• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sumatera Barat yang memiliki beraneka ragam adat istiadat dan budaya. Istimewanya adalah adat istiadat di Minangkabau mengatur semua aspek kehidupan masyarakat sehingga yang ada di Minangkabau masih dipertahankan dengan kuat oleh masyarakat sampai sekarang (Halimi 2003, vi).

Islam di Minangkabau diamalkan dengan gaya adat Minang dan serta adat Minang dilaksanakan menurut ajaran Islam dengan landasan dan acuan dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam yang intinya bahwa “Adat Minangkabau itu adalah agama Islam”. Ini seiring dengan filsafat masyarakat Minang “Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara’ mangato Adaik mamakai” yang artinya Islam mengajarkan, memerintahkan, menganjurkan sedangkan Adat melaksanakannya. Keberadaan kepemimpinan di Minangkabau, seperti niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai secara bersama terus berupaya mengimplementasikan nilai-nilai falsafah tersebut dalam menangani masalahah-maslahah kehidupan dalam masyarakat.

Sebagai pemimpin seorang penghulu atau niniak mamak punya peran dan tanggung jawab yang besar dalam memelihara masyarakat kaum, suku dan nagarinya (Nur 2002, 31). Penghulu atau niniak mamak di Minangkabau mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu atau niniak mamak suatu nagari di Minangkabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, “Elok nagari dek Pangulu sumarak nagari dek nan mudo”.

Susunan masyarakat Minangkabau adalah menurut kesukuan yang mengikuti garis perempuan atau ibu. Bila dihubungkan bentuk susunan

(2)

masyarakat ternyata bentuk kesukuan menurut garis perempuan itu belum mengalami perubahan, walaupun adat Minangkabau sudah mengalami kedatangan pengaruh secara silih berganti dari luar. Orang Minangkabau masih terikat oleh satu kesatuan keturunan yang ditarik menurut garis ibu atau perempuan (Syarifuddin 1984, 182). Walaupun seseorang tersebut beristri atau bersuami, ia tidak termasuk kedalam keluarga istri atau suaminya namun tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sesuai dengan ungkapan pantun adat yang menyatakan:

“Kaluak paku kacang balimbiang (bengkok paku kacang belimbing) Bao bajalan lenggang lenggangkan (bawa berjalan ayun-ayunkan) Anak dipangku kamanakan di bimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing)

Urang kampuang dipatenggangkan” (orang kampung dihormati) (LKAAM Sumatera Barat 2002, 10)

Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa laki-laki di Minangkabau memiliki dua tanggung jawab. Selain sebagai ayah bagi anak-dan istrinya, ia juga bertanggung jawab terhadap kemenakannya serta segala hal segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga matrilinealnya. Urusan tersebut bisa beupa penyelesaian persengketaan antar anggota kaumnya, menentukan harta pusaka hingga membantu kerabat perempuannya dalam perkawinan.

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi Sunnah beliau. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada laki-laki dan perempuan yang telah mampu dalam hal ini disapa adalah generasi muda untuk melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Sebagaimana Rasulullah menyeru dalam HadisNya :

(3)

:

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Rasulullah SAW berkata: Wahai para pemuda siapa saja di antara kamu yang telah sanggup untuk kawin, hendaklah ia kawin, karena dengan kawin mata akan legih terjaga dan kemaluan akan lebih terpelihara, dan bilamana kamu belum mampu untuk kawin, hendaklah kamu berpuasa, karena puasa itu ibaratkan pengembiri (benteng).(al-Kahlani 1996, 109).

Di Indonesia sebuah perkawinan dapat mempunyai kekuatan hukum jika perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan ghalidzan) perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan berumah tangga.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggungjawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau mendapatkan haknya masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perkawinan yang telah mereka lakukan (Rofiq 2013, 91).

Dalam peraturan Indonesia banyak perundang-undangan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di antaranya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Agar sebuah perkawinan dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (P2N) maka haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan Indonesia. Untuk prosedur ini diatur lebih jelas oleh PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1

(4)

Tahun 1974 dari pasal 2 sampai 11. Namun pihak Kantor Urusan Agama (P3N) dapat saja untuk tidak memproses sebuah perkawinan apabila tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan dan juga tidak sesuai dengan prosedur pencatatan perkawinan.

Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya dalam pasal 5:

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat lain, setiap perkawinan harus dicatat.

2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954.

Di Minangkabau bukan hanya orang tua yang memiliki peran terhadap anaknya namun mamak juga berperan dalam membimbing kemenakan, memelihara dan mengembangkan harta pusaka serta mewakili keluarga dalam urusan keluar. Membimbing kemenakan adalah kewajiban mamak. Mamak berkewajiban membimbing kemenakan dalam bidang adat, bidang agama, dan bidang perilaku sehari-hari. Kalau kemenakan melakukan kesalahan, mamak akan malu. Masyarakat akan berkata begini ”kamanakan sia tu atau sia mamaknyo tu?“ (Zulkarnain 1997, 57).

Selain itu, untuk mewujudkan agama peran orang tua sangat utama bagi anaknya dalam mengurus proses perkawinan. Namun hal ini tidak bisa terlepas dalam sistem kehidupan masyarakat yang menempatkan perkawinan menjadi persoalan dan urusan niniak mamak atau penghulu suku dan kaum kerabat yang lainnya. Perkawinan menurut adat Minangkabau ialah aqad dan serangkaian acara yang dilakukan oleh dua suku yang berlainan, sehingga seorang lelaki diakui sebagai suami dan menjadi urang sumando dalam suku perempuan itu (Halimi 2003, 53) Sedangkan syarat-syarat perkawinan dianggap sah menurut adat Minangkabau ialah:

1. Perkawinan itu mesti sah menurut syara’.

2. Perkawinan itu mesti mendapat izin dari mamak atau penghulu suku, baik bagi seorang perempuan ataupun laki-laki.

(5)

3. Perkawinan itu bukan perkawinan yang dianggap terlarang atau perkawinan sumbang.

4. Perkawinan itu telah diselenggarakan menurut adat yang berlaku pada nagari orang yang melakukan perkawinan (Halimi 2003, 56) Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa di dalam adat Minangkabau dalam masalah perkawinan itu harus mendapat izin dari mamak atau penghulu suku, baik bagi seorang perempuan ataupun lelaki yang hendak melaksanakan perkawinan. Di Minangkabau mamak tidak saja berperan menyelesaikan sengketa waris, tapi juga berperan dan ikut andil dalam masalah perkawinan, seperti halnya yang terjadi di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

Proses perkawinan di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam harus melibatkan niniak mamak atau penghulu suku. Niniak Mamak atau penghulu suku, akan menyetujui perkawinan kemenakannya. Surat BP4 (Badan Pembina Penasehat Pelestarian Perkawinan) diserahkan untuk mamak (saudara laki-laki) kepada niniak mamak atau penghulu suku pada saat acara manakok hari untuk mendapatkan tanda tangan niniak mamak. Kemudian niniak mamak atau penghulu suku menyerahkan surat yang telah diterimanya ke kantor wali nagari untuk mendapatkan surat model N. Atau mengingat keadaan sekarang ini niniak mamak atau penghulu suku sibuk dengan aktivitasnya maka boleh juga dilakukan oleh calon mempelai atau keluarga menyerahkan surat yang telah ditandatangani niniak mamak ke kantor wali nagari untuk mendapatkan surat model N. Surat model N tersebut digunakan sebagai syarat agar perkawinan tercatat di KUA dan mendapatkan Buku Nikah (Okziarni 2016).

Jika peranan niniak mamak sangat dibutuhkan dalam prosedur perkawinan, namun kemudian niniak mamak atau penghulu suku tidak memberi izin perkawinan mereka, maka akan berdampak terhadap pencatatan perkawinan kepada pasangan yang hendak menikah sehingga

(6)

tidak memenuhi syarat pencatatan perkawinan. Pegawai Pencatat Nikah tidak mau memproses perkawinan mereka agar tercatat. Berakhir pasangan yang hendak menikah tersebut melakukan perkawinan secara sirri.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Tilatang Kamang kabupaten Agam yaitu pasangan antara Lukman Rasyid dan Yetna Putriani yang mana perkawinan mereka lakukan di Pulai jorong PSB, Kenagarian Gadut, Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Adapun yang menjadi wali nikah Yetna Putriani adalah kakak kandungnya yang bernama Saparudin karena ayah kandungnya telah meninggal. Pekawinan mereka tidak disetujui oleh mamak Yetna Putriani selaku niniak mamak yang dibuktikan bahwa mamak dari Yetna Putriani tidak mau menandatangani surat izin untuk menikah. Akhirnya mereka menikah secara sirri tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (YP 2016).

Berdasarkan permasalahan yang penulis temukan ini, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam terhadap eksistensi niniak mamak dalam perkawinan serta implikasinya terhadap pasangan yang hendak menikah di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Dengan demikian penulis berkeinginan untuk meneliti fenomena ini lebih lanjut dalam sebuah skripsi yang berjudul “EKSISTENSI NINIAK

MAMAK DALAM PERKAWINAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PENCATATAN NIKAH (Studi Kasus di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam).

