• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Kong Tek ( 公德) Pada Ritual Pemujaan Leluhur Tionghoa di Medan: Kajian Antropolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Kong Tek ( 公德) Pada Ritual Pemujaan Leluhur Tionghoa di Medan: Kajian Antropolinguistik"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka digunakan untuk memaparkan karya-karya

ilmiahkhususnya yang berkaitan dengan kajian dalam bidang antropolinguistik

yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif. Dengan metode kualitatif (Koentjaraningrat, 1991)

bertujuan menjelaskan secara tepat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok

tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu

gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat Tionghoa yang melaksanakan

tradisi ritual kong tek( 德). Dengan analisis kualitatif dari Denzin, dkk (2009:6)

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dalam tradisi kong tek( 德)menekankan

sifat realita yang terbangun secara sosial dan memiliki hubungan erat antara

peneliti dengan subjek yang diteliti dan tekanan situasi yang membentuk

penelitian.

2.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian

(Singarimbun, 1989:33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta

sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan

ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental

dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk

(2)

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang

digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang

apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat

mengaburkan tujuan penelitian.

2.1.1 Tradisi Kong Tek()

Tradisi kong tek ( 德)berhubungan dengan religi didasarkan atas emosi

keagamaan. Emosi keagamaan yang dialami masyarakat Tionghoa dari negeri

leluhurnya. Emosi keagamaan kong tek ( 德) mendorong masyarakat Tionghoa

melakukan tindakan-tindakan bersifat religi mempunyai ciri-ciri khusus untuk

sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara masyarakat mereka.

Unsur-unsur penting dalam tradisikong tek ( 德) dilakukan dengan tiga unsur

yang lain yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat

yang menganut religi itu.

Kong Tek (Hokkian) atau Gong De (Mandarin) adalah sebuah

sinkretisme antara kepercayaan tradisional, persepsi Buddhisme dan konsep

Taoisme. Ritual ini dilakukan atas persepsi "pelimpahan jasa kepada yang telah

meninggal" dalam agama Buddhis.Kong tek 德 dalam kebudayaan

masyarakat Tionghoa merupakan suatu sistem religi, oleh karena selain memiliki

emosi keagamaan, juga memiliki unsur-unsur sistem keyakinan, yang

memusatkan perhatian kepada konsep tentang roh-roh leluhur; sistem upacara

(3)

Sistem upacara mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus

yaitu: (1) tempat upacara keagamaan; (2) saat saat upacara keagamaan dijalankan;

(3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) pelaku upacara. Keempat unsur upacara

ini disusun oleh dua dimensi yaitu waktu (saat upacara) dan ruang (mencakup

tempat, benda dan alat, serta pelaku) upacara.

Kong tek 德 merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada

pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang

merupakan perkembangan dari animisme dimana manusia percaya bahwa

mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling manusia. Kong tek

dilakukan untuk mengingat dan menghargai jasa orang/keluarga yang telah

meninggal. Kerabat atau keluarga yang masih hidup membakar beberapa

persembahan yakni segala macam kebutuhan primer dan sekunder dalam bentuk

kertas. Tujuan dilaksanakannya ritual kong tek 德 adalah untuk mensucikan

roh leluhur. Kepercayaan terhadap roh leluhur dalam religi suku bangsa Tionghoa

sudah sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua,

yang kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada mahluk-mahluk halus

lain seperti dewa dewa alam, roh nenek moyang, hantu dan lain-lain.kong tek (

德)harus dilakukan pada tempat-tempat tertentu yaitu di kelenteng, vihara, di tepi

sungai ataupun pantai.

Ritual kong tek ( 德) pada masyarakat etnis Tionghoa dilakukan

berdasarkan beberapa tujuan yaitu kelestarian dengan masa lampau,

penghormatan terhadap kebijaksanaan orang-orang tua, harapan akan berkat yang

(4)

dengan memberikan persembahan, sesajian dan doa bagi kebahagiaan mereka,

serta menghilangkan ketakutan akan kutukan roh jahat dan bernasib sial. Prinsip

dasar dari hal-hal tersebut mengacu pada pemahaman masyarakat Tionghoa

bahwa roh atau jiwa dari orang yang telah meninggal tetap memperhatikan dan

tetap mengasihi orang-orang yang masih hidup.

2.1.2 Ritual Pemujaan Leluhur

Tata kehidupan moral yang berlaku dalam masyarakat Tionghoa

didasarkan atas Konfusianisme, yaitu mengajarkan tentang falsafah moral.

Konfusius meletakkan dasar berpikir humanistis dalam masyarakat. Sistem etika

yang diajarkan Konfusius menyangkut keselarasan hubungan manusia.

Di antara segala bentuk hubungan sosial, Konfusius memberikan

penekanan pada hubungan moral dalam keluarga, dimana keluarga sebagai

kelompok sosial terkecil merupakan inti kesejahteraan dalam masyarakat.

Keluarga merupakan inti dari kehidupan tradisional masyarakat. Sikap serta

penghormatan terhadap orang tua dan nenek moyang, mendasari praktik ajaran

moral keluarga, selanjutnya diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya

menjadi dasar dalam kehidupan di seluruh negara. Oleh karena itu, perwujudan

dalam mempraktekan ajaran Konfusius akan tampak nyata dalam upacara-upacara

tradisional. Dalam kehidupan keluarga, hubungan antara ayah dan anak laki-laki

menduduki tempat tempat terpenting, yang merupakan pusat dari sebuat konsep

moral yaitu bakti atau xiao (孝).

Bakti sudah merupakan suatu konsep etika yang penting pada masyarakat

(5)

ajaran moral yang melibatkan hubungan antara ayah dan anak laki-laki dan juga

pada hubungan-hubungan sosial lainnya yang lebih luas. Dalam masyarakat

Tionghoa, kewajiban seorang anak terutama anak laki-laki adalah berbakti

terhadap orangtuanya. Seorang anak laki-laki tidak boleh berhenti berkorban bagi

orangtua dan juga bagi leluhurnya. Seorang anak yang berbakti tidak terbatas pada

saat orangtua masih hidup saja tetapi diteruskan ketika mereka telah meninggal.

