• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida

2.1.1 Pengertian Pestisida

Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan sida yang berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. USEPA dalam Soemirat menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme pengganggu. Pestisida adalah racun yang sengaja dibuat oleh manusia untuk membunuh organisme pengganggu tanaman dan insekta penyebar penyakit (Soemirat, 2003).

2.1.2 Formulasi Pestisida

(2)

Formulasi Padat

a. Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron) dengan aktivitas bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan.

b. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan.

c. Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah (sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 – 1 mm. Pestisida butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara manual maupun dengan mesin penabur).

d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air dan digunakan dengan cara disemprotkan bedanya, jika dicampur dengan air, SG akan membentuk larutan sempurna.

f. Tepung hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air) berbentuk tepung (ukuran partikel 10 – 30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan

(3)

1. Formulasi Cair

a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini.

b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC, tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan.

c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara disemprotkan.

d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.

(4)

penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan butiran semprot yang sangat halus.

2. Kode Formulasi pada Nama Dagang

Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di belakang nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang yaitu:

a. Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh herbisida Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Pestisida Furadan 3G berarti mengandung bahan aktif 3%.

b. Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang menunjukkan jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif dalam setiap liter produk Score 250 EC.

c. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan dengan garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP mengandung bahan bahan aktif Metalaksil-M 4% dan Mankozeb 64% dan diformulasikan dalam bentuk WP.

2.1.3 Klasifikasi Pestisida

Pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan organisme target dan cara kerjanya, yaitu:

(5)

Inseksida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. Menurut Djojosumarto (2008), insektisida dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan ―cara kerja‖ atau gerakannya pada

tanaman setelah diaplikasikan, yaitu: 1. Insektisida sistemik

Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang atau daun.

2. Insektisida nonsistemik

Insektisida nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman.

3. Insektisida sistemik lokal

Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut:

1. Racun lambung (Stomach poison)

Racun lambung (stomach poison) adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.

(6)

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut.

Racun pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. a. Fungisida

Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan. Cendawan ini merusak tanaman dengan berbagai cara. Fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasikan, yakni fungisida non sistemik, sistemik, sistemik lokal.

b. Herbisida

Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tumbuhan pengganggu yang tidak di kehendaki. Karena herbisida aktif terhadap tumbuhan, maka herbisida bersifat fitotoksik. Pergerakan herbisida masuk ke dalam tubuh tanaman dengan dua cara kerja, yaitu:

(7)

dikelompokkan menurut bidang sasarannya, kemana herbisida tersebut diaplikasikan, yakni sebagai berikut:

1. Herbisida tanah (soil acting herbicides), yakni herbisida yang aktif di tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea.

2. Herbisida yang aktif pada gulma yang tumbuh. Herbisida jenis ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Herbisida kontak, Herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut. Contoh herbisida kontak ini adalah propanil paraquat, dan diquat.

b. Herbisida yang ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma (sistemik) yang disebut pula translocated herbicides. Karena sifatnya yang sistemik, herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang berada dibawah tanah (rimpang, umbi). Contoh herbisida ini adalah metil metsulfuron, 2,4 D, dan glifosat.

c. Bakterisida

Bakterisida mengandung bahan aktif yang bisa membunuh bakteri. Bakterisida biasanya bekerja dengan cara sistemik karena bakteri melakukan perusakan dalam tubuh inang.

d. Nematisida

Nematoda yang berperan sebagai hama dibedakan menjadi:

(8)

2. Nematoda ektoparasit yang hidup di luar akar tanaman namun dengan stiletnya mampu menghisap cairan akar tanaman.

3. Nematoda endoparasit merupakan nematoda yang hidup sepenuhnya di dalam akar tanaman.

e. Akarisida

Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba. Bagian tanaman yang diserang adalah daun, batang, dan buah. Contoh akarisida yaitu Kelthene MF dan Trithion 4 E.

f. Rodentisida

Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat misalnya tikus. Contohnya Diphacin 110, Kleret RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak dan

Gisorin.

2.1.4 Klasifikasi Pestisida Menurut Rumus Kimia

Atas dasar rumus kimia pestisida dapat diklasifikasikan menjadi (Soemirat, 2003):

a. Pestisida Golongan Organoklorin

(9)

metoksiklor, metioklor), siklodin (aldrin, dieldrin, heptaklor, chlordane dan endosulfan) dan sikloheksan benzene terklorinasi (HCB, HCH). Semua organoklorin merupakan racun saraf. DDT disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873, namun efeknya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939. Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang pertanian dan kesehatan masyarakat. DDT sempat dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan hama serangga. DDT juga menyelamatkan jutaan orang dari penyakit malaria dan tifus dengan mengendalikan serangga penularnya (Sartono, 2002).

b. Pestisida Golongan Piretroid

Pada tahun 1970-an, senyawa piretroid menjadi buruan para ahli kimia perlindungan tanaman. Piretrum adalah pestisida alami yang merupakan ekstrak dari bunga chrysanthemum, Phyretrum cinerariaefollium (Dalmantian insect flower). Piretroid memiliki beberapa keunggulan diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spectrum pengendaliannya luas, tidak persisten dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik.

(10)

IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) pada tahun 1974. Piretroid merupakan racun saraf meskipun toksisitasnya jarang terlihat pada manusia. Gejala keracunan akibat pestisida ini adalah parestesia (kebal, kesemutan pada kulit), eksitasi saraf, tremor, konvulsi, paralisis dan kematian (Raini, 2007).

c. Pestisida Golongan Organofosfat

Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948 (Djojosumarto, 2008).

Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.

Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain (Sastroutomo, 2002):

(11)

(tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) >10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).

2. Kadusafos, merupakan pestisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.

3. Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Pestisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.

4. Klorpirifos, merupakan pestisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.

5. Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Pestisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.

6. Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan pestisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.

(12)

bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta pestisida rumah tangga. LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.

8. Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pestisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Pestisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.

9. Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan pestisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure

yang disarankan oleh Schrader. Paration merupakan pestisida memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat nonsistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk pestisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.

10. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Pestisida non-sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.

(13)

(translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57– 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.

d. Pestisida Golongan Karbamat

Kongres Entomologi Internasional ke-9 (1951), diumumkan dua jenis pestisida baru dari kelompok kimia yang baru pula. Kedua pestisida tersebut adalah dimetan dan pirolan dari kelompok karbamat. Dengan demikian, era karbamat mulai mendominasi pada tahun 1950-an, disamping organofosfat (Djojosumarto, 2008).

Pestisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat kolinesterase. Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga merupakan pestisida yang banyak anggotanya. Beberapa jenis pestisida karbamat antara lain (Sartono, 2002):

a. Aldikarb, merupakan pestisida sistemik yang cepat diserap oleh akar dan ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan pestisida yang paling toksik, dengan LD50 (tikus) sekitar 0,93 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 20 mg/kg. b. Benfurakarb, merupakan pestisida sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai pestisida tanah. LD50 (tikus) 205,4 (jantan) – 222,6 (betina) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.

(14)

Salah satu sifat unik karbaril yaitu efeknya sebagai zat pengatur tumbuh dan sifat ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel. LD50 (tikus) sekitar 500 (b) – 850 (j) mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 4.000 mg/kg.

d. Fenobukarb (BPMC), merupakan pestisida non-sistemik dengan kerja sebagai racun kontak. Nama resmi pestisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate. LD50 (tikus) sekitar 623 (j) – 657 (b) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 10.250 mg/kg.

e. Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Pestisida ini digunakan sebagai racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sebesar 20 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.

f. Propoksur, digunakan sebagai pestisida rumah tangga (antara lain untuk mengendalikan nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan. LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.

2.1.5 Toksisitas Pestisida

(15)

Toksisitas (toxicity) atau daya racun pestisida adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut merupakan pengaruh yang merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang dari 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD50, yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang uji (umumnya tikus) yang dihitung dalam mg/kg. LD50 merupakan indikator daya racun yang utama, di samping indikator lain. Dibedakan antara LD50 oral (lewat mulut) dan LD50 dermal (lewat kulit). LD50 oral adalah potensi kematian yang terjadi pada hewan uji jika senyawa kimia tersebut termakan, sedangkan LD50dermal adalah potensi kematian jika hewan uji kontak langsung lewat kulit dengan racun tersebut. Jika dinyatakan bahwa angka LD50 oral dari fenvalerat (suatu insektisida) adalah 451 mg/kg berat badan, hal tersebut menunjukkan bahwa dari sekelompok tikus yang masing-masing diberi makan 451 miligram fenvalerat

(16)

lainnya atau pemaparan dengan bahan-bahan tersebut yang berlangsung cukup lama (biasanya lebih dari 50 % rentang hidup). Sementara toksisitas sukronik mirip dengan toksisitas kronik, tetapi untuk rentang waktu yang lebih pendek, sekitar 10% dari rentang hidupnya, atau untuk hewan percobaan dengan pemaparan selama 3 bulan (Djojosumarto, 2008).

Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat bahaya pestisida menurut WHO

Kelas Bahaya LD50 untuk tikus (mg kg berat badan)

2.1.6 Metode Aplikasi Pestisida dan Petunjuk penggunaannya 2.1.6.1Metode Aplikasi Pestisida

Pestisida diaplikasikan dengan berbagai cara. Cara-cara mengaplikasikan pestisida diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Penyemprotan (Spraying)

(17)

(cerat, sprayer) atau atomizer yang terdapat dalam bentuk penyemprot (sprayer) menjadi butiran semprot atau droplet.

Menurut Wudianto (2007), alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida tergantung formulasi yang digunakan. Pestisida yang berbentuk butiran (granula) untuk menyebarkan tidak membutuhkan alat khusus, cukup dengan ember atau alat lainnya yang bisa digunakan untuk menampung pestisida tersebut dan sarung tangan agar tangan tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Pestisida berwujud cairan Emulsible Concentrate (EC) atau bentuk tepung yang dilarutkan

Wettable Powder (WP) atau Soluble Powder (SP) dan Soluble Liquid (SL) memerlukan alat penyemprot untuk menyebarkan. Sedangkan pestisida yang berbentuk tepung hembus bisa digunakan alat penghembus. Pestisida berbentuk fumigan dapat diaplikasikan dengan alat penyuntik pohon kelapa untuk jenis insektisida yang digunakan memberantas penggerek batang.

Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu alat semprot gendong (Knapsack Solo), pengabut bermotor tipe gendong (Power Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya. Penggunaan alat penyemprot ini disesuaikan dengan kebutuhan terutama yang berkaitan dengan luas areal pertanian sehingga pemakaian pestisida menjadi efektif.

(18)

melalui pernapasan. Langkah-langkah dalam mempersiapkan pestisida adalah sebagai berikut:

1. Buka kemasan dengan hati-hati agar pestisida tidak berhamburan atau memercik mengenai bagian tubuh.

2. Tuang pestisida ke dalam gelas ukur, timbangan, atau alat ukur lainnya. 3. Masukkan dalam ember khusus tempat pencampuran pestisida yang sudah di isi air terlebih dahulu. Jumlah air disesuaikan dengan konsentrasi formulasi yang dianjurkan. Usahakan jangan mencampur pestisida di dalam tangki penyemprot, karena tidak dapat dipastikan apakah pestisida dan air telah tercampur sempurna atau belum. Campuran yang tidak sempurna akan mengurangi keefektifannya.

4. Aduk dengan kayu sampai merata.

5. Masukkan cairan ke dalam tangka penyemprot.

(19)

b. Pengasapan (Fogging)

Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan pestisida dengan volume ultra rendah dengan menggunakan ukuran droplet yang sangat halus. Perbedaan dengan cara penyemprotan biasa adalah pada fogging (thermal fogging, hot fog) campuran pestisida dan solvent (umumnya minyak) dipanaskan sehingga menjadi semacam kabut asap (fog) yang sangat halus. Fogging banyak dilakukan untuk mengendalikan hama gudang, hama tanaman perkebunan dan pengendalian vector penyakit di lingkungan.

c. Penghembusan (Dusting)

Penghembusan (dusting) adalah aplikasi produk pestisida yang di formulasi sebagai tepung hembus dengan menggunakan alat penghembus (duster).

d. Penaburan Pestisida Butiran (Granule Distibution, Broadcasting)

Penaburan pestisida butiran (granule distribution, broadcasting) adalah penaburan pestisida butiran yang merupakan khas untuk mengaplikasikan pestisida berbentuk butiran. Penaburan dapat dilakukan dengan tangan atau mesin penabur (granule broadcaster).

e. Fumingasi (Fumingation)

(20)

gudang yang selanjutnya akan membentuk gas (bagi fumigant cair atau padat) beracun untuk membunuh OPT sasaran dalam ruangan tersebut.

f. Injeksi (Injection)

Injeksi (injection) adalah penggunaan pestisida dengan cara dimasukkan kedalam batang tanaman, baik dengan alat khusus maupun dengan member batang tanaman tersebut. pestisida yang diinjeksikan diharapkan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman melalui aliran cairan tanaman, sehingga OPT sasaran akan terkendali. Teknik injeksi juga digunakan untuk sterilisai tanah.

g. Penyiraman (Drenching, Pouring On)

Penyiraman adalah penggunaan pestisida dengan cara dituangkan di sekitar akar tanaman untuk mengendalikan hama atau penyakit di daerah perakaran atau dituangkan pada sarang semut.

2.7.1.2Petunjuk Penggunaan Pestisida

Untuk menggunakan pestisida harus diingat beberapa hal yang harus diperhatikan (Sastroutomo, 2002):

1. Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan pestisida.

2. Mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label.

3. Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.

(21)

5. Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain yang diperlukan.

6. Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila tercium.

7. Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan di tempat terbuka dengan menggunakan alat-alat yang bersih dan alat khusus. 8. Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan. 9. Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam, kecuali dianjurkan.

10. Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah angina.

11. Wadah bekas pestisida harus dirusak, dibenamkan, dibakar.

12. Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru diperlakukan dengan pestisida.

13. Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun.

2.2 Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia

(22)

a. Kontaminasi Melalui Kulit (dermal contamination)

Pestisida yang menempel di permukaan kulit bias meresap masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Risiko bahaya karena kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut:

1. Toksistas dermal (dermal LD 50) pestisida yang bersangkutan maka makin rendah angka LD 50 makin berbahaya.

2. Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, yaitu semakin pekat pestisida maka semakin besar bahayanya.

3. Formulasi pestisida misalnya formulasi EC dan ULV atau formulasi cair lebih mudah diserap kulit dari pada formulasi butiran.

4. Jenis atau bagian kulit yang terpapar yaitu mata misalnya mudah sekali meresapkan pestisida. Kulit punggung tangan lebih mudah meresapkan pestisida dari pada kulit telapak tangan.

5. Luas kulit yang terpapar pestisida yaitu makin luas kulit yang terpapar makin besar risikonya.

6. Kondisi fisik yang bersangkutan. Semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka semakin tinggi risiko keracunannya.

(23)

a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift pestisidanya dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.

b. Pencampuran pestisida. c. Mencuci alat-alat pestisida.

b. Terhisap masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation)

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari fogging) dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya penghirupan pestisida lewat saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD 50 pestisida yang terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.Pestisida berbentuk gas yang masuk ke dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Gas beracun yang terhisap ditentukan oleh:

1. Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara; 2. Lamanya pemaparan;

3. Kondisi fisik seseorang (pengguna).

(24)

a. Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur dan sebagainya) di ruangan tertutup atau yang ventilasinya buruk.

b. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas (misalnya fumigasi), aerosol serta fogging, terutama aplikasi di dalam ruangan; aplikasi pestisida berbentuk tepung (misalnya tepung hembus) mempunyai risiko tinggi. c. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernafasan). c. Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan melalui mulut (oral)

Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi kulit. Karacunan lewat mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:

1. Kasus bunuh diri;

2. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida;

3. Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida;

4. Drift (butiran halus) pestisida terbawa angin masuk ke mulut;

5. Meniup kepala penyembur (nozzle) yang tersumbat dengan mulut, pembersihan nozzle dilakukan dengan bantuan pipa kecil;

6. Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya diangkut atau disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau kemasan pestisida;

(25)

2.3 Keracunan Pestisida

Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.

b. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.

c. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.

Ada 4 macam pekerjaan yang dapat menimbulkan kontaminasi dalam penggunaan pestisida yakni:

(26)

b. Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprotkan. c. Mengaplikasikan atau menyemprot pestisida.

d. Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai.

Diantara keempat pekerjaan tersebut diatas yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah pekerjaan mengaplikasikan, terutama menyemprotkan pestisida. Namun yang paling berbahaya adalah pekerjaan mencampur pestisida. Saat mencampur, kita bekerja dengan konsentrat (pestisida dengan kadar tinggi), sedang saat menyemprot kita bekerja dengan pestisida yang sudah diencerkan.

2.4 Efek Paparan Pestisida terhadap Kesehatan

Semua pestisida mempunyai bahaya potensial terhadap kesehatan. Ada dua tipe keracunan yaitu keracunan langsung (akut) dan keracunan jangka panjang (kronis).

1. Efek Akut

(27)

adalah bila kuku berubah warna menjadi hitam atau biru, pada kasus yang serius kuku akan lepas (Peduto, 1996).

Efek sistemik muncul bila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Darah akan membawa pestisida ke seluruh bagian dari tubuh dan mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, perut, hati, lambung, otot, usus, otak dan syaraf. Gejala-gejala keracunan dan berapa cepat bekerjanya tergantung pada jenis bahan kimia, waktu dan kadar racun dalam pestisida tersebut.

2. Efek Kronis

Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan membutuhkan waktu untuk muncul atau berkembang. Efek kronis dapat dibagi dalam beberapa sistem: a. Sistem Saraf

Banyak pestisida yang digunakan di bidang pertanian sangat berbahaya bagi otak dan syaraf. Bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi sistem syaraf disebut neurotoksin. Beberapa gejala dari penyakit pada otak yang disebabkan oleh pestisida adalah masalah ingatan yang gawat, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan kesadaran dan koma.

b. Hati

Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi menetralkan bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida. Hal ini dapat menyebabkan hepatitis.

(28)

selama bertahun-tahun mengalami masalah sulit makan. Orang-orang yang menelan pestisida (baik sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut (Djojosumarto, 2008).

d. Sistem Kekebalan Tubuh

Reaksi alergi adalah gangguan sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini adalah reaksi yang diberikan tubuh kita terhadap bahan-bahan asing. Pestisida bervariasi dalam mengakibatkan reaksi alergi, setiap orang memberi reaksi berbeda untuk derajat penggunaan pestisida yang berbeda pula. Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh kita menjadi lebih mudah terkena infeksi atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk disembuhkan (Sutikno, 2002).

e. Keseimbangan Hormon

(29)

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia sampai berdampak buruk bagi kesehatan dapat melalui berbagai cara seperti:

1. Melalui Kulit

Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung pada kulit seperti pada saat penyemprot memegang tanaman yang baru saja disemprot, penyemprot mencampur pestisida tanpa sarung tangan atau ketika anggota keluarga mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk penyemprot atau pekerja lapangan, cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit (Rachmawati, 2001).

2. Melalui Sistem Pernapasan

Hal ini paling sering terjadi pada penyemprot yang menyemprot pestisida atau pada orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau.

3. Melalui Mulut

Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun tidak seperti pada saat makan atau minum air yang telah tercemar, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah menyemprot dengan pestisida.

2.5 Enzim Kolinesterase

2.5.1 Pengertian Enzim Kolinesterase

(30)

yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Achethilcholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organorgan di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulan yang diterima dijalankan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah masuk dalam tubuh, pestisida golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim

kolinesterase, sehingga kolinesterase menjadi tidak aktif dan terjadi akumulasi

achethilcholin. Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kholinergik secara terus menerus akibat achethilcholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan hal ini tidak hanya terjadi pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut syaraf.

Gambar 2.1 Kadar enzim kolinesterase 2.6 Kadar enzim kolinesterase Darah

(31)

paling umum dikenal. Senyawa neurotransmitter ini dapat ditemukan di dalam sistem saraf organisme vetebrata.

Asetilkolin berperan dalam mentransmisikan sinyal atau rangsangan yang diterima untuk diteruskan di antara sel-sel saraf yang berdekatan atau pada sambungan neuromuscular. Ada dua tipe kolinesterasedalam darah yaitu dalam sel darah merah dan plasma darah. Karena itu ada dua tipe tes kolinesterase. Karena kedua tes ini memeriksa hal yang berbeda maka akan lebih baik jika keduanya dilakukan, tetapi jika hanya dapat melakukan satu tes lebih baik melakukan tes kadar kolinesterase yang ada dalam sel darah merah karena tes jenis ini dapat memberikan petunjuk pada dokter perawatan yang paling efektif. Jika kadar enzim kolinesterase jaringan tubuh secara cepat sampai pada tingkat yang rendah akan berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Penurunan kadar enzim kolinesterasedarah seseorang itu berkurang karena adanya organofosfat dan karbamat dalam darah yang akan membentuk senyawa phosphorilated kolinesterase sehingga enzim kolinesterasetidak dapat berfungsi lagi yang mengakibatkan aktivitas aktif dari enzim tersebut akan berkurang.

(32)

golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan golongan organofosfat, tapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten. Meskipun gejala keracunan cepat hilang, tetapi karena munculnya mendadak dan menghebat dengan cepat maka dapat berakibat fatal jika tidak segera mendapat pertolongan yang disebabkan oleh depresi pernafasan. Depresi kadar enzim kolinesterase ini bertahan dalam 2 minggu. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan tintometer (Sastroutomo, 2002).

2.7 Pemeriksaan Enzim Kolinesterase

Pengukuran enzim ini merupakan petunjuk yang peka untuk melihat fungsi hati. Jika terjadi penurunan aktivitas dalam serum (bukan kenaikan), hal ini merupakan petunjuk akan adanya penurunan fungsi hati, terutama fungsi sintesis. Ada beberpa cara atau metode dalam pemeriksaan kolinesterase, yaitu :

6.2.3.1Pemeriksaan kolinesterase dengan tintometer kit

Prinsip kerja pengujian adalah darah yang mengandung enzim kolinesterase membebaskan asam asetat dari acetylcholine sehingga akan merubah pH larutan (mixture) darah dan indikator.

Kadar enzim kolinesterase dalam darah seseorang dinyatakan dalam persentase dari kadar enzim kolinesterase dalam darah normal. Standar dari kadar enzim kolinesterase dalam darah adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1992): 1. 75% - 100% (Normal)

(33)

2. 50% - 75% (Keracunan Ringan)

Pada tahap ini seseorang sudah dianggap keracunan ringan. Jika penderita dalam keadaan lemah, disarankan untuk beristirahat dan tidak melakukan kontak dengan pestisida selama 2 minggu. Kemudian perlu diuji ulang sampai kadar

kolinesterasenya normal.

3. 25% - 50% (Keracunan Sedang)

Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan sedang (over exposure yang sangat serius). Penderita harus beristirahat dan tidak boleh melakukan kontak dengan pestisida. Penderita perlu melakukan pengujian ulang untuk mengukur kadar enzim kolinesterasenya. Jika kadar enzim kolinesterasenya

masih belum membaik maka perlu dilakukan tindakan medis. 4. 0% - 25% (Keracunan Berat)

Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan berat (over exposure yang sangat serius dan berbahaya). Perlu dilakukan pengujian ulang dan jauhkan dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. Selain itu penderita juga perlu memeriksakan diri ke dokter untuk segera diambil tindakan medis.

2.5.2 Mekanisme Kerja Organosfosfat dan Karbamat dalam Tubuh

(34)

kolinesterase dalam sel darah merah. Kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis acetylcholine menjadi asam asetat dan choline. Reaksi antara organofosfat dan kolinesterase disebut fosforilase dengan menghasilkan senyawa ―Phosphorylated Kolinesterase‖ pengikatan antara organofosfat dan kolinesterase bersifat irreversible. Hal ini merupakan sebab-sebab mengapa organofosfat sangat berbahaya. Oleh karena phosphorylated,

enzim ini tidak mampu lagi menghidrolisir asethilcholin, mengakibatkan

achethilcholin tetap dapat kesempatan tinggal dan tertimbun pada tempat-tempat reseptor, selain itu achethilcholin akan meningkat dan berikatan dengan reseptor dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal ini mengakibatkan impuls saraf mengalir terus menerus menyebabkan suatu twitching yaitu bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar, mengeluarkan air mata, pernafasan terhambat dan lemah yang akhirnya mengarah pada kelumpuhan, tumor pada saat otot-otot sistem pernafasan tidak berfungsi yang menyebabkan terjadinya kematian (Depkes RI, 1992).

(35)

6.2.3.2Pemeriksaan kolinesterase dengan metode fotometer a. Metode

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan enzim kolinesterase adalah metode fotometrik.

b. Prinsip Fotometer

Fotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat pengabsorpsian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi dari panjang gelombang. Didalam alat terdapat program, panjang gelombang, dan faktor untuk masing-masing jenis pemeriksaan, sehingga alat akan mengukur sampel sesuai dengan jenis pemeriksaan. Sampel yang telah ditambahkan reagen diaspirasikan oleh pipa khusus. Proses pengetesan dilakukan secara semi otomatis dan hasil pembacaannya dikonversikan menjadi hasil akhir tes kuantitatif.

Prinsip Cholinesterase (CHE) mengkatalisis hidrolisis dan butiriltiocolin menjadi tiokolin menjadi asam butirik.Konsentrasi tiokolin dan asam butirik ditentukan dari pengukuran jumlah heksasianoferat (III) pada panjang gelombang 405 nm.

a. Preparasi reagen

Work Reagen (WR) : masukkan reagen B kedalam reagen A, homogenkan 4ml Reagen A + 1 ml reagen B

b. Skema pipetasi

Work Reagen 1,5 ml

(36)

Homogenkan, ukur dengan fotometer dengan panjang gelombang 405 nm dan pada suhu 370 C (leaflet biosystem)

c. Interprestasi hasil

Laki-laki 4620-11500 U/L

Perempuan 3930-10800 U/L

(leaflet, biosystem)

2.8 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan Pestisida Hasil pemeriksaan kadar enzim kolinesterase darah dapat digunakan sebagai penegas (konfirmasi) terjadinya keracuan pestisida pada seseorang. Sehingga dengan demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kadar enzim kolinesterase darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor internal dan faktor eksternal, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor internal antara lain: a. Usia

Usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia maka kadar rata-rata kolinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.

b. Jenis Kelamin

(37)

laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase cenderung turun.

c. Tingkat Pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika di bandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.

d. Pengetahuan

Seseorang telah setuju terhadap objek, maka akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek yang sama. Apabila sikap positif terhadap suatu program atau obyek telah terbentuk, maka diharapkan akan terbentuk niat untuk melakukan program tersebut. Bila niat itu betul-betul dilakukan, hal ini sangat bergantung dari beberapa aspek seperti tersediannya sarana dan prasarana serta kemudahan-kemudahan lainnya, serta pandangan orang lain disekitarnya. Niat untuk melakukan tindakan, misalnya menggunakan alat pelindung diri secara baik dan benar pada saat melakukan penyemproan pestisida, seharusnya sudah tersedia dan praktis sehingga penyemprot mau menggunakannya. Hal ini merupakan dorongan untuk melakukan tindakan secara tepat sesuai aturan kesehatan sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida dapat dicegah atau dikurangi.

(38)

Adapun beberapa faktor penggunaan pestisida yang mempengaruhi kadar enzim kolinesterase darah:

1. Pencampuran Dosis

Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan pada penyemprot pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. hal ini di tentukan dengan lama pemajanan. Untuk dosis penyempotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. (Depkes RI, 2009).

(39)

Contoh:

Dosis 3-5 ml/L — kita pakai yang 5 ml/L Kapasitas tangki = 14 liter

Dosis untuk 1 tangki 14 liter = 5 x 14 = 70 ml/14 L = 70 ml/tangka

Dosis untuk 100-200 g/ha, 100-200 ml/ha harus ditentukan dulu volume semprotnya. Volume semprot yang biasa dianjurkan adalah 300 L/ha, 400 L/ha dan 500 L/ha.

Contoh:

Dosis 100-200 g/ha — kita pakai yang 200 g/ha Volume semprot = 400 L/ha

Kapasitas tangki = 14 liter

Hitung dosis per liter = 200/400 L x 1 L = 0,5 ml/L

Dosis untuk 1 tangki 14 liter = 0,5 ml/L x 14 = 7 ml/14 L atau 7 ml/tangki

Demikian cara menghitung dosis pestisida agar tepat dosis. Dosis pestisida yang tepat dapat mengendalikan hama dan penyakit sasaran secara efektif dan efisien dan dapat melindungi pekerja ppenyemprot agar tidak terpajan pestisida.

2. Suhu lingkungan

Suhu lingkungan berkaitan dengan waktu menyemprot, matahari semakin terik atau semakin siang maka suhu akan semakin panas. Kondisi demikian akan mempengaruhi efek pestisida melalui mekanisme penyerapan melalui kulit penyemprot.

(40)

Perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida, hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu penyemprotan semakin siang akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit (Prijanto, 2009). Waktu dalam melakukan penyemprotan yang baik dilakukan yaitu pada jam 08.00 WIB sampai jam 11.00 WIB dengan jam istirahat pada jam 09.00 WIB sampai 09.30 WIB (Djojosumarto, 2008).

4. Frekuensi Penyemprotan

Frekuensi penyemprotan mempunyai peranan terhadap kadar enzim kolinesterase darah pengguna pestisida khususnya penyemprot. Frekuensi penyemprotan adalah kekerapan melakukan penyemprotan dengan pestisida, disarankan bagi tenaga kerja melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali seminggu (Raini, 2004). Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula risiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan (Prijanto,2009).

5. Lama Penyemprotan

Lama penyemprotan mempengaruhi tingkat keracunan pestisida. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan dengan memperhatikan lama penyemprotan adalah maksimal 3-4 jam per hari dan setiap minggu harus dilakukan pengujian kesehatan (Assti, 2008).

6. Tindakan penyemprotan terhadap arah angin

(41)

dilakukan melawan arah angin, penyemprot akan lebih banyak terpapar saat menyemprot (Prijanto, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Prasetya dkk (2010) menyatakan bahwa pemilihan arah angin yang salah dapat mempengaruhi kadar kolinesterase.

