1
MEDIA DAN POLARISASI POLITIK DALAM PILPRES 2014
1Salim Alatas
Program Studi Digital Communication, Surya University Jl. Boulevard Scientia Blok U/7, Summarecon Serpong
e-mail: salim.alatas@surya.ac.id blog : salimalatas.wordpress.com
Ada banyak hal yang menarik untuk diamati dalam Pemilihan Presiden
tahun 2014 yang baru saja kita lewati. Pilpres yang ketiga kalinya diadakan secara
langsung ini memberikan begitu banyak pengalaman berharga bagi bangsa ini
dalam menuntaskan masa transisi yang bagi sebagian kalangan tak kunjung usai.
Pilpres 2014 ini diikuti hanya oleh dua kontestan; dengan hanya diikuti oleh dua
kontestan, maka seluruh sumberdaya politik akan terpolarisasi menjadi dua kutub,
setiap orang dengan latar belakang yang berbeda akan memilih salah satu kutub
yang paling sesuai. Dengan demikian, sebagaimana kita saksikan kini, Pilpres lebih
mirip pertandingan antar – bukan hanya dua kandidat dan dua kekuatan politik,
namun juga dua ideologi, dua cleavage, bahkan dua aliran yang berbeda.
R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State
University, pernah memprediksi soal terbentuknya polarisasi dalam politik
Indonesia jika diadakan pemilihan presiden secara langsung. Menurut Liddle, jika
pemilihan presiden secara langsung diadakan, maka yang akan terbentuk dalam
jangka panjang adalah sistem politik yang hanya akan menampilkan dua kelompok
2
politik yang dominan. Dua kekuatan politik inilah yang dalam pandangan Liddle
akan mendominasi kehidupan politik di Indonesia.
Liddle benar, bahwa yang terjadi saat ini, setelah 16 tahun reformasi,
adalah terkutubnya atau terpolarisasinya dua kekuatan politik menjadi hanya dua;
yaitu koalisi besar kelompok Islam di satu pihak, dan kelompok sekular-nasionalis
dan kaum non-Islam di pihak lain. Polarisasi ini memang bukanlah hal yang baru
dalam politik Indonesia. Sejak kali pertamanya pemilihan umum diadakan di
Indonesia, kekuatan politik Indonesia memang didominasi dua kekuatan tersebut.
Clifford Geertz menyebutnya sebagai politik aliran.
Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang
menjelma sebagai organisasi politik. Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz
menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu : PNI yang mewakili
golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil
dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan
demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti
garis-garis pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku
bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan.
Namun demikian, sebagaimana dilakukan banyak kajian oleh para
pengamat, bahwa setidaknya sejak Pemilu 2004 fenomena politik aliran telah
pudar dan tidak lagi mendominasi peta perpolitikan di Indonesia. Salah satunya
adalah dengan munculnya Partai Demokrat yang pola alirannya samar-samar. R.
William Liddle dalam sebuah wawancara di harian Kompas (07 Juli 2009)
menyatakan bahwa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pada
3
ideologi atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan
dan jualan pesona para tokoh popular. Kuskridho Ambardi dalam bukunya
Mengungkap Politik Kartel (2009) bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi
partai-partai di Indonesia telah lama pudar.
Berbeda dengan pendapat para pengamat mengenai pudarnya politik
aliran, Pilpres 2014 justru membangkitkan kembali polarisasi aliran yang telah
pudar tersebut. Dengan menggunakan tipologi aliran Geertz, dapat kita lihat
bahwa Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa didukung oleh kelompok-kelompok
Islam yang dalam istilah Geertz disebut kelompok santri ; sementara Joko Widodo
dan Jusuf Kalla didukung oleh kelompok sekular-nasionalis dan kaum non-Islam
yang dalam pola Geertz disebut kelompok priyayi-abangan .
Terlepas dari bangkitnya polarisasi aliran, yang paling menarik untuk
diamati dalam Pilpres 2014 ini adalah terkonsentrasinya media kedalam dua
kutub tersebut dalam artian media ikut kedalam dua polarisasi tersebut.