Konfusius menganjurkan sikap bakti ini dan mewujudkannya sebagai

sikap perkabungan bagi orang tua dan leluhur dalam jangka waktu yang panjang.

Tata ibadah penghormatan bagi leluhur dilakukan untuk mengenang kembali cinta

kasih orangtua serta nenek-nenek dan kakek yang telah tiada. Mengenang kembali

kebajikan dan jasa yang telah dilakukan para leluhur guna dijadikan suri tauladan

bagi perilaku dan tindakan-tindakan anak serta cucu selanjutnya. Kedua hal

tersebut tersebut melatar belakangi dasar pemikiran bagi penghormatan leluhur

dalam masyarakat Tionghoa. Penghormatan leluhur yang telah menjadi tradisi

setelah sekian lama, secara tidak langsung juga turut berperan dalam setiap

keluarga Tionghoa.

2.1.2.2 Ritual Kematian Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa melakukan ritual kematian karena percaya dengan

adanya alam gaib dan ada keyakinan hubungan timbal balik antara yang hidup dan

yang mati dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka yang masih di dunia.

Proses ritual kematian terdiri dari tahap persiapan, dimana seluruh anggota

keluarga menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan saat ritual.

Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang

(6)

etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan

dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan

yang paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan

prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat, ritual yang

dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati

nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual

memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai

dan mempraktikkan.

Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya

ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya

akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini,

manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup.

Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak

mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki

fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1)

ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat

kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok.

Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana

pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3)

ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Menurut kepercayaan Tionghoa, perjalanan arwah merupakan perjalanan

dari hidup setelah mati. Walau seorang meninggal, butuh waktu beberapa jam

(7)

meninggal. Setelah dia tahu kalau sudah meninggal, dia akan panik, bigung, resah

dan takut menghadapi kondisi dan situasi yang begitu asing baginya. Dia tidak

tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana. Keadaan arwah seperti ini perlu

mendapat penghiburan, bimbingan dan perlindungan agar arwah menjadi tenang

dan pasrah menerima keadaannya. Untuk itu dibutuhkan beberapa upacara ritual

duka yang sudah dikenal, sesuai dengan aliran kepercayaan atau agama yang

dianut oleh almarhum atau oleh keluarganya.

Bagi masyarakat Tionghoa, arwah orang yang baru meninggal biasanya

masih berada dirumah bersama keluarganya atau masih berada di alam kehidupan

dunia untuk beberapa lama, ada yang selama beberapa hari sampai beberapa tahun

baru dapat "naik" ke alam arwah. Arwah yang belum naik ini memang masih

dapat gentayangan kemana saja yang dia mau. Dia dapat gentayangan kemana

saja dia berkunjung di alam transisi atau alam peralihan dari alam dunia ke alam

arwah, yang juga disebut alam arwah gentayangan. Ada banyak penyebab yang

membuat arwah belum dapat naik ke alam arwah, seperti rasa dendam dan

penasaran, keterikatan pada keduniawian, ilmu non Ilahi, dan lain lain. Arwah

yang belum dapat naik ini perlu ditolong dan dibimbing untuk "dinaikkan" atau

"diseberangkan" atau juga disebut "disempurnakan".

Upacara ritual untuk arwah hanya bermanfaat untuk arwah yang belum

naik atau arwah yang masih berada dalam alam arwah gentayangan. Seperti

upacara "pengiriman rumah dan uang(kertas)" untuk arwah, yang dilakukan umat

Kong Hu Cu dan Taois. Kiriman rumah, uang dan macam-macam barang duniawi ini hanya bermanfaat atau berguna bagi arwah yang belum naik. Setelah arwah

(8)

tidak ada gunanya. Semuanya harus ditinggalkan, tidak ada satupun yang dapat

dibawa masuk ke alam arwah.

Pada umumnya arwah tidak mempermasalahkan jenasahnya dikubur atau

dikremasi. Rasa khawatir dan takut kalau mati dikubur atau dikremasi yang

muncul pada waktu masih hidup tidak akan ditemukan. Juga rasa khawatir dan

takut kalau nanti meninggal arwahnya akan kelaparan karena tidak disembahyangi

oleh keluarganya, sebab keluarganya sudah pindah agama, juga tidak akan terjadi.

Kesemuanya hanya kekhawatiran manusiawi pada waktu masih hidup.Banyak

upacara ritual untuk arwah yang masih dilakukan oleh keluarga Tionghoa. Seperti

yang masih banyak dilakukan oleh ummat Konghucu dan Taois khususnya ritual

kong tek( 德).

Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan

bahwa ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan

makna, memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri

sebagai fenomena budaya. Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang

atau berbeda dalam praktek dan penerapan keyakinan serta agama. Namun

demikian, antara ritual dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat

sering kita jumpai dalam praktik di kehidupan masyarakat atau individu penganut

ritual tersebut.

2.1.3 Masyarakat Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur

mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun

(9)

kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang

berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan

dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan

sebaliknya.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia terdiri dari empat kelompok bahasa

utama yaitu Hokkien, Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu

berbicara dengan dialek yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat

sekitar 2 juta penutur asli bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda

terdapat di Indonesia pada tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan

20.000 penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Lewis, 2005: 391).

Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya

pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara lokal

dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan karya

sastra ―peranakan‖ di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam varian

dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah silat

(seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam

bahasa Melayu dan Indonesia. Adapun kontribusi bahasa Indonesia dalam tradisi

kong tek ialah pemakaian bahasa Hokkian seperti kata ―Hio” dan ―Kong Tek”

yang tetap dipakai dan tidak berubah bahasa dan maknanya hingga saat ini.

Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa

(10)

Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh

lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang

pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun

surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah

kemerdekaan (Kahin, 1991:61).Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa

dianggap memainkan sebuah ―peranan penting‖ dalam perkembangan bahasa

Indonesia modern(Kahin, 1991:65).