7. Pemakaian alat pelindung diri

Pemakaian alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja (Asnawati, 2010). Alat pelindung diri berguna dalam mencegah atau mengurangi sakit atau cidera. Pestisida umumnya adalah racun bersifat kontak, oleh sebab itu penggunaan alat pelindng diri pada pekerja waktu menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida. Jenis-jenis alat pelindung diri untuk penyemprot pestisida (Permenaker 2010)adalah:

a. Alat pelindung kepala dengan topi atau helm.

b. Alat pelindung mata seperti kacamata diperlukan untuk melindungi mata dari percikan, partikel melayang, gas, debu yang berasal dari pemaparan pestisida. Oleh karena itu, mereka harus menggunakan kaca mata khusus yang tahan terhadap potensi bahaya kimia dan panas. Kaca mata tersebut terbagi menjadi 2 jenis, yaitu clear safety glasses dan clear safety goggles.Clear safety glasses

merupakan kaca mata keselamatan biasa yang digunakan untuk melindungi mata dari percikan larutan kimia atau debu. Sementara itu, clear safety goggles

(42)

1. Direct vented goggles– Umumnya digunakan untuk melindungi mata dari debu, namun tidak cocok untuk melindungi mata dari percikan atau uap bahan kimia.

Gambar 2.1 Direct vented goggles

2. Indirect vented goggles – Cocok digunakan untuk melindungi mata dari kilauan cahaya dan debu, namun tidak cocok untuk melindungi mata dari percikan bahan kimia.

Gambar 2.2 Indirect vented goggles

(43)

Gambar 2.3 Non-vented goggles

c. Alat pelindung pernapasan adalah alat yang digunakan untuk melindungi pernafasan dari kontaminasi yang berbentuk gas, uap, maupun partikel zat padat.Jenis masker pelindung pernapasan antara lain

1. Masker partikel

Masker partikel ini digunakan untuk menyaring partikel-partikel yang bertebaran di udara sekitar, kemampuan masker partikel sesuai standar harus mampu menyaring partikel hingga ukuran 0.3 mikron (micron). Jenis jenis masker partikel ini juga terdapat bermacam-macam berdasarkan bahan pembuatnya, yaitu mulai dari bahan fibre dan kertas. Masker dengan bahan fibre ini sangat banyak kita jumpai penggunaannya, mulai dari penggunaan harian, untuk berkendara (riding masker), hingga untuk industri. Jenis masker partikel ini adalah kategori

(44)

Gambar 2.4 Masker Kertas

Berbeda dengan masker jenis kertas, pada masker jenis ini memiliki kemampuan dalam penyaringan udara yang lebih baik, karena dalam segi bentuk dibuat rapi, menyesuaikan dengan lebar pada area wajah di sekitar hidung dan mulut. Masker berbahan kertas ini memiliki kode N95 dan N100, pemberian kode tersebut berdasarkan kemampuan dari masker jenis kertas yang dapat menyaring virus yang tersebar di udara. Selain itu masker dengan jenis bahan kertas juga dapat bertahan hingga 2 minggu dalam penggunaannya, berbeda dengan masker jenis fibre yang bertahan hingga 4 jam saja dengan pemakaian kontinu.

2. Masker chemical (penjernih udara)

Masker jenis ini memiliki jenis filter yang berbeda dengan masker jenis

(45)

dengan kode NP 305, sedangkan NP 306 digunakan untuk pengunaan pada area yang mengandung asap akibat dari proses kimiawi, dan oksidasi, seperti pengelasan, asap akibat kebakaran dsb.

Gambar 2.5 Masker partikel

Sedangkan tipe yang terdapat pada masker chemical berdasarkan bentuknya terbagi menjadi 2 model, yaitu model single filter dan double filter.

d. Pakaian pelindung, dikenakan untuk melindungi tubuh dari percikan bahan kimia yang membahayakan.

e. Alat pelindung tangan dari karet dan kain biasanya berbentuk sarung tangan yang terbuat dari bahan yan kedap air serta tidak bereaksi dengan bahan kimia yang terkandung dalam pestisida.

f. Alat pelindung kaki biasanya berbentuk sepatu dengan bagian atas yang panjang sampai dibawah lutut, terbuat dari bahan yang kedap air, tahan terhadap asam, basa atau bahan korosif lainnya.

(46)

Tabel 2.2 Indikator tingkat keracunan menurut tingkat kadar enzim kolinesterase dalam darah

Kadar enzim kolinesterase

Tingkat Keracunan Tindakan Penyelamatan 75% - 100% Normal Boleh kerja, perlu pemeriksaan

25% - 50% Keracunan sedang Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama, pindahkan pekerja yang bebas pestisida dan bila sakit perlu pemeriksaan dokter

0% - 25% Keracunan berat Lakukan pemeriksaan ulang dan Pekerja dilarang bekerja sampai ada rekomendasi dari dokter

Sumber: Pedoman Praktikum Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Bina Kurniawan, 2004)

2.9 Pertolongan Pertama pada Keracunan Pestisida

Pada umunya kasus keracunan terjadi di kebun atau sawah yang tidak selalu dekat dengan pelayanan kesehatan maka prinsip-prinsip pertolongan pertama bagi keracunan pestisida perlu diketahui agar dapat mengambil tindakan yang benar. Ada dua prinsip utama dalam memberikan pertolongan pertama pada korban kasus keracunan, yakni:

