa (overmacht atau force majeure)

Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Keadaan terpaksa (overmacht) tidak memenuhi perjanjian merupakan keadaan terpaksa yang mutlak, dapat pula yang bersifat relatif. Keadaan terpaksa yang bersifat mutlak kalau memang tidak ada kemungkinan lagi untuk memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut. Keadaan terpaksa yang bersifat relatif, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut, tetapi karena suatu keadaan menyebabkan penyerahan tersebut terhambat.91

91 Ahmad Miru, Op.Cit, hal 76

(27)

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi debitur untuk berprestasi, halangan tersebut timbul di luar salahnya para pihak dalam perjanjian.92

Keadaan memaksa yaitu suatu keadaan diluar kekuasaan pihak debitur, yang menjadi dasar hokum untuk memanfaatkan kesalahan pihak debitur.

93 suatu keadaan memaksa biasanya di dalam perjanjian disebutkan secara khusus sehingga apabila peristiwa yang disebutkan di dalam perjanjian tersebut terjadi maka debitur tidak berkewajiban member ganti rugi.94

Dengan pembelaan ini, debitur mengajukan bukti di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua belah pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya.

a.2 Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus)

95

Masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut bertindak sebagai kreditur dan debitur. Tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Karena itu tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain Pada kondisi ini seorang debitur sama sekali tidak melaksanakan atau memenuhi prestasinya sehingga menimbulkan kerugian bagi kreditur/orang lain. Dalam ketidakmampuannya memenuhi prestasinya ini debitur harus membuktikan bahwa dia tidak memenuhi prestasinya itu.

92

Hari Saherodji dalam J. Satrio, Op.Cit, hal 102

93 Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis,

(Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), hal 17

94Ibid., hal 18 95

(28)

sedangkan pihak itu sendiri dalam keadaan wanprestasi. Oleh karena itu, pihak yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggung jawabannya atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang disebut exceptio non adimpleti contractus.96

Pembelaan debitur yang berupa pelepasan hak dapat diajukan jika si keditur telah melepaskan haknya untuk menuntut kepada si debitur.

a.3 Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking).

97

Tindakan wanprestasi membawa konsekuesi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk menuntut ganti rugi. Sehingga oleh hukum diharapkan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

98

Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditor dengan debitur.99

F. Berakhirnya suatu penjanjian

Cara berakhirnya perjanjian diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Berakhirnya perjanjian adalah selesainya atau hapusnya sebuah perjanjian yang diadakan antara dua pihak.100

1. Pembayaran

Dalam Pasal 1381 KUHPerdata ditentukan sepuluh cara berakhirnya perikatan, kesepuluh cara itu, adalah sebagai berikut :

96 Ridwan Syahrani, Op.Cit, hal 89 97

Ahmad Miru, Op.Cit, hal 78

98 Sri Hartati Samhadi , ”Itikad baik dalam kebebasan berkontrak

blogspot .com, di akses tanggal 7 April 2016.

99 Salim HS, Op.Cit, hal 181 100Ibid, hal 187

(29)

Pembayaran adalah setiap perlunasan perikatan. Pada umumnya dengan dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi adakalanya perikatannya tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula (subrogasi).101

Pembayaran harus dilakukan dengan menyerahkan uang sedangkan menyerahkan barang selain uang tidak disebut sebagai pembayaran, tetapi pada bagian ini yang dimaksud dengan pembayaran adalah segala bentuk pemenuhan prestasi.102 Pembayaran menyebabkan perikatan mengenai pembayaran hapus, tetapi persetujuan jual beli belum sebab perikatan mengenai penyerahan barang belum berakhir atau belum dilaksanakan.103 Pembayaran adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah pembayaran. Terjadinya pembayaran, maka perjanjian terlaksana di antara para pihak.104

2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Istilah penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Si berpiutang sudah bebas dari utangnya apabila segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.

101 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Putra A. Bardin Press, 1999),

hal 107

102 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 87

103 Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kuntrak & Penyelesaian Sengketa dari Perspektif

Sekretaris, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal 22

(30)

Contohnya adalah kreditur dapat mengajukan penawaran kepada debitur untuk menitipkan barang kepada pengadilan ketika debitur menolak untuk melakukan pembayaran.105

Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan uang atau barang di pengadilan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal penawaran itu dilakukan berdasarkan undang-undang dan apa yang dititipkan itu merupakan atas tanggungan si kreditur.106Penawaran pembayaran tunai hanya mungkin dilakukan terhadap bentuk perjanjian sejumlah uang atau dalam bentuk perjanjian menyerahkan suatu benda bergerak, sedangkan yang tidak dapat dilakukan pembayaran tunai diikuti penitipan yaitu benda tidak bergerak dan objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan.107

Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan adalah salah satu cara menghapuskan perikatan. Penawaran pembayaran tunai belum membebaskan debitur dari perikatannya. Suatu pembebasan terjadi apabila penawaran tunai diikuti dengan penitipan dari benda atau uang yang diserahkan ke pengadilan negeri. Penawaran yang diikuti oleh penyimpanan berkekuatan sebagai pembayaran dan karena itu penghapusan perikatan. Apa yang dititipkan tersebut adalah atas tanggungan kreditur. Untuk sahnya penitipan tersebut, diperlukan adanya penerimaan dari kreditur ataupun keputusan hakim yang mengatakan sah bahwa penawaran dan penitipan tersebut telah mempunyai kekuatan mutlak. Biaya-biaya yang timbul dari

105

tanggal 28 Mei 2016

106 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 96 107 Salim. H.S., Op.Cit, hal 192

(31)

penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan ini dipikul oleh kreditur. Walaupun penerimaan barang/uang simpanan itu belum diambil kreditur, perikatan belum hapus, tetapi penawaran itu sendiri sudah mempunyai akibat hukum, yaitu debitur semenjak itu tak dapat dinyatakan lalai.108

3. Pembaharuan utang

Pembaharuan utang diartikan sebagai perjanjian yang menggantikan perikatan yang lama dengan perikatan yang baru. Penggantian tersebut dapat terjadi berkenaan dengan salah satu pihak, yakni kreditur atau debitur, ataupun terjadi pada objek perjanjiannya.109 Pembaharuan utang adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.110

Pembaharuan utang ini juga hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang cakap menurut hukum untuk melakukan kontrak dan pembaruan ini harus tegas ternyata dari perbuatannya dan tidak boleh terjadi hanya dengan persangkaan.111Pembaharuan utang ini hanya dapat terjadi apabila dengan persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.112Jika terjadi pembaharuan utang antara kreditur dengan salah seorang yang berutang secara tanggung menanggung, hak-hak istimewa serta hipotek (hak tanggungan) tidak dapat dipertahankan, kecuali terhadap barang-barang debitur yang melakukan pembaharuan utang.113

108 Mariam Darus Badrulzman, Op.Cit, hal 171 109

Herlien Budiono, Op.Cit, hal 177

110 Salim. H.S. Op.Cit, hal 193 111 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 99

112Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 138 113

(32)

debitur lama, maksudnya suatu akta tidak diperlukan. Kreditur berhak untuk membebaskan debitur lama dari perikatannya.114

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

Penjumpaan utang ini adalah akibat dari suatu keadaan.115Perjumpaan utang atau kompensasi ini terjadi jika antara dua pihak saling berutang antara satu dan yang lain sehingga apabila utang tersebut masing-masing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan bebas dari utangnya. Perjumpaan ini hanya dapat terjadi jika utang tersebut berupa uang atau barang habis karena pemakaian yang sama jenisnya serta dapat ditetapkan dan jatuh tempo. Walaupun telah disebutkan bahwa utang tersebut harus sudah jatuh tempo untuk dapat dijumpakan, namun dalam hal terjadi penundaan pembayaran, tetap saja dapat dilakukan perjumpaan utang.116

Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang berutang dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain. Elemen-elemenya adalah utang-utang itu bersama-sama, bertimbal balik dan untuk suatu jumlah yang sama.

117 5. Percampuran utang

Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan.

114 Mariam Darus Badrulzman, Op.Cit, hal 172 115Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 143 116 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 101-102

(33)

Percampuran utang adalah akibat dari keadaan maka dengan sendirinya utang hapus.118 Pada umumnya pencampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli waris dari kreditur tersebut.119

Percampuran utang dengan sendirinya akan menghapuskan tanggungjawab dari penanggung utang. Apabila percampuran utang terjadi pada penanggung utang, tidak dengan sendirinya menghapuskan utang pokok. Percampuran utang terhadap salah seorang dari piutang tanggung menanggung tersebut tidak dengan sendirinya menghapuskan utang kawan-kawan berutangnya.120 Pencampuran utang pada diri berutang utama berlaku juga bagi keuntungan penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri penanggung utang tidak menghapuskan utang pokok.121

6. Pembebasan utangnya

Biasanya suatu pembebasan utang membayangkan suatu pembuatan dengan percuma (om niet) akan tetapi ada kalanya suatu pembebasan utang terjadi berhubungan dengan suatu keuntungan.122