2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut yang menjadi rumusan masalah adalah: Bagaimana eksistensi niniak mamak dalam perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam?

Adapun pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah :

2.1 Bagaimana proses perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam?

(7)

2.2 Bagaimana kedudukan niniak mamak dalam kebudayaan masyarakat di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam? 2.3 Bagaimana dampak peran niniak mamak terhadap pencatatan nikah

di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam? 2.4 Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap peran niniak mamak

dalam perkawinan di kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang kamang Kaupaten Agam?

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah:

3.1 Untuk mengetahui proses perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

3.2 Untuk mengetahui kedudukan niniak mamak dalam kebudayaan masyarakat di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

3.3 Untuk mengetahui dampak peran niniak mamak dalam perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. 3.4 Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap peran niniak

mamak dalam perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

Adapun yang menjadi kegunaan dari skripsi ini adalah:

3.1 Sebagai sumbangan pemikiran penulis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama dalam disiplin ilmu hukum Islam.

3.2 Sebagai tambahan masukan bagi civitas akademik Fakultas Syari’ah khususnya untuk Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah dalam pengetahuan terkait masalah eksistensi niniak mamak dalam perkawinan.

3.3 Memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan studi strata 1 (S1) pada Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

(8)

4. Penjelasan Judul

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap maksud judul penelitian ini, penulis memandang perlu utuk menjelaskan beberapa kata penting dari judul tersebut:

Eksistensi : (Existere), hal berada, keberadaan, partai-partai yang eksistensinya memang tidak dapat dipertahakan lagi, dipersilahkan mundur dari percaturan politik. (Tim Prima Pena, 241). Adapun yang dimaksud eksistensi dalam skripsi ini adalah keberadaan atau kedudukan niniak mamak dalam perkawinan.

Niniak Mamak : Kepala atau pemimpin sebuah suku (Salmadanis, Samad, 72), seorang laki-laki dari suatu kaum telah dituakan dan jadi “tampek baiyo dan bamolah” (bermusyawarah) walaupun dia masih muda. Perkawinan : Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Implikasi : Keadaan terlibat, keterlibatan, tindakan ikut campur, yang termasuk. ( Tim Prima Pena, 342) Adapun yang dimaksud dengan judul “Eksistensi Niniak Mamak dalam

Perkawinan dan Implikasinya Terhadap Pencatatan Nikah (Studi Kasus di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam)” adalah bagaimana keberadaan atau kedudukan niniak mamak dalam perkawinan dan dampaknya terhadap pencatatan nikah.

5. Metodologi Penelitian 5.1. Metode Penelitian

(9)

5.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) berdasarkan pendekatan wilayah (social legal research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala objektif sebab terjadi di lokasi tersebut (Fathoni 2006, 96).

Dalam penelitian ini, lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

5.1.2 Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data sekunder:

5.1.2.1 Sumber data primer adalah yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun yang menjadi data primer adalah :

Niniak Mamak

 Kantor Urusan Agama (Pegawai Pencatat Nikah)

 Wali Nagari

Alim ulama atau Cadiak pandai

 Pasangan yang menikah

5.1.2.2 Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dari sumbernya tapi melalui perantara sumber lain. Sumber yang dianggap masih sesuai dengan masalah yang diteliti adalah pucuak adat nagari, wali nagari, pasangan yang hendak menikah, orang tua mempelai, tokoh masyarakat serta buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan tema permasalahan yang dirasa perlu.

(10)

5.1.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik wawancara. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab yang penulis lakukan dengan para pihak yang berkaitan dengan penelitian yaitu pihak Kantor Urusan Agama, wali nagari, niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, tokoh masyarakat, keluarga para pihak, pasangan mempelai dan lain-lain.

5.1.3 Teknik Analisis Data

Dalam menganalisa data yang digunakan metode deskriptif analisis yaitu mengadakan dan melakukan interpretasi analisa terhadap data melalui penggambaran yang terjadi untuk mengetahui keadaan sebenarnya (Suroto 1990, 59).

5.2 Metode Istinbath Hukum

Dalam kajian Ilmu Ushul Fiqh untuk menetapkan suatu hukum fikih selain dari yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis, maka para mukallaf menggerakkan segenap kemampuan nalarnya yang dibuat dengan ijtihad. Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum namun tidak semua motode itu disepakati penggunaannya oleh ulama yaitu istihsan, mashalih al-Mursalah, Istishab, ‘Urf, Syar’u Man Qablina, Mazhab Shahabi dan Zara’i.

