• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Asasi Manusia Antara Kepentingan Bar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Asasi Manusia Antara Kepentingan Bar"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Asasi Manusia: Antara Kepentingan Barat, Tuntutan

This paper would like to parse the question of Human Rights, especially in terms of Western interests, the demands of humanity, the mission of the religions and issues of cultural relativity, including how the Islamic view of human rights. One source of difficulty in supporting the implementation effort and attention to human rights in the Islamic world, as well as increased awareness in society such as Indonesia, the perception is often not quite right about the gap between universal values and social patterns of the local culture. This issue has sparked thoughts of how Islam can accept or not the idea of HAM / UDHR (Universal Declaration of Human Rights). As with other developing countries, in Indonesia, and among Muslim thinkers, particularly those not-found liberal view that the concept of human rights is a Western-made, with the connotation of a continuation of colonialism and imperialism. In view of the rhetoric that comes to life, human rights is a Western concept of secularism that is equal to, if not atheism. In regard to the debate Islam and the Universal Declaration, this issue appears to say that human rights is un-Islamic. Some Muslim countries to criticize a few grains of the Universal Declaration mainly deals with issues of civil rights and political, as well as religious freedom issues, especially regarding the rights of religious conversion (from Islam to another religion), and the issue of equality of men and women, all of which are fully guaranteed by the UDHR. Series based on the rejection of the UDHR UDHR was a product of secularism, while Islam is a religion of revelation. UDHR is considered unsuitable, as identified by Western interests, Christians, and the practice of Western countries themselves are sometimes a double-standard in the application of the Universal Declaration. We will discuss this issue as a rejection based on differences in the views above.

(2)

gagasan HAM/DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Sama halnya dengan negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia—dan kalangan pemikir muslim, terutama yang bukan liberal—banyak ditemukan pandangan bahwa konsep tentang HAM adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai kelanjutan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, HAM yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekularisme, jika bukan ateisme. Dalam kaitan dengan debat Islam dan DUHAM, isu ini muncul dengan mengatakan bahwa HAM itu tidak islami. Beberapa negara muslim mengeritik beberapa butir DUHAM terutama berkaitan dengan persoalan hak-hak sipil dan politik, juga masalah kebebasan beragama, terutama menyangkut hak berpindah agama (dari Islam ke agama lain), dan masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan, yang semuanya memang dijamin penuh oleh DUHAM. Serangkaian penolakan terhadap DUHAM didasarkan bahwa DUHAM itu produk sekularisme, sementara Islam adalah agama wahyu. DUHAM dianggap tidak cocok, karena diidentifikasikan dengan kepentingan Barat, Kristen, dan praktik negara-negara Barat sendiri yang kadangkala berstandar-ganda dalam penerapan DUHAM itu. Kita akan membahas permasalahan ini sebagai penolakan yang didasarkan atas perbedaan pandangan-pandangan di atas.

Key words: Human Rights, Western interests, humanitarian, religious mission, cultural relativity

Pendahuluan

(3)

realistis dan lebih terasa dampaknya, kenyataan pahit dalam hubungan internasional memaksakan kesulitan-kesulitan luar biasa untuk tetap taat asas (konsisten) pada kehendak semula. Dalam waktu hanya beberapa tahun saja “perjuangan” hak-hak asasi manusia yang dicanangkan Carter itu sudah jarang terdengar lagi gemanya. Secara ironis kita dihadapkan kepada perkembangan yang mencengangkan, segera setelah Carter mundur dan kebijaksanaan semula untuk menyudahi kehadiran berarti pasukan-pasukan Amerika Serikat di jazirah Korea, sebuah keputusan yang berarti pukulan berat bagi aspirasi perjuangan hak-hak asasi manusia di sana. Park Cung Hee terbunuh dan bentuk pemerintahan yang lebih longgar mulai berkembang di Korea Selatan; sedangkan karena pembelaannya kepada masa lampau bekas Syah Iran yang penuh penindasan, kini Carter dihadapkan kepada dua hal yang saling bertentangan, yaitu tidak berdayanya Amerika Serikat menangani masalah penyanderaan warganya di Teheran, dan kenyataan bahwa dakwaan (claim) para mahasiswa Iran akan penggunaan para diplomat sebagai mata-mata negara lain (sebuah pelanggaran kedaulatan di samping pelanggaran hak-hak asasi manusia) bangsa Iran untuk tidak dimata-matai, katakanlah semacam freedom from being spied on memiliki validitasnya sendiri.

(4)

sebagai bagian politik luar negeri Amerika Serikat justru menjadi vaksinasi anti hak-hak asasi manusia, di mana diberikan dalam dosis kecil, ia akan melawan penyakitnya.

Gambaran sekilas yang mengecilkan hati ini adalah apa yang tampak di permukaan dari sebuah proses besar yang tengah berlangsung dalam perjuangan hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Proses penetapan kembali tujuan, sasaran dan garapan perjuangan itu sendiri, dan dalam kapasitas lain yang lebih bersifat melengkapi (complementary), menetapkan landasan-landasan yang lebih kokoh baginya. Mungkin yang paling jauh dapat disepakati saat ini adalah perlunya menciptakan kesadaran massif di kalangan rakyat negara-negara yang berpemerintahan totaliter dan semi-totaliter akan hak-hak mereka fundamental sebagai manusia. Hanya dari sudut pandangan seperti inilah baru dapat dimengerti kegunaan perjuangan mahasiswa di satu-dua negara berkembang untuk menumbangkan rezim militer setempat dan pembelaan para pejuang hak-hak asasi manusia untuk membela mereka di muka sidang pengadilan dalam selimut “bantuan hukum”. Secara politis, tindakan para pembela mahasiswa itu hanya akan membawa kepada semakin ketatnya cara kerja aparat keamanan atas kerugian masyarakat secara umum; di pihak lain hanya akan menghasilkan pahlawan-pahlawan sensasional kecil yang memprodusir pembelaan pleidoi berjudul hebat-hebat sebagai “sumbangan literatur” perjuangan hak-hak asasi manusia itu sendiri. Secara kultural, ia adalah bagian inherent dari proses penciptaan kesadaran yang dimaksudkan di atas, jadi memiliki validitasnya sendiri.

(5)

Pengertian HAM

Dimulai dengan dua dokumen revolusioner dari Amerika dan Prancis, penerimaan umum terhadap HAM menghasilkan kesepakatan luas tentang pandangan-pandangan fundamental tentang HAM. Berikut beberapa pengertian dasar HAM:

1. Jika suatu hak asasi diteguhkan sebagai HAM dan bukannya hak sipil, maka dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, sesuatu yang berlaku untuk seluruh umat manusia di mana pun juga;

2. Hak-hak asasi dipahami sebagai mewakili tuntutan-tuntutan pribadi dan kelompok untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik dan ekonomi;

3. Disepakati bahwa hak-hak asasi tidak selamanya bersifat mutlak: hak-hak itu dapat dibatasi atau dikekang demi kepentingan umum atau untuk melindungi hak-hak pihak-pihak lain;

4. HAM bukanlah alat untuk melindungi semua keinginan pribadi;

5. Pengertian tentang hak-hak asasi sering mengandung arti kemestian adanya kewajiban-kewajiban yang terkait1.

Thomas Jefferson mengemukakan bahwa kewaspadaan terus menerus adalah harga bagi kebebasan. Karena itu, para warga akan dapat mempertahankan kebebasannya jika masing-masing melaksanakan kewajiban untuk mencegah kegiatan politik, keagamaan, dan sosial yang mungkin akan mengekang hak-hak mereka sendiri dan hak-hak orang lain.

Bill of Rights Amerika disusun berdasarkan ilham dari Magna Carta, Bill of Rights Inggris, dan Declaration of Rights Virginia. Dokumen hak-hak asasi itu memuat ketentuan: (1) kebebasan agama, bicara, pers, dan rapat umum (public assembly); (2) hak memanggul senjata; (3) larangan menempatkan tentara di rumah tangga pada masa damai; (4) kebebasan dari pemeriksaan dan perampasan tak beralasan; (5) pengadilan hanya dilakukan setelah tuntutan dari

(6)

grand jury; (6) larangan terhadap petaka ganda (double jeopardy); (7) larangan terhadap pemaksaan para saksi untuk memberi saksi terhadap diri mereka sendiri; (8) tidak boleh ada hukuman kecuali dengan proses hukum yang seharusnya; (9) tidak boleh ada penyitaan harta tanpa konpensasi yang adil; (10) hak pengadilan umum yang cepat dalam suatu negara (bagian) di mana pelanggaran hukum terjadi; (11) pengadilan oleh juri dalam perkara sipil yang melebihi nilai 20 dolar dan setelah pembuktian oleh juri adalah final; (12) tebusan yang berlebihan dan hukuman yang kejam dan tidak biasa adalah terlarang; (13) penyebutan hak-hak seseorang tidak berarti boleh melanggar atau mengingkari hak-hak lain yang dimiliki orang lain; (14) kekuasaan yang tidak diserahkan atau ditegah dari pemerintah federal tetap dipertahankan oleh negara bagian atau rakyat.

