BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Otitis media supuratif kronis atau yang biasa disebut ‘congek’ bervariasi
pada setiap negara. Angka kejadian otitis media supuratif kronis yang rendah, di
negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang
dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0.9%, tetapi
prevalensi otitis media supuratif kronis yang tinggi juga masih ditemukan pada
ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8.2%, Indian 6%, dan
Aborigin 25% (Djaafar, 2008). Survei prevalensi diseluruh dunia, yang bervariasi
menunjukkan beban dunia akibat otitis media supuratif kronis melibatkan 65–330
juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita
kurang pendengaran yang bermakna (Aboet, 2007). Prevalensi otitis media
supuratif kronis pada beberapa negara antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygienie dan nutrisi yang buruk
(WHO, 2004).
WHO mengemukakan bahwa otitis media supuratif kronis diderita oleh
65-330 juta orang diseluruh dunia, dimana 60% diantaranya mengalami gangguan
pendengaran. Lebih dari 90% kasus ditemukan diwilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat, Pinggiran Pasifik, dan Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika,
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di
Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2008).
Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi tinggi untuk
penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara umum prevalensi
otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3,8% dan pasien otitis media
supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di poliklinik THT rumah
sakit di Indonesia. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh
kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 - 2008 diperkirakan sebesar 28 -
29% (Aboet, 2007). Dari penelitian yang dilakukan Santoso (2016) didapatkan
prevalensi otitis media supuratif kronis di provinsi Sumatera Utara tahun 2015
sebesar 3.5%, yang meliputi tipe aman sebesar 2.8% dan tipe bahaya sebesar
0.7%. Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita
otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah kelompok usia 10 - <20 tahun
sebesar 26.23%. untuk jenis kelamin laki-laki didapati lebih banyak menderita
yaitu sebesar 54.1% dari pada perempuan sebesar 45.9%
Otitis media supuratif kronis yang merupakan radang kronis mukosa
telinga tengah dan mastoid ditandai dengan adanya defek pada membran timpani
(perforasi membran timpani) dan adanya otorea yang persisten lebih dari 3 bulan
(Kenna & Latz, 2006; Chole & Nason, 2009). Riwayat keluarnya cairan dari
telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul
(Telian & Schmalbach, 2002). Cairan biasanya mukoid, encer, atau berupa nanah
Terjadinya otitis media akut menjadi awal penyebab otitis media supuratif
kronis yang merupakan invasi mukoperiosteum organisme yang virulen, terutama
berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna
& Latz, 2006). Status sosio-ekonomi yang rendah disertai akses terbatas
pelayanan kesehatan mungkin sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian
otitis media supuratif kronis (Koch et al., 2009).
Salah satu sekuele otitis media supuratif kronis yang sering menimbulkan
masalah berupa perforasi membran timpani yang menetap. Dampak perforasi
tersebut menimbulkan turunnya ketajaman pendengaran yang mengganggu
komunikasi. Infeksi berulang juga sangat mengganggu kondisi psikososial
penderita, makin sering infeksi berulang makin bertambah luas kerusakan jaringan
telinga tengah dan makin bertambah berat kerusakan pendengaran yang terjadi
(Soewito, 1994).
Pasien otitis media supuratif kronis yang datang ke RSCM Jakarta pada
tahun 2001 kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosio-ekonomi lemah.
Namun demikian sebagian besar ( 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah
pernah berobat ke dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang
dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang karena ketulian yang sudah
mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi (Djaafar,
2008).
Pada hakekatnya sumber daya manusia terdiri dari 3 unsur utama, yaitu
unsur informasi oleh panca indera, unsur pengambilan keputusan oleh sistem otak
merupakan salah satu hambatan yang sangat besar dalam kemampuan
berkomunikasi yang efektif. Kemampuan berbicara dan untuk memahami sesuatu,
sangat tergantung pada kemampuan memproses informasi suara yang didengar
(Ashley et al, 2009). Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada
umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif, namun dapat
pula bersifat tuli saraf atau tuli campur apabila sudah terjadi gangguan pada
telinga dalam. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi
membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di
telinga tengah (Djaafar, 2008). Infeksi kronis telinga tengah menyebabkan edema,
perforasi membran timpani, dan defek rantai tulang pendengaran yang
menyebabkan tuli konduksi berkisar antara 20-60 db (Verhoeff et al., 2006).
Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat tuli
konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali
kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga
gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis yang terjadi
sangat hebat (Djaafar, 2008).Penelitian pada hewan menunjukan bahwa mediator
inflamasi, penetrasi kedalam telinga dalam hingga round window membrane dan
menyebabkan kehilangan sel rambut koklea. Penelitian pada manusia menunjukan
bahwa sel rambut dalam dan luar pada basal koklea menurun pada pasien otitis
media supuratif kronis (Verhoeff et al., 2006).
Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan
fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara
dan manfaat dari operasi rekonstruksi telinga tengah terhadap perbaikan
pendengaran dapat ditentukan (Chole & Nason, 2009; Djaafar, 2008).
Salah satu cara untuk mengatasi ketulian yang timbul akibat otitis media
supuratif kronis adalah pembedahan rekonstruksi telinga tengah yang dikenal
dengan istilah timpanoplasti, suatu prosedur pembedahan untuk menghilangkan
proses patologik didalam kavum timpani yang diikuti oleh rekonstruksi konduksi
suara, disertai atau tanpa penanduran membran timpani. Prinsip utama
timpanoplasti menciptakan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi
telinga berair dan mengembalikan fungsi pendengaran. Keberhasilan operasi
timpanomastoidektomi adalah ketika dapat dilakukan eradikasi penyakit secara
komplit sekaligus perbaikan pendengaran. Pendengaran dapat dikatakan
bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran apabila dijumpai
kenaikan ambang dengar lebih dari 15 db yang dapat diukur dengan audioetri
nada murni (Soewito, 1994).
Perubahan histopatologik jaringan mukoperiosteum kavitas timpani
penderita otitis media supuratif kronis yang mendapatkan terapi akan kembali
normal setelah 12 minggu. Pada timpanoplasti tandur bertindak sebagai media
untuk migrasi epitel skuamosa permukaan luar dan mukosa membran timpani.
Dalam waktu 6-8 minggu, fasia telah dilapisi oleh epitel dari kedua permukaan,
sedangkan lapisan fibrosa dari jaringan ikat yang kaya fibroblast dibagian tengah
membran timpani baru terbentuk pada minggu ke2-5 setelah penempelan perforasi
oleh fasia. Penyembuhan dimulai 2-4 hari setelah operasi, epitel skuamosa pada
Melalui aktivitas fibroblast, limfosit dan kapiler terjadi regenerasi jaringan ikat
yang juga dimulai dari pinggir luka. Nutrisi yang diperlukan untuk regenerasi ini
didapat dari kapiler-kapiler disekeliling luka. Dalam waktu 2 minggu, tandur akan
sudah dilapisi epitel skuamosa (Fitri & Taufiq, 2004).
Penelitian yang dilakukan Fitri & Taufiq (2004) terhadap 52 pasien,
menunjukan angka keberhasilan miringoplasti dengan peningkatan pendengaran
sebesar 10-20 db sebanyak 33 kasus (63.3%), 17 kasus meningkat sebesar
21-30db (32.7%), dan peningkatan sebesar 31-40db sebanyak 4 kasus (0.8%).
Sengupta et al. (2010) melakukan penelitian terhadap pasien otitis media supuratif
kronis, mendapati hasil audiometri preoperatif 30% kasus dengan gangguan
pendengaran ringan, 57.5% dengan gangguan pendengaran sedang dan 12.5%
dengan gangguan pendengaran berat. Setelah dilakukan audiometri ulang 6 bulan
pasca operasi, secara keseluruhan dijumpai peningkatan pendengaran sebanyak
35%.
Peningkatan ambang dengar tidak dipengaruhi oleh tipe mastoidektomi.
Seperti yang dilaporkan Min-Beom et al. (2010), dimana rerata ambang dengar
kurang dari 20 db dijumpai pada canal wall down type (58.6%) dan canal wall up
type (68.4%).
Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar
yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi
timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini
gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan
kekambuhan penyakit.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan
ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada penderita otitis media
supuratif kronis.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas ingin dijawab beberapa masalah yang terkait
dengan penelitian yang dilakukan. Pertanyaan penelitian tersebut adalah apakah
terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media supuratif kronis
setelah timpanoplasti.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui apakah terdapat perubahan ambang dengar pada
penderita otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti.
1.3.2 Tujuan khusus
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan usia.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe otitis media
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe perforasi.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis ketulian.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe timpanoplasti.
- Untuk mengetahui perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan
pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
- Untuk mengetahui perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre
dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
- Untuk mengetahui rerata perbedaan ambang dengar pre dan pasca
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
- Untuk mengetahui besar peningkatan ambang dengar pasca
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
1.4Manfaat Penelitian
Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan ambang
dengar setelah timpanoplasti disertai besar peningkatannya pada penderita otitis
media supuratif kronis. Secara klinis data tersebut diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan acuan evaluasi keberhasilan operasi timpanoplasti pada penderita
otitis media supuratif kronis serta dapat memberikan gambaran prognosis