Pembebasan utang bagi kreditur tidak dapat dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan karena jangan sampai utang tersebut sudah cukup lama tidak ditagih, debitur menyangka bahwa terjadi pembebasan utang. Hanya saja pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur. Maka, hal itu sudah merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya bahkan terhadap orang lain yang turut berutang secara tanggungjawab

118

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 147

119 Salim. H.S. Op.Cit, hal 197 120 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 104

121 Mariam Darus Badrulzman, Op.Cit, hal 150 122

(34)

menanggung.123 Keabsahan suatu pembebasan utang harus didukung oleh alat bukti. Pembebasan utang ialah perbuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.124

7. Musnahnya barang yang terutang

Jika suatu barang tertentu yang dijadikan objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, hapuslah perikatannya, kecuali kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan debitur atau debitur telah lalai menyerahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.125Musnahnya barang terutang adalah hancurnya, tidak dapat diperdagangkan atau hilangnya terutang, sehingga tidak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak ada. Syaratnya, bahwa musnahnya barang itu di luar kesalahan debitur dan sebelum dinyatakan lalai oleh kreditur.126Apabila benda yang menjadi objek dari suatu perikatan musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang maka berarti telah terjadi suatu “keadaan memaksa” atau “force majeure” sehingga undang-undang perlu mengadakan peraturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.127

8. Pembatalan perikatan

Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang.

Pembatalan membawa akibat bahwa para pihak tidak berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya dan apabila (sebagian) prestasi telah dilaksanakan,

123

Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 105

124 Mariam Darus Badrulzman, Op.Cit, hal 188 125Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 106

126 Salim. H.S. Op.Cit, hal 198

(35)

prestasi demikian haruslah dikembalikan atau jika hal itu tidak dimungkinkan, dilakukan pengembalian senilai prestasi yang telah dilakukan.128 Suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu terhadap siapapun. Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tidak dengan mengindahkan cara apapun yang dikehendaki oleh undang-undang secara mutlak.129 Pembatalan kontrak sangat terkait dengan pihak yang melakukan kontrak, dalam arti apabila pihak yang melakukan kontrak tersebut tidak cakap menurut hukum, baik itu karena belum cukup umur atau karena di bawah pengampuan, kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang tidak cakap tersebut.130Istilah batal demi hukum (van rechtswege nietig, null and void) yang tercantum dalam Pasal 1446 KUHPerdata adalah tidak tepat dan yang tepat adalah dapat dibatalkan (vernietigbaar).131

9. Berlakunya syarat batal

Syarat batal adalah suatu yang dipenuhi akan menghapuskan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Biasanya syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik, seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain.132

128

Herlien Budiono, Op.Cit, hal 206

129Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 151 130 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 107

131 Mariam Darus Badrulzman, Op.Cit, hal 193 132

Hapusnya perikatan yang dilakukan oleh berlakunya syarat batal terjadi jika kontrak yang dibuat oleh para pihak adalah kontrak dengan syarat batal dan apabila syarat itu terpenuhi, maka kontrak dengan sendirinya batal, yang berarti mengakibatkan hapusnya

(36)

kontrak tersebut.133 Hal ini berbeda dari kontrak dengan syarat tangguh, karena apabila syarat terpenuhi pada kontrak dengan syarat tangguh, maka kontraknya bukan batal melainkan tidak lahir.134

Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

10. Daluarsa atau lewatnya waktu

135

Kadaluwarsa atau lewat waktu juga dapat mengakibatkan hapusnya kontrak antara para pihak.136

133Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 153 134 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 109 135 Salim. H.S, Op.Cit, hal 201 136 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 110

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif maka dari itu dalam penelitian ini akan menggambarkan secara rinci tentang Implementasi Peraturan

Setelah makan siang check out dari hotel untuk kemudian menuju Abyar Ali terlebih dahulu (untuk miqat umrah) dan melanjutkan perjalanan menuju kota Makkah Al

Empat ratus dan lima ratus tahun yang lalu, Machiavelli pernah berkata, “Tidak ada yang lebih sukar untuk dilakukan, lebih membahayakan untuk dilakukan atau lebih tidak pasti

Hasil dari diskusi bersama pemuda dan masyarakat Peneleh mereka sepakat akan menghidupkan kampung mereka melalui keberadaan napak tilas HOS.Cokroaminoto masyarakat bisa

Hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II ini mencapai tingkat 100% jadi sudah dapat dikatakan tuntas, untuk itu tidak perlu lagi diadakan pembelajaran pada siklus

Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu

Dengan demikian berdasarkan gambar dan penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap PT yang didalamnya terdapat modal asing, baik karena pengambilan saham pada saat

Dalam hal perhitungan pengembalian pembayaran retribusi wajib retribusi dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala.. 81 daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh