• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA TRADISI PERANG API DI PURA LUHUR DUASEM, DESA SUBAMIA KABUPATEN TABANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA TRADISI PERANG API DI PURA LUHUR DUASEM, DESA SUBAMIA KABUPATEN TABANAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA TRADISI PERANG API DI PURA LUHUR DUASEM, DESA SUBAMIA KABUPATEN TABANAN

THE MEANING OF FIRE WAR TRADITION IN LUHUR TEMPLE DUASEM SUBAMIA VILLAGE TABANAN REGENCY

I Ketut Sudharma Putra

Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT Jln. Raya Dalung-Abianbase No.107 Badung, Bali

Telp. (0361) 439547, Fax. (0361) 439546 E-mail : markum_diva@yahoo.co.id

HP. 08123658471

Naskah diterima 19 Maret 2014, diterima setelah perbaikan 25 Juni 2014, disetujui untuk dicetak 20 Juli 2014

ABSTRAK

Tradisi perang api merupakan salah satu tradisi yang ada di provinsi Bali.Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di beberapa desa di Bali, salah satu di antaranya, dilaksanakan di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, serta teknik pengumpulan data berupa : observasi, wawancara, dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tradisi perang api yang dilaksanakan di pura Luhur Duasem, sudah dilaksanakan sejak jaman dahulu, dan merupakan warisan nenek moyang. Tradisi perang api, dilaksanakan pada hari anggara kasih tambir nuju purnama (perhitungan berdasarkan kalender Bali). Sebelum acara pelaksanaan, dilakukan persiapan terlebih dahulu, seperti : persiapan berbagai sarana dan prasarana, membentuk kelompok, serta mempersiapkan tempat untuk penyelenggaraan tradisi. Pelaksanaan tradisi perang api, mengandung makna bagi kehidupan masyarakat, khususnya bagi masyarakat pendukungnya. Adapun makna pelaksanaan tradisi perang api, antara lain; makna kesejahteraan, makna sosial, dan makna budaya.

Kata Kunci : tradisi perang api, pura Luhur Duasem

ABSTRACT

Fire war tradition is one of traditions in Bali province. This tradition iscarried out by people in several villages in Bali, one of those villageis Luhur temple Duasem, in Subamia village Tabanan regency. This study uses qualitative methods, and the data collection techniques are observation, interviews, and library research. The results showed, the fire war tradition in Duasem Luhur temple, has been carried out since ancient times, and is the ancestral heritage. The tradition of fire war held on anggara kasih tambir on the fall of full moon (based on the Balinese calendar calculation). Before the tradition begin, there are some preparations in advance, such as: preparation of a variety of facilities and infrastructure, to form groups and prepare the location of tradition. The Implementation of fire war tradition has meaning in people’s life, especially for the supporters society. The meaning of fire war tradition are the meaning of prosperity, the meaning of social, and the meaning of cultural.

Keywords: fire war tradition, Duasem Luhur temple A. PENDAHULUAN

(2)

orang dari generasi-generasi mulai usaha individu dan kelompok (Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, dalam Sobuwati, 2010 : 32).

Salah satu unsur budaya adalah tradisi, yang telah diwarisi oleh warga masyarakat secara turun-temurun. Hubungan antara tradisi dengan masyarakat pendukung kebudayaan, mempunyai hubungan timbal balik, di mana keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tradisi tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan, sebaliknya tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut (Pudentia, 2013 : 4).

Pengertian tradisi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa tradisi adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan ajaran) yang turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi mengandung pengertian hampir sama dengan kata tradisional. Kata tradisional dapat diartikan :1) Bersifat turun-temurun (tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian, upacara, dsb); 2) Menurut adat; upacara; upacara (menurut) adat (Poerwadarminta, 2007: 1293).

Sehubungan dengan konsep budaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, khusus budaya yang dinyatakan sebagai budaya tradisional, merupakan budaya bangsa yang telah diwariskan secara turun-temurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian, upacara dsb. Kebudayaan tersebut bagi masyarakat pendukungnya dapat difungsikan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa yang lalu. Mengingat fungsi yang dimilikinya, maka perlu dilakukan pelestarian terhadap kebudayaan yang sifatnya berkelanjutan (sustainable). Pelestarian akan dapat sustainable jika berbasis pada masyarakat pendukungnya, kekuatan lokal, kekuatan

swadaya. Untuk itu sangat dibutuhkan sekali dukungan semua pihak, agar ikut berpartisipasi terhadap pelestarian budaya (Gustanto, 2012 : 44).