Kelompok-kelompok media yang memiliki kecenderungan Islam, seperti
Republika akan ikut dalam polarisasi kelompok Islam dalam mendukung
Prabowo-Hatta. Sementara itu kelompok media yang memiliki kecenderungan
sekular-nasionalis, seperti kelompok Kompas, Tempo dan Detik, akan ikut dalam polarisasi
kelompok sekular-nasionalis dalam mendukung Jokowi-Kalla.
Harian The Jakarta Post, salah satu media berbahasa Inggris milik kelompok
Kompas-Gramedia, bahkan secara resmi menyatakan sikapnya dalam mendukung
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014. Dalam editorialnya
4
menyebut pasangan Jokowi-Kalla merupakan pasangan yang paling memiliki
kesamaan visi dengan media tersebut.
Saya memang mengecualikan media televisi kedalam polarisasi tersebut,
mengingat bahwa dalam banyak hal, dukungan televisi terhadap kedua kontestan
calon presiden lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi-politik para
pemiliknya yang merupakan ketua partai politik yang ikut dalam mendukung salah
satu kontestan. Bahkan secara kasat mata, orang awam pun dapat menilai bahwa
TVOne, yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie Ketua Umum Partai Golkar, lebih mirip
TV Prabowo ; dan Metro TV, yang dimiliki oleh Surya Paloh ketua umum Partai
Nasdem, lebih mirip dengan TV Jokowi .
Dengan terpolarisasinya media kedalam arus politik yang ikut bertarung
dalam Pilpres 2014 ini, lalu bagaimana dengan independensi, obyektifitas, dan
keberpihakan media yang sering kali menjadi indikator dalam menilai kebebasan
pers?
Memang agak rumit untuk memahami hubungan antara media dan
polarisasi politik, mengapa tiba-tiba media menjadi partisan dengan mendukung
salah satu kontestan? Namun demikian, menurut Filipe R. Campante dan Daniel
Hojman, Peneliti dari Harvard Kennedy School, setidaknya ada dua dimensi yang
dapat menjelaskan mengenai hubungan media dengan polarisasi politik, sehingga
media kemudian cenderung menjadi partisan; Yaitu motivasi dan ideologi.
Campante dan Hojman berpendapat bahwa sebuah media menjadi partisan, salah
satunya terjadi karena pandangan ideologis tertentu yang saling berinteraksi
dengan sikap individu dalam lingkungan media. Dalam konteks ini, individu yang
5
media, tapi juga dapat memilih media yang sesuai dengan pandangan ideologis
mereka.
Dalam konteks media dan polarisasi politik pada Pilpres 2014 ini, yang
terjadi sesunguhnya lebih mirip dengan apa yang dikatakan oleh Campante dan
Hojman. Bahwa media-media, khususnya media cetak, memang memiliki
kecenderungan untuk menjaga hubungan yang loyal dengan audiens mereka, salah
satunya dengan menyamakan pandangan ideologis mereka dengan para audiens.
Kecenderungan seperti itulah yang sejatinya kita amati dalam Pilpres kemarin,
yang paling gampang diamati adalah dukungan harian The Jakarta Post terhadap
pasangan Jokowi-Jk. Dalam salah satu editorialnya mereka mendaku bahwa
dukungan mereka terhadap pasangan ini dapat dibenarkan secara moral, seraya
tetap menjaga obyektifitas pemberitaan.
Sampai saat ini kita memang belum melihat adanya kecenderungan lain
dari fenomena media partisan ini, selain persoalan pilihan ideologis. Kita memang
tidak berharap bahwa ada kecenderungan lain yang dapat mengganggu
obyektifitas, dan idealisme jurnalisme, yang pada akhirnya akan melenyapkan
independensi redaksional media pers. Karena bagaimanapun pers juga harus
bebas dari upaya campur tangan pihak lain untuk membengkokkan standar
professional dan kode etik jurnalistik. Karena setiap kompromi dan upaya campur
tangan pihak luar, hanya akan memerosotkan martabatnya sampai titik terendah.
Akibatnya, demokrasi yang telah dengan susah payah dibangun, akan hancur