2.1.3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda

dengan kebudayaan-kebudayaan etnik dan ras lainnya. Namun demikian, di

kalangan masyarakat Tionghoa dan etnik-etnik di Indonesia juga setuju bahwa

orang Tionghoa memiliki asal-usul tempat budayanya yang kemudian migrasi ke

Indonesia beberapa abad yang lalu. Tempat asal atau wilayah budaya awal mereka

adalah daratan Cina.

Secara umum Etnik Tionghoa di Indonesia membuat lingkungannya sendiri

untuk dapat hidup secara ekslusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau

tradisi leluhur. Ong Hok Khan (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan

disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai

kelompok minoritas. Etnik Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat

nonpribumi yang berimigrasi ke Indonesia. Selain prang Tionghoa, ada juga

masyarakat Tamil, Sikh, Hindustan, Arab, dan Eropa, yang datang dengan

berbagai kepentingan sosial ke Indonesia ini, baik dari masa sebelum Indonesia

(11)

Etnik Tionghoa ini memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang

migrasi yang besar baik dari Malaysia (Malaya) ataupun Dataran Cina. Mereka

didatangkan ke Medan dan Sumatera Utara, karena tenaganya dibutuhkan di

perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah kolonial

Belanda di abad ke-19. Seperti diketahui Sumatera Utara memiliki tembakau Deli

yang dikelola oleh pengusaha Belanda yang diketuai oleh Jacobus Nienhuijs.

Sebahagian orang Tionghoa ada yang beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Namun ada pula yang berperilaku eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan

mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi.

Selain itu masyarakat Tionghoa melakukan akulturasi dan beradaptasi

dengan masyarakat Indonesia. Mereka berhasil dalam berbisnis serta

mempertahankan identitas budayanya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap

agama mereka. Begitu juga tradisi menghormati leluhurnya, yang menjadi

bahagian yang tidak terpisahkan dengan sistem religi mereka.

Dalam bukunya yang bertajuk The Overall Survey of the Ocean's Shores

(瀛涯勝覽), Ma Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur)

dapat dicapai dari Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma

Huan menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni

terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur

laut ada laut, sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah

selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao

(12)

Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki

daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar), kota Cina―saat

itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana

pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan

kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada

tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang

menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua situs-situs Tionghoa tersebut

(Fatima, 1991).

Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli

didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak perkebunan

di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar berprofesi

sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat orang

Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda,

dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian, Tjong A Fie

diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian (Fatima, 1991:67).

Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa

kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa

Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera.

Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli

dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada tahun

1980-an daerah ini dikenal sebagai daerah yang miskin dengan jumlah penduduk

yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis menemukan

(13)

Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang Tionghoa yang

tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera, khususnya Deli.

Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh,

serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an

menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian

bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan

bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun

sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti

berubah menjadi pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka

mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis usaha

mereka demi meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan

hingga kini.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini

peneliti akan menggunakan teori etnografi untuk mendeskripsikan paparan

etnografi pada masyarakat etnik Tionghoa. Alasan memilih teori di atas bertujuan

memperlihatkan mengapa dan bagaimana masyarakat etnik Tionghoa

merevitalisasi dan mempergunakan tradisi mereka di tengah perubahan sosial

yang terjadi sesuai dengan kondisi masyarakat Kota Medan yang heterogen.

2.1.3.2 Kepercayaan

Dalam kehidupan orang Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu

Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu

(sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Tionghoa memang sangat toleran terhadap soal-soal

(14)

Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak

kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut

berpadu menjadi satu.

Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (Kong Fu Tze atau Konfusius)

dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah ―Rujiao” 儒教 yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Meskipun

kadang-kadang orang menganggap bahwa Khonghucu merupakan suatu

pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.

Apabila ingin memahami secara benar dan utuh tentang “Ru Jiao” 儒教 atau Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam Khonghucu Ru Jiao 儒教

juga memiliki ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama

Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia

atau disebut ren dao (人道) dan bagaimana manusia melakukan hubungan dengan

Sang Khalik/Pencipta alam semesta “tian dao”(天道) yang disebut dengan istilah

"Tian" (天) atau "Shang Di" 帝 . Konfusianisme mementingkan akhlak

yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di

bumi dengan baik. Penganutnya diajarkan supaya tetap mengingat nenek moyang

seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah

dan etika yang mengajarkan bagaimana manusia bertingkah laku.

Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan

penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang

keramat atau penunggu yang tidak patut disembah, yang diutamakan dalam

(15)

Konfucianis bertujuan untuk mencapai kehidupan sebagai seorang budiman dan

lebih memperhatikan sisi moralitas atau kesusilaan, maka para Taois lebih

memperhatikan sisi pendalaman diri, yang walaupun secara eksplisit, pada

akhirnya dapat diwujudkan kepada suatu keagungan luar dengan mengembalikan

sisi kehidupan ke jalan kebenaran melalui cara Tiada Berbuat, pengolahan diri

sejati, ataupun pencerminan apresiasi seni yang bernafaskan unsur kejiwaan dan

pikiran .

Ada lima etika yang merupakan aspek penting dari lima hubungan

Konfucius yakni hubungan seseorang dengan atasan, orang tua, suami istri, orang

tua dan teman-teman. Etika Konfucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi

pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara;

berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan dan dapat

dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang

kepada anak dan saudara yang lebih muda.

Pada prinsipnya etika Konfucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan

diri (self cultivation) serta nilai-nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga,

masyarakat dan negara bahkan dunia. Menurut Po (2009:464) Etika Konfucius

terdiri dari Ren 仁, Yi义, Li礼 disamping Zhi 智 dan Xin 信 yang merupakan

komponen penting dalam sistem moral yang membentuk manusia Junzi. Junzi

melambangkan berbudi luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa

berhenti secara konsisten selama hidupnya. Bahkan semua orang didesak untuk

menjadi Junzi dalam pikiran dan perbuatan dan terus mengejar kehidupan yang

(16)

语)adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan, bertindak sebelum bicara,

kehati-hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata-kata, menunjukkan

bakti kepada orang tua, menampilkan menghormati untuk saudara-saudara,

bergaul dengan orang yang memegang prinsip moral, suka belajar, mencintai

orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat baik kepada orang lain,

akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani, tabah, memiliki motivasi,

berpikiran adil dan ZhongShu忠恕 (Tiong Si). Zhong Shu ini disebut Golden Rule dimana ―Jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain

lakukan untuk Anda.―

Taoisme adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari Cina. Taoisme

sudah berumur ribuan tahun, dan akar-akar pemikirannya telah ada sebelum masa

Konfusianisme. Tao adalah kekuatan utama didalam alam semesta yang terdapat

pada semua benda dan lebih menekankan keserasian hubungan manusia dengan

alam. Sifat-sifat keduniawian yang tak terkendali, seperti ambisi, kekayaan, dan

kemelekatan terhadap suatu pengetahuan ataupun nafsu keinginan akan

mengacaukan dan mengeringkan energi. Seorang Taois harus dapat selalu

menyatukan diri atau bersatu dengan Tao dalam suatu tingkat kesadaran diri yang

tak tergoyahkan. Menyatukan diri dapat juga berarti senantiasa menjaga

keseimbangan Yin dan Yang dalam dirinya dan penyatuan antara roh

(17)

Taoisme memiliki empat ajaran yaitu:

1. Tao, yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat. Tapi merupakan

proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang

ada di alam semesta

2. Yin dan Yang, Tao melahirkan sesuatu yang disebut dengan Yin

(Positif) dan Yang (Negatif), yin dan yang saling melengkapi untuk

menghasilkan tenaga dan kekuatan. Tenaga tersebut berasal dari semua

benda di dunia yang hidup maupun mati mengandung Ying dan Yang

yang saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.

3. Pandangan tentang manusia, menurut pandangan taoisme manusia

yang sombong dan melakukan hal diluar kemampuannya, maka suatu

saat dia akan mendapat celaan yang akan membuatnya berduka dan

menderita. Maka seseorang yang mengenal Tao dan hukum alam akan

mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan

padanya. Walaupun sebenarnya Tao tidak melarang seseorang untuk

menyingkirkan segala harta bendanya. Yang perlu dibuang adalah rasa

kemelekatan akan harta tersebut.

4. Etika, dalam menjalani kehidupan yang ada, manusia mengarah pada

kehidupan yang alamiah tanpa proses ikut campur. Kehidupan yang

alamiah inilah yang menjadikan suatu kebijakan dasar yang memicu

munculnya tiga buah kebajikan lain dalam menuntun kehidupan

selanjutnya, yaitu lemah lembut, rendah hati, dan menyangkal diri.

Para Taois mempercayai bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga

(18)

waktu mimpi), dan apabila terdapat dorongan keinginan dapat menyebabkan

tersesatnya roh tersebut. Untuk menjaga dan menyelaraskan roh seseorang, maka

penting dijaga kehidupan fisik maupun penyatuan keseluruhan entitas diri.

Seorang Taois yang suci mengolah dirinya dalam suatu tingkat kebatinan yang

bersifat kosong tapi berisi, dengan senantiasa menyucikan diri dari segala

kemelekatan. Dengan kosong dari segala bentuk kekotoran batin, maka seorang

Taois dipenuhi oleh energi murni (yuan chi'). Energi murni ini terdapat dalam setiap manusia yang akan tercemar pada saat dilahirkan di dunia.

Buddhism mempercayai adanya suatu proses kelahiran

kembali(punabhava). Semua mahluk hidup yang ada di alam semesta ini akan

terus menerus mengalami proses tumbal lahir selama mahluk tersebut belum

mencapai tingkat kesucian. Alam kelahiran tersebut ditentukan oleh karma

mahluk tersebut. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garukha Kamma yg

artinya karma pada detik kematiannya.

Proses Reinkarnasi dalam Buddhism: pada saat jiwa lahir kembali, roh

yang utama kekal, namun raga kasarlah yang rusak sehingga roh harus berpindah

ke raga yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki raga

yang baru, roh utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang

terdahulu, yang berpengaruh pada baik buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang

lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya terdahulu agar tidak

mengenang duka yang bertumpuk di masa lampau sebelum mereka bereinkarnasi.

Mereka menjalani suatu hasil dahulu di surga atau neraka, tergantung hasil

(19)

neraka adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwanya memasuki

raga yang baru.

2.2. Landasan Teori

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori antropolinguistik

karya Allessandro Duranti. Di dalam buku ini Alessandro Duranti (1977:14)

menyebutkan bahwa meskipun pendekatan antropolinguistik terhadap kajian

tradisi lisan ‗terkesan‘ tumpang-tindih dengan pendekatan linguistik budaya

(cultural linguistics) dan etnolinguistik (ethnolinguistics) (Folley, 1997:16 ).

Dengan jabaran penekanan tertentu pada kajian antropolinguistik, yaitu penekanan

antropolinguistik dalam menggali makna, fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal

suatu tradisi lisan, konsep ketiganya dapat dibedakan. Pendekatan

antropolinguistik juga mampu merumuskan model revitalisasi dan pelestarian

suatu tradisi lisan. Dalam hal inilah ciri pembeda kajian antropolinguistik dengan

pendekatan yang lain terlihat kuat dan menonjol (Sibarani, 2012) .

Penulis buku tersebut juga menunjukkan bahwa linguistik-antropologi

juga terbentang luas bersama kajian Etnografi yang menjadi elemen penting

dalam kajian ilmu bahasa. Kajian linguistik-antropologi tersebut juga

menggambarkan mengenai inspirasi intelektual (intellectual inspiration) yang

berasal dari hubungan interaksional, berdasarkan pada perspektif aktivitas dan

pemikiran manusia. Dalam buku tersebut, penulis menjelaskan bahwa aktifitas

(20)

sosial masyarakat. Bab awal dalam buku tersebut menjelaskan mengenai gagasan

budaya atau biasa disebut dengan the notion of culture. Selanjutnya dijelaskan mengenai metodologi dalam etnografi dan transkripsi.

2.2.1 Teori Antropolinguistik

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan

secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak

lain kebudayaan yang ―menciptakan‖ manusia sesuai dengan lingkungannya.

Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara

manusia dan kebudayaan. Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang

unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi

sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan dan penyebarluasan

kebudayaan. Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena

bahasa mencakup hampir semua aktifitas manusia. Hingga akhirnya linguistik

memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisplin,

salah satunya adalah antropologi linguistik.Antropologi lingustik adalah salah satu

cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama

untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam

tindakan bermasyarakat.(Lauder,2005:231)

Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan

kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa dalam mempelajari

bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya,

bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial

(21)

dari budaya lain, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain

secara tepat sesuai dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat

dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya (Robert Sibarani 2004: 50).

Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bukan

hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam

konteks situasi sosial budaya. Melalui antropologi linguistik, kita mencermati apa

yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan

gestur dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1).

Di Amerika yang melopori ilmu antropologi linguistik adalah Franz Boas,

sedangkan di Eropa di pakai istilah etnolinguistik (Duranti,1997). Melalui

pendekatan antropologi linguistik, kita mencermati apa yang dilakukan orang

dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan gesture dihubungkan

dengan konteks pemunculannya (Duranti,2001:1). Malinowski (dalam Hymes,

1964:4) mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri

bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental,

dan psikologis; apa hakekat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana

hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cenderung

dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi

partisipan dalam suatu pertuturan.

Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik,

yakni studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek

lain dari kehidupan manusia, yang ketiga bidang tersebut dipelajari dari kerangka

(22)

bahasa dan kerangka kerja antropologi didasarkan pada kajian seluk-beluk

kehidupan manusia.

Antropolinguistik terhadap tradisi lisan dimulai dari unsur-unsur

non-verbal. Struktur dan formula unsur verbal dan non-verbal tradisi lisan dapat

dijelaskan melalui pemahaman struktur teks dan konteksnya sehingga pemahaman

bentuk juga menjadi pemahaman performansi tradisi lisan. Dengan kata lain,

antropolinguistik mempelajari teks dan performansi tradisi lisan dalam kerangka

kerja antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial,

dan konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Disamping

bertujuan menemukan formula yang dirumuskan dari struktur teks dan konteks

(bentuk) tradisi lisan, antropolinguistik menggali nilai, norma, dan kearifan lokal

(isi) tradisi lisan serta berupaya merumuskan model penghidupan kembali,

pengelolaan, dan proses pewarisan (revitalisasi) tradisi lisan. Nilai dan norma

budaya tradisi lisan dikristalisasi dan ditemukan makna dan fungsinya. Dari

makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan

tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan

norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan (Sibarani,

2004:25).

Dalam pembahasan ritual kong tek 德 ada tiga pendekatan utama

dalam kajian antropolinguistik yaitu performansi (performance), indeksikalitas (indexicalty), partisipasi (participation), yang terbukti efektif dalam mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan situasi),

suatu tradisi lisan yang dilatarbelakangi unsur-unsur budaya dan aspek kehidupan

(23)

2.2.1.1 Performansi, Indeksikalitas, Partisipasi

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan

manusia, pusat perhatian atau perhatian utama antropolinguistik (Duranti, 1977:14)

ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation). Melalui performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif,

yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan

sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan

atau kegiatan berbahasa tersebut.

Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles

Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),

simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang

ditandai. Indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti

pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina diri (personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial

expressions). Partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors). Kajian

tentang aktivitas sosial lebih penting dalam kajian teks itu sendiri.

Finnengan (1991) mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting

dalam menyajikan sastra lisan yaitu:

1. Composition 2. Transmission

(24)

Dalam pendekatan etnografi, performansi dapat dipandang sebagai

satu ―lahan‖ lain di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis

yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman

terhadap sastra lisan. Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh perhatian

pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik

dalam kehidupan masyarakat tertentu. Beberapa komponen yang berperan dalam

penyajian adalah penyaji (performer), audience, situasi, dan pengorganisasian

penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian

(Bauman, 1993:3).

Dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992), Finnengan memperkaya tiga aspek diatas dengan membagi aspek audience menjadi empat

kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya

hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil

gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat

dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang (kelompok)

yang mendapatkan informasi dari pemberitaan lisan atau media massa (hlm.

98-100). Disamping itu, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat

diaplikasikan dalam menganalis dan membandingkan teks dengan memperhatikan

aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui

penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi.

Lebih lanjut Finnengan mengatakan bahwa performansi adalah suatu

(25)

budaya, dan estetik. Selanjutnya, Finnengan mengatakan bahwa performansi

dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) performansi yang

ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak diampilkan di

hadapan audiens dalam kondisi tertentu. Model performansi pertama

dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan

sakral. Finnengan juga mengatakan bahwa dalam performansi melibatkan unsur

performer (orang yang melakukan pertunjukan), audiens dan partisan

(orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang

digunakan, baik verbal maupun material).

Performansi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi acara ritual

yang diikuti oleh biksu dan keluarga Tionghoa yang melakukan ritual kong tek 德 . sebelum ritual dilakukan keluarga Tionghoa yang mengadakan ritual

kong tek 德 berkumpul dan mengumpulkan segala kebutuhan yang

diperlukan selama ritual dilaksanakan. Adapun tahap-tahap yang dilakukan

sebelum ritual kong tek 德 dimulai yaitu: (1) sembahyang (2) membakar

Hio/Dupa (3) Membakar Lilin. Kemudian keluarga Tionghoa yang melaksanakan

ritual kong tekmelakukan syarat-syarat upacara kong tek 德 yaitu: (1)

membakar uang kertas (2) Memberikan Persembahan/Sesajian (3)Membaca

Mantera. Setelah syarat-syarat upacara dilaksanakan kemudian masuk ke acara

inti yaitu: (1) membakar rumah replika, dan (2) Berkomunikasi dengan Arwah.

Partisipasi yang terlibat di dalam ritual kong tek 德 adalah

beberapa orang biksu dan keluarga inti yang terdiri dari adik, kakak, anak laki-laki

dan perempuan, menantu laki-laki dan perempuan serta cucu-cucu almarhum.

(26)

karena itu anak laki-laki yang memimpin upacara ritual kong tek

德 .Indeksikalitas yang terdapat dalam ritual kong tek 德 berupa rumah

replika yang terbuat dari kertas lengkap dengan isinya beserta sesajian buah,

makanan dan minuman yang dipersembahkan pada ritual kong tek 德 .

2.2.1.2 Parameter Antropolinguistik

Dalam mengkaji penggunaan bahasa, antropolinguis memegang dan

menerapkan tiga parameter, yakni (1) keterhubungan (interconnection), (2)

kebernilaian (valuability), dan (3) keberlanjutan (continuity). Keterhubungan itu hubungan linier yang secara vertikal atau hubungan formal yang secara horizontal.

Hubungan formal berkenaan dengan struktur bahasa atau teks dengan konteks

(situasi, budaya, sosial, ideologi) dan ko-teks (paralinguistik, gerak-isyarat,

unsur-unsur material) yang berkenaan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan

hubungan linier berkenaan dengan struktur alur seperti performansi. Kebernilaian

memperlihatkan makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya

sampai pada kearifan lokal aspek-aspek yang diteliti. Keberlanjutan

memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai budayanya dan

pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014: 319).

2.2.2 Tradisi Lisan

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks,

ko-teks, dan konteks. Teks memiliki struktur, ko-teks memiliki elemen, dan

konteksnya memiliki kondisi, yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian

(27)

seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan

nonverbal seperti teks pengantar.

Koteks adalah seluruh unsur yang mendampingi teks seperti unsur

paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya yang terdapat dalam

tradisi lisan. Konteks mensyaratkan bahwa semua tradisi lisan harus memiliki

peristiwa tradisi lisan, yang disebut dengan performansi.

Konteks merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, situasi, dan

ideologi tradisi lisan. Pada hakikatnya semua tradisi lisan memiliki teks, ko-teks,

dan konteks dalam satu performansi (kegiatan/aktivitas tradisional), akan tetapi

teks tradisi lisan yang verbal dan sebagian verbal merupakan unsur internal tradisi

lisan nonverbal merupakan media kesaksian, penyampaian atau transmisi tradisi

lisan itu seperti tradisi permainan rakyat.

Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma, yang dikristalisasi dari makna,

maksud, peran, dan fungsi. Tingkat pertama isi adalah makna atau maksud dan

fungsi atau peran. Tingkat kedua adalah nilai atau norma, yang dapat

diinterfernsikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya

keyakinan terhadap nilai atau norma itu. Tingkatan ketiga adalah kearifan lokal

yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan

sosial secara arif. Dalam hal ini ritual kong tek( 德) sebagai tradisi yang

diwariskan dari nenek moyang memiliki nilai budaya dan sosial bahwa yang

hidup harus selalu bekerja dan berdoa agar mereka bisa mempersembahkan

sesuatu untuk leluhur yang sudah meninggal, berkaitan dengan pemikiran

(28)

mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam hidup serta akan jauh dari

ketidakberuntungan.

Bagi masyarakat Tionghoa kematian bukanlah akhir dari segalanya tetapi

hanyalah peralihan ke alam lain. Mereka berfikir bahwa leluhur yang telah mati

pindah dari dunia ini kealam yang tidak kelihatan, dari dunia manusia ke alam roh.

Orang Tionghoa yakin bahwa leluhur akan menjaga keselamatan dan

kemakmuran keluarganya dibumi. Bagi mereka, arwah leluhur adalah teman yang

kuat dan sanggup mendatangkan hal yang baik, menjaga kesejahteraan dan

memberikan perlindungan. Jika diabaikan atau dibuat tersinggung, roh leluhur

akan mendapatkan malapetaka, penyakit, kemiskinan, dan kesengsaraan.

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa orang memiliki jiwa yang tidak bisa mati.

Jika seseorang berbuat baik semasa hidup maka jiwanya akan kesurga tapi jika ia

jahat maka jiwanya akan dihukum keneraka. Masyarakat Tionghoa

menggabungkan gagasan ini dengan kepercayaan tradisional.

Penjelasan tersebut mengindikasi bahwa penelitian tradisi lisankong tek 德 harus dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan.

Dengan demikian, penelitian atau kajian tradisi lisan harus mampu menjelaskan

tiga komponen besar tradisi lisan, yakni bentuk, isi dan model revitalisasi atau

pelestarian mencakup penghidupan/ pengaktifan kembali/ perlindungan,

pengelola/pengembangan, dan proses pewarisan/pemanfaatan tradisi lisan serta

kearifan lokal kepada komunitas pendukungnya dan kepada masyarakat pada

(29)

2.2.3 Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu

masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan

kehidupan masyarakat. The local wisdom is the community’s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage the

community’s social order or social life (Sibarani, 2014).

Defenisi pertama lebih menekankan pada kebijaksanaan atau kearifan

untuk menata kehidupan sosial yang berasal dari nilai budaya yang luhur,

sedangkan definisi kedua menekankan nilai budaya luhur yang digunakan untuk

kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial. Kearifan lokal memiliki

nilai budaya yang positif, tetapi perlu dipahami bahwa nilai budaya yang positif

pada komunitas masa lalu belum tentu semuanya positif pada komunitas pada

masa sekarang ini. Kearifan lokal mencakup adat istiadat lokal, norma lokal,

pengetahuan lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal,

institusi lokal, kemampuan pelaksanaan fungsi lokal. Kearifan lokal sering

dianggap padanan kata Indigenous Knowledge, yakni kebiasaan, pengetahuan,

persepsi, norma dan kebudayaan yang dipatuhi bersama suatu masyarakat (lokal)

dan hidup turun temurun (Sibarani, 2014).