Berikut kutipan pidato Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika Serikat di depan Kongres pada 1941, beberapa tahun sebelum PBB menetapkan DUHAM: “ Di masa depan, yang kami usahakan untuk menjaminnya, kami mengharapkan suatu dunia yang didasarkan pada empat kebebasan dasar manusiawi. Yang pertama adalah kebebasan berbicara dan berekspresi—dimana pun di dunia. Kedua adalah kebebasan setiap orang untuk beribadah kepada Tuhan dengan caranya sendiri—di mana pun di dunia. Yang ketiga adalah kebebasan dari kekurangan—yang, kalau diterjemahkan dalam peristilahan dunia, berarti pengertian-pengertian ekonomi yang akan menjamin setiap bangsa suatu kehidupan yang sehat di masa damai bagi penduduknya di mana pun di dunia. Keempat adalah kebebasan dari rasa takut—yang kalau diterjemahkan dalam peristilahan dunia berarti pengurangan persenjataan di seluruh dunia sampai ke tahap dan dengan cara yang begitu seksama sehingga tak ada bangsa yang akan berada dalam posisi untuk melakukan suatu tindakan agresi fisik terhadap tetangga mana pun—di mana saja di dunia. Ini bukan gambaran seribu tahun lagi. Ini merupakan suatu dasar tegas bagi jenis pencapaian dunia dalam zaman kita dan generasi kita sendiri…”

(7)

Dengan sebuah mukadimah dan 30 bab, DUHAM merupakan kompendium tentang seluruh hak sipil dan politik yang diambil dari berbagai sistem konstitusional dan legal yang lalu.

Di samping mengemukakan kembali ketentuan-ketentuan dalam Bill of Rights Amerika, DUHAM juga memuat ketentuan-ketentuan seperti: (1) hak nikah, (2) kebebasan untuk meninggalkan negeri sendiri dan kembali kepadanya, (3) hak perlindungan (asylum) dari penganiayaan, (4) hak ambil bagian dalam pemerintahan, (5) hak memperoleh keamanan sosial, (6) hak bekerja, (7) hak atas gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, (8) hak untuk istirahat dan keluangan (leisure), (9) hak memperoleh tingkat hidup yang memadai, (10) hak anak-anak, (11) hak pendidikan, (12) hak ambil bagian dalam kegiatan budaya masyarakat, dan (13) hak atas ketertiban sosial dan internasional2.

Sekalipun bukanlah sebuah perjanjian (treaty)—sehingga tidak punya kekuatan hukum dalam suatu masyarakat, namun DUHAM telah digunakan oleh berbagai pemerintahan dan badan-badan internasional untuk menilai seberapa jauh HAM diperhatikan di seluruh dunia. Di antara badan internasional yang bisa dicatat di sini adalah Human Rights Watch, yang berkantor pusat di Amerika Serikat.

Human Rights Watch adalah sebuah LSM yang sangat penting, memfokuskan diri pada perlindungan hak-hak asasi manusia. Dimulai 1978 dengan didirikannya Helsinki Watch, yang memantau ketaatan negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah disepakati dalam persetujuan Helsinki. Sekarang Human Rights Watch mempunyai 5 divisi di Afrika, Amerika, Asia dan Timur Tengah, ditambah penandatanganHelsinki Watch. Mereka melakukan 5 proyek pengawasan atas perdagangan senjata, hak-hak anak-anak, kebebasan berekspresi, keadaan-keadaan penjara, dan hak-hak kaum perempuan. Sekarang Human Rights Watch mempunyai kantor-kantor utama di New York City, Washington D.C., Los Angeles, London, Brussel, Moskow, Dushanbe, Hongkong, dan Rio de Janeiro. Organisasi ini menerbitkan Human Rights Watch World Report, setiap Januari yang berisi

(8)

uraian mengenai perkembangan pelaksanaan HAM di 70 negara. Selain itu juga diterbitkan berbagai laporan yang mengetengahkan masalah khusus HAM, terutama dalam pencarian fakta pelaksanaan HAM di seluruh dunia.

Pokok Masalah: Antara “Timur” dan “Kepentingan Barat”

Kita mungkin segera mengasosiasikan pandangan-pandangan di atas dengan kelompok yang berorientasi primordial tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide tentang HAM, karena pandangan hidup mereka memang secara intern tidak mendukung.

Nurcholish Madjid3 misalnya dalam pembahasan mengenai masalah ini

sering mencontohkan Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, yang mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide tentang HAM adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia. Yang urgen ialah pembangunan dan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Dan ia telah membuktikan pembangunan Singapura yang makmur, walaupun dengan politik yang tidak terbuka, dan cenderung otoritarian.

Lee Kuan Yew terdengar ingin mengetengahkan apa yang ia sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian values) sebagai lebih relevan untuk kemajuan kawasan ini, yakni kawasan Lembah Pasifik Barat (Asia Tenggara dan Timur). Dan Singapura, juga negara-negara industri baru lainnya yang oleh pers Barat biasa disebut dengan “naga-naga kecil” (little dragons), atau “macan-macan Asia” dapat ditampilkan sebagai telah mereka capai dalam bidang ekonomi. Kemudian dalam tahun-tahun yang lalu, Dr Mahathir Muhamad, pemimpin-pemimpin dari RRC, juga sering terdengar mengajukan argumen yang sama. Anehnya, sikap dan pandangan serupa

3 Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan

(9)

itu sering memperoleh dukungan dari tokoh yang dianggap mempunyai wewenang, seperti mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger.

