• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembiayaan Pendidikan Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembiayaan Pendidikan Islam di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pembiayaan Pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa.

Oleh.

Nasrul Syarif

NIM.F08312017

Pendahuluan

Sejak awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah mengambil peran yang amat signifikan dalam kegiatan pendidikan. Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya.Melalui pendidikan inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Islam memiliki karakter sebagai agama dakwah dan pendidikan. Dengan karakter ini, maka Islam dengan sendirinya berkewajiban mengajak,membimbing, dan membentuk kepribadian umat manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.1

Namun hingga hari ini pendidikan Islam di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai problematika yang tidak ringan. Berbagai komponen pendidikan Islam dari tujuan, kurikulum, guru, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan sebagainya masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan mendasar yang berakibat pada mutu pendidikan Islam yang seringkali menunjukkan keadaan yang kurang menggemberakan.

Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini terutama terkait dengan pembiayaan pendidikan yang minim. Hal ini berimbas pada hampir semua komponen pendidikan lainnya. Padahal biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan biaya dan pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya

(2)

pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan secara maksimal.

Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan adalah membutuhkan biaya. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah maupun Madrasah dalam segala aktifitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan, pelaksanaan program, dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada, kesemua itu memerlukan anggaran dana. Sehubungan dengan itu setiap manajer pendidikan Islam hendaknya memahami sejarah pembiayaan pendidikan Islam di Indonesia beserta teori dan praktik manajemen pembiyaan yang terbaik bagi lembaga pendidikannya.

Sejarah Pembiayaan pendidikan Islam pada masa Pra-Kemerdekaan.

Pendidikan Islam telah mulai berlangsung di Indonesia sejak masuknya para pedagang muslim ke negeri ini pada abad VII M. Mula-mula pendidikan agama hanya berlangsung antara individu dengan individu lainnya. Materi yang diajarkan pun hanya berkisar pada prasyarat seseorang menjadi muslim. Proses pendidikan Islam kemudian berkembang ke arah kolektif ketika sudah memberi pengaruh yang signifikan di masyarakat Indonesia.

Pengaruh pendidikan agama yang dilaksanakan oleh para dai muslim menemukan hasilnya ketika pada abad X berdiri kerajaan Islam pertama di Aceh yang bernama Pase atau kerajaan samudra (kerajaan ini juga dikenal dengan samudera pasai). Di kerajaan ini dilangsungkan pendidikan agama dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya

Hal ini sesuai dengan laporan Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat jumat sampai waktu asar. Dari keterangan itu diduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama dari berbegai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.

Zuhairi dkk. melihat bahwa pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut: 1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab Syafi’i.

2. Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majelis taklim dan halaqah. 3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.

(3)

Jadi, pada masa kerajaan Islam Pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri. Bahkan, setelah berdirinya Kerajaan Perlak pendidikan agama berkembang sangat baik. Sultah Mahdum Alaudin Muhammad Amin, Raja keenam Perlak, mendirikan perguruan tinggi Islam yang diperuntukkan bagi siswa yang telah alim. Dengan dukungan pendanaan dari kerajaan, perguruan ini dapat mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi seperti Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan sebagainya.

Berawal dari Aceh, Pendidikan Islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di Jawa, misi ini diusung oleh Sunan Giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pasai yang bermadzhab Syafi’i.

Pendidikan Islam selanjutnya berkembang dari majlis taklim di kerajaan terus berkembang ke surau-surau dan masjid.

Di Sumatera Barat surau-surau berkembang menjadi tempat pengajian untuk pemuda-pemuda muslim. Salah satunya surau besar yang mirip konsep pesantren muncul di Batuhampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syaikh Abdurrahman pada tahun 1777. Kompleks ini kemudian dikenal sebagai “Kampung Dagang”. Kampung Dagang dibangun dengan sarana dan fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di dalam kawasan yang luasnya sekitar 3 hektare ini ada sebuah pasar kecil, di mana terdapat beberapa kedai tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari. Jumlah orang siak (santri) yang belajar di Kampung Dagang ini berkisar antara 1000 sampai 2000 orang.

(4)

Akan halnya syaikh sendiri, tidak mempunyai pekerjaan selain mengajar di surau untuk memenuhi kebutuhan hidup kelurganya. Jadi ia cukup mengajar saja, karena kebutuhan hidupnya sehari-hari sudah dipenuhi dari sedekah dan sumbangan masyarakat, yang terus mengalir bahkan lebih dari cukup sehingga syaikhpun mampu menunaikan ibadah haji.

Seiring dengan perubahan yang terjadi pada lembaga pendidikan pada umumnya, maka perubahan institusi pendidikan rupanya juga merubah surau-surau yang ada di Sumatera menjadi sekolah-sekolah Islam. Pada tahun 1918 berdiri pula perkumpulan “Sumatera Thawalib” yang mendirikan sekolah-sekolah agama di Padang Panjang, Bukittinggi dan sekitarnya. Selanjutnya pada tahun 1920 berdirilah organisasi guru-guru Islam (PGAI) di Padang, yang kemudian mendirikan Normal Islam, sekolah modern untuk mempersiapkan guru-guru agama Islam. Sementara pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang Zainuddin Labbay El Yunusi mendirikan Diniyah School kemudian adiknya, Rahman El Yunusiyah mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 Nopember 1923. Kedua lembaga pendidikan tersebut mengispirasi berdirinya sekolah-sekolah Islam formal lain yang secara tidak langsung mengikis peran pendidikan yang dilangsungkan oleh surau-surau. Sehingga selepas tahun 1940-an surau d1940-an sekolah-sekolah agama tradisional menjadi minoritas dib1940-andingk1940-an sekolah-sekolah modern.

Selanjutnya pembaruan sistem pendidikan agama, ditambah perubahan-perubahan ekonomi yang dilancarkan pemerintahan kolonial juga mengubah watak dasar santri dan surau. Santri yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari suatu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarganya. Perubahan ini berarti pecahnya integrasi santri dengan masyarakat, karena sebelumnya terjalin hubungan saling membutuhkan antara keduanya. Santri membutuhkan bantuan biaya masyarakat sementara yang terakhir ini memerlukan santri untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-upacara di negeri, dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama setelah menyelesaikan pelajarannya di surau.

(5)

terpaksa berafiliasi dengan organisasi Islam tertentu yang menyelenggarakan pendidikan Islam seperti Muhammadiyah, Permi, Diniyah, Thawalib, dan sebagainya.

Pesantren di Jawa

Ketika surau-surau di Sumatera terkikis oleh sekolah-sekolah Islam, tidak demikin halnya dengan pesantren-pesantren di jawa. Meski gerakan pendidikan Islam formal berlangsung deras, namun eksistensi pesantren sebagai pendidikan Islam pertama di jawa tetap survive dan eksis. Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa.

Munculnya pesantren sekitar abad ke-15 oleh para penyebar agama Islam di Jawa, di antaranya Wali songo. Sebagaimana halnya surau-surau di Sumatera, pesantren awalnya juga merupakan masjid yang menjadi tempat belajar para santri yang kemudian terintegrasi dengan asrama untuk penginapan para santri tersebut.

Setiap pondok pesantren memiliki tiga unsur minimal2:

1) Kyai yang mendidik dan mengajar;

2) Santri yang belajar; dan

3) Masjid.

Pesantren pertama di Jawa diperkirakan dibangun oleh Sunan Ampel di Surabaya. Pada tahun selajutnya pesantren telah meyebar ke penjuru tanah Jawa.Sebelum abad ke-18, pembiayaan pesantren dari tingkat rendah hingga tinggi ditanggung oleh masyarakat Islam sendiri. Pembiayaan tersebut dipungut dari uang zakat, srakah (iuran waktu pernikahan), wakaf dan palagara (pembayaran sesuatu hajat dari penduduk desa). Pengaturan pembagian tersebut diatur oleh pemerintah kerajaan.

Pada masa kerajaan Kartasura (sekitar tahun 1700 M) ada beberapa pesantren besar yang dijadikan perdikan, yang dikaruniai tanah sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah. Tetapi perdikan ini akhirnya dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916-1917. Tanah hak milik itu diambil alih oleh pemerintah kolonial.

Meski pada awal abad ke-20 Pemerintah Kolonial berlaku represif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam di Jawa, ternyata pada abad ini pesantren justru mengalami kebangkitan hebat. Muncul pesantren-pesantren baru yang masih tampak kokoh

(6)

hingga saat ini. Pada periode ini pengelolaan pesantren dilaksanakan oleh kyai dengan bantuan masyarakat tanpa peran pemerintah.

Kedatangan Jepang pada fase selanjutnya tidak memberi banyak perubahan kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hanya saja kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang yang tidak peduli terhadap agama memberi keleluasaan terhadap dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia. Kantor Urusan Agama yang pada masa Belanda dipimpin oleh seorang orientalis, pada masa ini digantikan oleh ulama pribumi. Beberapa pesantren besar juga dikunjungi dan dibantu oleh pemerintah Jepang.

Peran Organisasi Islam dalam pendidikan Islam.

Beberapa organisasi Islam sangat berperan untuk memajukan pendidikan Islam , misalnya Muhammadiyah, terus membuka sekolah-sekolah di pelosok jawa. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam gagal dalam memproduksi kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman. Untuk itu salah satu amal usaha yang digalakkan oleh Muhammadiyah pada mulanya adalah pada lapangan pendidikan. Amal usaha pendidikan diharapkan memajukan dan memperbaharui pendidikan dan pengajaran serta memperluas ilmu menurut tuntutan Islam.

Lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah bersifat formal, baik umum maupun keagamaan. Tiap sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang dimiliki oleh Muhammadiyah sepenuhnya milik muhammadiyah, dan bukan milik individu. Sehingga di antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut kerjasama dapat dilakukan dengan lebih mudah karena adanya organisasi induk yang mendirikannya. Manajemen pendidikan yang dilangsungkan Muhammadiyah pada mulanya juga terpusat. Kurikulum pengajaran, pelasanaan ujian dan pembiayaan di sekolah-sekolah muhammadiyah kesemuanya di bawah kendali majelis pengajaran Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Di samping Muhammadiyah, Organisasi Islam lain yang juga turut membantu penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam di Jawa adalah Nahdlatul ‘Ulama. Organisasi yang digagas oleh Wahab Chasbullah ini berdiri pada tahun 1926. Organisasi ini memiliki departemen kependidikan yang disebut dengan Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif). Raisul Akbar NU pertama, Hasyim Asy’ari, adalah tokoh paling berpengaruh di organisasi ini. Dialah yang memperkenalkan sistem madrasah dan kurikulum yang memuat pelajaran umum dalam lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah NU.

(7)

berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaharuan pesantren. Namun, NU juga terjun dalam pembaharuan pendidikan dengan mendirikan madrasah-madrasah model Barat sebagaimana terlihat di beberapa pesantren saat ini.

Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-kemerdekaan

Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.

Dengan kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul lima klasifikasi pondok pesantren menurut Prof.Dr. Ridlwan Nasir,M.A.di Nusantara3:

1.Ponpes salaf/Klasik adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional; 2.Ponpes Semi berkembang adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi);dengan kurikulum 90% Agama dan 10% umum

3.Ponpes berkembang adalah pondok yang seperti semi berkembang hanya saja sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya; yakni 70% agama dan 30% umum.

4.Ponpes Khalaf/Modern adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus sistem sekolah dan madrasah sudah lebih lengkap bahkan sampai perguruan tinggi baik umum maupun agama dilengkapi dengan takhasus (bahasa arab dan bahasa Inggris).

5. Ponpes Ideal yaitu sebagaimana bentuk ponpes modern hanya saja lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada ,terutama bidang ketrampilan yang meliputi pertanian,teknik, perikanan, perbankan dan benar-benar memperhatikan kualitasnya dengan tidak menggeser cirri khusus kepesantreannya yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha

(8)

yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.

Hal ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang

Beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun, Pesantren Gontor dan lain-lain.

Sebagai gambaran, penulis uraikan di sini salah satu gagasan dari konsep pembiayaan berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor.

Pesantren Gontor meniru apa yang dilakukan oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren ini juga berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf.

Pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Badan Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.

Hingga saat ini YPPWPM terus menambah dan mengelola berbagai bentuk kekayaan bumi dan bangunan demi menjamin kebutuhan ekonomi Gontor. Kekayaan bumi yang dikelola YPPWPM hingga akhir tahun 2007 dalam m2 adalah sebagai berikut: 1. Di Kab. Ponorogo : 549.301

2. Di Kab. Madiun : 7.059

3. Di Kab. Ngawi : 2.048.505

(9)

5. Di Kab. Jombang : 20.160

6. Di Kab. Nganjuk : 104.893

7. Di Kab. Jember : 22.830

8. Di Kab. Lumajang : 1.630

9. Di Kab. Banyuwangi : 61.510

10. Di Kab. Trenggalek : 20.314

11. Di Kab. Tuban : 10.600

12. Di Kab. Magelang : 51.854

13. Di Kab. Bantul -Yogyakarta : 680

14. Di Kab. Bogor : 500.000

15. Di Kab. Lampung Timur : 80.000

16. Di Kab. Lampung Selatan : 109.246

17. Di Kab. Konawe Selatan : 3.337.710

18. Kab. Aceh Besar : 101.163

Total tanah yang dikelola sejumlah 7.209.791 m2.

Sampai tahun 2009, luas tanah wakaf dalam hitungan YPPWPM mencapai 825,184 Ha atau 8.251.840 m2, tersebar di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Dengan segala kemampuan yang ada, program perluasan tanah diperoleh melalui penerimaan tanah wakaf dan pembelian tanah baru.4

Adapun harta wakaf berbentuk sarana dan prasarana lainnya seperti bangunan masjid, asrama, madrasah, kampus dn sebagainya tersebar ke penjuru pondok-pondok cabang Gontor, baik Gontor putra sampai 11 cabang maupun Gontor putrid sekitar 5 cabang. Selain itu untuk wakaf pondok Gontor banyak sekali usaha yang dilakukan seperti menggarap sawah dengan system bagi hasil, investasi melalui unit-unit usaha produktif dan penggalangan dana dengan pola langsung. Khusus untuk unit usaha produktif, wakaf gontor sampai tahun 2009, telah mendayakan 30 ragam usaha.

Pertumbuhan madrasah

(10)

Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa ini madrasah berkembang cukup pesat, tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintah. Madrasah dan dunia pendidikan Islam pada umumnya dibiarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan apa adanya.

Perhatian pemerintah pada masa Orde Lama terhadap madrasah sangat rendah. Bantuan pembiayaan dari pemerintah juga belum dapat dirasakan oleh para pengelola madrasah. Pada masa ini pemeritah tidak mendirikan satupun madrasah negeri. Penegerian madrasah hanya dilakukan ketika beberapa Pemerintah Daerah menyerahkan beberapa madrasah ke Departemen Agama.

Harapan baru muncul ketika pada tahun 1975 departemen agama di bawah pimpinan Mukti Ali mengeluarkan keputusan bersama antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta menteri dalam negeri. Namun ternyata SKB tiga menteri ini masih menyisakan persoalan terkait dengan pembiayaan madrasah-madrasah yang mayoritas masih berstatus swasta.

Pendidikan Islam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijaksanaan agar madrasah pada gilirannya menjadi sekolah umum dapat diwujudkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai pelaksana undang-undang tersebut di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dalam Bab III pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa: “Sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah”. Demikian pula halnya dengan madrasah aliyah. Namun pada masa ini pendidikan Islam belum dikatakan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tetapi hanya satu bagian/urusan yang berada di bawah Departemen Agama.

Selanjutnya harapan baru muncul seiring dengan bergulirnya era reformasi yang menuntut penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski dalam era ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency, pemicu dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.

(11)

perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Saat lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan pesantren. Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban.

Terkait dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan Islam diperoleh dari:

1. Bantuan Pemerintah

Besarnya bantuan keuangan dari pemerintah bervariasi untuk madrasah negeri dan swasta

a.untuk madrasah negeri berkisar antara 80–90 % dari anggaran sekolah; b untuk madrasah swasta berkisar antara 15 – 40 %. Besar kecilnya bantuan pemerintah dihitung secara seimbang dengan besar kecilnya pungutan sekolah dari orang tua siswa. Semakin besar pungutan dari orang tua, maka berakibat semakin kecil jumlah bantuan dari pemerintah.

2. Uang Madrasah

Iuran/bantuan orang tua siswa yang besarnya bervariasi menurut jenis madrasah, keunggulan madrasah dan besar kecilnya program madrasah tersebut : - untuk madrasah negeri antara 5 – 15 %;

- untuk madrasah swasta 60 – 85 %

3. Kegiatan bazar madrasah, pameran dan lain lain

4. Kerjasama dengan perusahaan.

(12)

mendatangkan dana yang besar, namun kerjasama dengan perusahaan ini masih menimbulkan kontroversi, karena dapat berakibat buruk pada siswa maupun citra madrasah, terutama iklan untuk produk rokok dan sejenisnya.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

"Orang miskin dilarang sekolah," demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui "jalur khusus", ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme --seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah--neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.

Beda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta'lim Al-Manhaji, hal. 12).

Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Nabi SAW bersabda :

(13)

Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijma' Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur

(pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan "iwan" (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

(14)

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.

Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam penerimaan APBN P 2012 Indonesia yang hanya sekitar Rp. 1.358,2 triliun dimana 74.5 %nya bersumber dari pajak yakni Rp 1.012 triliun, selain itu APBN Indonesia mengalami defisit karena belanja negara sekitar Rp. 1.548,3 triliun,- yang harus ditutupi melalui utang. Anggaran untuk sektor pendidikan katakan 20% adalah sebesar 270 triliun belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 270 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2012 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 270 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :

1. Potensi hasil hutan : Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan Indonesia adalah 94.432.000 hektar. Untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profit-nya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan Indonesia adalah 94 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 1.880 triliun.

Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp 900 triliun juga masih sangat besar. Dan jika dikelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.

Dari perhitungan di atas penerimaan Negara dari kekayaan alamnya saja sudah sangat besar yakni sekitar Rp. 1.642 triliun,-. Belum lagi bila memperhitungkan penerimaan negara dari fai, ghanimah, shadaqah, tanah-tanah milik Negara dan lainnya.

(15)

2. Potensi hasil laut : Nah, di luar hasil hutan, ada potensi laut yang tak kalah besar. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 miliar atau Rp. 738 triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen saja, maka nilainya sudah sekitar Rp. 73 triliun.

3. Potensi hasil pertambangan : Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont kita lakukan perhitungan dengan taksiran dari setoran pajak mereka. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 triliun per tahun, dan ini baru 20 persen dari nett profit—itu artinya nett profit-nya adalah Rp. 30 triliun per tahun. Sumber lain menyebut produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 ton emas murni per hari—maka secara kasar, bersama perusahaan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 triliun per tahun.

4.Potensi sektor energi : Produksi minyak di Indonesia saat ini sekitar 900.000 barrel per hari (bpd) sementara kebutuhan konsumsi minyak sekitar 1.300.000 barel per hari, maka Indonesia harus mengimpor sedikitnya 400.000 barel per hari untuk memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia.

Bila asumsi harga minyak impor adalah US$ 100/barrel dan Biaya Lifting, Refining dan Transportasi (LRT) minyak dalam negeri sekitar $ 15/ barel sampai di SPBU dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.000/US$ maka biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM per hari :

1. Minyak Impor : 400.000 barel x [$ 100 + $ 2.55 (RT)*] = $ 41.020.000 *biaya refining dan transportasi (RT) sekitar 17 % dari total biaya LRT 2. Minyak Dalam Negeri : 900.000 barel x $ 15 (LRT) = $ 13.500.000

Total = $ 54.520.000

Setara = Rp.

490.680.000.000,-Adapun penerimaan dari menjual BBM kepada masyarakat dengan harga saat ini (Rp. 4.500,- per liter) adalah

- 1.300.000 barel x 159 liter / barel x Rp. 4.500,- = Rp. 930.150.000.000,- per hari

Keuntungan dari penjualan BBM per hari sekitar Rp. 439.700.000.000,-, atau setara dengan Rp. 160.4 triliun,- per tahun.

Keuntungan ini di masukan kedalam pos penerimaan kepemilikan umum di Baitul Maal dan akan dikembalikan kepada masyarakat.

(16)

(Vivanews.com, Senin 2 April 2012) menjelaskan, seiring dengan pembentukan kantor pelayanan pajak (KPP) khusus wajib pajak sektor minyak dan gas bumi serta pertambangan, selama ini produksi migas tidak pernah ada yang memeriksa sehingga bisa saja kontraktor mengakali dengan memperlambat alat pengukur produksi migas.

"Jadi jangan bilang nggak mungkin perusahaan besar berani menipu. Mereka telah menerapkan good corporate governance, sehingga tak berani menipu. Justru bodoh mereka kalau nggak menipu kita," katanya

Sekadar informasi, lifting minyak Indonesia pada 2011 ini hanya 898 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN-P 2011 sebesar 945 ribu barel per hari. Sedangkan pada APBN-P 2012 ditargetkan 930 ribu barel per hari.

Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25 persen dari harga minyak. Jadi nilainya sekitar Rp 297 triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 triliun. Produksi batubara setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak. Jadi nilainya sekitar Rp. 212 triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 triliun.

Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri.

Akumulasi penerimaan negara dari sektor energi saja sekitar Rp. 619.4

triliun,-Dari empat potensi di atas saja dan dengan melihat pos penerimaan bila dikelola dengan cara Islam dibandingkan dengan penerimaan dan belanja dalam APBN saat ini, tampak nyata adanya surplus penerimaan. Surplus ini dapat digunakan untuk melesatkan ekonomi menuju kesejahteraan dengan system ekonomi Islam. Ini bukan mimpi, tapi sebuah kenyataan yang akan terbuktikan jika sistem ekonomi Islam diterapkan. Itulah penjelasan Dr. Ichsanudin Noorsy pakar ekonomi Islam.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.

PENUTUP

(17)

pemerintah. Orde Lama dan Orde Baru belum sepenuhnya mempertimbangkan lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari aset negara. Hingga pada masa pemerintahan reformasi terbit UU Sisdiknas tahun 2003 yang memberi harapan pada pendidikan Islam untuk mendapatkan anggaran yang setara dengan lembaga pendidikan lainnya dari pemerintah.

Saran bagi Negara dan lembaga pendidikan dan masyarakat :

1. Negara memahami betul bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara dan amanah UUD 1945 bukankah dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan salah tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.

2. Perlu ditingkatkannya peran serta (keterlibatan) masyarakat dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan Islam.

3. Perlunya konsep pendanaan yang kreatif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam demi menjamin keberlangsungan proses pendidikan.

(18)

Daftar Pustaka

Asrahah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah Al-Utsmaniyah 'Awamil al-Nuhudh wa Asbab as-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990

Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics, (New Delhi : Goodword Books), 2002

Depdikbud, 2001, KBBI Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, Jakarta: Depag RI.

____________________, 2005, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta: Depag RI.

____________________, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Perkembangan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan

Agama Islam.

____________________, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

____________________, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Hasan, M. Ali, et.al., 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT), 2001

Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002

(19)

Masyhud, Sulthon, et.al., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka

Nasir,Ridlwan Prof,DR,M.A, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Cet.II Januari 2010

Nata, Abuddin, 2005, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Nata, Abuddin, 2004, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Portal Departemen Agama RI, Grand Design Madrasah, www.depag.go.id., diakses pada 20 Nopermber 2008.

Portal Informasi Pondok Modern Gontor, YPPWPM, , diakses pada 20 Nopermber 2008.

Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu Idaratuhu Tanmiyatuhu), Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta : Khalifa), 2005

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah Soeroyo & Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995

Rahardjo, Dawam, (ed.), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari

Bawah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

_______________, (ed.), 1988, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES. Salam, Junus, 1968, K.H.A. Dahlan: Amal Dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.

Saridjo, Marwan, et.al, 1982, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.

Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Supriyadi, Dedi, 1999, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Remaja Rosda Karya

(20)

Yunus, Mahmud, 1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung.

Yurino, Ari, Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3

Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil Malayin), 1983

Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dengan metode kualitatif ini menemukan bahwa: (1) politik ekonomi air sangat dinamis melibatkan beragam aktor lokal, nasional, global dengan kepentingan dan ideologi

Penggunaan media kubus satuan yang tepat untuk meningkatkan aktivitas siswa pada pembelajaran matematika adalah dengan membagi siswa berkelompok dengan kelompok kecil

Hotel Arrahman merupakan perusahaan jasa yang didirikan dijalan Suntung Ardi. Hotel Arrahman merupakan salah satu hotel yang cukup menjadi pilihan konsumen ketika ingin

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 ayat 14 ditegaskan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri Ramdani (2015)tentang tingkat pengetahuan ibu menopause tentang perubahan fisiologi dan psikologi pada

SFA laser CO 2 digunakan untuk mendeteksi gas hembus relawan pemulung yang berada di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan dan gas hembus relawan