Pemahaman tentang konsep dan substansi kearifan lokal sangat perlu agar

bermanfaat dalam menata kehidupan sosial komunitasnya bahkan bermanfaat

secara lintas komunitas. Tujuan akhir dari kearifan lokal adalah penerapannya

dalam pembentukan kepribadian generasi modal sebagai sosiokultural khususnya

untuk dua tujuan penting, yakni pencapaian kedamaian dan peningkatan

(30)

Untuk tujuan kedamaian, kearifan lokal berfungsi sebagai sumber

kebaikan atau kepribadian yang baik dalam berinteraksi sehingga tercipta

kedamaian dalam interaksi itu, sedangkan untuk tujuan kesejahteraan, kearifan

lokal berfungsi sebagai sumber kreativitas, deposit industri budaya, dan motivasi

keberhasilan untuk kemakmuran rakyat. Kedua tujuan kearifan lokal pada

akhirnya berfungsi membentuk karakter generasi muda yang memilki kepribadian

dan karakter cinta terhadap kedamaian dan kesejahteraan. Kearifan lokal pada

akhirnya berfungsi sebagai pembentukan kepribadian dan karakter yang baik,

sebagai elemen perekat kohesi sosial, sebagai cara pandang (worldview) atau landasan berfikir bersama sebuah komunitas, dan sebagai dasar berinteraksi

anggota komunitas baik secara internal maupun eksternal (Sibarani, 2014).

Setiap etnik di Indonesia memiliki banyak nilai budaya yang dapat

dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam rangka pembentukan

kepribadian yang kuat untuk tujuan pembentukan kedamaian dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Nilai-nilai budaya dari berbagai etnik di Indonesia pada

umumnya saling mengisi dan saling melengkapi untuk satu kearifan lokal.

Pada hakikatnya, tradisi budaya dikatakan teruji secara alamiah dan

dianggap bernilai baik karena tradisi budaya tersebut merupakan tindakan

sosiokultural yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement)

dalam kehidupan masyarakat. Jika tradisi budaya tidak lagi dianggap bernilai baik

oleh komunitasnya, tradisi itu tidak akan mengalami penguatan secara

terus-menerus dan akan ditinggalkan komunitasnya. Tradisi budaya yang bernilai baik

pun, tetapi dianggap tidak bermanfaat secara pragmatis, banyak ditinggalkan

(31)

transformasi sehingga mendapat tempat di hati komunitasnya. Kebermanfaatan

nilai tradisi budaya akan menjamin kealamiahan tradisi itu. Semakin bermanfaat

sebuah tradisi budaya, semakin hidup tradisi itu secara alamiah (Sibarani,

2014:175-176).

Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk, sedangkan norma

adalah sesuatu yang menyangkut benar dan salah. Oleh sebab itu, segala sesuatu

yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai dan sesuatu yang benar dan salah

disebut norma. Nilai dan norma budaya merupakan pedoman atau prinsip umum

yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap, berperilaku,

dan juga menjadi patokan untuk mengevaluasi dan mencermati bagaimana

individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Sistem nilai dan norma pada

umumnya begitu kuat meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga

menjadi bagian dari keyakinannya. Karena telah berakar, maka sistem nilai dan

norma itu sulit berubah dalam waktu yang singkat (Sibarani 2012: 179). Nilai dan

norma budaya yang dapat digunakan untuk menata kehidupan manusia itulah

yang disebut dengan kearifan lokal.

Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam

kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya

diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan,

gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli

lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial,

kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur

(Sibarani 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti yakni

(32)

kearifan lokal ini tersebut terdapat kearifan lokal tambahan (penunjang) sehingga

terdapat beberapa jenis kearifan lokal yaitu kearifan lokal inti (core local wisdoms)

kesejahteraan yang meliputi budaya kerja atau etos kerja, disiplin, pendidikan,

kesehatan, gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya,

peduli lingkungan serta kearifan lokal inti (core local wisdoms) kedamaian yang

meliputi kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan

penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif dan rasa bersyukur.

2.3 Penelitian Relevan

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, penelitian ini

memperhatikan kajian pustaka sebelumnya, baik berdasarkan teori-teori yang

relevan maupun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Adapun

penelitian-penelitian yang membantu dalam mengembangkan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Herman Utomo dan Selvie Utomo (2012) dalam bukuMengintip Perjalanan Arwah. Menganalisis perjalanan arwah (Budha,Konghucu,Tao) dan

bagaimana perjalanan arwah manusia setelah manusia meninggal.Tulisan dalam

buku ini adalah pengalaman pribadi penulis dalam mengamati dan memperhatikan

arwah orang yang telah meninggal. Penulis melakukan dialog dengan arwah

leluhur serta menjelaskan penjelasan para guru roh tentang perjalanan manusia

setelah meninggal.

Penelitian Herman Utomo dan Silvie memberikan kontribusi dan

(33)

setelah seseorang meninggal dunia, apa saja ritual duka dilakukan oleh keluarga

Tionghoa untuk menghibur arwah menurut kebudayaan tradisional ajaran

Khonghucu.

Pada buku yang lain yang berjudul Bakti Anak Kepada Orangtua. Herman Utomo dan Selvie Utomo (2012) mendeskripsikan sembahyang sebagi bakti anak

cucu dan keturunan agar lebih mengenal budi luhur dari orang tua. Buku catatan

leluhur ini diangkat kepermukaan untuk menjawab semua permasalahan antara

budi dan bakti.Penelitian Herman Utomo dan Selvie Utomo memberikan

kontribusi dari analisis tradisi kong tek pada ritual pemujaan leluhur Tionghoa yaitu bagaimana penelitian ini memaparkan tentang konsep bakti dalam pemikiran

masyarakat Tionghoa sehingga memberikan kontribusi kepada penulis dalam

menjawab permasalahan dalam masyarakat Tionghoa antara budi dan bakti

kepada orangtua.

Sabriandi Erdian (2008) dalam tesisnya yang berjudul Syair-Syair Upacara Kematian Enis Tionghoa mendeskripsikan syair-syair upacara kematian etnik Tionghoa. Upacara ini menganalisis tentang tahapan upacara kematian etnik

Tionghoa yang didalamnya juga terdapat unsur, bentuk, fungsi, makna dan

kesusastraan. Begitu juga hal nya dengan wacana bahasa untuk syair-syair upacara

yang dapat memproyeksikan bahasa dalam konteks sosial.Penelitian Sabriandi

Erdian memberikan kontribusi pada syair-syair yang dituturkan pada upacara

kematian tradisi kong tek. Sehingga penelitian ini memberikan kontribusi untuk menganalisis bentuk Linguistik syair-syair serta dialog yang terdapat dalam

(34)

Ratna Setyaningrum (2012) dalam buku" Alam Arwah Menurut Tradisi

Tionghoa". Tulisan ini menjelaskan tentang alam arwah yang masih dipercaya oleh masyarakat Tionghoa dari dulu hingga sekarang. Penelitian Ratna

Setyaningrum memberikan kontribusi tentang pemikiran masyarakat Tionghoa

yang masih menjadi pertanyaan besar yaitu kemanakah mereka setelah meninggal.