Dalam suatu pembahasan di Pusat Studi Islam Paramadina mengenai HAM, dalam rangka memperingati 50 tahun usia PBB, Nurcholish Madjid mengajukan pertanyaan, jika sekian banyak yang amat terhormat dan berprestasi tinggi menyuarakan hal-hal yang senada, maka apakah hal itu tidak berarti terdapat unsur-unsur yang benar dalam pernyataan mereka itu? Dapatkah pernyataan itu dikesampingkan begitu saja sebagai tidak punya dasar dan hanya merupakan cara untuk menutupi suatu kenyataan yang sebenarnya, seperti perlindungan dan pertahanan diri bagi praktik-praktik pemerintahan mereka yang otoriter, tiranik, dan mengekang pelaksanaan HAM?

Penilaian yang sarat prasangka memang telah umum dibuat orang. Dan jika kita mencoba mengesampingkan prasangka, kemudian secara empatik berusaha memahami tokoh-tokoh itu, maka barangkali sikap-sikap tersebut merupakan contoh paling nyata dari adanya kesenjangan antara ide-ide universal tentang tuntutan kemanusiaan dengan kenyataan-kenyataan sosial-kultural yang bersifat regional atau lokal. Mengkaitkan dengan penolakan Islam atas DUHAM, maka rumusan persoalannya menjadi: Pertama, DUHAM menjadi problematis jika syariat dan sumber-sumber yang membentuknya tidak dipahami secara historis dan bersifat sosio-kultural, melainkan dianggap bersifat independen dari kondisi historis dan sosio-kultural yang menyertai kelahiran syariat Islam. Kedua, DUHAM menjadi problematis jika syariat Islam dipandang sebagai hukum Ilahi yang absolut, yang diobjektivasi dan kemudian dipromosikan sebagai hukum yang mengikat masyarakat, basis hukum negara Islam—bukan sebagai aturan atau nilai-nilai moral yang terbatas pada masyarakat yang mempercayainya.

(10)

kalangan negara-negara Barat. Menarik tentang hal itu ada pertanyaan sangat penting dari Nurcholish Madjid—yang dalam buku Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan akan dibahas berkaitan dengan universalitas kemanusiaan, berkaitan dengan cara membaca syariat Islam:

Pertama, apakah Barat memang dengan sendirinya universal, sehingga setiap produk sosial-kulturalnya dengan sendirinya berlaku untuk semua tempat dan waktu?

Kedua, apakah Barat itu sedemikian uniknya, sehingga apa pun yang terdapat di sana, khususnya segi-segi keunggulan, dan perkembangan kemajuannya, tidak dapat ditiru atau diterapkan di tempat lain?4

Kaum sofinis (chauvinist) Timur akan menjawab “tidak” kepada pertanyaan pertama, sambil menegaskan bahwa produk-produk sosial-kultural di Barat bersifat khas lingkungan sosial-kulturalnya, jadi benar-benar bersifat “Barat” semata tanpa dengan sendirinya berlaku untuk lingkungan sosial-kultural lain, khususnya “Timur”. Argumen ini dipakai oleh pemikir Muslim yang menolak DUHAM. Tetapi persoalan menjadi rumit karena jika pertanyaan kedua dijawab “tidak” maka semua gejala modern dalam banyak segi kehidupan bangsa-bangsa bukan-Barat menjadi tidak punya pijakan atau tidak sah, seperti berbagai bentuk pengaturan sosial-politik dalam bentuk lembaga-lembaga konstitusi, parlemen, pemilihan umum, sistem pengadilan, dan seterusnya (dan masalah inilah yang tidak terpecahkan ketika beberapa negara Islam menerapkan syariat Islam, karena rupanya syariat Islam tidak pernah memadai untuk menjalankan sistem politik modern). Dan yang paling mencolok ialah, tentu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lebih jauh, tentu terdengar aneh bahwa kaum chauvinist Barat juga akan menjawab “tidak” kepada pertanyaan pertama dan “ya” kepada pertanyaan kedua. Suatu jawaban yang menegaskan keunikan Barat sehingga, seperti tergambarkan dalam ungkapan Rudyard Kipling yang terkenal, “Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur, dan saudara kembar itu tidak akan bertemu.”

(11)

Maka mengambil contoh debat DUHAM di Dunia Islam, tanggapan dengan argumen seperti kaum chauvinist Timur (yang Islam), al-Burudi, wakil Saudi Arabia dalam perdebatan sebelum pengesahan DUHAM menegaskan bahwa pola budaya yang dominan di Barat seringkali bertentangan dengan pola budaya yang dominan di negara Timur. Ia juga menegaskan bahwa istilah “martabat dan hak-hak” dalam pasal pertama DUHAM bersifat subjektif, karena setiap negara akan mempunyai penafsirannya sendiri.

Maka menarik bahwa pandangan Saudi Arabia itu, makin dipertegas pada 15 Juni 1970, ketika pemerintah Saudi Arabia menerbitkan memorandum mengenai HAM dalam Islam, dan aplikasinya di negara tersebut. Dan isinya berbeda dengan DUHAM yang berisi formula moral, memorandum tersebut lebih banyak berisi preskripsi dan perintah yang pasti. Dan di antaranya dikemukakan persoalan larangan pernikahan antara perempuan muslim dan laki-laki non-muslim, dan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan politeis (musyrik), dimana pandangan ini bertentangan dengan pasal 16 DUHAM. Alasan memorandum itu adalah demi mempertahankan keluarga dari kehancuran. Hal kedua yang mencolok dari memorandum itu adalah larangan bagi seorang muslim untuk pindah agama (bertentangan dengan pasal 18 DUHAM). Bolehnya pindah agama dalam HAM dianggap sebagai cara yang dapat menimbulkan kekacauan agama di muka bumi.

(12)

Maka berkaitan dengan pikiran mengenai kemanusiaan, Munawir Sjadzali menyimpulkan jika pemikiran Islam seperti ini (misalnya seperti yang dikemukakan dalam penolakan terhadap DUHAM di atas, sebagaimana paparan Budhy Munawar Rachman), tidak dapat diharapkan mampu memberi sumbangan kepada peradaban dunia di zaman dimana kita hidup sekarang ini. Bahkan lebih dari itu, Islam juga terancam tidak dapat ikut berbicara mengenai peradaban mutakhir. Dalam buku Ijtihad Kemanusiaan, berkaitan dengan HAM Munawir mendekonstruksi pandangan-pandangan yang bertentangan dengan HAM dalam kasus-kasus kedudukan perempuan, dan kedudukan warga non-Muslim.

Suatu Kemungkinan Permulaan: Penyadaran Dimensi Historis Ide-ide dan Perjuangan tentang Hak-hak Asasi

Setiap kali kita menyebut hak-hak asasi manusia, dengan sendirinya rujukan paling baku kita ialah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dari PBB. Ini wajar, dan merupakan keharusan, karena kita adalah anggota PBB, dengan akibat bahwa kita menerima dokumen yang memuat wawasan fundamentalnya itu. Namun perlu ditambahkan untuk diingat bahwa Deklarasi Universal itu hanyalah suatu titik, mungkin titik yang sangat akhir, dari perjalanan perjuangan umat manusia untuk menemukan jati dirinya dan untuk menghormati serta melindungi jati diri itu. Deklarasi Universal adalah suatu “hasil bersih” atau “hasil akhir” proses pertumbuhan yang panjang, yang telah ditempuh umat manusia dengan susah payah. Ini harus diketahui, diakui dan disadari bersama5.

Adalah mustahil mengingkari bahwa nilai-nilai nasional yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila itu merupakan bagian dari hasil interaksi terbuka budaya bangsa kita dengan budaya-budaya bangsa lain. Dan juga mustahil mengingkari bahwa sebagian dari interaksi itu terjadi dengan hasil-hasil pemikiran kemanusiaan yang paling modern atau mutakhir, semisal Deklarasi Universal tadi, bahkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat buah pikiran seorang humanis

(13)

besar, Thomas Jefferson. Lebih dari itu, jika kita percaya kepada Bung Karno, salah seorang tokoh paling instrumental bagi perumusan resmi Pancasila, nilai-nilai dasar negara itu juga merupakan hasil interaksi terbuka budaya kita dengan Manifesto Komunis, sekalipun interaksi itu berlangsung kritis dan tidak sekedar menerima “nilai permukaan” dokumen warisan Karl Marx itu. Namun interaksi itu jelas ikut memberi “flavour” kepada ide-ide tentang keadilan sosial seperti yang dirumuskan pada sila terakhir Pancasila.

Dengan menyadari sejarah panjang kemanusiaan sejagad dan dinamika interaksi terbuka bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain itu kita juga menyadari bahwa ide-ide tentang hak-hak asasi bukanlah hal yang muncul begitu saja tanpa ongkos perjuangan dan pengorbanan yang amat mahal. Maka kita tidak dapat menyikapinya sebagai sesuatu yang bernilai “terima jadi” untuk kita, sehingga kita menjadi cenderung untuk meremehkan persoalannya dan menganggap ringan implikasinya. Bersama dengan umat manusia sejagad, kita harus menghayati sejarah pertumbuhan konsep-konsep hak-hak asasi itu, dan merasakan denyut jantung sejarah itu dengan mencamkan irama turun naik dan jatuh bangunnya bangsa-bangsa dan rakyat-rakyat yang memperjuangkannya. Sila “Perikemanusiaan yang adil dan beradab” bisa dipahami dimensi keluasan dan kedalamannya hanya jika telaah di bawah sorotan semangat kemanusiaan universal itu.

