• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Dr. Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H., M.Hum

Abstrak

Pendahuluan

Masih jelas teringat dalam memori saat jatuhnya orde baru yang dipelopori oleh mahasiswa dikenal sebagai gerakan reformasi pada tahun 1998. Reformasi tersebut dilakukan melihat kondisi bangsa Indonesia yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa yang terkenal dengan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) setelah tiga puluh dua tahun lamanya.

Pengelolaan negara dilakukan tidak secara transparan dengan dalih untuk kemakmuran dan untuk pembangunan sebagai pendukung dikeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan guna memperlancar dan memperkuat kepentingan penguasa. Hal ini tidak hanya dilakukan pada satu bidang saja melainkan dalam berbagai bidang yang menyangkut hajat hidup bangsa. Sistem hirarki atau struktural dipakai sebagai alat penguasa dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat paling rendah dengan berbagai macam bentuk birokrasi pemerintahan.

Ketika masyarakat sadar bahwa untuk waktu yang cukup lama pemerintah telah merugikan maka ada keinginan melakukan perombakan. Merubah tatanan yang sudah mengakar dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidaklah mudah, masyarakat mengalami berbagai bentuk kendala, penguasa tetaplah penguasa yang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki. Saat itu tidak ada lembaga yang mengontrol secara independen, semua ada pada satu kendali. Indonesia yang dikatakan sebagai negara hukum, justru hukum tidak berdaya, namun dijadikan alat penguasa. Hukum masih belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar yakni menjaga ketertiban dan memberikan jaminan keadilan bagi masyrakat khususnya masyarakat kecil yang semakin dimarginalkan ibarat hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

(2)

tragedi Trisakti, kasus penculikan aktivis, kasus mobnas (mobil nasional) dan masih banyak kasus-kasus lain yang dikategorikan pelanggaran HAM, kejahatan perekonomian, sengketa tanah, serta bidang kehidupan lain yang belum dapat terungkap dan terselesaikan secara tuntas dengan dalih kurangnya alat bukti.

Tahun 1998 merupakan titik tolak berakhirnya masa orde baru yang ditumbangkan kekuatan masyarakat yang menghendaki reformasi secara total meliputi semua bidang. Menurut A.Muis, era reformasi diberi makna reaktualisasi hakekat proklamasi kemerdekaan bangsa ini yang gagal dilaksanakan orde baru yaitu kebebasan berbeda pendapat, kedaulatan rakyat, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan indivisu, keterbukaan, demokrasi, penghargaan kepada harkat dan martabat manusia (HAM) dan pengakuan terhadap masyarakat madani (civil society).

Kegagalan orde baru dalam melaksanakan tujuannya sendiri (melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen) telah membawa malapetaka yang besar bagi bangsa Indonesia. Selama lebih 30 tahun hak-hak masyarakat tersebut dipasung, selama itu pula penguasa atau pejabat mengidap arogansi kekuasaan dan perilaku represif. Negara hukum dan keadilan menjadi tak ramah terhadap warga masyarakat yang lemah. Hukum dan keadilan hanya berlaku bagi warga masyarakat yang kuat dalam arti ekonomi dan politik, dan bagi penguasa (Kompas, 19 Agt’98, hlm. 4).

Masa reformasi merupakan jendela memasuki masa yang dicita-citakan bersama khususnya mewujudkan negara hukum yang ideal tidaklah mudah, karena pengaruh kepentingan penguasa masih ada. Nyoman Serikat Putera Jaya dalam tulisannya “Penegakan Hukum Dalam Reformasi Hukum” menguraikan bahwa UUD 1945 melalui penjelasannya telah menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan. Ini berarti sudah saatnya dipikirkan bersama bagaimana menciptakan negara hukum yang demokratis, dimana rakyat yang seharusnya menentukan ke arah mana masyarakat negara dan bangsa ini dibangun.

(3)

reformasi di bidang politik ialah dengan menciptakan atau merubah perundang-undangan di bidang politik yang mencerminkan semua kekuatan-kekuatan dalam masyarakat tertampung. Demikian halnya reformasi di bidang ekonomi, harus diciptakan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan kegiatan ekonomi sesuai dengan kehendak masyarakat. Dengan bahasa yang lebih sederhana didesain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Berkenaan uraian latar belakang di atas maka penulis mengangkat permasalahan, sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan sistem hukum dapat mewujudkan nilai-nilai dalam masyarakat?

2. Bagaimanakah peranan penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia?

Pembahasan

I. Sistem hukum mewujudkan nilai-nilai dalam masyarakat I.1. Sistem hukum

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum agar tetap memelihara kelestarian Pancasila dan UUD 1945 serta persatuan dan kesatuan bangsa maka perlu dikaji kembali mengenai komponen-komponen yang membentuk suatu sistem hukum, yang terdiri dari 1) substansi hukum; 2) struktur hukum; 3) kultur hukum.

1. Substansi hukum

Merupakan segi output sistem hukum. Ke dalam pengertian ini dimasukkan norma-norma hukum itu sendiri, baik ia berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan, sejauh semuanya ini digunakan, baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Komponen substansi ini tidak terikat kepada formalitas tertentu, seperti apakah ia undang-undang ataukah kebiasaan yang belum mendapatkan pengakuan secara formal. Yang dipentingkan adalah apakah ia digunakan di dalam masyarakat.

(4)

membangun negara hukum yang demokratis, maka perundang-undangan bidang ekonomi harus dapat menjamin perkembangan ekonomi yang maju dan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat atau perundang-undangan yang diciptakanharuslah memihak kepada yang lemah atau memihak kepentingan masyarakat.

2. Struktur hukum

Merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Salah satu dari lembaga-lembaga semacam itu adalah pengadilan. Di dalam kerangka strukturalnya ini maka dapat dibedakan antara jenis-jenis pengadilan yang diciptakan oleh sistem hukum, seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi, pengadilan agama dan sebagainya. Selanjutnya tentang ada atau tidaknya dasar-dasar peraturan yang melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut; tentang pembagian kekuasaan di antara hakim, legislator, eksekutif dan seterusnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan mengemukakan komponen strukturalnya ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

3. Kultur hukum

Kultur hukum adalah ide-ide, konsep-konsep, sikap, keyakinan dan harapan pendapat mengenai hukum dari masyarakat pada umumnya. Secara sederhana bagaimana usaha kita supaya masyarakat percaya bahwa hukum dapat memberikan perlindungan, memberikan keadilan dan kejujuran. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Apabila kita melihat bekerjanya hukum semata-mata dari komponen strukturalnya, maka perhatian kita terutama hanya tertarik kepada jalannya atau bekerjanya sistem itu menurut prosedur sebagaimana telah dibagankan di dalam peraturan-peraturan hukum.

(5)

Konsep yang terpenting di sini adalah kultur hukum, yang merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur struktural serta substansi saja belum dapat menonjolkan karakteristik yang terdapat pada sistem hukum yang dipelajari apalagi untuk dapat memberikan jawaban tentang mengapa yang satu berbeda dari yang lain. Seperti dikatakan oleh Friedman, “Unsur kultur hukum ini adalah seperangkat nilai-nilai dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum, yang akan menentukan kapan dan mengapa dan dimana rakyat itu datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindar dari keduanya”.

I.2. Hukum dan nilai-nilai dalam masyarakat

Selain mengenai sistem hukum dalam negara hukum perlu diperhatikan tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu menunjuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan melihat nilai dari sudut perspektif individual. Hal menarik yang dikatakan oleh John Finley Scott bahwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang dipandang olehnya sebagai paling kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain bahwa norma-norma itu sekaligus merupakan nilai-nilai yang baginya terkuat.

(6)

1. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada tempat lagi bagi keputusan-keputusan secara ad hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter;

2. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak; 3. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;

4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dimengerti oleh rakyat;

5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; 6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu

sama lain;

7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat

hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih daripada itu, hukum yang demikian itu adalah sama sekali tidak disebut hukum.

Seperti juga Fuller, maka Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-nilai yang intrinsik sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem nilai-nilai intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya (Gestalt visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya harus diwujudkan sebagai hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu.

II. Peranan penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia II.1. Tinjauan penegakan hukum

(7)

diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepantingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaann atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identic dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum: setiap orang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan: adil bagi si Suto belum tentu dirasakan adil bagi si Noyo.

(8)

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).

II.2. Peran penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia

Aspek yang paling penting dalam penegakan hukum termasuk dalam pelaksanaan hukum adalah elemen aparatur dan penegak hukum. Baik buruknya hasil dari penegakan hukum itu tidak tergantung pada baiknya hukum atau perundang-undangan, walaupun perundang-undangan sangat baik, namun apabila para penegaknya berwatak jelek, maka hasilnya jelek juga.

Para penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan advokat harus betul-betul professional dan dimulai pembenahannya dari awal yaitu dari rekruitment. Rekruitmen para penegak hukum haruslah secara terpadu dan ketat yang diambil dari lulusan Sarjana Hukum dengan Indeks Prestasi tertentu dan melalui berbagai tes, seperti tes psikologis, tes akademik, kemudian diadakan pendidikan khusus secara bersama-sama agar pada mereka ada persamaan persepsi dan pandangan dalam penegakan hukum.

Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan peranan etika profesi hukum. Etika profesi hukum ini harus dijadikan pedoman oleh para penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Kode etik profesi ini jangan hanya dijadikan pajangan yang menghiasi dinding. Menurut O.Noto Hamidjojo, ada 4 (empat) norma yang wajib ditaati oleh para penegak hukum atau pemeliharaan hukum, yaitu :

1. Kemanusiaan, norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran budi.

(9)

3. Kepatutan, kepatutan atau equality adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.

4. Kejujuran, pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani “justiciable” yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan dengan kata lain setiap jurist diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.

Dalam penegakan hukum yang terpenting haruslah didasarkan pada hati nurani yang dapat melihat tindakan seseorang sudah manusiawi, adil, patut dan jujur. Peranan dari penegak hukum dalam menciptakan tertib sosial akan nampak lebih mencolok begitu timbul suatu kejadian yang dinilai menimbulkan suatu kerawanan di dalam masyarakat.

Jika tidak ada langkah yang lebih aktif dapat dimungkinkan akan muncul tindakan yang bersifat akumulatif/massal dari masyarakat di mana suatu kasus timbul. Masyarakat akan menyelesaikan dengan caranya sendiri, maka kondisi tertib sosial akan terancam. Hal demikian perlu diwaspadai, bahwa mengendalikan nilai positif dari lembaga yang disebut “gropyok” di mana orang beramai-ramai melakukan tindakan yang sifatnya emosional perlu dikendalikan dan diarahkan lewat peran aktif dari penegak hukum. Penegak hukum harus dapat mengarahkan lewat tokoh masyarakat yang disegani masyarakat setempat sehingga tidak muncul suasana konflik. Ini berarti bahwa tindakan preventif dan persuasive justru lebih ditampilkan daripada tindakan yang sifatnya represif.

(10)

Dari apa yang terurai di atas maka penegak hukum dalam menciptakan tertib sosial sekaligus harus menampilkan diri sebagai pengayom yang dapat menimbulkan rasa optimis. Antisipasi yang dapat dilaksanakan untuk menciptakan suasana tertib yang dipandang ideal oleh masyarakat tidak lain ialah menciptakan harmoni. Ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus segera tanggap terhadap adanya kasus-kasus yang dipandang rawan dalam suatu masyarakat. Langkah-langkah awal tersebut dapat dilakukan berbagai instrument yang tersedia dalam masyarakat.

Jalur yang dapat ditempuh antara lain ialah dengan mengaktifkan lembaga-lembaga pengendali sosial (social control institution) yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Langkah demikian akan menimbulkan risiko timbul gejolak yang mungkin akan muncul.

Penutup

Indonesia dengan era barunya yakni era reformasi, menghendaki reformasi di segala bidang, khususnya reformasi hukum yang dapat memberikan keadilan, kepastian hukum sehingga dapat tercipta suatu kondisi yang tertib dan tenang dalam masyarakat. Diperlukan pembaharuan sistem hukum yang meliputi 3 (tiga) komponen yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum dengan harapan hukum dapat kembali pula fungsinya semula bukan lagi sebagai alat penguasa. Selain itu perlu diperhatikan pula nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

Dalam mewujudkan negara hukum diperlukan keterpaduan antara peran aktif dari para penegak hukum/pemegang otoritas dengan kondisi masyarakat yang memang secara sadar memerlukan kehadiran mereka.

Daftar Pustaka Buku

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1980

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1985

(11)

Arief Hidayat, Masalah Kepatuhan Masyarakat Terhadap Hukum, Majalah Masalah-Masalah Hukum UNDIP-Semarang No. 5 Tahun 1993.

Nyoman Serikat Putera Jaya, Penegakan Hukum Dalam Era Reformasi Hukum, Majalah Masalah-Masalah Hukum UNDIP Semarang, Edisi II, Juli-September 1998.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh likuiditas yang diukur dengan Current Ratio (CR) terhadap profitabilitas yang

Metodologi: Penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional.Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 181 orang. Data

Kelompok kontrol didapatkan nilai signifikan p = 0,642 maka tidak ada perbedaan status fungsi kognitif (memori) lansia yang bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian

Kotoran luwak digunakan untuk mencegah kemungkinan gagalnya proses degradasi biologis menggunakan mikroorganisme cairan rumen, mengingat bahwa limbah kulit kopi

Dalam penelitian ini, metode Agglomerative Hierarchical Clustering dapat dengan baik mengelompokkan jenis suara anggota baru penyanyi paduan suara mahasiswa Cantus

Kualitas anggota penyidik kantor Kepolisian Resort Mojokerto belum memadai, artinya belum ada personil penyidik atau anggota polisi yang memiliki Sumber Daya

Deskripsi Hasil Pengolahan Data Pengunaan Strategi Active Learning Tipe Quiz Team untuk Menumbuhkan Karakter Rasa Ingin Tahu Siswa Dalam Pembelajaran Sejarah ………

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan: 1) prosedur penilaian, 2) relevansi penilaian dengan tujuan dan 3) pemanfaatan hasil penilaian di TK Negeri Pembina Kecamatan