Apakah yang terjadi saat mereka meninggal, sampai sekarang masih terus

dipertanyakan dan dicari jawabannya. Dalam tulisan ini juga di bahas tentang

pandangan masyarakat Tionghoa terhadap kematian yang mengarah kepada

filsafat masyarakat Tionghoa dalam memandang kematian yang sangat berguna

pada penelitian tradisi kong tek pada ritual kematian Tionghoa.

Ruan Chang Rui (2012) dalam buku Dunia Khidmat mendeskripsikan

pemujaan roh sebagai gejala peradaban yang paling umum dalam masyarakat

manusia. Penelitian ini menganggap pemujaan roh sebagai kebiasaan primitif

yang masih berhubungan dengan pandangan agama. Penelitian Ruan Chang Rui

memberikan kontribusi terhadap pandangan-pandangan Taoisme, Buddhisme dan

Konfusianisme yang tumbuh menjadi sosok agama sinkritisme yang khas.

Ni Putu Lilis Arysta Dewi (2012) dalam bukuRitual Kematian Sebagai Media Pendidikan Nonformal Guna Memperkuat Tindakan Sosial Menghormati

Leluhur.Penelitian ini menjelaskan tentang proses ritual kematian masyaraka Tionghoa yang terdiri dari tahap persiapan. Tahap pelaksanaan yang merupakan

hari puncak dan jenazah dibawa ke pemakaman. Pasca pelaksanaan, melakukan

penghormatan dengan pergi ke kuburan almarhum dan membawa sesaji. Ritual

kematian dapat dijadikan media pendidikan yang mengandung nilai-nilai yang

(35)

bisa diteruskan ke generasi berikutnya secara berkesinambungan melalui

pendidikan nonformal, seperti mempekuat tindakan sosial menghormati leluhur.

Penelitian Ni Putu Lilis Arysta Dewi ini memberikan kontribusi

terhadapkegiatan etnis Tionghoa dalam melakukan ritual kematian karena ada

keyakinan hubungan timbal balik antara yang hidup dan yang mati dapat

mempengaruhi kualitas hidup yang masih di dunia.

Tedy Jusuf (2000) dalam bukunya yang berjudul Sekilas Budaya Tionghoa Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Isi buku ini merupakan

sublimasi dari budaya berbagai subetnik Tionghoa, dan dicoba ditulis dalam

kaidah-kaidah yang mungkin dapat disepakati. Penelitian Tedy Jusuf memberikan

kontribusi pada peneliti dalam menginventarisasikan budaya Tionghoa Indonesia

(36)

2.4 Kerangka Berpikir

Berdasarkan konsep-konsep diatas didapatkan kerangka berpikir dalam penelitian

ini yaitu:

Dari gambar kerangka berpikir tersebut dapat diuraikan bahwasannya

tradisi kong tek (公德) adalah salah satu tradisi lisan yang terdapat pada

masyarakat Tionghoa. Tradisi ini di teliti menggunakan ilmu antropolinguistik,

TRADISI LISAN

ANTROPOLINGUISTIK

Keterhubungan, kebernilaian,

keberlanjutan

Performansi, Indeksikalitas,

Partisipasi

ANALISIS ANTROPOLINGUISTIK

Teks Koteks Konteks

Struktur elemen kondisi

Nilai Budaya

Kearifan Lokal

(37)

dengan menggunakan tiga parameter antropolinguistik yaitu keterhubungan,

kebernilaian, dan keberlanjutan. Maka diperoleh performansi, indeksikalitas dan

partisipasi dalam tradisi kong tek (公德). Antropolinguistik mengkaji tradisi lisan

dalam beberapa lapisan kajian. Lapisan pertama mengkaji pada lapisan

seluk-beluk teks, koteks, dan konteks untuk menemukan struktur, formula atau pola

masing-masing. Lapisan berikutnya mengkaji seluk-beluk nilai dan norma budaya

yang diinterpretasikan berdasarkan makna, pesan, dan fungsi sebuah tradisi lisan.

Lapisan tersebut termasuk mengkaji kearifan lokal yang dapat diterapkan dalam

menata kehidupan sosial berdasarkan nilai dan normanya. Lapisan berikutnya

mengkaji proses revitalisasi dan pelestarian untuk menemukan pola pengaktifan

Referensi

Dokumen terkait

RAK Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok disusun berdasarkan pada Rencana Kerja Perubahan Tahun 2020, serta penetapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Perubahan Tahun

Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan hasil belajar IPS dapat diupayakan melalui model pembelajaran MM siswa kelas 4 SDN Ngajaran 03 Kecamatan

Peneliti menyimpulkan dari keseluruhan data, bahwa ada perbedaan antara sekolah yang terletak di kota dan dengan sosioekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah yang

Data yang diambil adalah data tanggal 30 Nopember tahun 2016 yaitu pada saat penelitian dimulai dengan pembebanan maksimalnya sekitar 75% dari daya terpasang

Arrange the jumbled letters to the correct words (susunlah huruf di bawah ini menjadi kata yang benar).. Arrange the jumbled words to the correct sentences (susunlah huruf di bawah

Studi Pemasangan Tapping Pada Transformator Distribusi Tiga Phasa (Aplikasi Pada PT. Morawa Elektrik Transbuana).. Repository University of

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan studi awal dari penelitian tentang emosi moral guna mengetahui macam-macam pelanggaran moral pada remaja, macam-macam

Dari pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan, maka didapat kesimpulan bahwa analisa data pada penelitian ini dapat dilakukan dengan bantuan program statistik SPSS 13 dan Simulasi