Berdasarkan hal-hal di atas itu, salah satu kemungkinan yang dapat ditempuh dalam usaha menanamkan dan meluaskan pengertian dan penghayatan akan hak-hak asasi manusia ialah menanamkan kesadaran tentang sejarah panjang dan penuh onak duri tumbuhnya ide-ide tentang nilai-nilai kemanusiaan itu pada berbagai bangsa di dunia. Oleh karena hak-hak asasi manusia sesungguhnya merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban. Ini dapat dilihat dari misi ajaran agama-agama6. Dalam agama-agama

(14)

Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam), misalnya, salah satu persoalan kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa pembunuhan yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qabil (Cain) dan Habil (Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini (oleh Qabil terhadap Habil) menghasilkan dekrit Tuhan, “Bahwa barangsiapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya.7

Salah satu kewajiban seorang Muslim ialah pergi haji, berziarah ke tempat-tempat suci yang menjadi “monumen-monumen” Tuhan (sya’a’ir-u l-Lah) di Makkah dan sekitarnya. Ini adalah ibadat yang sebagian besar merupakan tindakan menapak tilas pengalaman ruhani tiga manusia: Nabi Ibrahim, Hajar (istrinya) dan Nabi Isma’il (putranya) dalam merintis ditegakkannya nilai-nilai kemanusiaan universal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam mewariskan dan melestarikan upacara-upacara suci itu, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa akhirnya, inti ibadah haji ialah berdiam (wukuf) kurang lebih seharian di padang Arafat. Berkenaan dengan ini terkenal sekali sabda Nabi, “al-hajj ‘Arafah”—Haji ialah Arafat. Hanya sayang, kebanyakan umat Islam yang menjalankan ibadah haji tidak memahami mengapa Nabi membuat penegasan serupa itu. Dengan penegasan beliau itu, Nabi sebenarnya hendak meminta perhatian kaum Muslim kepada isi pidato beliau pada waktu di Arafat dalam satu-satunya kesempatan beliau berhaji. Dalam pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk menyeru umat manusia kepada jalan Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati hak-hak suci sesama manusia, lelaki dan perempuan. Dalam pidato itu antara lain Nabi saw. menegaskan: “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini.” Dan sesekali di celah-celah pidatonya itu dari atas mimbar Nabi bertanya kepada lautan manusia yang hadir: “Bukankah aku telah sampaikan (pesan-pesan) ini?” Dan semuanya menjawab:

(15)

“Benar! Engkau telah sampaikan.” Lalu Nabi berpesan agar yang hadir menyampaikan isi pidato beliau itu kepada yang tidak hadir.

Pidato di Arafat itu, yang menurut Nabi sendiri merupakan inti ibadah haji, jelas-jelas merupakan pidato tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang sebagian di antaranya sekarang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia. Pidato itu sendiri umumnya disebut sebagai “Pidato Perpisahan”, karena tidak lama setelah itu, selang tiga bulan, Nabi wafat. Tetapi sesungguhnya menjelang wafat itu beliau banyak meninggalkan pesan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga, sejalan dengan ajaran Kitab Suci bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai kemanusiaan sejagad (universal). Salah satu pidato beliau memuat pesan yang amat penting tentang hak-hak asasi budak dan kaum buruh: “Wahai manusia, ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu (budak, buruh, dan lain-lain). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Janganlah mereka kamu bebani dengan beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah, bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka”8.

Paham kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama itu dipercayai, dihayati dan diamalkan sebagai bagian penting dari religiusitas masyarakat. Pandangan yang sangat tinggi dan hormat kepada harkat dan martabat manusia itu melalui beberapa saluran juga menular di Eropa dan tumbuh serta berkembang di sana. Salah seorang yang paling mula-mula mengetengahkan paham kemanusiaan ini di Eropa pada zaman Renaissance, ialah Giovanni Pico della Mirandola.

Sejak masa Giovanni itu perbincangan dan perjuangan sekitar hak-hak asasi manusia serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya terus berkembang di Barat,

8 Kitab Khutab al-Rasul (Pidato-pidato Rasul), hasil kompilasi Muhammad al-Khathib, Kairo:

(16)

sampai akhirnya memuncak dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB pada Desember tahun 1948. Deklarasi itu, ditambah dengan berbagai instrumen lainnya yang datang susul-menyusul telah memperkaya umat manusia tentang hak-hak asasi, dan menjadi bahan rujukan yang tidak mungkin diabaikan. Seperti telah disinggung, kita pun tentu saja berpegang kepada dokumen-dokumen internasional itu.

Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas

Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Hal demikian kerap kali disebut dengan istilah wacana universalitas dan lokalitas atau partikularitas HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM universal. Kekhususan tersebut bisa saja bersumber pada kekhasan nilai budaya, agama, dan tradisi setempat. Misalnya, hidup serumah tanpa ikatan nikah (kumpul kebo) atau berciuman di muka umum dalam perspektif HAM diperbolehkan, tetapi dalam perspektif budaya lokal suatu negara keduanya dipandang sebagai praktik yang mengganggu adat kesusilaan setempat bahkan bisa dikenakan sanksi hukum. Hal serupa dapat dianalogikan pada masalah prinsip kebebasan beragama bagi setiap orang yang dijamin oleh HAM. Namun, prinsip universal kebebasan berkeyakinan ini sering kali digugurkan oleh pandangan keyakinan suatu komunitas agama yang mengajarkan untuk menyebarkan dan mengamalkan ajaran agamanya kepada keluarga dan anggota kelompoknya sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama yang diyakininya.

(17)

HAM9. Teori relativisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan

budaya bersifat partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal, semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar bisa diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-praktik sosial. Oleh karenanya, ketika berbenturan dengan nilai-nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusus pada suatu negara, tidak pada negara lain.

Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat. Hak asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai produk politik Barat, sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerapkan DUHAM secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralitas dengan dasar bahwa kemerdekaan pertama-tama berarti kemerdekaan untuk berbeda, sehingga penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan kemerdekaan itu sendiri.

Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sistem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal.

(18)

Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia

Sejumlah pertanyaan diajukan dengan sejumlah validitas landasan ideologis dan hak-hak asasi manusia, yang diterima selama ini di kalangan negara-negara yang mempraktikkannya,10 katakanlah negara-negara industrial kapitalistis yang

sudah maju di dunia pertama. Aswab Mahasin11 mempertanyakan kebenaran

pengambilan oper begitu saja landasan yang ada selama ini, dan dengan sendirinya bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan. Benarkah anggapan selama ini, bahwa penafsiran liberalistis dari hak-hak asasi manusia itu sendiri memang menjadi kebutuhan nyata rakyat negara-negara berkembang? Ternyata tidak, karena kebutuhan nyata mereka adalah penemuan identitas diri melalui serangkaian upaya sosial-ekonomis untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri. Atau dengan kata lain, harapan terletak pada dukungan kepada kelas menengah yang lemah untuk mengembangkan diri dan menumbuhkan kekuatan mereka dari bawah. Perjuangan hak-hak asasi manusia baru ada arti pentingnya, jika didukung oleh aspirasi mereka yang membutuhkan perlindungan hak-hak praktis mereka dari jarahan kekuasaan negara. Mereka yang tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan, karena hidup dalam siklus kultur kemiskinan yang tidak pernah berhenti, sudah tentu tidak merasakan keperluan akan perlindungan tersebut.

Kalau pada Mahasin, perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki konotasi sosial-ekonomis, hal lain juga dapat disaingi dari pendapat-pendapat lain yang berkembang di berbagai negara. Henry Shue, misalnya, mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai hak memperoleh kehidupan wajar (right of subsistence) sebagai kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali12. Hanya saja, kalau

Mahasin memberikan rumusan yang lebih diarahkan kepada penciptaan kelompok tertentu di masyarakat, betapa besar sekalipun kelompok itu sendiri. Shue lebih memusatkan perhatian kepada pengembangan diri manusia sebagai perorangan

10 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), h. 356.

(19)

melalui pemenuhan hak hidup yang sedemikian itu. Arah taktis dari kedua strategi yang bersamaan ini lalu menjadi berbeda satu dari yang lain. Pada Mahasin, kelompok ekonomis dari kelas menengah ini harus dikembangkan dari bawah, berarti pada waktunya nanti akan berhadapan secara diametral dengan kekuasaan (kalau masih ada) yang mengurangi atau meniadakan hak-haknya atas perlindungan dari perampasan hak-hak milik dan akibat-akaibat lain yang timbul dari perampasan hak milik itu. Pada Shue, beban menyelenggarakan hak atas kehidupan yang wajar pada dasarnya tidak menghadapkan rakyat kepada pemerintah yang mau memenuhi hak itu sendiri, sehingga watak konfrontatif lalu menjadi langka dari hak tersebut. Kalau Mahasin menganggap penciptaan kelas menengah yang kuat sebagai bagian dari perjuangan hak-hak asasi manusia, katakanlah sebagai titik tolaknya, maka pada Shue perjuangan tersebut justru terpusat pada watak sosial-ekonomisnya itu sendiri.

Dalam bentuknya yang lain, pendekatan sosial-ekonomis tersebut juga digunakan dalam klaim perjuangan hak-hak asasi manusia dari perjuangan menciptakan Orde Ekonomi Internasional Baru. Dengan penuh kemarahan Walter Lacquer13 menyerang impotensi lembaga-lembaga internasional yang menangani

masalah hak-hak asasi manusia. Setelah PBB berhasil menegakkan prinsip universalitas masalah hak-hak manusia, secepat itu pula universalitas itu dikebiri dengan menghentikan kemungkinan campur tangan PBB dalam urusan dalam negeri anggota-anggotanya. Ini membuat mustahil penerimaan protes mereka yang kehilangan hak-hak mereka oleh PBB, dan secara efektif mematikan prinsip universalitas yang sudah diterima itu. Komisi hak-hak asasi manusia lalu hanya menjadi forum lelucon yang tidak lucu, di mana tampak jelas impotensi PBB di hadapan dunia secara keseluruhan. Hak-hak kelompok minoritas agama, etnis dan bahasa tidak pernah disepakati, dan dengan sendirinya tidak tertampung, dalam klausul-klausul Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang diprodusir PBB.

Menghadap kemarahan seperti itu, berbagai lembaga dalam lingkungan PBB berusaha mencari jawaban pada “pemecahan universal” yang berukuran

(20)

makro tetapi diterapkan pada warga negara secara perorangan. Mulai dari hak-hak akan kebutuhan dasar (basic needs) yang dirumuskan organisasi perburuhan internasional hingga kepada hak atas makanan (right of food) yang dicanangkan FAO, melalui sederetan hak lain seperti hak atas pelayanan utama (basic service) di bidang nutrisi bagi anak-anak yang diselenggarakan Unicef, kesemua jawaban PBB itu merangkum pendekatan sosial-ekonomis yang langsung ditujukan kepada kebutuhan warga negara secara perorangan. Dikaitkan kepada pendekatan perorangan dalam skala makro ini adalah upaya untuk mencapai kesepakatan tentang Orde Ekonomi Internasional Baru dalam UNCTAD14, sebagai upaya

pengikat yang menjamin terlaksananya pendekatan perorangan tersebut dengan baik. Ini tercermin antara lain dalam berbagai perhitungan yang dikemukakan untuk mendukung argumentasi bagi penciptaan orde tersebut, seperti perhitungan Bank Dunia bahwa pemindahan 2% pendapatan kelas atas di negara-negara berkembang ke kelas 40% terbawah (the bottom 40%) dalam jangka 25 tahun akan memungkinkan tercapainya pemberantasan kemiskinan di seluruh dunia. Pemindahan kekayaan seperti itu dapat dilakukan hanya dalam konteks struktur perekonomian internasional yang lebih adil.

Kesimpulan

Dalam konteks humanisme yang dipahami sebagai orientasi dasar ke arah kepentingan dan kesejahteraan seluruh bangsa manusia, maka Islam sebagai “Agama Kemanusiaan” mempunyai spirit-religius yang relevan untuk dikembangkan, sejalan dengan kesadaran baru HAM dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA

14 United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) adalah organisasi

internasional yang didirikan pada tahun 1969. UNCTAD adalah organ utama Majelis Umum PBB dalam menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan. Selengkapnya buka

(21)

Lacquer, W. 1977. The issue of human rights. Comentary. Vol.63 no. 5, May 1977. Madjid, N. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru

Islam Indonesia. Paramadina. Jakarta.

Mahasin, A. t.t. Human rights and social stratification. Prisma. No. 13, edisi Inggris.

Rachman, B.M. 2005. HAM dan persoalan relativitas budaya, dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Paramadina. Jakarta.

Shue, H. 1977. Policy on human rights, working paper on human rights and foreign policy. Fondations For A Balanced U.S. Center For Philosophy And Public Policy.

Ubaedillah, A., Rozak, A. 2009. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. ICCE UIN Jakarta. Jakarta.

Wahid, A. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. The Wahid Institute. Jakarta.

Wikimedia Indonesia. Konferensi PBB mengenai perdagangan dan pembangunan, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sistem informasi monitoring dan evaluasi dosen berdasarkan tri dharma perguruan tinggi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

yang berlaku, maka Panitia Pengadaan Barang / Jasa Direktorat Sabhara Polda Jatim, mengumumkan:. Pemenang pengadaan

Berdasarkan hasil data dan grafik hambatan dan kecepatan yang sudah disatukan dalam untuk ketiga bentuk haluan kapal yaitu bentuk haluan miring, bulbows bow dan x-bow sebagaimana

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai persentase kuning telur yang tepat dalam pengencer skim kuning telur yang

yzng enak akan mcnimbulkan rcspc:tr- rl rr;rr, merzzsn d:i.perhntik3rt... !:ssi.en tersebut aka11 Hebih

Pengadaan Jasa Konsultansi Pembuatan Master Plan dan DED Obyek Wisata Pantai Batu Lamampu Kabupaten

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam proses pembelajran yang berlangsung. 2) Lembar observasi kerja sama siswa yang digunakan untuk mengamati dan. mengukur kerja

Melihat dunia lewat tubuh merpati balap, membingkai lanskap tepian kota Surabaya dari ekspansi properti habis-habisan, meliuk-liuk seperti jet tempur yang hilang kendali menuju