Pelaksanaan tradisi dalam masyarakat, dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan suatu tradisi memiliki makna penting bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat pendukungnya. Mengingat tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan Bali pada khususnya cukup banyak, maka pada kesempatan ini hanya akan dipaparkan salah satu di antara sekian banyak yang ada, yaitu tradisi perang api. Tradisi ini dilakukan di beberapa daerah di Bali, termasuk salah satunya di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan, Bali.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, serta teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan kepustakaan. Sedangkan teori yang dipakai sebagai acuan adalah teori-teori yang berorientasi kepada upacara relegi. Seperti teori W. Robertson Smith tentang upacara bersaji. Sebuah teori mengenai azas-azas relegi, yang mendekati masalahnya dengan cara yang berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya, yang berorientasi kepada keyakinan relegi maupun sikap manusia terhadap yang gaib. Perbedaan itu terletak pada teorinya, yang tidak berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari relegi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Antara karya-karyanya, ada sebuah yang penting dalam hubungan dengan teorinya di atas, yaitu buku yang berjudul Lectures on Religion of the

Smites (1889) yang sebenarnya merupakan suatu

ceramah mengenai topik itu (Koentjaraningrat, 2010 : 67). Dengan menggunakan metode dan teori seperti yang telah dikemukakan di atas, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada umumnya, dan masyarakat pendukung tradisi

(3)

B. PEMBAHASAN

Lickona, dalam Sudikan, 2013: 24, berpendapat bahwa ada dua nilai moral utama yang sifatnya universal. Dua nilai moral utama yang bersifat universal tersebut, yaitu (1) sikap hormat, dan (2) bertanggung jawab. Nilai-nilai rasa hormat dan bertanggung jawab sangat diperlukan untuk : (1) pengembangan jiwa yang sehat, (2) kepedulian akan hubungan interpersonal, (3) sebuah masyarakat yang humanis demokratis, (4) dunia yang adil dan damai. Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan terhadap harga diri orang lain ataupun hal lain selain diri kita. Sedangkan tanggung jawab menekankan pada kewajiban positip untuk saling melindungi satu sama lain. Tanggungjawab merupakan sikap saling membutuhkan, tidak mengabaikan orang lain yang sedang dalam keadaan sulit (Sudikan, 2013 : 24).

Nilai-nilai yang dikemukakan di atas, juga tercermin dalam budaya masyarakat Bali, melalui salah satu pelaksanaan tradisi, yang dinamakan tradisi perang api. Tradisi ini dilaksanakan di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan. Untuk mengetahui berbagai hal terkait dengan pelaksanaan tradisi perang api, akan dijelaskan dalam uraian berikut.

a. Awal Mula DilaksanakanTradisi Perang Api

Bali banyak memiliki tradisi perang api, di antaranya : tradisi perang api yang dilakukan oleh warga masyarakat desa

pekraman Jasri, yang dikenal dengan istilah ter-teran, tradisi perang api yang dilakukan

oleh warga masyarakat desa pekraman Tuban, yang dikenal dengan istilah siat geni, tradisi perang api yang dilakukan oleh komunitas di pura Luhur Duasem yang dikenal dengan istilah

masiwa geni, dan lain-lain. Semua perang api

tersebut di atas, merupakan warisan leluhur, dan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh

terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.

Awal mula pelaksanaan tradisi perang api di pura Luhur Duasem, berdasarkan penuturan pemangku pura Luhur Duasem (mangku Rates), menuturkan bahwa :

“Jaman dahulu sekitar abad ke IX, diceritakan ada seorang tokoh agama yang bernama Ki Dukuh Gerger. Dikisahkan Ki Dukuh Gerger, bertempat tinggal di pura Puseh Kebon Tingguh. Pura Puseh Kebon Tingguh sebelumnya disebut pura Gerger, karena pembangunan pura ini diprakarsai oleh Ki Dukuh Gerger. Ki Dukuh Gerger berasal dari Jawa, yaitu tepatnya dari Karang Pendem (Jawa Tengah), sekitar candi Ceto. Selama tinggal di pura Kebon Tingguh, Beliau mempunyai dua orang putra. Salah satu dari putra Beliau setelah menginjak dewasa, diceritakan pergi meninggalkan tempat kelahirannya menuju arah selatan, dan melintasi beberapa daerah, yakni : Tuak Ilang, Puri Tabanan, Kuum, Kroyo, Pura Bukit, Rak Api, Dalem Merta, dan terakhir tinggal di Aseman (di sekitar lokasi pura Luhur Duasem)”.

Lebih lanjut, jero mangku juga menuturkan bahwa kedatangan putra Ki Dukuh Gerger di Aseman, dapat diketahui berdasarkan sebuah prasasti, dan dalam prasasti tersebut banyak menceritakan mengenai situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Sebagian isi prasasti, dapat dibaca dalam kutipan berikut.

Lah Mah Tah Uh, Lang mang Tang Ung,

Artinya :

Manusia dalam keadaan kurang harmonis,

Manusia dalam keadaan harmonis,

(4)

masyarakat dalam keadaan kurang harmonis (menghadapi berbagai masalah). Kedatangan putra Ki Dukuh Gerger, berusaha memperbaiki kondisi masyarakat, dari kurang harmonis menjadi harmonis (sejahtera). Hal tersebut dapat terwujud, dengan melaksanakan suatu upacara, disertai pelaksanaan perang api. Lebih lanjut, perkembangan masyarakat di sekitar pura Luhur Duasem dapat diketahui berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi berikutnya, yakni : pertengahan abad ke-14, adanya perjalanan suci seorang pendeta yang bernama Ida Betara Sakti Wau Rawuh, dan pada abad ke -16, datangnya seorang dukuh yang berasal dari desa Selat di lereng gunung Tolangkir, lebih dikenal dengan sebutan gunung Agung. Berdasarkan penuturan Informan (mangku Rates), mengatakan bahwa pura Luhur Duasem adalah tempat bertahtanya

Sang Jagat Karana yang diberi sebutan Ida Ratu Bagus Sakti Aseman. Ida Ratu Bagus Sakti Aseman, diberi pula julukan Ida Sang Pasupati. Berdasarkan tutur Sang Hyang Aji Aseman, pengertian kata aseman adalah berasal

dari kata agni (Sang Hyang Siwa Agni). Sang

Hyang Siwa Agni mayoga (bersemadi) untuk ngardi jagat (menciptakan alam semesta).

Dengan demikian, untuk menetralisir Keesaan Beliau, yang telah menciptakan alam semesta ini, masyarakat wajib melaksanakan suatu tradisi yang dinamakan “perang api” (masiwa

geni) yang mempunyai makna menetralisir

kedudukan beliau untuk kembali kepada kesempurnaannya.

Lebih lanjut cerita mengenai pura Luhur Duasem kaitannya dengan perjalanan beberapa orang tokoh agama yang pernah datang ke sana, dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Dikisahkan yang menduduki tahta

kerajaan di Tabanan ialah Ki Gusti Alit Dawuh, yang bergelar Sri Magada Sakti. Pada masa pemerintahan Beliau, datang seorang dukuh dari lereng gunung Tolangkir yang lebih dikenal dengan nama gunung Agung. Ki Dukuh datang diiringi oleh tiga orang pengikut,

dan mendirikan asrama (pedukuhan) di ujung selatan banjar Subamia Kelong. Ki Dukuh taat melakukan tapa, yoga, dan semadi, sehingga beliau mendapat anugrah dari Hyang Bhatara (Dewa) berupa Aji Manik Gni dan Manik Aseman. Oleh karena Ki Dukuh telah dianugrahi ajaran tersebut, maka Beliau mampu dan memiliki waksitabhatin yang luar biasa, sehingga getaran magistik di Aseman dapat ditangkap oleh beliau. Kekuatan magistik spiritual Ki Dukuh di dengar oleh baginda raja Tabanan. Ki Dukuh akhirnya dipanggil oleh raja Tabanan untuk membicarakan dan memilih tempat pemujaan bhatara-bhatari, sebagai tempat untuk memohon kesejahteraan dan kedamaian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ki Dukuh akhirnya memilih dan menetapkan kawasan lahan di Aseman, karena Beliau telah mengetahui dengan pasti sejarah Aseman sejak dahulu, yakni sebagai tempat pasraman Ki Dukuh Sakti Aseman, dan juga tempat Dang Hyang Nirartha melaksanakan tapa, yoga, semadi di bawah pohon poh asem. Di tempat itulahbeliau memusatkan pikiran dengan sikap berdiri, menunggalkan sabda, bayu, idep (perkataan, kekuatan/ tenaga, pikiran), menghadap ke utara. Mengingat tempat ini dipandang tempat yang suci, maka oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, sampai sekarang melaksanakan upacara suci di tempat itu, dan membangun sebuah pura yang dinamakan pura Luhur Duasem”.( Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2013 : 60).

Berdasarkan kutipan di atas, bahwa pura Luhur Duasem, sejak jaman dahulu sudah banyak didatangi oleh tokoh-tokoh agama, serta ada keterkaitannya dengan penguasa (raja) yang berkuasa pada saat itu. Oleh pihak penguasa (raja), pura Luhur Duasem dijadikan sebagai pura kahyangan jagat.

(5)

Demikian mengenai awal mula dilaksanakannya tradisi“ perang api“ di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan. Tradisi ini sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.

b. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Tradisi perang api dilaksanakan pada hari anggara kasih tambir nuju purnama (berdasarkan kalender Bali). Apabila pada hari

anggara kasih tambir tidak bertepatan dengan

bulan purnama, saat itu hanyalah dilaksanakan upacara biasa di pura Luhur Duasem, dan tidak melaksanakan tradisi perang api. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

tradisi perang api merupakan rangkaian dari

pelaksanaan upacara di pura Luhur Duasem. Tradisi ini dikenal pula dengan istilah masiwa

geni.

Tradisi perang api, dipandang dari waktu pelaksanaan, merupakan hari yang sangat baik. Berdasarkan tutur gong besi, dewasa (hari baik), dapat dipandang berdasarkan tempatnya pada uku, dan saptawara. Tradisi perang api yang jatuh pada uku tambir, merupakan dewasa (hari baik). Uku tambir berdasarkan tutur gong

besi, dapat disimak dalam kutipan berikut ini. Janganlah pergi mencari guru, belajar kedyatmikan, mencari musuh, semuanya buruk. Baiknya pergi bergadang, mencari penghidupan, menanam buah-buahan, menancapkan batang pohon, semuanya baik (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2008 : 132).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa uku tambir adalah salah satu uku yang dipandang sangat baik untuk melaksanakan aktivitas, yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Sedangkan hari anggara yang jatuh pada uku

tambir, juga merupakan dewasa (hari baik),

seperti hari anggara kliwon, merupakan hari yang sangat baik untuk menanam buah-buahan,

buruan, dan selalu dalam keadaan rahayu (selamat).

Demikian pula hari Purnama, merupakan hari yang dipandang sangat baik. Berdasarkan

sundarigama, menjelaskan bahwa pada bulan

purnama Sang Hyang Wulan beryoga. Dengan demikian, sang pendeta dan manusia (umat), patutlah melakukan penyucian diri, dengan menghaturkan wangi-wangi, canang biasa, kepada para dewa, dengan menghaturkan air suci dan bunga yang harum (Dinas Kebudayaan Bali, 2008). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tradisi perang api yang dilaksanakan oleh masyarakat di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan, pada hari anggara kasih tambir nuju purnama adalah hari yang sangat baik. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan tempatnya pada uku,

saptawara, serta dilaksanakan saat jatuhnya

bulan purnama. Pada hari itu, merupakan hari yang sangat baik untuk menghaturkan sesajian (persembahan), yang bertujuan untuk memohon

kerahayuan (keselamatan) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Sedangkan mengenai tempat pe-nyelenggaraan tradisi perang api, yaitu di salah satu halaman pura Luhur Duasem, yang dinamakan jaba kelod. Pura Luhur Duasem terdiri atas tiga halaman, yang masing-masing dibatasi oleh penyengker (tembok pembatas). Ketiga halaman pura yang dimaksud yaitu : 1). Jeroan, 2). Jaba tengah, dan 3) Jaba kelod. Pada masing-masing halaman pura terdapat bangunan dan pelinggih pura yang telah diatur posisinya.

Posisi pura Luhur Duasem menghadap ke arah barat, berada di pinggir jalan raya. Pura ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, sehingga dengan mudah dapat dijangkau oleh masyarakat.

c. Tujuan Pelaksanaan

Tujuan dilaksanakan tradisi perang api, adalah untuk memohon kerahayuan jagat

(6)

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca/ Tuhan Yang Maha Esa, supaya memberikan keselamatan kepada umatnya, khususnya berkaitan dengan aktivitas yang mereka lakukan, seperti aktivitas di sawah, kebun, laut (pantai), dan lain-lain. Semua aktivitas yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, selalu berlandaskan pada konsep tri hita karana. Konsep tri hita karana (THK) berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu : tri berarti tiga, hita berarti baik, senang, gembira, lestari, selamat atau sejahtera dan karana berarti sebab, sebab musabab atau lantaran. Jadi tri hita karana berarti tiga penyebab kebaikan, kesejahteraan atau kebahagiaan, yang bersumber dari tiga hubungan yang harmonis, antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam serta makhluk hidup lainnya (Dalem, 2007 : 81). Tradisi

perang api, terakhir dilaksanakan pada tanggal

16 Januari 2014.

d. Pihak-Pihak Yang Terlibat

Masyarakat yang terlibat saat pelaksanaan tradisi perang api jumlahnya cukup banyak, di antaranya :

- Jero mangku pura Luhur Duasem.

Jero mangku pura Luhur Duasem, bertugas sebagai saya (mengatur jalannya prosesi tradisi perang api).

- Permas (pembantu pemangku)

Permas adalah prekanggo (orang yang mempunyai posisi penting, terkait dengan pelaksanaan tradisi perang api. Tugas utama permas adalah mempersiapkan dan mengatur pelaku (pemain). Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai tenaga pelaksana. - Pengempon pura Luhur Duasem.

Pengempon pura Luhur Duasem, berjumlah 92 Kepala Keluarga, dan penyungsungnya sekitar 102 Kepala Keluarga. Pada saat berlangsungnya tradisi perang api, selalu dihadiri oleh keluarga raja dari puri Tabanan. Keberadaan pura Luhur Duasem memiliki

hubungan historis dengan keberadaan puri Tabanan.

e. Tahapan Pelaksanaan - Tahap Persiapan

Sebelum dilaksanakan tradisi perang api pada hari anggara kasih tambir nuju purnama (perhitungan berdasarkan kalender

Bali), masyarakat pengempon pura, wajib untuk melaksanakan upacara pecaruan yang dinamakan panca sanak. Upacara ini dilaksanakan di depan sebuah bangunan pura, yang dinamakan bale kembar. Demikian pula di jeroan (utama mandala) juga dilakukan upacara pecaruan bebek selem (itik hitam). Setelah menghaturkan caru, berdasarkan keterangan informan (mangku Rates), saat itu terjadi ketersinggungan antara ida betara (dewa) yaitu ida betara merah dengan ida

betara hitam, sehingga terjadilah perang api.

Persiapan lainnya yang perlu pula dipersiapkan adalah berupa hidangan makanan, yang terdiri atas : berbagai jenis jajan (kue), daging ayam dan lain-lain. Hidangan jajan (kue) nantinya dibagikan kepada peserta, saat berakhirnya pelaksanaan tradisi perang api. Selain itu perlu pula dipersiapkan tempat untuk penyelenggaraan tradisi perang api.

- Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan tradisi perang api dapat dikatakan mempunyai banyak keunikan. Hal tersebut dapat dilihat mulai dari waktu pelaksanaannya.Tradisi ini dilaksanakan pada hari anggara kasih tambir nuju purnama (bertepatan dengan bulan purnama). Ini menunjukkan bahwa tradisi ini dilaksanakan pada hari tertentu, yang bersamaan dengan peredaran bulan (bulan purnama). Bulan purnama jatuhnya setiap 30 hari sekali. Dengan demikian, hari anggara kasih

tambir, merupakan hari yang dipandang baik,

khususnya bagi masyarakat yang menganut agama Hindu di Bali. Hari ini dipandang hari yang sangat baik untuk melaksanakan

(7)

berbagai kegiatan, khususnya terkait dengan pelaksanaan upacara.

Selain waktu pelaksanaan tradisi perang

api yang di pandang sebagai hari yang sangat

baik, keunikan lainnya dapat diketahui melalui penggunaan sarana dan prasarana. Tradisi

perang api, menggunakan sarana dan prasarana

berupa serabut kelapa, dan berbagai hidangan makanan yang merupakan ciri khas masakan Bali. Hal tersebut sangat menarik untuk disaksaikan oleh penonton (orang yang hadir) dalam acara tersebut. Serabut kelapa ditumpuk dan dibuat dalam dua tempat. Sebelum serabut kelapa dibakar, terlebih dahulu dibentuk dua kelompok, yaitu kelompok merah dan kelompok hitam. Masing-masing kelompok terdiri atas 11 orang dengan menggunakan atribut yang berbeda, yaitu menggunakan pakaian sesuai dengan pembagian kelompoknya. Kelompok merah menggunakan pakaian warna merah, demikian pula kelompok hitam menggunakan pakaian warna hitam. Pakaian tersebut sebelumnya telah dibagikan oleh panitia. Pelaku tradisi perang api adalah para pemedek (orang yang hadir pada saat pelaksanaan tradisi), yang terdiri atas pengemong dan penyungsung pura Luhur Duasem.

Lebih lanjut, tempat penyelenggaraan tradisi, juga sudah disediakan oleh panitia, dengan jarak yaitu 10 meter. Garis pembatas menggunakan tepung beras. Setelah semua persiapan dan perlengkapan selesai dipersiapkan, barulah tradisi perang api dilaksanakan. Masing-masing anggota kelompok mengambil serabut kelapa yang sudah dibakar, kemudian menyerang lawannya. Serabut kelapa dipakai untuk menyerang lawan dengan cara melemparkannya. Pelaksanaan Pelaksanaan tradisi perang api berlangsung kurang lebih 30 menit, serta tidak ada yang menang dan kalah. Tradisi perang api berakhir setelah para pelaku semuanya sadar. Setelah semuanya sadar, barulah mereka berebut

salaran (hidangan makanan) yang sudah

makanan, yang terdiri atas : daging ayam, kue sumping, kue bantal, tipat, dan timus (kue yang terbuat dari ketela pohon). Daging ayam yang disuguhkan adalah daging ayam yang bulunya hitam dan merah, sebelum dipotong. Meskipun mereka berebut, namun tidak ada yang marah. Dalam hal ini semuanya berdoa untuk mencapai

kerahayuan (keselamatan).

Selanjutnya sehari setelah pelaksanaan tradisi perang api, dilaksanakan nyepi (tidak melaksanakan aktivitas), selama satu hari di pura. Saat nyepi, mereka hanya melakukan perenungan mengenai pelaksanaan upacara maupun pelaksanaan perang api yang telah berlangsung. Hal yang menjadi bahan perenungan adalah mengenai kekurangan dan kelebihan pelaksanaan upacara maupun perang

api. Keesokan harinya barulah melakukan

kebersihan di lingkungan pura Luhur Duasem. Membersihkan sampah dan sarana upacara yang sudah tidak berguna.

g. Makna Tradisi Perang Api Bagi Kehidupan Masyarakat Pendukungnya

Pelaksanaan tradisi perang api

mengandung makna bagi masyarakat pen-dukungnya. Adapun makna yang terkandung di dalamnya, yakni : makna kesejahteraan, makna sosial, dan makna budaya.

- Makna Kesejahteraan

Makna kesejahteraan dalam pelaksanaan tradisi perang api, dapat diketahui melalui tujuan pelaksanaannya. Tujuan pelaksanaan tradisi perang api, adalah untuk memohon

kerahayuan jagat (kesejahteraan dan

keselamatan). Melalui pelaksanaan tradisi

perang api, memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca/Tuhan Yang Maha Esa,

supaya Beliau memberikan keselamatan kepada umatnya, serta memberikan perlindungan terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh umatnya, baik di sawah, kebun, Laut (pantai), dan lain-lain. Nilai kesejahteraan dapat pula

(8)

hidangan makanan, berupa: daging ayam, kue sumping, kue bantal, tipat, kue timus, dan lain-lain.

- Makna Sosial

Selain makna kesejahteraan, tradisi perang

api juga mengandung makna sosial, yang dapat

diketahui melalui sejarah pelaksanaan tradisi

perang api. Hal itu dapat diketahui berdasarkan

isi prasasti yang menjelaskan putra Ki Dukuh Gerger dengan ikhlas membantu masyarakat yang keadaannya kurang harmonis (mengalami kesusahan). Putra Ki Dukuh Gerger bersama-sama dengan masyarakat, melakukan sebuah upacara suci disertai pelaksanaan perang

api, yang dapat mengembalikan keadaan

masyarakat seperti keadaan semula. Kondisi masyarakat pada waktu itu, Seperti yang dikatakan oleh informan (mangku Rates), mengatakan sebelum melaksanakan upacara yang disertai dengan pelaksanaan perang api, masyarakat mengalami kekurangan pangan, dan kondisi tersebut dapat berubah setelah dilaksanakannya upacara dan tradisi perang

api. Demikian pula keadaan masyarakat yang

sebelumnya banyak yang sakit, dapat sembuh kembali seperti semula.

- Makna Budaya

Makna budaya yang dapat dipetik melalui pelaksanaan tradisi perang api, adalah tercermin nilai-nilai budaya yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh masyarakat pendukungnya, dalam pergaulan sehari-hari. Nilai-nilai budaya yang tercermin terkait dengan pelaksanaan tradisi perang api, di antaranya : nilai historis, dan nilai persatuan.

a. Nilai Historis

Pelaksanaan tradisi perang api

mengandung nilai historis di dalamnya, yang telah dijelaskan dalam sebuah prasasti. Berdasarkan prasasti yang ada, dijelaskan mengenai kondisi masyarakat pada saat itu, yaitu mengalami berbagai masalah dalam kehidupannya. Mereka berusaha dan berjuang

untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Untuk dapat melepaskan diri dari berbagai permasalahan, mereka melaksanakan suatu upacara, disertai dengan pelaksanaan perang api. Setelah melaksanakan upacara, akhirnya keadaan masyarakat kembali seperti semula.

Selain itu, dalam prasasti juga dijelaskan mengenai kedatangan para tokoh-tokoh agama ke tempat itu (pura Luhur Duasem). Mereka datang memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu berusaha mewujudkan keadaan masyarakat yang lebih sejahtera dan damai. Dengan mengetahui kondisi masyarakat yang kurang harmonis di masa yang lalu, dan telah berjuang untuk dapat mengatasinya, merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di masa sekarang. Pengetahuan tersebut dapat dipakai pedoman oleh masyarakat di masa sekarang, untuk meningkatkan semangat, serta memecahkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. b. Nilai Persatuan

Nilai persatuan dapat diketahui saat berakhirnya pelaksanaan tradisi perang api. Saat berakhirnya pelaksanaan tradisi perang

api, mereka bersatu kembali seperti semula,

meskipun saat berlangsung, mereka saling serang. Namun setelah berakhir, mereka bersatu kembali, dan selanjutnya menyelesaikan tugas-tugas yang mesti dilaksanakan.

Selain nilai persatuan, nilai semangat juga nampak saat pelaksanaan tradisi perang

api. Mereka semangat melakukan penyerangan

yang ditujukan kepada pihak lawan, sampai akhirnya mereka sadar dengan sendirinya.

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa tradisi perang api yang dilaksanakan oleh komunitas di pura Luhur Duasem, desa Subamia, kabupaten Tabanan, merupakan tradisi yang telah diwarisinya secara turun temurun. Tradisi ini dilaksanakan pada hari anggara kasih tambir nuju purnama

(9)

(berdasarkan perhitungan kalender Bali). Tradisi perang api yang dilaksanakan pada hari anggara kasih tambir nuju purnama, merupakan hari yang dipandang sangat baik oleh umat Hindu di Bali, untuk melaksanakan berbagai kegiatan, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara. Pelaksanaan tradisi perang api mengandung makna bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat pendukungnya. Pelaksanaan tradisi perang api, bertujuan untuk memohon kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa,

semoga Beliau menganugrahkan kerahayuan (keselamatan) kepada umatnya. Adapun makna pelaksanaan tradisi perang api yang dilakukan masyarakat di pura Luhur Duasem , desa Subamia, antara lain : makna kesejahteraan, makna sosial, dan makna budaya.

Makna kesejahteraan dapat diketahui pada saat berakhirnya pelaksanaan tradisi perang api. Semua peserta disuguhkan berbagai hidangan makanan, yang sebelumnya dipersembahkan untuk upacara. Hidangan makanan terdiri atas berbagai jenis, di antaranya : daging ayam, kue sumping, kue bantal, tipat, kue timus dan lain-lain. Lebih lanjut mengenai makna sosial dari pelaksanaan tradisi perang api bagi kehidupan masyarakat pendukungnya, dapat diketahui melalui perubahan kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar pura luhur Duasem yang sebelumnya mengalami kekurangan pangan dan banyak yang kondisinya kurang sehat (sakit), secara perlahan-lahan dapat meningkat kesejahteraan hidupnya, demikian pula mengenai kesehatannya, juga dapat pulih kembali.

Selain makna di atas, pelaksanaan tradisi perang api, juga mengandung makna budaya. Makna budaya yang dapat dipetik melalui pelaksanaan tradisi perang api,yakni: nilai historis dan nilai persatuan. Berdasarkan prasasti yang ditemukan, dijelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar pura Luhur Duasem selalu berusaha dan berjuang untuk

disertai dengan pelaksanaan perang api. Dalam prasasti juga dijelaskan mengenai kedatangan tokoh-tokoh agama ke tempat itu (pura Luhur Duasem). Mereka mempunyai tujuan yang hampir sama, yaitu berusaha mewujudkan keadaan masyarakat yang lebih sejahtera dan damai. Sedangkan nilai persatuan nampak saat berakhirnya pelaksanaan tradisi perang api. Meski sebelumnya mereka saling serang, saat pelaksanaan tradisi perang api, namun mereka bersatu kembali seperti sebelumnya.

Sehubungan dengan uraian di atas, mengingat banyaknya manfaat dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pelaksanaan upacara dan tradisi perang api, maka perlu mendapat perhatian yang lebih serius, untuk tetap dijaga dan dipertahankan keberadaannya. Demikian pula, perlu adanya dukungan dan partisipasi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk tetap menjaga warisan budaya bangsa, termasuk salah satunya tradisi perang api, yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dalem, A.A. Gde Raka, 2007. Filosofi Tri Hita Karana dan Implementasinya Dalam Industri Pariwisata.DalamKearifan

Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNUD Denpasar.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2008.

Pedoman dan Kriteria Penilaian Desa Pakraman/Desa adat.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2013. Purana Pura Luhur Duasem, Pradesa Subamia Kelong, Tabanan.

Gustanto, 2012.Kearifan Lokal Masyarakat

Sumatra Utara:Upaya Mempertahankan Tradisi Dalam Lingkungan Yang Berbeda

(Suatu Kajian Strategi Adaptasi). Dalam SUWA Jurnal Sejarah dan Nilai

(10)

Kompas, Selasa 3 Juni 2014, Halaman 1.Perayaan Peh Cun di Cisadane.

Koentjaraningrat, 2010. Sejarah Teori

Antropologi I. Jakarta. Universitas

Indonesia.

Poerwadarminta, 2007. Kamus Umum Bahasa

Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Balai

Pustaka.

Pudentia, 2013. Pendidikan Kajian Tradisi

Lisan Di Indonesia, dalam Mengurai

Tradisi Lisan Merajut Pendidikan Karakter. Bekerjasama dengan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati Tabanan, Bali dengan Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia (ATLI) Bali. Cakra Press.

Sobuwati, Dwi, 2010. Dampak Game Online

Terhadap Remaja Di Kota Batam Tanjung Pinang. Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang.

Sudikan, Yuwana Setya, 2013. Pengetahuan

dan Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lokal Nusantara: Penggalian Nilai-Nilai Kebhinekaan untuk Indonesia Masa Kini dan Masa Depan, dalam Mengurai

Tradisi Lisan Merajut Pendidikan Karakter.Bekerjasama dengan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati Tabanan, Bali dengan Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia (ATLI) Bali. Cakra Press.

Referensi

Dokumen terkait

Transgender di mata hukum. Perlindungan terhadap Transgender mulai dari akar administratifnya pun masih belum jelas di Indonesia. Hal ini berdampak secara struktural

dapat dilakukan oleh antibiotik dan untuk mengetahui apakah suatu antibiotik dapat membunuh jenis mikroba berspektrum luas atau hanya dapat membunuh satu jenis

Makna yang dipadukan dengan warna merah dan kuning memiliki makna tersendiri melalui pandangan dari orang Manado, Tionghoa dan Batak' Orang Manado mengatakan"

Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2015) yang meneliti tentang pengaruh sumber daya manusia, informasi keuangan desa, dan komitmen

Dari hasil simulasi yang dilakukan pada ketiga skenario untuk aplikasi video conference dan VoIP memiliki hasil throughput dengan nilai rata-rata yang hampir sama

Kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris dikembangkan untuk mencapai kompetensi komunikatif yang tidak hanya menguasai keterampilam berbicara, mendengarkan, membaca, dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan media pembelajaran dan upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran

Penambahan glutathione pada medium maturasi ataupun medium kultur dengan konsentrasi yang tepat untuk melindungi embrio dari serangan radikal bebas yang mungkin terjadi saat gamet