Namun dalam pembahasan ini penulis hanya menggunakan dua metode istinbath hukum, yaitu:

5.2.1 ‘Urf

Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu (فرعي فرع ) sering diartikan dengan “al-ma’ruf) dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kata ‘urf juga terdapat dalam al-Quran dengan arti ma’ruf yang artinya kebajikan (berbuat baik). Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu

(11)

mutaradif (sinonim). Seandainya kedua kata itu merangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf, tidaklah berarti kata ‘adat dan ‘urf itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata ‘adat. (Syarifuddin 2011, 387)

Kata ‘adat dari bahasa Arab akar katanya ‘ada ya’udu ( داع – دوعي) mengandung arti perulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut.

Penggolongan macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi (Syarifuddin 2011, 388):

5.2.1.1 Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, maka úrf itu ada dua macam:

- ‘Urf qauli yaitu kebiasaan yang berlaku dalam

penggunaan kata-kata atau ucapan. Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (muannas). Dalam kebiasaan sehari-hari orang Arab untuk memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut.

- ‘Urf fi’li yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.

Seperti kebiasaan jual beli barang-barang yang murah dan kurang begitu bernilai maka transaksi antara

(12)

penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad). (Syarifuddin 2011, 391) 5.2.1.2 Dari segi ruang lingkup penggunaannya, maka úrf itu ada

dua macam:

- ‘urf al-Amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan

berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunanan tempat fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.

- ‘urf al-Khashsh yaitu adat kebiasaan yang berlaku

secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 × 10 meter.

5.2.1.3 Dari segi keabsahannya, maka ‘urf itu ada juga dua macam:

- Al-’urf ash-Shahih yaitu adat kebiasaan masyarakat

yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang

(13)

membatalkan peminangan adalah pihak perempuan, maka hantaran yang diberikan kepada perempuan yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.

- ‘urf al-Fasid yaitu adat kebiasaan masyarakat yang

bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebaliknya dari Al-’urf ash-Shahih, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram atau sebaliknya. Misalnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir dan lain-lain.

Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-’urf ash-shahih sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di natar mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan al-’urf sebagai dalil dibandingkan dengan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. (Syarifuddin 2011, 395)

5.2.2 Mashlahah Mursalah

Mashlahah Mursalah bersal dari dua kata yaitu mashlahah dan mursalah. Mashlahah berasal dari kata shalaha yang artinya baik. Sedangkan mashlahah berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan. (Syarifuddin 2011, 345)

Mursalah adalah isim maf’ul dari fi’il madhi dalam bentuk kata tsulasi yang artinya terlepas dan bebas. Maksudnya terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak

(14)

bolehnya dilakukan. Jadi mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dan sejalan dengan tujuan syara’ dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan manusia. (Syarifuddin 2011, 354)

Mashlahah mursalah itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah di antaranya (Syarifuddin 2011, 359):

5.2.2.1 Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.

5.2.2.2 Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlatahan bagi umat manusia.

5.2.2.3 Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Quran dan Sunnah, maupun ijma’ ulama terdahulu.

5.2.2.4 Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan. (Syarifuddin 2011, 360)

(15)

6. Tinjauan Kepustakaan

Agar tidak terjadi penciplakan dengan karya ilmiah yang telah ada, penulis melakukan tinjauan kepustakaan. Berdasarkan tinjauan yang telah penulis lakukan, sejauh ini belum ada penelitian yang serupa dan dilakukan, hanya saja memiliki tema yang sama, yaitu:

6.1 Skripsi yang ditulis oleh Weli Sofia Rina, Bp 304. 136, yang berjudul “Peranan Niniak Mamak dalam Proses Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus Kenagarian Sialang Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota”. Adapun rumusan masalah skripsi adalah a) Bagaimana proses perkawinan yang terjadi di Kenagarian Sialang? b) Apa tugas dan fungsi niniak mamak di Kenagarian Sialang? c) Tinjauan Hukum Islam terhadap peranan niniak mamak dalam proses perkawinan yang terjadi di Kenagarian Sialang?

Kesimpulan skripsi ini adalah a) Proses perkawinan di Kenagarian adalah mencari jodoh, manjonguak an, maminang atau ma anta tando, maimbau ka 4 jinih, akad nikah, walimatul urs, ma anta marapulai, manjalang mintuo dan nusyuz. b) Tugas dan fungsi niniak mamak di Kenagarian Sialang dalam proses perkawinan mulai dari acara maminang atau ma anta tando sampai pada nusyuz. c) Adanya suatu peranan niniak mamak dalam proses perkawinan di Kenagarian Sialang yang telah diterapkan secara adat istiadat merupakan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun maka perbuatan tersebut dibolehkan berdasarkan ‘urf shahih (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam masyarakat diterima oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’ serta diharapkan dapat terpelihara keutuhannya. Jadi peranan niniak mamak tersebut dalam proses perkawinan di Kenagarian Sialang termasuk bagian dari ketentuan yang baik, bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat dan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik alam

(16)

adat maupun nagari serta dapat menjaga keutuhan rumah tangga dan dapat mempertahankan kepemimpinan yang baik.

6.2 Skripsi yang ditulis oleh Rachmad Mazni DT, Bemo Bp. 300.100 yang berjudul “Alasan Mamak Menolak Pernikahan Kemenakannya Ditinjau dari Hukum Islam (Studi kasus di Kenagarian Talang Maur Kecamatan Mungka Kabupaten Lima Puluh Kota). Adapun rumusan masalah skripsi adalah apakah penolakan mamak tersebut sesuai dengan Hukum Islam. Kesimpulan skripsi ini adalah a) bahwasannya alasan mamak penolakan yang dilakukan mamak terhadap kemenakannya tidak sesuai atau bertentangan dengan Hukum Islam. b) Hukum Islam menyatakan bahwa mamak terhadap kemenakan termasuk kepada orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahan. c) Tidak adanya dalil yang membolehkan tentang alasan penolakan yang dilakukan mamak terhadap pernikahan kemenakannya.

Sedangkan yang akan penulis bahas berbeda dengan skripsi yang telah ditulis oleh Weli Sofia Rina dan Rachmad Mazni. Di dalam pembahasan ini penulis memfokuskan tentang eksistensi niniak mamak dalam perkawinan dan dampaknya terhadap pencatatan perkawinan serta dalam wilayah penelitian yang berbeda dari sebelumnya.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan memuat uraian dalam bentuk essai (deskripsi yang menggambarkan alur logis dari bahasan skripsi mulai dari bab pendahuluan sampai bab penutup .

Bab I sebagai bab pendahuluan yang merupakan penjelsan-penjelasan yang erat sekali hubungannya dengan pembahasan, Bab I ini berisikan latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan judul, metode penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan.

(17)

Bab II merupakan landasan teoritis perkawinan yang meliputi masalah pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, prosedur perkawinan, dan pencatatan perkawinan.

Bab III tentang gambaran umum lokasi penelitian yang terdiri dari sejarah dan sistem pemerintahan, letak dan keadaan geografis, ekonomi dan pendidikan, keagamaan dan hubungan sosial masyarakat serta adat dan tradisi kemasyarakatan.

Bab IV akan menjelaskan tentang peran niniak mamak dalam perkawinan dan implikasinya terhadap pencatatan nikah yang meliputi proses perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, kedudukan niniak mamak dalam kebudayaan masyarakat di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, dampak Peran niniak mamak terhadap Pencatatan Nikah di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam dan Tinjauan hukum Islam terhadap peran niniak mamak dalam perkawinan di Kenagarian Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Tilatang Kamang Kabupaten Agam.

Bab V sebagai bab penutup dalam penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

musyârakah mutanâqisah 19 adalah akad kerjasama antara dua pihak (Bank dengan Nasabah), dalam kepemilikan suatu asset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung asset salah

guna bekerja padaperusahaan atau instansi. Sedangkan menurut ahli lain menyebutkan bahwa rekrutmen adalah proses mencari,menemukan, mengajak, dan menetapkan sejumlah

Oleh karena itu peneliti sangat tertarik pada proses belajar mengajar di MA Sunan Giri dengan menggunakan metode Terapi Realitas Terhadap Siswa Yang Malas Belajar disesuaikan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah mengungkapkan tentang persoalan mengenai nikah sirri yang merupakan polemik dalam agama Islam. Dimana secara khusus akan dibahas

pengetahuan alam, bahasa, dan keagamaan Madrasah Aliyah Negeri Purwodadi berkeinginan untuk meningkatkan hasil belajar siswa, oleh karena itu diharapkan adanya kerjasama

Dalam penelitian ini, perlu dilakukan analisis terhadap kasus-kasus perlindungan konsumen, untuk mencari penyebab atau hambatan-hambatan yang menyebabkan belum

Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan untuk memberikan gambaran secara singkat dan global isi skripsi tersebut agar mudah di pahami, berupa saran-saran

Menurut (Desmita,2011:185) menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua untuk menemukan dirinya, melalui proses mencari identitas ego, yaitu merupakan