• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORAL KATOLIK MENGHADAPI TANTANGAN JAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MORAL KATOLIK MENGHADAPI TANTANGAN JAMAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MORAL KATOLIK

MENGHADAPI TANTANGAN JAMAN

Laurentius Tarpin

Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Abstract:

The cultural, social, industrial and sexual revolution has brought a number of sophisticated and complex moral questions. In this context, how does the Catho-lic Moral teaching respond to? Does the CathoCatho-lic moral teaching change in ac-cordance with great changing social, political, cultural, and medical technol-ogy? The Vatican II has called for reformation in doing theology and especially moral theology, namely theology that is based on and animated by the Scrip-ture and focuses its reflection on the lofty of Christian calling and bearing the fruit of charity for the world. In the light of the Vatican II, moral theology has biblical, Christo-centric and personal character. The Catholic moral theology has demonstrated the significant changes in methodology, sources, its function in the Church life. The historically consciousness approach has made a great shift in understanding of moral truths and its implication in concrete and particular situation. Moral truths subject to revision and correction so that the timeless and absolute formulations of moral truth are put in question. By the way, in Catholic moral teaching, Jesus Christ is the ultimate norm and the model or paradigm of Christian moral life.

Key words: Revolusi kultural, sosial dan seksual, metode deduktif dan induktif, imitatio Christi et imitatio Dei, karakter biblis, Kristosentris.

Berkaitan dengan judul, saya menangkap adanya persoalan krusial, apakah ajaran moral Gereja katolik bersifat statis atau dinamis dalam menghadapi tantangan jaman yang terus berubah? Apakah Gereja menyesuaikan ajaran moralnya seiring dengan perubahan jaman? Kalau Gereja menyesuaikan diri, sejauh mana dan dalam hal apa? Atau apakah Gereja tetap pada posisinya, tidak peduli pada apa yang terjadi di dalam dunia yang melingkunginya? Apakah norma yang dirumuskan dalam situasi dan waktu tertentu, yang dipengaruhi oleh konteks di mana norma itu dibuat, memiliki validitas universal? Apakah memang ada norma uni-versal yang mengikat semua orang dalam situasi apapun? Kalau ada norma

(2)

yang mana? Norma formal atau norma material?1 Apakah memang ada

tindakan-tindakan yang secara intrinsik jahat secara moral (intrinsice malum)?2 Jawaban terhadap persoalan ini dapat kita lihat dalam ensiklik

Veritatis Splendor3 yang merupakan tanggalan Gereja Katolik atas

perdebatan moral pasca Konsili Vatikan II.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi dalam masyarakat. Karena ajaran moral lahir sebagai tanggapan atas pengalaman manusia yang direfleksikan dalam terang iman. Lebih tepatnya, ajaran moral adalah titik temu antara pengalaman manusia dengan kebenaran-kebenaran Injil dan iman yang dapat dijadikan pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan muncul dalam masyarakat. Dalam pembahasan tema ini, saya akan mengurai beberapa persoalan moral dan factor pemicunya, pemahaman tentang teologi moral, perubahan paradigma dalam teologi moral katolik, yang menyangkut metode dan isi, moral katolik sebagai Imitatio Christi et Imitatio Dei4.

1. Persoalan-Persoalan Moral

Kita hidup dalam jaman yang ditandai oleh persoalan-persoalan moral seiring dengan perkembangan di dalam bidang ilmu dan teknologi, dalam bidang bio-medis dan bio-etika. Di samping itu, kita hidup dalam masyarakat yang ditandai oleh budaya kematian, mentalitas hedonistik, utilitarianistik, meterialistik, relativistik, pragmatik, permisif, kebebasan dan otonomi absolut, sikap dan perilaku kontraseptik dan abortif. Saat ini kita juga hidup dalam masyarakat yang hidup dalam situasi seolah-olah Tuhan tidak ada, sehingga semua boleh dilakukan, ada pemisahan antara iman dan moralitas, seolah-olah antara iman dan kehidupan sosio politik dan ekonomi itu tidak ada sangkut pautnya.

Pada saat inipun, kita menyaksikan adanya fenomen terjadinya pemisahan antara kebebasan dan kebenaran, antara hak dan kewajiban. Di samping itu, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan moral yang pelik menyangkut kehidupan seksual, tuntutan kaum homoseks supaya

hu-1 Bdk. Richard M. Gula, What are they saying about moral norms?, Paulist Press, Mahwah, New York 1982, 54-89. bdk. Timothy E. O’Connel, Principles for a Catholic Morality, Harper SanFrancisco Publisher, New York 1990, 174-186.

2 Ibid., 187-189.

3 Yohanes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor no. 74-80, Jakarta: Dokpen KWI 1995. Kataelusmus Gereja Katolik.

4 Bdk. William C. Spohn, What are they saying about scripture and ethics? Paulis Press, Mahwah, New York 1995, 77-93. Bdk. William E. May, Moral Aboslutes, Milwaukee: Marquette Uni-versity Press, 1989

(3)

bungan mereka sebagai “suami istri” dikukuhkan. Lalu bagaimana sikap Gereja terhadap mereka yang mengalami kegagalan dalam hidup perkawinan, apakah situasi perkawinan yang tidak bisa diperbaiki dan membuat orang menderita dan tertekan, tetap harus dipertahankan dengan segala pengorbanan? Apakah mereka yang terpaksa harus mengakhiri perkawinannya yang berat, dapat menikah kembali secara sah? Pada saat inipun ada fenomen bahwa banyak kaum wanita yang tidak menikah, te-tapi menuntut hak untuk mempunyai anak dengan cara apapun. Lalu muncul pertanyaan lain apakah anak itu menjadi obyek keinginan dan produk laboratorium ataukah anak dilihat sebagai anugerah dari Allah? Berkaitan dengan persoalan martabat pribadi manusia dan martabat prokreasi, Konggregasi untuk ajaran iman mengeluarkan dokumen sebagai tanggapan atas kemajuan dalam bidang Bioetika5.

Dalam dunia kedokteranpun banyak persoalan moral yang menuntut jalan keluar, misalnya pasien yang berada dalam status vegetative persisten, apakah pasien tersebut harus terus dipertahankan dengan alasan penghormatan atas hidup manusia dan larangan membunuh? Apakah secara moral dibenarkan melakukan tindakan memperpanjang proses kematian dan memperpanjang penderitaan yang tak tertanggungkan? Apakah diperbolehkan memberikan obat pembunuh rasa sakit dengan akibat mempercepat proses kematian pasien? Bagaimana kita harus bersikap terhadap kasus dilematis di mana ada dua kehidupan yang dipertaruhkan?6

Banyak persoalan moral menuntut kecermatan dan discernment. Ada beberapa factor yang telah memicu persoalan-persolan moral:

Revolusi kultural yang melahirkan ilmu-ilmu eksakta dan ilmu alam yang kemudian memicu perkembangan teknologi dan mendorong penemuan mesin-mesin telah memicu revolusi industri. Pengetahuan manusia tentang hukum alam membawa manusia pada upaya menguasai dan mengeksploitasi alam yang menimbulkan serangkaian persoalan ekologis. Kemampuan manusia untuk menguasai hukum alam juga telah memprovokasi tindakan manipulatif pada kehidupan manusia, pada tubuh dan kehidupan psikis, pada kehidupan sosial dan hukum yang mengatur transmisi kehidupan baru, menjadikan manusia sebagai obyek penelitian yang merendahkan martabat pribadi manusia7. Hal ini dipicu oleh

kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan bioetika.

5 Konggregasi untuk Ajaran Iman, Instruction on Bioethics Respect for Human Life Donum Vitae, Boston: St. Paul Books and Media 1987.

6 Tanggapan Gereja Katolik terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan penyakit terminal dapat dilihat dalam Instruksi tentang Euthanasi. Lihat Kongregasi untuk Ajaran Iman, Pernyataan tenang Euthanasia, (5-5-1980), terjemahan oleh Piet Go, O’Carm, Jakarta: Dokpen KWI 2005. 7 Berkaitan dengan martabat prokreasi dan asal hidup manusia, Kogregasi untuk doktrin

(4)

Berkat kemajuan di bidang ilmu kedokteran dan bioetika intervensi atas hidup manusia semakin masif, hidup manusia diperlakukan sebagai preparat di laboratorium yang siap dijadikan obyek penelitian, nafsu berkuasa manusia pun distimulasi sehingga lahirlah bayi tabung, inseminasi artifisial, intervensi atas embrio manusia, clonning. Semuanya ini membawa serangkaian persoalan moral yang pelik, terutama berkaitan dengan ancaman terhadap hidup manusia. Berhadapan dengan ancaman-ancaman terhadap martabat pribadi dan hidup manusia, maka Gereja sebagai penjaga moral menyerukan suara kenabiannya dengan me-ngeluarkan berbagai eksiklik dan pernyataan yang secara tegas mengkritik dan menghukum berbagai tindakan yang mengancam martabat pribadi manusia8.

Revolusi sosial memunculkan gerakan kebebasan modern yang memperjuangkan hak-hak individu dan pembebasan individu dari setiap bentuk penindasan politik (monarkhi absolute) dan penindasan agama (dogmatisme). Revolusi sosial ini memuncak dalam revolusi Perancis dengan trilogi semboyannya liberte, egalite et fraternite. Ketiga semboyan ini akan telah mendorong manusia untuk memperjuangkan persamaan hak atas dasar kesamaan martabat pribadi manusia. Di samping itu, revolusi Perancis ini mendorong orang untuk membentuk system pemerintahan demokratis yang menghargai dan melindungi hak setiap individu, menghargai pluralitas, menumbuhkan sikap toleran, menegakkan keadilan, mempromosikan partisipasi aktif setiap manusia dalam proses peng-ambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Akan tetapi, revolusi sosial ini juga membawa ekses negatif, yakni individualisme ektrim, imperialisme, totalitarianisme, fasisme, marginaliasi nilai-nilai spiri-tual, marginalisasi agama dan moral, hegemoni budaya dan sistem pemikiran tertentu atas nama universalitas. Di samping itu, berbagai jar-gon kemodernan yang menempatkan subyek manusia pada pusat semesta pada akhirnya membawa dampak destruktif terhadap manusia dan lingkungannya, serta memicu antihumanisme.

Revolusi kultural dan revolusi sosial memicu terjadinya revolusi industri dengan dihasilkannya produksi barang dalam jumlah besar. Inilah cikal bakal kapitalisme modern yang kemudian akan memicu gerakan ekspansi kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan penindasan,

Iman mengeluarkan Instruksi sebagai tanggapan Gereja Karolik atas persoalan moral Inseminasi artifisial. Lihat Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Donum Vitae yang diterbitkan pada tahun 1987.

8 Berhubungan dengan hal ini dapat dilihat dalam dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes no. 27, Deklarasi tentang Abortus Provocatus (1974), Deklarasi tentang Euthanasia (1980), Instruksi tentang Hidup Manusia dan Martabat Prokreasi Donum Vitae (1987), dan Ensiklik Evangelium Vitae (1995)..

(5)

ekploitasi manusia dan sumber daya alam yang melahirkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara terjajah. Kapitalisme yang dimotori oleh liberalisme atau neo-liberalisme telah menjadikan hukum pasar sebagai satu-satunya norma yang mengatur relasi antar individu. Kapitalisme liberal yang menjadikan persaingan bebas, efisiensi dan produktivitas, maksimalisasi profit sebagai motor penggerak, pada akhirnya menggerogoti nilai-nilai kebersamaan, nilai kesetiakawanan dan solidaritas. Yang paling memprihatinkan adalah bahwa kemakmuran di dunia kapitalis ternyata membuat penderitaan, kemiskinan dan ketergantungan di negara-negara dunia III. Keuntungan yang diraup oleh negara-negara kapitalis adalah buah dari penindasan dan ekploitasi para pekerja. Situasi tidak manusiawi sebagai dampak kapitalisme ini telah menggugat kesadaran moral Gereja sebagaimana diungkapkan dalam ensiklik sosial pertama Rerum Novarum dari Paus Leo XIII (1891).

Pada saat ini Neokapitalisme dan Globalisasi telah menghadapkan kita pada serangkaian masalah moral, yakni marginalisasi manusia-manusia yang tidak punya akses secara teknologi dan ekonomi. Dengan demikian, globalisasi pada dirinya sendiri mengandung dilema, con-tradictio in terminis karena globalisasi, selain membawa dampak positif, juga melahirkan exclusivikasi dan marginalisasi. Berkaitan dengan dampak negatif kapitalisme dan globalisasi Gereja membuat kritik atas Kapitalisme sebagaimana dapat kita lihat dalam Rerum Novarum, Quadragesimo Anno, Populorum Progressio, Laborem Exercens, Sollicitudo Rei Socialis, Centesimus Annus9.

Di samping kritik pedas atas Kapitalisme, Gereja juga mengkritik kejahatan moral Sosialisme-Colectivisme marxist karena tidak menghargai kodrat individual manusia, memasung kebebasan individu, menolak nilai-nilai transenden, kekerasan yang dilakukan, mempromosikan kebencian dan perjuangan kelas10. Berkaitan dengan globalisasi, Gereja menekankan

pentingnya nilai-nilai moral: primat pribadi manusia, solidaritas, subsidiaritas, bonum comune, the preferential option for the poor11 yang

harus membimbing Globalisi sehingga mengarah pada globalisasi solidaritas dan kepedulian sosial. Berhadapan dengan dampak negatif globalisasi, Gereja Katolik dalam Ajaran Sosialnya menunjukkan komitmennya untuk berpihak kepada kaum marginal, yakni mereka yang menjadi korban kebijakan sosial, politik, ekonomi dan budaya global. The

9 Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus no. 42. bdk. Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno no. 109.

10 Bdk. Leo XIII, Ensiklik Rerum Novarum no. 3-5. bdk. Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno no. 112.

11 Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine of the Church, Vatican City: Libreria Editrice Vaticana 2004, 91-120.

(6)

preferenial option for the poor dijadikan sebagai kunci hermeneutik untuk membaca realitas, yakni menggunakan perspektif korban. Ini adalah kebaruan radikal yang dihembuskan Gereja12.

Revolusi seksual: Revolusi seksual terjadi pada tahun 60-an juga membawa pengaruh besar pada kehidupan manusia, lebih-lebih menjadi pintu masuk bagi kaum hawa untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Seksualitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang tabu dan memalukan, tetapi sebagai sesuatu yang positif, dipahami sebagai bagian integral eksistensi manusia. Seksualitas mempengaruhi identitas seseorang dan mempengaruhi cara seseorang berada dan berperilaku. Revolusi seksual ini juga membawa orang pada pemahaman bahwa seksualitas adalah urusan pribadi di mana negara tidak boleh campur tangan.

Revolusi ini juga memicu gerakan feminisme yang menggugat segala macam bentuk pemikiran, dan ideologi bias gender, menolak budaya patriarkal. Kaum feminis menuntut perlakuan sama terhadap kaum perempuan. Kaum perempuan menuntut dihargai hak mereka untuk menentukan hidup dan masa depan mereka. Kaum perempuan menuntut haknya untuk meniti karier dan menolak stereotip lama yang mengatakan bahwa perempuan cukup menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak dan suami. Anggapan tersebut tidak lagi berlaku karena tuntutan kesamaan hak dan partisipasi aktif individu dalam mengusahakan kesejahteraan bersama. Pada saat inipun, banyak kaum wanita telah berhasil menempati post-post penting dalam kehidupan publik. Hal semacam ini mem-pengaruhi sikap mereka terhadap seksualitas13. Revolusi seksual yang

dibarengi oleh kemajuan di bidang teknologi kontrasepsi telah membawa orang pada sikap dan mentalitas kontraseptik dan abortif. Membawa orang pada sikap antagonistik pro-life versus pro-choice. Revolusi seksual juga membawa manusia pada titik ekstrem anti-natalitas. Kehamilan dipahami sebagai halangan bagi pengembangan karier. Kehamilan dilihat sebagai kegagalan kontrepsi dan akhirnya menuntut hak untuk melakukan aborsi. Sungguh ironis memang, bahwa apa yang jahat secara moral diklaim sebagai hak.

Pada tahun 60-an juga muncul masalah kependudukan sehingga Gerejapun dituntut untuk memberi tanggapan atas persoalan ke-pendudukan. Persoalan yang krusial adalah persoalan yang berkaitan dengan cara-cara pengaturan kelahiran anak. Apakah diperbolehkan

12 Bdk. Gregory Baum, Amazing Church: A Catholic Theologian Remembers a Half-Century of Change, Maryknoll, New York 2005, 53-82. Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens no. 8; Ensiklik Soliccitudo Rei Socialis no. 41, Ensiklik Centesimus Annus no. 11.

13 Bdk. A Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 1997, 80-104.

(7)

seorang katolik menggunakan kontrasepsi untuk menghindari kehamilan? Apakah metode alamiah merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk mengatur kelahiran anak? Lalu bagaimana Gereja sebagai institusi mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat di lapangan?

Gereja melalui ensiklik Humanae Vitae menegaskan kembali ajaran moral Gereja bahwa moralitas pengaturan kelahiran anak harus dipahami dengan bertolak dari kebenaran dan makna seksualitas dan tindakan perkawinan. Secara kodrati, seksualitas memiliki dimensi unitif, prokreatif dan relasional. Oleh karenanya, setiap tindakan seksual dan perkawinan harus memiliki dimensi unitif, prokreatif (dan relasional)14. Berdasar pada

pemahaman tersebut, maka setiap tindakan seksual yang memisahkan dimensi unitif dari dimensi prokreatif secara moral tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, Gereja menilai bahwa perilaku dan tindakan seksual yang mengecualikan salah satu dari dimensi seksual adalah tindakan im-moral.15

Gereja mendasarkan ajaran moral seksualnya pada tatanan hukum kodrat yang menggarisbawahi kebenaran bahwa setiap kemampuan dan kecenderungan dasar dalam diri manusia memiliki tujuan dan fungsi kodratinya. Akan tetapi, ajaran moral gereja tentang cara pengaturan kelahiran alami tidak sedikit menimbulkan kesulitan di dalam praksis hidup pasangan suami-istri. Dalam situasi demikian, MAWI (th 1968 dan 1972), sebagai tanggapan atas Ensiklik Humanae Vitae dan situasi aktual Indonesia, mengeluarkan pernyataan bahwa untuk mengatur kelahiran anak umat hendaknya mengikuti suara hati masing-masing. Dengan demikian, keputusan moral menjadi urusan pribadi berdasarkan pertimbangan rasional dan pada akhirnya pasangan suami-istri katolik dapat mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya sendiri. Hal ini menunjukkan otonomi dan kemandirian moral16.

2. Perubahan Paradigma Teologi Moral Katolik

Untuk menanggapi persoalan-persoalan moral tersebut di atas, kita tentunya harus memahami apa artinya teologi moral? Ada banyak definisi yang menjelaskan apa itu teologi moral atau etika kristiani.

Etika kristiani atau teologi moral adalah cabang teologi yang mempelajari tindakan-tindakan manusia sejauh tindakan –tindakan

14 Bdk. Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae no. 11-13. 15 Ibid., no. 14.

16 Bdk. Bernard Kieser, “Pembinaan Moral Vatikan II,” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, 221-245, khususnya 229-235.

(8)

tersebut tunduk pada hukum moral, pada imperatif-imperatifnya dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh hukum moral, dalam terang iman. Dalam definisi teresebut, konsep sentralnya adalah hukum yang dilihat sebagai ekspresi kehendak Allah dan akal budi. Dalam hal ini moralitas menjadi persoalan kewajiban.

Etika kristiani atau teologi moral adalah cabang teologi yang mem-pelajari tindakan-tindakan manusia supaya menyesuaikannya dengan kewajiban (tugas) dan dengan norma-norma yang diberikan kepada kita oleh akal budi dan kehendak Allah, dalam terang iman. Ide sentral dalam definisi tersebut adalah tugas (kewajiban) yang dihubungkan dengan ide kewajiban, tetapi memiliki konotasi interioritas.

Teologi moral adalah cabang teologi yang mempelajari tindakan-tindakan manusia untuk mengarahkannya pada pencapaian kebahagiaan sejati dan tujuan ultim manusia dengan bantuan keutamaan-keutamaan dan dalam terang iman. Dalam definisi tersebut, kita melihat bahwa kebahagiaan sejati manusia dilihat sebagai tujuan ultimate . Di sini kita melihat teori moral yang didasarkan pada ketertarikan manusia pada apa yang benar dan baik, dan bukan pada perintah atau kewajiban.

Santo Thomas Aquinas memberi definisi teologi moral sebagai cabang teologi yang memiliki obyek materialnya adalah studi tentang tindakan-tindakan manusia dalam relasinya dengan tujuan ultim sebagaimana dikehendaki oleh Allah sebagai mewajibkan bagi semua orang. Untuk dapat mencapai tujuan ultimate tersebut, dengan bantuan rahmat, manusia harus hidup berdasarkan keutamaan, baik itu keutamaan kardinal: keadilan, pengendalian diri, kebijaksanaan dan keberanian, maupun keutamaan teologal: iman, harapan, dan kasih.

Servais Pinckaers mendefinisikan teologi moral sebagai cabang teologi yang mempelajari tindakan-tindakan manusia untuk mengarahkannya pada visi Allah yang penuh cinta yang dilihat sebagai kebahagiaan sejati dan tujuan akhir hidup manusia. Visi tersebut dicapai melalui sarana rahmat, keutamaan-keutamaan dan anugerah-anugerah dalam terang iman17.

Dalam perspektif pembebasan, teologi moral adalah refleksi kritis atas iman sejauh iman tersebut menggerakkan orang untuk terlibat dalam praksis cinta dan komitment dalam perjuangan demi keadilan dan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam konteks ini, teologi pembebasan menggarisbawahi dimensi sosial – politik iman kristiani dan pesan Injil. Iman kepada Kristus tidak bisa dipisahkan dari komitment terhadap keadilan dan praksis cinta. Di samping itu, teologi moral dalam perspektif pembebasan menekankan relasi dialektis antara

(9)

transformasi hati dan budi dan transformasi dalam struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Teologi moral adalah refleksi kritis atas iman sejauh iman itu dipraktekkan dalam praksis hidup. Dalam hal ini moralitas menunjuk pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, yakni sebagai manusia yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah yang dianugerahi kemampuan akal budi, kehendak bebas dan kemampuan untuk memilih antara yang baik dan buruk.

Dalam periode konsili Trente sampai dengan Konsili Vatikan II, teologi moral lebih bernuansa praktis-pastoral dan lebih menekankan unsur hukum (legalistik), kewajiban, menekankan moralitas tindakan dan sibuk dengan persoalan dosa atau tidak dosa. Teologi moral dilihat sebagai sarana pelatihan bagi para calon imam sehingga mereka memiliki keterampilan dalam memecahkan persoalan-persoalan di kamar pengakuan dosa. Teologi moral pada periode ini lebih menekankan soal kewajiban, ketaatan pada hukum dan peraturan. Dalam ajaran moral Gereja katolik, hampir semua ajarannya didasarkan pada hukum kodrat yang dapat dikenal dan dipahami oleh semua manusia berkat kemampuan akal budinya. Semua hukum manusia harus dilihat dalam relasinya dengan hukum kodrat dan hukum abadi18.

Dalam perdebatan kontemporer, teologi moral lebih dikarakterisasikan dengan unsur-unsur: respon atas tawaran rahmat Allah, kebebasan, kesetiaan, kreativitas kesadaran personal, tanggung jawab, dialog, keutamaan, ketertarikan pada nilai-nilai.19 Dalam debat kontemporer juga muncul

ketegangan-ketegangan berkaitan dengan soal kebaikan dan keburukan moral, terutama di antara moralis yang beraliran teleologis dan deontologis. Dalam hal ini ada perdebatan tentang kebaikan dan keburukan pra-moral (kebaikan atau keburukan ontik) dan kebaikan atau keburukan intrinsik. Pendekatan yang digunakan dalam teologi moral pasca KV II adalah pen-dekatan induktif, dengan memberi perhatian pada tanda-tanda jaman, yang kemudian diinterpretasikan dalam terang Injil dan Tradisi hidup Gereja20.

Yang menimbulkan perbedaan pendekatan dalam teologi moral adalah perubahan worldview dari worldview klasik yang ditandai oleh pe-mahaman tentang realitas sebagai sesuatu yang universal, kepastian, statis, atau tidak berubah dan abadi, menuju worldview yang berkesadaran historik yang memahami realitas sebagai sesuatu yang dinamis, berkembang, partikular, sementara atau tentatif.

18 Bdk. Ibid., 254-297.

19 Bdk. Bernard Haering, Liberi e Fedeli in Cristo: teologia morale per preti e laici, Roma: Edizioni Pauline 1990.

(10)

Berbeda dengan teologi moral pra-KV II yang legalistik dan sedikit memberi perhatian pada Kitab Suci, dalam Teologi Moral sejak KV II, peranan Kitab Suci, tradisi gereja, ajaran para bapa Gereja dan pengalaman hidup manusia mendapat perhatian utama dalam perdebatan moral kontemporer. Imperasi untuk menjadikan Kitab Suci sebagai sumber kebenaran teologi moral ditekankan dalam Optatam Totius yang meng-garisbawahi tuntutan untuk melakukan pembaharuan dalam teologi moral, “yang harus ditata dalam hubungannya yang lebih hidup dengan misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Perawatan khusus harus diberikan kepada penyempurnaan teologi moral. Penjelasan ilmiahnya harus lebih diresapi ajaran Kitab Suci, dan menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus, serta tugas mereka dalam cinta kasih untuk menghasilkan buah demi kehidupan dunia”21.

Dari kutipan tersebut kita dapat melihat isi dan metode teologi moral, yakni teologi moral yang bernafaskan dan berjiwakan Kitab Suci dan meng-garisbawahi isi teologi bertugas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus dan menekan-kan tugas umat beriman untuk menghasilmenekan-kan buah-buah kehidupan iman bagi kehudupan dunia22. Dengan demikian, dunia tidak lagi dilihat sebagai

tempat kejahatan, yang harus dijauhi, tetapi sebagai tempat di mana Allah mewahyukan diriNYa, memanggil manusia untuk menghayati iman dalam peziarahan menuju kesempurnaan hidup. Di dalam dunialah umat beriman juga dapat berjumpa dengan Allah yang hadir dalam diri setiap manusia yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah. Manusia dapat mengalami perjumpaan dengan Allah dalam keterlibatan dan solidaritas mereka dengan kaum tertindas yang sedang berjuang demi kebebasan dan keadilan.

3. Perubahan Metodologi dan Sikap Gereja lebih jelas dalam Ajaran Moral Sosial

Ajaran sosial gereja mengalami perubahan dalam metodologi dari pendekatan klasik yang melihat realitas dalam term universalitas, immutabilitas, stabilitas, kepastian, dalam hal ini norma-norma moral yang dideduksi dari hukum kodrat, menuju pendekatan yang sadar secara historik yang ditandai oleh partikularitas, kontingensi dan perubahan. Pendekatan yang sadar secara historik mempertahankan continuitas dan diskontinuitas. Pendekatan ini menggunakan metode induksi yakni

21 Konsili Vatikan II, Optatam Totius no. 16.

22 Bdk. Sabino Frigato, Vita in Cristo e Agire Morale: Saggio di teologia morale fondamentale, Editrice ElleDici, Torino 1999, 77-86. bdk. Charles E. Curran, Ongoing Revision in Moral Theology, Notre Dame: Fides Claretian 1975, 87-91.

(11)

mengambil kesimpulan-kesimpulan dengan menganalisa situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang terus berubah. Perubahan me-todologi ini dapat kita lihat dalam dokumen ASG sebelum Vatikan II dan setelahnya.

Di dalam Rerum Novarum Leo XIII mengatakan bahwa hak atas milik pribadi didasarkan pada kodrat manusia dan pada hukum kodrat, « mempunyai milik perorangan untuk dirinya merupakan hak manusiawi berdasarkan kodratnya » (bdk. RN no. 6-7) Di dalam Quadragesimo Anno (1931) juga ditekankan metodologi deduksi terutama berkaitan dengan soal hak atas milik pribadi « Di dalam memanfaatkan sumber-sumber daya alam bagi penggunaan manusiawi, hukum kodrati, atau lebih tepat kehendak Allah yang terpancarkan oleh hukum itu, meminta supaya tata tertib itu dipatuhi » (QA. No. 53).

Metode deduksi dapat kita lihat juga dalam Pacem in Terris (1963) yang mendeduksi norma moral dari hukum kodrat. « Hukum-hukum yang mengatur manusia berlainan sama sekali. Bapa alam semesta telah menerakannya ke dalam kodrat manusia. Oleh karena itulah hukum itu harus dicari di situ, bukan ditempat lain » (PT no. 6). Hukum yang dideduksi dari hukum kodrat seharusnya mengarahkan dan mengatur relasi manusia dalam hidup bersama, dalam hidup bernegara dan dalam relasi international.

Perubahan dari metode deduksi menuju metode induksi dapat kita lihat dalam Gaudium et Spes yang memanggil kita untuk membaca tanda-tanda jaman, artinya mencermati situasi real, partikular di mana kita hidup lalu merefleksikan dan menginterpretasikannya dalam terang Injil dan Tradisi gereja.

Untuk melaksanakan tugas yang luhur itu, sepanjang masa Gereja wajib menelaah tanda-tanda jaman, lalu menafsirkannya di dalam terang Injil. Dengan demikian, ia dapat menjawab atas cara yang sesuai dengan tiap generasi, masalah abadi manusia tentang makna kehidupan sekarang ini dan kelak dan tentang hubungan antara keduanya23

Hal senada dikatakan dalam dokumen yang sama :

Adalah tugas seluruh umat Allah, terutama para gembala dan teolog untuk mendengarkan, membeda-bedakan dan menafsirkan pelbagai bahasa ja-man kita, dengan bantuan Roh Kudus, lalu menilainya dalam terang Sabda Ilahi, agar kebenaran yang diwahyukan selalu dapat ditanggapi dengan lebih mendalam, dipahami dengan lebih baik dan disajikan dengan lebih benar24.

23 Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, Gaudium et Spes, art. No. 4. 24 Ibid., art. No. 44.

(12)

Dokumen yang sama menggarisbawahi tuntutan untuk memper-hatikan dan membaca tanda-tanda jaman:

Konsili sudah menjelaskan apa itu martabat pribadi manusia dan untuk menunaikan tugas individual maupun sosial mana di seluruh dunia ia dipanggil. Sekarang di dalam terang Injil dan pengalaman manusiawi, Konsili mengarahkan hati semua orang kepada beberapa kebutuhan yang lebih mendesak dewasa ini, yang sangat menyangkut umat manusia25

Ajakan untuk membaca tanda-tanda jaman dipraktekkan dalam setiap GS terutama berkaitan dengan bagaimana menginduksi norma-norma moral untuk mengarahkan kehidupan berkeluarga, kebudayaan, ekonomi, politik dan perdamaian.

Metode induktif dan pendekatan yang berkesadaran historik juga dapat kita lihat dalam Octogesima Adveniens, di mana Paulus VI menyadari adanya perbedaan situasi dari daerah yang satu dengan lainnya, maka sangat sulitlah bagi Gereja untuk memberi jawaban atas persoalan sosial yang bersifat universal.

Mengingat pelbagai situasi itu, yang dalam banyak hal serba berbeda, kami merasa sulit menyampaikan pesan yang senada dan mengemukakan pemecahan yang berlaku di mana-mana. Itu sebab bukan yang kami cita-citakan, bukan misi kami pula. Merupakan tugas jemaat-jemaat kristiani menganalis secara obyektif situasi yang khas bagi negeri mereka sendiri, menyinarinya dengan terang amanat Injil yang tidak dapat diubah, dan dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak26

Kesadaran secara historik dan metode induktif juga dapat kita lihat dalam de Iustitia in Mundo(1971) yang mengawali dokumen dengan mengajak orang untuk membaca tanda-tanda jaman. « Kami menyelidiki tanda-tanda jaman dan mencoba menggali makna sejarah yang sedang berlangsung. Sementara itu kami pun mempunyai aspirasi-aspirasi dan pertanyaan-pertanyaan yang ada pada mereka semua, yang hendak membangun dunia yang lebih manusiawi. Kami telah mendengarkan sabda Allah, supaya mengalami pertobatan untuk memenuhi Rencana Ilahi demi keselamatan dunia »27.

Dengan membaca tanda-tanda jaman, para uskup sedunia menyadari bahwa problem ketidakadilan dan penindasan bukan hanya berdimensi individual dan lokal, melainkan berdimensi sosial, struktural dan mondial. Oleh karenanya, untuk mengatasinya tidak cukup hanya dituntut per-tobatan hati individual, tetapi dituntut transformasi struktural dan sistem

25 Ibid., art. No. 46.

26 Paulus VI, Octogessima Adveniens, art. No. 4.

(13)

yang tidak adil dan menindas, baik pada tingkat lokal, nasional dan internasional.

Perubahan metode dan pendekatan dalam moral sosial Gereja diikuti oleh perubahan dalam model etik28:

Model etik pertama adalah model legal-deontologis yang memahami moralitas dalam term kewajiban dan ketaatan pada hukum, keselarasan dengan hukum dan kewajiban, biasanya norma moral dideduksi dari hukum kodrat yang dipahami sebagai partisipasi mahluk rasional dengan akal budi ilahi29.. Norma-norma moral yang dideduksi dari hukum kodrat

tersebut kemudian diterapkan pada persoalan-persoalan konkret. Kelemahan dari model etik ini adalah kurang memperhatikan dimensi personal dan motivasi subyek moral. Dalam situasi ektrem model etik deontologis ini bisa mengarah pada sikap legalistik rigid30. Di samping

itu, model etik deontologis menggarisbawahi adanya tindakan-tindakan yang secara intrinsik malum, terlepas dari motivasi dan tujuannya, seperti tindakan membunuh orang yang tidak bersalah dan berzinah.

Model etik kedua adalah model teleologis memahami moralitas dalam term telos, tujuan. Kebaikan dan keburukan moral dilihat dari tujuannya. Model etik teleologis dapat dibedakan menjadi dua, yakni teleologis ekstrinsik dan teleologis intrinsik. Yang dimaksud dengan teleologis ekstrinsik adalah tujuan yang dipisahkan dari pribadi manusia, diidentifikasi dengan konsekuensialisme dan utilitarianisme. Sementara model etik teleologis intrinsik memahami tujuan sebagai kecenderungan konstitutif pribadi manusia, yang mencapai pemenuhannya melalui pencapaian tujuan dengan mana manusia diarahkan, yang dalam etika thomasian disebut tujuan ultimate, yakni kebahagiaan (eudaimonia). Manusia sebagai mahluk berakal budi dan berkehendak bebas dipanggil untuk mengarahkan seluruh hidup dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan sesuai kodratnya. Model etik teleologis ini karena menekankan tujuan yang mau dicapai atau konsekuensi yang dihasilkan maka faktor motivasi subyek moral kurang mendapat perhatian, bahkan pada titik ekstrem demi tujuan baik atau kegunaan yang maksimal, orang akan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tersebut. Menurut model etik teleologis tidak ada tindakan yang secara intrinsik jahat atau buruk sebab yang menentukan kebaikan atau keburukan moral adalah tujuan yang mau dicapai atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan.

28 Bdk. Charles E. Curran, Catholic Social Teaching 1981-present: A Historical, theological and Ethi-cal Analysis, Georgetown University Press, Washington D.C. 2002, 53-100.

29 Bdk Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno, no. 42-43.

30 Untuk melihat perubahan signifikan dalam metode teologi moral dapat dilihat dalam pemaparan Charkes E. Curran dalam bukunya The Living Tradition of Catholic Moral Theol-ogy, Notre Dame, University of Notre Dame 1992, 85-87.

(14)

Model etik ketiga adalah relasionalitas-tanggung jawab, yakni model etik yang memahami manusia dalam relasinya dengan Allah, sesamanya, dirinya dan dengan alam. Dengan adanya perubahan pendekatan dari klasicisme menuju metode berkesadaran secara historik, dan dengan memberi penekanan pada pribadi manusia, kebebasan, partisipasi dan kesamaan serta kesadaran atas dimensi global-planetaria persoalan sosial, maka dibutuhkan model etik relationalitas-tanggungjawab. Hal ini dapat kita lihat dalam Gaudium et Spes:

Di seluruh dunia semakin meningkat kesadaran akan otonomi dan tanggung jawab, dan itu penting sekali bagi kematangan rohani maupun moril umat manusia. Itu semakin jelas bila kita sadari proses menyatunya dunia serta tugas panggilan kita, untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka demikianlah kita menjadi saksi lahirnya humanisme baru ; di situlah manusia pertama-tama ditandai oleh tanggungjawabnya atas sesamanya maupun sejarahnya31 .

Oleh karenanya harus diatasi etika individualistik dan harus dikembangkan dan dipromosikan etika solidaritas global dan tanggung jawab sosial. Perubahan model etik ini terjadi karena adanya perubahan pendekatan, yakni dari pendekatan klasik yang deduktif menuju pen-dekatan yang berkesadaran historik yang induktif, dengan memberi tekanan pada pribadi manusia sebagai subyek dan kesadaran atas dimensi global persoalan sosial-politik-ekonomi-kultural yang menuntut pendekatan holistik yang melibatkan tanggungjawab bersama. Model ini sangat dibutuhkan pada jaman sekarang yang ditandai oleh globalisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dipicu oleh kemajuan di bidang teknologi komunikasi sosial. Berhadapan dengan dampak negatif glo-balisasi yang melahirkan eksklusivikasi dan marginalisasi, Gereja menawarkan visi antropologi kristiani yang memberikan pemahaman tentang manusia yang holistik, yang terdiri dari jiwa dan badan, memiliki dimensi individual dan sosial serta memiliki kemampuan untuk ber-transendensi diri melalui kemampuan akal budinya. Gereja memberikan tuntunan dan prinsip-prinsip moral sosial, yakni primat pribadi manusia, solidaritas, subsidiaritas, bonum comune, dan the preferential option for the poor untuk memanusiawikan globalisasi.

Selain perubahan dalam metode, kita juga dapat melihat perubahan dalam sikap Gereja terhadap beberapa ide yang ditolak sebelumnya. Kalau kita mencermati apa yang terjadi pada Konsili Vatikan II, kita melihat adanya perubahan besar dalam sikap Gereja terhadap ide-ide kemodernan, dari sikap reaktif-apologetik menjadi sikap reflective, aseptik-dialogis. Apa yang dicurigai di masa lalu, seperti ide demokrasi, kebebasan

(15)

beragama, parstisipasi, otonomi hal-ihwal duniawi dalam KV II diterima dan diaffirmasi32. Kita juga melihat perubahan sikap Gereja terhadap

gerakan hak asasi manusia. Gereja katolik pada awalnya enggan berbicara tentang hak-hak karena bahaya individualisme eksesif. Namun dalam perjalanan sejarah, Gereja Katolik akhirnya menerima gagasan baru tersebut. Untuk pertama kalinya, dokumen resmi Gereja Katolik memuat dan membahas secara panjang lebar hak-hak asasi manusia dalam ensiklik Pacem in Terris 1963(lihat no. 11-27), ensiklik yang muncul sebagai tanggapan atas bahaya perang dingin tahun 1963. Sejak saat itu, Gereja menjadi pembela hak-hak asasi manusia sebagaimana ditulis dalam berbagai dokumen-dokumen Gereja33.

Perhatian terhadap pribadi manusia dan subyektivitas juga kental dalam teologi moral sosial pasca KV II. Hal ini dapat kita lihat dalam dukungan dan penerimaan Gereja terhadap ide kebebasan, kesamaan, partisipasi individu, yang sebelumnya ditentang Gereja. Kepekaan dan penerimaan aspirasi terhadap partisipasi dan kesamaan di antara semua orang yang merupakan dua bentuk ungkapan dari martabat pribadi manusia34. Primat pribadi manusia di atas barang-barang duniawi juga

nampak jelas dalam relasi di antara Capital dan Labour yang telah memicu konflik sejak Rerum Novarum sampai Laborem Exercens. Kalau Pius XI dalam ensiklik Quadragesimo Anno melihat relasi antara capital dan labour dalam posisi seimbang, dalam arti modal dan kerja memiliki nilai yang sama penting dalam proses produksi, maka Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens menempatkan kerja yang keluar langsung dari pribadi manusia di atas capital35. Dengan menempatkan primat labour

(pribadi manusia) di atas modal maka Yohanes Paulus II meninggalkan ajaran pendahulunya.36 Di samping itu, Yohanes Paulus II membedakan

arti kerja menjadi kerja dalam arti subyektif dan kerja dalam arti obyektif. Dia menempatkan kerja dalam arti subyektif di atas kerja dalam arti obyektif. Dalam konteks ini. Yohanes Paulus II menekankan pentingnya subyektivitas individu dan masyarakat.

Berkaitan dengan ajaran moral sosial, Gereja mendasarkan penilaian moralnya pada prinsip hormat terhadap martabat pribadi manusia, prinsip solidaritas, prinsip subsidiaritas, prinsip keadilan, prinsip bonum comune

32 Bdk. Gregory Baum, Theology and Society, New York, Mahwah: Paulist Press 1987, 247-260. ID., Essays in Critical Theology,Kansas Cirt: Sheed and Wards 1994, 171-188.

33 Bdk. Yohanes Paulus II, Ensklik Redemptoris Hominis 1979 (no. 17); Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis 1987 (no. 34), dan Ensiklik Centesimus Annus 1991 no.47.

34 Paulus VI, Octogessima Adveniens no. 22.

35 Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercensm no. 12.

36 Leo XIII dan Pius XI berpendapat bahwa modal dan kerja berada dalam tingkat yang sama, kedua-duanya dibutuhkan dalam proses produksi.

(16)

dan the preferential option for the poor. Keenam prinsip moral tersebut menjadi kriteria sejauh mana suatu sistem atau institusi sungguh-sungguh mempromosikan, membela dan melindungi keluhuran martabat pribadi dan kesejahteraan manusia yang merupakan tujuan dari setiap aktivitas sosial, politik, ekonomi, budaya.

Berkaitan dengan moral seksual dan perkawinan, ajaran moral Gereja tetap berpegang pada model pendekatan legalistik hukum kodrat sebagaimana dapat kita lihat dalam dokumen deklarasi tentang Etika Seksual yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk ajaran iman pada th. 1975; Surat kepada para Uskup Gereja Katolik tentang Reksa Pastoral untuk Kaum Homoseks yang dipromulgasikan pada th. 1986; dan Instruksi tentang Hidup Manusia dan Martabat Prokreasi (Donum Vitae) yang dipromulgasikan pada th. 1987. Dari ketiga dokumen tersebut, penilaian moral dideduksi dari prinsip-prinsip dasar yang dapat dipahami oleh akal budi, yang berasal dari tatanan hukum ilahi dan hukum kodrat. Semua dokumen ini kental dengan world view klasik daripada worldview yang berkesadaran historik. Tekanan diberikan bukan pada pribadi manusia, tetapi pada kodrat kemampuan seksual yang diciptakan Allah untuk dua tujuan, yakni tujuan prokreasi dan tujuan unitif37.

Walau demikian, dalam bidang seksualitas dan perkawinan, kalau kita mencermati sejarah perkembangan ajaran gereja tentang seksualitas dan perkawinan sungguh menunjukkan perubahan signifikan, dari sikap nega-tive menuju sikap yang lebih positif tentang seksualitas38. Pada masa lalu

seksualitas dilihat sebagai sumber dosa dan kejahatan, dan perkawinanpun dilihat sebagai status hidup kelas dua dibandingkan dengan status hidup selibat atau keperawanan. Konsili Vatikan II mendobrak pandangan nega-tive tersebut, dengan menekankan keluhuran dari kedua bentuk status hidup sebagaimana dijabarkan dalam Gaudium et Spes 40-42. Berdasarkan Konsili Vatikan II kaum awam dan kaum klerus, serta religius dipanggil untuk menanggapi panggilan universal yakni menggapai kekudusan dan kesempurnaan hidup. Kaum awam juga berpartisapasi dalam fungsi rajawi, imamat dan kenabian Yesus Kristus.

37 Berkaitan dengan Moral seksualitas dalam Gereja Katolik, Charles Curran memberikan evaluasi kritis dalam bukunya The Living Tradition of Catholic Moral Theology, Notre Dane, University of Notre Dame 1992, 27-57.

38 Pandangan negatif tentang seks dan seksualitas terutama dipengaruhi oleh pandangan filsafat platonisme dan neoplatonisme yang begitu berpengaruh pada pandangan teologi moral seksualitas dan perkawinan sebagaimana dikembangkan oleh Agustinus.

(17)

4. Yesus sebagai Paradigma dalam Kehidupan Moral39

Di dalam kristianitas, pengajaran moral didasarkan pada pewartaan tentang tindakan penyelamatan Allah dalam diri Yesus. Di dalam Injil kita menemukan banyak perkataan-perkataan Yesus dan perumpamaan yang sarat dengan nilai-nilai moral. Yang paling sentral adalah seruan pertobat-an ypertobat-ang dikaitkpertobat-an dengpertobat-an pewartapertobat-an Kerajapertobat-an Allah ypertobat-ang sudah men-dekat. « Waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah men-dekat. Bertobatlah dan percayalah pada Injil » (Mrk. 1: 15). Dalam hal ini jelas, bahwa kerajaan Allah sudah datang, tetapi belum mencapai pemenuhan akhir. Ketegangan antara sudah datang dan masih akan mencapai penyempurnaannya, menuntut tanggapan manusia dengan hidup sebagai orang-orang yang sedang menantikan pemenuhan akhir. Kata-kata injil sangat provokatif: awas, waspadalah, berjaga-jagalah, bersiap-siaplah. Keseriusan situasi menuntut orang untuk sampai pada keputusan yang tepat dan radikal.

Di samping itu, dalam surat-surat Paulus kita bisa menemukan banyak pernyataan-pernyataan doktrinal tentang misteri Yesus Kristus yang ke-mudian diikuti oleh tuntutan dan imperatif moral. Sebagai contoh dalam Gal. 5:1 “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memer-dekakan kita (indikatif), karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan (imperatif)”. Lebih lanjut Paulus menasihatkan, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka (indikatif). Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih (Imperatif)” (Gal. 5:13).

Yesus memberikan ajaran moral sejalan dengan pemahaman bahwa Allah telah membuat perjanjian dengan UmatNya. Namun perjanjian tersebut telah dirusak oleh kesombongan manusia, di mana manusia mengkhianati komitment perjanjian. Kendati demikian, Allah tetap men-cintai manusia dan memperbaharui perjanjian tersebut melalui Yesus PuteraNya sendiri. Dalam kerangka ini, Yesus menyerukan pertobatan sebagai syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Pertobatan atau metanoia dipahami sebagai perubahan orientasi hidup, perubahan hati dan budi, perubahan opsi dasar, perubahan cara berpikir dan melihat realita (Mrk. 1:15)

Ajaran moral Yesus sangat padat dimuat dalam kotbah di bukit yang dapat dijadikan magna carta umat perjanjian baru. Kotbah di bukit diawali dengan penjungkirbalikkan tatanilai : yang dikatakan berbahagia adalah orang-orang yang menurut logika dan kaca mata dunia adalah orang-orang

39 Richard M. Gula, S.S, What are they saying about Moral Norms?, Paulist Press, New York 1982, 111-114.

(18)

yang malang : mereka yang miskin, manangis, dianiaya karena keadilan dan kebenaran. Mereka yang dikatakan berbahagia adalah mereka yang lembut hati, tulus hati, mereka yang menjadi pembawa damai, mereka yang disiksa demi nama Yesus dan InjilNya (Mat. 5 : 3-12).

Yesus menuntut para pengikutNya untuk menjadi garam dan terang dunia, memiliki iman yang produktif, iman yang kreatif dan mengubah dunia, membawa orang lain kepada Allah karena melihat perbuatan-perbuatan baik kita (keadilan dan belas kasih) (Mat. 5 : 13-16 // Mat. 7 : 15-27// Mat. 25 :31-46).

Yesus menegaskan bahwa diriNya datang ke dunia untuk menggenapi dan menyempurnakan hukum Taurat dan Kitab para Nabi. Bahkan Yesus telah menggenapkan hukum Taurat dalam diriNya sendiri dengan me-netapkan perjanjian baru dan kekal. Dalam konteks ini, Yesus menawarkan interpretasi kreatif dan radikal isi Dekalog.

Pertama-tama Yesus menekankan bahwa seorang pengikut Yesus dituntut untuk memiliki keadilan yang jauh lebih tinggi daripada keadilan kaum Farisi dan ahli Taurat (Mat. 5 : 20). Keadilan yang didasarkan bukan pada pemenuhan hukum dan perintah-perintah, tetapi keadilan karena iman kepada Yesus, keadilan yang didasari oleh belas kasih.

Di hadapkan pada sikap orang Farisi dan Ahli Taurat yang me-nekankan tindakan lahiriah dan legalistik, maka moralitas Yesus menekankan disposisi batin, sikap batin, actus internus. Oleh karenanya, Yesus sangat geram dan marah pada sikap munafik kaum Farisi. Bagi Yesus, tindakan internal dan hati manusia adalah basis moralitas (Mrk. 7: 17-23). Perintah-perintah Allah harus diterapkan pada seluruh pribadi manusia, bukan hanya pada tindakan lahiriah, tetapi lebih-lebih menyentuh sikap batin (Mat. 5:27). Dalam hal ini, Yesus bukan hanya melarang tindak-an pembunuhtindak-an, tetapi juga menuntut ortindak-ang untuk mencabut akar ter-dalam yang menyebabkan tindakan pembunuhan, yakni kemarahan yang membahana.

Yesus tidak hanya melarang tindakan perzinahan, tetapi Ia menuntut orang untuk mencabut akar perzinahan, yakni hati yang penuh nafsu, li-bido seksualis yang tidak terkendali (Mat. 5: 28). Dalam konteks ini Yesus menggarisbawahi moralitas adalah actus internus yang mencakup kepribadian manusia secara keseluruhan, bukan hanya terbatas pada tindakan tertentu.

Berkaitan dengan anggota tubuh yang membuat batu sandungan, maka Yesus menuntut penyembuhan radikal: memotong tangan dan kaki, mencukil mata yang menyesatkan (Mat. 5: 29).

Berhadapan dengan sikap rigid, kaku dan lagalistik kaum Farisi dan ahli Taurat berkaitan dengan hari Sabat, maka Yesus mengembalikan hari sabat pada motivasi awalnya: melindungi martabat pribadi manusia,

(19)

sebagai wujud pembebasan. Hari sabat untuk manusia bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk. 2: 28).

Yesus bergerak melampaui tulisan hukum untuk menampakkan kasih dan kebaikan Allah, dengan menyembuhkan (membebaskan) orang pada hari sabat, dengan berkata, “manakah diperbolehkan pada hari Sabat, melakukan kebaikan atau kejahatan; menyelamatkan orang atau mem-bunuh orang” (Mrk. 3:4). Bahkan Yesus menegaskan dirinya sebagai Tuhan atas hari Sabat.

Moralitas kristiani adalah moralitas hidup mengikuti Yesus dan meniru cara hidup Yesus ( sequella Christi et imitatio Christi), yang merupakan pemenuhan seluruh hukum, Dialah hukum baru bagi setiap orang yang mau hidup sempurna. Mengikuti Yesus artinya kita hidup seperti Yesus hidup: dalam ajaran moralNya, Yesus memusatkan pengajaran moralNya pada kasih yang berdimensi ganda: kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap budi dan kekuatan dan mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri.

Moralitas kristiani dapat dikatakan sebagai moralitas sequella Christi et imitatio Christi. Mengikuti dan menjadi murid Yesus mengandung arti: mengikuti jalan Cinta. Mencintai seperti Yesus mencintai: cinta yang radikal dan total, gratuit dan indiskriminatif, altruis dan oblatif, universal; ingat kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37). Menjadi sesama orang yang membutuhkan. Cinta yang mencapai titik kulminasinya dalam tindakan pemberian diri (Yoh. 15:13). Yesus memperluas cakupan cinta, dengan tuntutannya untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita (Mat. 5:44). Mengikuti jalan pelayanan: Melayani sebagaimana Yesus melayani “Aku datang bukan untuk dilayani, me-lainkan untuk melayani”. Pelayanan seorang guru yang diungkapkan dalam tindakan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul (Yoh. 13:1-13). Mengikuti jalan pengampunan: Mengampuni sebagaimana Yesus mengampuni “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Kemampuan untuk mengampuni akan mem-bebaskan orang dari sikap balas dendam dan berani membalas kejahatan dengan kebaikan. Pengampunan tanpa batas (lihat Mat. 18: 21-35 ; Rom 12: 9-21). Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang mampu men-transformasi makna pengalaman kontras-negatif, memurnikan dan menyembuhkan memori yang pahit-menyakitkan. Mengikuti jalan ketaatan: Taat seperti Yesus taat, taat sampai mati di salib, pengosongan diri (kidung salib Filipi 2, 5-11). Hidup bukan diatur oleh kehendak sendiri, tetapi oleh kehendak Allah; hidup tidak diperbudak oleh nafsu dan naluri, tetapi mengendalikan dan menguasinya. Mengikuti jalan kerendahan hati dan pengosongan diri (Fil. 2: 1-11); jalan kelembutan: Lembut dan rendah hati sebagai mana Yesus lembut dan rendah hati (Mat. 11: 25-30). Menjaga keseimbangan antara hidup aktif dan kontemplatif. Hidup yang berawal

(20)

dan bermuara pada doa. Contemplatio-contemplatio atau actio-contemplatio-actio

Di samping itu, mengikuti Yesus berarti setia pada visi dan misiNya, yakni menggenapi kehendak Allah, punya komitmen kuat (Mat. 4: 1-11); “MakananKu adalah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya” (Yoh. 4:34). Dalam praksis hidupNya Yesus mematahkan logika keseimbangan, hukum pembalasan (lex tallionis) dan menggantinya dengan logika kelimpahan: “Barang siapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain dan barang siapa mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu” (Luk. 6,29). Di sini Yesus menantang kita untuk berbuat melampaui apa yang menjadi kewajiban kita.

Yesus menantang para pengikutnya untuk mencontoh kebaikan, kesempurnaan dan kemurahan hati Allah (imitatio Dei) “Hendaklah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna (Mat. 5:48), “Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu yang di surga adalah murah hati” (Luk. 6:36). Berhadapan dengan kemunafikan kaum Farisi dan ahli Tarurat, Yesus menekankan ketulusan dan kejujuran dalam berbuat baik. Berbuat baik bukan karena pamrih, tetapi karena menyadari bahwa perbuatan itu baik sehingga pantas dilakukan. Dalam hal ini Yesus menggaris-bawahi pentingnya motivasi yang jujur dan tulus dalam melakukan segala tindakan keagamaan (doa, puasa dan memberi sedekah) (Mat. 6:1-18)

Moral katolik adalah moral yang didasarkan pada pribadi Yesus. Dia-lah norma ultim kehidupan moral, DiaDia-lah paradigma atau model kehidupan moral yang otonom dan autentik. Yesus menjadi model bagaimana seorang kristiani dan komunitas kristiani harus hidup dan bersikap dalam dunia40.

Sebagai dasar bagaimana kita harus hidup, kita dapat menerapkan kaidah emas ini: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah itu juga kepada mereka” (Mat. 7,12). Kaidah ini bukan satu tuntutan yang sifatnya resiprok, do ut des, tetapi berbuat baik melampaui apa yang diwajibkan tanpa pamrih.. Masing-masing dari kita

dituntut untuk bersikap aktif dan mengambil inisiatif untuk berbuat baik, bukannya bersifat reaktif.

Pada akhirnya moralitas katolik adalah moralitas imitatio Christi et imitatio Dei (Mat. 5, 48 // Luk. 6,36). Moralitas Katolik adalah meniru kesempurnaan dan kemurahan hati Allah, yang dimanifestasikan dalam hidup, ajaran dan praksis hidup Yesus sendiri. Ini adalah ideal kehidupan moral kita; Untuk sampai ke sana memang sulit, menuntut kemauan kuat, sikap radikal. Kehidupan moral yang otentik tidak cukup hanya

menye-40 William C. Spohn, What are they saying about Scripture and ethics, New York: Paulist Press 1995, 94-126.

(21)

laraskan seluruh tindakan kita dengan norma yang ada, tetapi kita dituntut lebih dari itu, yakni hidup yang berkeutamaan. Moral yang otonom adalah moral yang mendorong orang melakukan sesuatu karena kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan demikian, moral katolik bukanlah moral yang legalistik, tetapi lebih bersifat per-sonalistik-Kristosentrik. Moral yang membawa manusia pada kebebasan sejati dan menjadikan manusia sungguh otentik.

5. Penutup

Dalam dunia yang menawarkan banyak nilai dan norma perilaku, Gereja sebagai institusi keagamaan tetap dapat memberi kontribusi dalam pembentukan dunia dan kemanusiaannya menjadi lebih beradab dan humanum. Gereja sebagai “ahli dalam bidang kemanusiaan” telah mem-buktikan kesetiaannya dalam membela nilai-nilai kemanusiaan, melalui fungsinya sebagai guru iman dan moral. Dalam bidang moral, Gereja sampai Konsili Vatikan II memberi kesan terlalu keras dan kaku, legalistik dan tidak memberi tempat pada perubahan dan kebebasan individu. Norma-norma dirumuskan secara abstrak, universal dan immutabile (tak berubah). Hal ini terjadi karena pendekatan yang digunakan adalah deduktif bukannya induktif. Yang menjadi sumber moralitas adalah hukum kodrat yang dipahami secara fisik-biologistik, statik.

Konsili Vatikan II membuka babak baru dalam teologi dan mendorong pembaharuan dalam teologi moral berdasar pada Kitab Suci, bahkan dikatakan bahwa Kitab Suci harus menjadi jiwa dari teologi, secara umum dan teologi moral seara khusus. Di samping itu, faktor pengalaman dan historisitas manusia ikut dipertimbangkan dalam perumusan norma-norma moral. Metode yang digunakan adalah metode induktif yang mempunyai ciri partikularitas, konkret, historis. Manusia dan dunianya dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, berkembang. Oleh karenanya, nilai-nilai dan normapun bisa berubah. Metode induktif dan world view yang ber-kesadaran historik menuntut adanya sikap kritis. Kebenaran yang diyakni benar di masa lalu, terbuka atas revisi dan bahkan harus ditinggalkan karena tidak memberi kontribusi untuk meningkatkan kesadaran manusia atas martabatnya sebagai manusia. Sebaliknya pandangan-pandangan baru sebelum diverifikasi melalui trial and error tidaklah fair kalau langsung dicap bidaah.

Teologi moral pasca KV II lebih bersifat personalistik-Kristosentris-biblis yang memberi tempat pada perubahan dan perkembangan, menempatkan primat cinta dan martabat pribadi manusia di atas hukum dan sistem. Kitab suci dijadikan jiwa dan roh dari teologi moral. Moral pasca KV II juga dapat dipahami sebagai moral yang berfokus pada pribadi dan praksis hidup Yesus, memberi ruang pada tanggung jawab pribadi

(22)

dan kolektif manusia dalam upaya memperjuangkan dan mempromosikan keluhuran martabat pribadi manusia dan terbuka terhadap persoalan-persoalan jaman yang terus berubah dan menuntut tanggapan kritis. Di hadapkan pada tantangan jaman, moral Katolik menunjukkan dinamisitasnya dengan mempertahankan relasi dialektis antara kesetiaan pada nilai-nilai Injili dan keterbukaan terhadap perubahan yang dituntut oleh perkembangan jaman. Dengan demikian, kontinuitas dan diskontinuitas tetap mewarnai ajaran moral Gereja Katolik.

Kalau kita mencoba membandingkan perkembambangan dalam teologi moral, kita bisa melihat adanya perubahan signifikan dalam teologi moral sosial, sedangkan dalam teologi moral seksualitas dan perkawinan ajaran moral tetap konservatif dan kurang mempertimbangkan suara-suara yang muncul dari pengalaman konkret dan persoalan-persoalan yang digumuli oleh umat beriman. Masalah yang penting dan harus segera dicari jalan keluarnya adalah masalah moral dalam hidup perkawinan, yakni bagaimana membantu pasangan suami-istri yang perkawinannya sudah mengalami kematian secara emosional, moral dan spiritual41. Apakah

mereka tetap harus bertahan dalam situasi menderita? Bukankah hidup perkawinan diarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan suami-istri? Apakah secara moral dibenarkan membiarkan orang hidup dalam pen-deritaan yang tidak perlu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi? Manakah yang lebih penting: mempertahankan lembaga perkawinan yang nyatanya sudah tidak bisa dipertahankan atau menyelamatkan pribadi manusia? Keselaman jiwa pribadi manusia berada di atas ketaatan buta pada hukum. Moral katolik yang bersifat personal, kristosentrik dan biblis harus menjadi moral yang membebaskan sebagaimana dicontohkan oleh praksis hidup Yesus sendiri yang menantang orang untuk menempatkan primat martabat pribadi manusia di atas hukum. Berkaitan dengan hukum kasih Yesus menuntut orang bukan hanya mengetahui dan mengerti hukum kasih, tetapi jadi mempraktekkannya sebagaimana ditegaskan dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37), menantang orang untuk masuk ke dalam dirinya sendiri, dan setiap orang dihadapkan pada penilaian hati nuraninya. Dengan demikian, moral katolik diharapkan mampu mengajak orang untuk melakukan pertobatan dan transformasi diri, hidup berdasarkan nilai-nilai Injili dan terlibat dalam usaha menciptakan dunia yang lebih humanum.

*) Laurentius Tarpin

Doktor Teologi Moral dari Accademia Alfonsiana, Roma; dosen teologi moral di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Email: lorenzo@bdg.centrin.net.id

41 Bdk. Bernard Haring, No Way Out: Pastoral Care of the Devorced and Remarried, Midlegreen, St. Paul Publications 1990, 41-48.

(23)

BIBLIOGRAFI

Auer, Alfons, Morale autonoma e fede cristiana, Edizioni Paoline, Milano 1991. Baum, Gregory, Theology and Society, New York, Mahwah: Paulst Press 1987. ________, Essays in Critical Theology, Kansas City: Sheed and Wards 1994. ________, Amazing Church: A Catholic Theologian Remembers a Half-Century

of Change, Maryknoll, New York 2005.

Boileau, David A., Ed., Principles of Catholic Social Teaching, Leuven: Marquette University Press 1994.

Böckle, Franz, Fundamental Moral Theology, Gill and Macmillan, Dublin 1980. Carlotti, Paolo, Teologia Morale e Magistero, Las Roma, Roma 1997.

Curran, Charles E., Moral Theology: Challenge for the Future, Essays in Honor of Richard A. McCormick, S.J, Paulist Press, New York, Mahwah 1990. _______, The Living Tradition of Catholic Moral Theology, Notre Dame, 1995. _______, Catholic Social Teaching 1981-present: A Historical Theological and Ethical Analysis, Georgetown University Press, Washington D.C. 2002. Dinoia, J.A., OP & Romanus Cessario, OP, The Splendor of the Truth Veritatis Splendor and the Renewal of Moral Theology, Scepter Publihers, Princeton, New Jersey, 1999.

Elsbergnd, Mary, OSF, “Social Ethics“, dalam Theological Studies 60(2005), 137-158.

Fucek, Ivan, Il pecato oggi, Editrice Pontifice Università Gregoriana, Roma 1996.

Gula, Richard M., What are they saying about moral norm?, Paulist Press, New York 1982.

Häring, Bernard, Free and Faithful in Christ, Moral Theology for Priests and Laity vol., 1, A Saint Paul Publication, Sydney 1978.

Janzen, Waldemar, Old testament Ethics: a paradigmatic approach, Westminster/John Knox Press, Louisville 1994.

Katekismus Gereja Katolik, Propinsi Gerejani Ende, Arnoldus, Ende 1995, Keenan, James F., S.J, „Notes on Moral Theology: Ethics and the Crisis in

the Church“, dalam Theological Studies 66 (2005), 117-136. Kieser, Bernard, Moral dasar, Kanisius, Yogyakarta 1994.

_______, Paguyuban manusia dengan dasar dasa firman, Kanisius, Yogyakarta 1991.

_______, „Pembinaan Moral pasca-Vatikan II“, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 1997, 222-245. Kohlberg, Laurence, Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Kanisius, Yogyakarta

(24)

Kongregasi untuk Ajaran Iman, Pernyataan tentang Euthanasia, tejemahan oleh Piet Go, O’Carm. Jakarta: Dokpen KWI 2005.

Konsili Vatikan II, Konstitusi pastoral Gaudium et Spes (1965), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 271-395.

Leo XIII, Ensiklik Rerum Novarum (1891), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1999, 17-58.

Lobo, George V., Guide to Christian Living, A New Compendium of Moral The-ology, Christian Classic, Inc., Bangalore India 1991.

_______, Moral and Pastoral Question, Gujarat Sahitya Prakash, Anan 1985. May, William R., Moral Absolutes, Milwaukee: Marquette University Press,

1989.

Macquarrie, John and James Childress, A New Dictionary of Christian Ethics, SCM Press, Ltd., London 1986.

Mondin, Battista, Dizionario Enciclopecico del pensiero di Tommaso D’Aquino, Edizioni Studio Domenicano, Bologna 1991.

O’Connel, Timothy E., Principles for a Catholic Morality, Harper San Fransisco, New York 1990.

Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae (1968).

_______, Octogessima Adveniens (1971), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 443-482.

Peschke, Karl H., Christian Ethics, Moral Theology in the Light of Vatican II, Vol. 1, Logos Publication, Manila 1994.

Pinckaers, Servais, OP., The Sources of Christian Ethics, T&T Clark, Edinburgh, 1995.

Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno (1931), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 59-131.

Pontifial Council fpr Justice and Peace, Compendium of The Social Doctrine of the Church, Vatican City: Libreria Editrice Vaticana 2004.

Poole, Ross, Moralitas dan Modernitas, di bawah bayang-bayang Nihilisme (Pengantar oleh Dr. J. Sudarminta SJ), Kanisius, Yogyakarta 1993. Ramsey, Paul, Nine Modern Moralists, Prentice Hall, New York 1962. Salzman, Todd A., What are they saying about Catholic Ethical Method? Paulist

Press, Mahwah, New York 2003.

Sinode Para Uskup Sedunia, Iustitia in Mundo (1971), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 483-510.

Stackhouse, Marx L. and Don S. Browning, eds, God and Globalization vol 2: The Spirit and the Modern Uthorities, Trinity Press International, Har-risburg 2001.

(25)

Spohn, William C., What are they saying about scripture and ethics? New York: Paulist Press 1995.

Sparks, Richard C., Contemporary Christian Morality, The Crossroad Pub-lishing Company, New York 1996.

Vidal, Marciano, Manuale Etica teologica: Morale fondamental, Cittadella Editrice, Assisi 1994.

Wendland, Heinz-Dietrich, Etica del Nuovo Testamento, Paedeia Editrice, Brescia 1975.

Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris (1963), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 213-269.

Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, dalam Kumpulan Dokumen ASG, 583-653

_______, Ensiklik Laborem Exercens (1981), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 655-721.

_______, Esortasi Apostolik, Reconciliazione e penitenza, Editrice Elle Di Ci, Torino 1985.

_______, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, dalam Kumpulan Dokumen ASG, 723-797.

_______, Ensiklik Centesimus Annus, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja dari Eerum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta: Dokpen KWI.

_______, Ensiklik Veritatis Splendor, Departemen Documentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1994.

Referensi

Dokumen terkait

Betapapun, campursari membawa nilai – nilai yang membuat orang semakin tidak meninggalkan budaya Jawa nembang, meskipun disitu juga ada kontra karena bukan mnampilkan

Hasil penelitian menunjukkan persepsi mahasiswa S1 dan D3 Tata Busana Jurusan Kesejahteraan Keluarga terhadap kegiatan observasi PLI di dunia

Data yang diperoleh pada variabel perkecambahan dianalisis dengan deskriptif, sedangkan data yang diperoleh pada variabel pertumbuhan dianalisis dengan uji F pada taraf 5%

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : ”Perbedaan Pengetahuan Tentang Pencegahan Kusta pada Siswa Sekolah Usia 10-11 Tahun melalui Pemberian

Faktor yang berhubungan dengan pengobatan kusta antara lain pengetahuan penderita, kepatuhan minum obat, dukungan keluarga, akses terhadap pelayanan kesehatan dan peran

 besar &olekul yang lebih ke'il dari ukuran pori dapat masuk ke dalam partikel &olekul yang lebih ke'il dari ukuran pori dapat masuk ke dalam partikel dan karenanya

Dari tabel 1 dan grafik 1 maka data diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VIIIA di SMP Muhammadiyah 1 Sukoharjo dengan menggunakan model