1. Putuskan segera hubungan dengan produk penyebab keracunan agar kontaminasi tidak terus berlangsung.

2. Dapatkan segera pertolongan medis dari dokter atau paramedic baik di puskesmas, rumah sakit atau praktik dokter.

Di luar kedua prinsip tersebut, beberapa langkah penanganan kasus keracunan berdasarkan cara kontak racun dengan tubuh penderita:

(47)

1. Jika pestisida tertelan, langkah pertama penderita harus segera melakukan pemuntahan. Untuk merangsang pemuntahan dengan cara mengkili-kili pangkal tenggorokan penderita dengan jari yang bersih atau minum larutan garam dapur satu sendok makan penuh per gelas air hangat. Pemuntahan hanya boleh dilakukan jika penderita dalam keadaan sadar.

2. Setelah pemuntahan berhasil dilakukan, berikan karbon aktif (norit). Berikan 3 sendok makan norit yang dilarutkan dalam segelas air. Ulangi pemberian norit sesering mungkin.

3. Bawa penderita sesegera mungkin ke dokter atau Puskesmas.

4. Jika penderita tidak sadar, jangan lakukan pemuntahan. Longgarkan pakaian dan segera bawa ke dokter. Jika pernapasan berhenti, lakukan pernapasan buatan. Jangan lakukan pernapasan dari mulut ke mulut jika penderita menelan pestisida. Hal tersebut untuk menghindari masuknya racun ke tubuh penolong.

b. Kontaminasi pada Kulit

1. Buka pakaian kerja yang terkontaminasi dan segera mandikan penderita dengan air dan sabun. Semakin cepat korban dimandikan, kontaminasi akan semakin berkurang.

2. Keringkan tubuh dengan handuk kering dan bersih.

(48)

4. Bakar pakaian yang terkontaminasi karena sulit untuk membersihkan racun dengan tuntas.

c. Pestisida Mengenai Mata

1. Buka mata dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit. 2. Jangan gunakan boorwater atau obat tetes mata.

3. Tutup mata dengan kain atau kain kasa bersih.

4. Jika mata masih terasa sakit, segera bawa ke dokter atau puskesmas. d. Pestisida Terisap Melalui Pernapasan

1. Jauhi tempat kerja, lalu tidurkan korban di tempat berudara bersih dan segar.

(49)

2.10 Kerangka Teori

Sumber: Afriyanto dan Runia 2008 (Modifikasi) Gambar 2.1 Kerangka Teori

Penyemprot Terpapar

Pestisida masuk kedalam tubuh

Kadar enzim kolinesterase dalam darah menurun

Keracunan

 Arah semprot terhadap arah angin

(50)

2.11 Kerangka Konsep

Beberapa faktor eksternal penggunaan pestisida yang berhubungan dengan kadar enzim kolinesterase dari uraian diatas maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan:

1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan

Suhu lingkungan berkaitan dengan waktu menyemprot, matahari semakin terik atau semakin siang maka suhu akan semakin panas. Kondisi demikian akan mempengaruhi efek pestisida melalui mekanisme penyerapan melalui kulit penyemprot. Alasan peneliti tidak memasukkan suhu lingkungan di kerangka konsep karena waktu penyemprotan dilakukan sesuai dengan anjuran yang ada yaitu 07.00 – 11.00 WIB pada pagi hari dimana matahari tidak terlalu terik dan

suhu lingkungan tidak panas.

Faktor Eksternal: 1. Dosis 2. Frekuensi

penyemprotan 3. Lama penyemprotan 4. Arah semprot

terhadap arah angin 5. Pemakaian alat

pelindung diri

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat bahaya pestisida menurut WHO
Gambar 2.1 Kadar enzim kolinesterase
Gambar 2.1 Direct vented goggles
Gambar 2.3 Non-vented goggles
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tes Tertulis, Wawancara, Observasi/Unjuk Kerja, atau Portofolio Instrumen PKG, Naskah Tes Tertulis, Pedoman Wawancara, Pedoman Observasi, atau Format Penilaian Portofolio

Nilai t hitung untuk variabel Inovasi Produk adalah sebesar 4,640 didukung dengan nilai signifikan sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05 atau 5% maka Ho ditolak

Faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan harga saham menurut Weston dan Brigham (1993:26-27) adalah proyeksi laba per lembar saham, saat diperoleh laba, tingkat resiko dari

Adapun sarana dan prasarana yang dibutuhkan antara lain: penyediaan ruang, peralatan, perangkat lunak, kualifikasi arsip dan kualifikasi sumber daya manusia

Responden yang sebagian besar mendapat dukungan sedang dari keluarganya selama menjalani perawatan,tidak akan terbebani dengan penyakit yang dideritanya.Dan dari hasil penelitian

Danau Sentarum adalah kawasan lahan basah yang unik dan menyimpan kekayaan hayati yang sangat berharga untuk penghidupan masyarakat lokal dan kelangsungan fungsi ekosistem..

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis tanaman, menentukan pendapatan masyarakat dari agroforestri, dan menganalisis kesejahteraan petani

Menurut Sukmadinata (2010:221) dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar