• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng"

Copied!
478
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

KOPI

CAFE

DAN CINTA

Antologi Esai

Bengkel Sastra Indonesia 2013

(3)

KOPI

CAFE

DAN CINTA

Antologi Esai

Bengkel Sastra Indonesia 2013

Penyunting Y. Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Pracetak Rijanto Sri Weningsih

Karyanto Ninik Sri Handayani

Amanat Rahmadi Sugiharto

Penerbit

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224

Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Laman www.balaibahasa.org

(4)

iii

KATA PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2012, masih mengemban tugas sebagai suatu lembaga pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, hingga hari ini pula, Balai Bahasa Provinsi DIY tetap melakukan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengembangan substansi bahasa dan sastra serta berkenaan dengan pembinaan terhadap masyarakat pengguna bahasa dan apresiator sastra. Di antara serangkaian kegiatan yang dimaksudkan itu ialah pembinaan proses kreatif berbahasa dan bersastra melalui kegiatan yang dinamakan Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia.

(5)

Pembaca yang budiman, sejumlah karangan (esai dan cerpen) dalam buku antologi ini adalah bukti bahwa generasi muda kita, khususnya para siswa SMA, MA, dan SMK Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul mampu “mencipta” sesuatu (karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan pemikiran); dan di dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman penglihatan dan kepekaan menangkap problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya. Untuk itu, kelak, setelah selesai berproses kreatif melalui kegiatan Bengkel Bahasa dan Sastra 2013 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi DIY selama hampir tiga bulan ini diharapkan mereka menjadi generasi yang senantiasa

aktif dan kreatif. Sebab, hanya generasi yang aktif dan kreatilah yang

akan mampu meraih kualitas hidup yang lebih baik.

Yogyakarta, September 2013

(6)

v

KATA PENGANTAR

Salah satu tugas Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan program pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah ialah ikut berperan serta membina kemampuan menulis bagi masyarakat, tak terkecuali bagi para siswa. Peran serta itu, antara lain, diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan Bengkel Sastra Indonesia dalam bentuk ”Pelatihan Penulisan Cerpen” yang diperuntukkan bagi siswa SLTA (SMA, SMK, MA) Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Selama sepuluh kali pertemuan peserta Bengkel Sastra Indonesia mengikuti pelatihan penulisan cerpen. Hasil kerja keras mereka diwujud kan dalam sebuah antologi cerpen dengan judul ”Kopi, Cafe, dan Cinta”. Di dalam antologi itu ditampilkan 58 cerpen dari siswa. Cerpen para siswa itu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan fenomena kehidupan sehari-hari, seperti cinta, budaya, dan seni.

Dengan diterbitkannya antologi cerpen ini mudah-mudahan upaya Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis cerpen bagi para siswa dapat membuahkan hasil yang menggembirakan. Di samping itu, semoga antologi ini dapat memperkaya khazanah bacaan bagi para remaja.

Yogyakarta, September 2013

(7)
(8)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY ...iii KATA PENGANTAR ...v DAFTAR ISI ... vii

KOPI, CAFE, DAN CINTA

Akbar Yoga Pratama (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 1 SENJATA MAKAN TUAN

Novisca Dyah Ayu L. (SMA Negeri 2 Sleman)... 20 KEMBARAN BERBULU DALAM KENDI

Soia Aulia Zakiyatun Nisa (MAN Yogyakarta 3) ... 27 RUMAH MISTERI

Aliia Nuralita Resqiana (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 35 BOHONG ITU MENYIKSA

Yuliana Dyah Ayu P. (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 44 BUKAN JODOH

Novisca Dyah Ayu L. (SMA Negeri 2 Sleman)... 50 AINIY FI QOLBIY

Soia Aulia Zakiyatun Nisa (MAN Yogyakarta 3) ... 58 DI BALIK SEBUAH RUMAH TAK BERNYAWA

Aliia Nuralita Resqiana (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 64 FATAMORGANA

(9)

DI BATAS SENJA

Fathi Abida Nurunnai Ghaniyaska (MAN Yogyakarta 1) ... 77 LEBARAN TANPA KAKEK

Muhammad Ikhwan Priyambodo (SMA GAMA Yogyakarta)... 86 DALAM SEBUAH MIMPI

Yuliana Diah Ayu P. (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 89 GADIS, DUNIA, DAN FANA

Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1) ... 96 SENANDUNG MELODI

Allysa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta) ... 100 KEADILAN SEMU

Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta) ... 118 HUJAN SAYAP MALAIKAT

Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1) ...124 TITIK HIDUP

Allyssa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta) ... 129 KETIKA HUJAN REDA

Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta) ... 134 KANAN UNTUKMU, KIRI UNTUKKU

Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati) ... 139 KERINDUAN BUNNY

Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta) ... 144 CINTAKU UNTUK NEGERIKU

Selia Eriani (SMA negeri 1 Turi) ... 149 SENYUM TERAKHIR

Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati) ... 152 U-KISS FANPARTY IN JAKARTA

(10)

ix ZONA

Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman) ... 163 KURANGNYA RASA KASIH SAYANG ORANG TUA

Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta) ... 166 STORY OF LOVE

Ajeng Covita Anekinda Rizki (SMA negeri 2 Yogyakarta) ... 172 LASMI

Teresa Gowinda Artati (SMA Negeri 6 Yogyakarta) ... 179 MUSAI

Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman) ... 190 HARAPAN DI ATAS TANAH

Selia Eriani (SMA Negeri 1 Turi) ... 197 TIGA RODA

Putri Nur Rahmadhani (SMA Negeri 1 Ngemplak) ... 230 MERINDUKAN KAWAN

Leni Pratiwi Anggraini (SMA PIRI 1 Yogyakarta) ... 239 GORESAN PENA PENEBUS DOSA

Ellysa Nur Tristiana (SMA Negeri 2 Ngaglik) ... 243 PENGKHIANATAN YANG BERAKHIR DENGAN KEBAHAGIAAN

Rizqi Ragil Habibah (SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta) ... 248 SAYANG AKU INGIN PUTUS ... 253

SYAIR DAN SAHABAT

Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta) ... 256 OMPOL

Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem) ... 267 HATI ANTARIKSA

(11)

ANGELIKA

Yossie Putri Isnaini (SMA Negeri 1 Prambanan) ... 279 MITOS ITU SETENGAH BERLAKU

Ida Ayu Zahrotun Na’im (SMK Negeri 2 Godean) ... 285 SEABADI PERSAHABATAN

Irma Aimma Turrohmah (MAN Pakem) ... 290 TAKKAN HILANG SEMANGATKU

Khusni Ika Prajanti (SMA Negeri 1 Seyegan) ... 296 SEIKHLAS ALIRAN SUNGAI OGAN

Erwita Danu Gondohutami (SMA Negeri 7 Yogyakarta) ... 302 SAYAP-SAYAP PATAH

Umi Nurul Khasanah (SMA Negeri 1 Ngemplak) ... 313 GARA-GARA KAMU

Zara Anisa Islami Ariin (MAN Godean) ... 322 LIBURAN YANG HILANG

Farah Rindhita Bestari (SMA Angkasa Adisucipto) ... 332 GARA-GARA KAOS KAKI

Clara Deo Kristiandari (SMA Negeri 2 Sleman) ... 339 ATMOSPHERE OF IED

Nurrahmat Sena Aji P. (SMA Negeri 1 Kasihan) ... 344 TERNYATA

Phegy Patsari Sintia Danti (SMA Negeri 1 Pakem) ... 349 DRAMA

Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta) ... 356 IA AKAN BERLALU

Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem) ... 369 GARA-GARA FACEBOOK

(12)

xi JEMARIKU YANG TAK MAMPU MERAIHNYA

Nabela Maharani Pranadita (SMA Negeri 1 Kalasan) ... 381 GOOD BYE

Ine Politia A. (SMK Negeri 5 Yogyakarta) ... 388 WARNA MIMPI CLEO

Ine Politia A. (SMK Negeri 5 Yogyakarta) ... 391 TITIP SALAM BUAT AYAHKU YA, KAKAK!

Akyasa Adiba (SMA Negeri 1 Banguntapan) ... 396 BELOK

Rusyda Faza Wulaningrum (SMA Negeri 2 Ngaglik) ... 404 SAYANG TAK SAMPAI

Rusyda Faza Wulaningrum (SMA Negeri 2 Ngaglik) ... 414 REWIND

Puti Mentari (MAN Tempel) ... 423 PEMINTA DI ATAS AWAN

Yossie Putri Isnaini (SMA Negeri 1 Prambanan) ... 431 SEHARUM BUNGA DI YOGYAKARTA

Nia Damayanti (SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta) ... 437 LIBURAN YANG TERTUNDA

Farah Rindhita Bestari (SMA Angkasa Adisucipto) ... 444 BIODATA PESERTA CERPEN BENGKEL SASTRA

(13)
(14)

1

KOPI, CAFE, DAN CINTA

Akbar Yoga Pratama

“Selamat malam, Kak. Selamat datang di kafe kami. Silakan duduk dan pesan menu.”

“Yaa, makasih,” jawabku sambil tersenyum.

Kata-kata tadi tak asing bagiku. Tiga hari sudah aku berkunjung ke kafe ini, pada waktu yang sama, menu yang sama, pelayan yang tadi menyapa pun sama, serta suasana hati yang masih sama. Dan inilah hari keempat dejavu itu kembali terjadi. Tidak! aku tak sama sekali bosan. Aku menikmatinya. Terkadang aku hening dan menulis, terkadang aku berbicara dengan sosok imajiner yang diciptakan otakku.

Double espresso, Kak?” wajah lelahnya masih coba diwarnai senyumnya.

“Yaa, Mbak,” jawabku membalas senyum.

Semua pelayan di sini sudah mengerti menuku. Setidaknya aku menyadari bahwa sekitar sepuluh pelayan di kafe ini terheran-heran melihatku. Mungkin, kesimpulan dari otak mereka, aku adalah pelanggan favorit yang menjadi objek penjualan efektif yang menyenangi salah satu menu mereka yang pahit dan sangat mudah dibuat. Aku bisa menghabiskan waktu semalaman di kafe ini jika aku sedang betah. Dan aku bisa memaklumi keheranan mereka saat mendapati pelanggannya yang betah selama empat hari berturut-turut yang tak bosan selama sekitar tiga sampai empat jam setiap harinya di sana, dan tak kunjung mati karena meneguk lebih dari lima double

espresso untuk sekali kunjungan.

(15)

ini cukup indah. Perpaduan remang-remang kafe dari lampu putih dan kuning dengan kain sutra hitam pekat yang membentang di atas, ditambah gemericik air mancur kecil dari kolam di sudut selatan kafe, serta aroma petrichor yang menguar dari sekeliling kolam menambah sendu suasana malam ini. Sayang, kini harus kunikmati ini sendirian.

“Aku sama sekali nggak salah tempat,” batinku.

Kurang lebih begitulah keseharianku selepas ujian ini. Aku begitu bukan tanpa alasan. Ada tiga alasan terklise yang membuatku demikian. Pertama, kesukaanku pada kopi. Kedua, suasana kafe yang senantiasa berdampak positif untuk produktivitas tulisanku. Ketiga, dirinya. Dirinya yang membuat semua selama dua tahun ini terasa berbeda, dirinya yang membuatku seolah terbunuh oleh rindu, dirinya yang membuat suasana hati ini terasa klop dengan kafe ini, juga dengan kopi ini. Klop karena jalan cerita yang sama-sama pahit. Dirinya, Gendhis.

Alasan pertama ialah kopi. Aku suka kopi bukan tanpa alasan. Kopi menunjukkan bahwa hidup tidak selamanya manis. Pahit kopi adalah tamparan untuk hidupku yang menyadarkanku dari kosong tiap kali aku jatuh. Ampasnya ialah sisa-sisa masa lalu yang masih mengerak di sudut-sudut hati yang tak terurus. Pandanganku ini mungkin berbeda dengan pandangan orang lain. Banyak orang menilai kopi hanya sebagai teman rokok bagi para orang tua. Dari sisi medis, aku mendengar bahwa kopi dapat merangsang denyut nadi sehingga minuman ini tidak pas diminum saat cemas, dan mungkin karena itu kopi dinilai sebagai penyebab utama komplikasi pada jantung dan ginjal. Terkadang, aku takut dengan penilaian yang kedua. Tetapi

sejauh ini aku memandang kopi sebagai suatu ilosoi.

“Kamu tuh suka banget double espresso. Kenapa?” tanya Gendhis suatu ketika.

“Hah? Tumben tanya begitu.”

“Lha, habis setiap ke sini, kamu pesen kopi itu terus.”

“Iya, suatu saat nanti kamu bakal tahu dan merasakan sendiri,” jawabku demi membuatnya tak bertanya lagi.

(16)

3 coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Kemampuan si penyanyi kafe untuk “bertelepati” dengan pengunjung, khususnya aku, menambah nilai plus tempat ini bagiku. Lagu-lagu akustik nan melankolis yang terus dilantunkannya membuatku percaya jika pemilik kafe ini memiliki selera musik yang bagus. Terkadang di sudut kafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain, serta beberapa eksekutif muda sedang berbisnis. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menik-mati suasana. Kecuali aku.

Sebelum berlanjut ke alasan ketiga. Perkenalkan, inilah aku. Namaku Ramadewa, panggil saja Rama. Seorang yang memiliki sejuta alasan untuk terus menunggu. Untungnya, aku masih menyukai namaku. Kedua orang tuaku beralasan memilih nama Ramadewa

sebagai releksi dari tokoh Ramayana, yaitu tokoh dalam seni sendratari

berwujud pangeran yang rupawan dan ksatria. Lalu ditambah kata “Dewa” supaya menimbulkan kesan lebih tinggi dan elegan. Tapi kenyataannya? Entahlah.

Aku suka beralasan. Menurutku, tidak ada tindakanku yang tak beralasan. Dan inilah alasan terklise dari yang paling klise mengapa aku jadi begini. Tak seharusnya begini memang. Tapi kita bisa apa jika rasa itu telah datang. Entah benar atau tidaknya tercipta untukmu dan untuknya. Namun, jika kau merasa ada yang berbeda saat pertama menatapnya, sesungguhnya kau tahu, konspirasi itu telah ada. Lalu kau tak akan asing dengan ra sa se perti ini. Seperti kopi yang pahit, seperti asap dari kopi yang me mudar namun tetap kau mainkan, seperti yang sedang kura sakan.

Aku paling suka alasan yang ketiga, alasan mengapa aku tak panjang-panjang menceritakan kopi dan kafe. Aku mencoba hidup dalam persembunyian, yaitu di dalam pahitnya kopi dan nyamannya kafe dari seorang wanita yang senantiasa kutunggu selalu. Namun, tak jua terbalas. Layaknya sesuatu yang tiada lenyap dari khayal sang pangeran saat sang putri terus saja mengukir mimpi yang lain bersama denting waktu di istana.

(17)

Betapa polos dan konyolnya aku saat pertama mengajaknya kenalan. Berhiaskan senyum bodoh, kuberanikan ragaku meng ham-p irinya. Memulai segalanya.

“Hai, boleh kenalan? Aku Rama. Kamu?” tanyaku sambil meng-ulurkan tangan.

“Aku Gendhis. Kamu dari SMP mana?” jawabnya menyambut jabat tanganku. Suaranya lembut, terkesan intelek, dan penuh tang gung jawab. Kulitnya yang halus menyambarkan aura ketenang an luar biasa, membuatku tak ingin melepaskannya.

“Oke. Dari SMP 1. Kamu, Dhis?”

“Aku dari SMP 16. Kita kayaknya sekelas ya?”

“Oke! Iya, emang sekelas kan, tuh kamu namamu ada di absensi, hehe.”

“Haha, iya. Duduk, yuk!”

Perkenalan singkat yang tidak akan pernah terlupakan. Sejak saat itu, aku mengerti, ini tidak akan menjadi perasaan yang sebentar.

Ya, Gendhis. Dia manis seperti namanya. Aku lebih suka me-mang gilnya begitu. Tapi itu tetap tak merubahnya. Bagiku, ia sesosok bunga melati yang tumbuh di sela-sela bebatuan gunung yang mene bar eksistensinya di setiap tanjakan pegunungungan. Sekali kau bertemu dengannya, mengenalnya, mendengarnya, lalu kau akan paham tentang suatu mahakarya Tuhan yang nyaris sempur na. Kau akan menyadari bahwa kau benar-benar beruntung telah mengenalnya. Entah mengapa, orang yang namanya Gendhis selalu manis.

Melati di sela-sela bebatuan gunung. Mengapa begitu? Kebetulan hobi kami sama, hiking. Ya, kami mengikuti ekstraku rikuler yang serupa pula. Pecinta alam. Aku masih ingat debut kami ke Merbabu. Sekitar empat bulan setelah percakapan pertama kami. Di Merbabu, dia menemukan melati yang menurutnya sangat indah. Terus begitu di setiap tanjakannya. Dia terus saja berbicara tentang melati itu.

(18)

5 bertaruh dengannya. Kami bertaruh siapa yang pagi ini bangun lebih awal akan membuatkan kopi. Aneh memang.

“Nih, Dhis kopinya.”

“Nah, sip Makasih Ram. Kopi dari seorang barista.” “Sama-sama. Aku cuma coffee lovers, Nona. Bukan barista.” “Iya, aku tahu. Sini duduk sini, lihat sunrise.

“Pagi ini dingin ya, Dhis?”

“Banget. Tapi sudah semestinya hawa gunung seperti ini.” “Jadikan kopi itu penghangat! Tubuhmu membutuhkannya.” “Iya. Eh, masih ingat melati yang kemarin, kan?” tanya dia sembari mengeluarkan melati itu dari saku jaketnya.

“Yap, cantik,” kataku.

“Haha, kamu tahu kenapa aku suka melati, Ram?”

“Kamu bukan sekedar suka melati. Kamu seperti melati. Aku tahu itu.”

“Hah, maksudnya?” dia bertanya. Aku tahu dia sudah tahu jawab annya.

“Ya, kamu seperti melati di gunung ini. Tegar dihajar angin. Namun, kamu tetap memancarkan keanggunan dan ke in dahan khas wanita. Dan tentu saja, mewangi untuk orang-orang di sekitar. Kamu lebih dewasa dari yang pernah kukira,” terangku.

“Makasih, Ram. Aku cuma berusaha jadi diri sendiri.”

“Itulah yang membuat kamu berbeda. Kamu nggak sembunyi di balik rupa-rupa orang lain. Setidaknya, kamu lebih baik dari mereka yang belum menemukan dirinya.”

“Kamu juga dewasa, Ram. Aku beruntung kenal kamu.” “Oke, cukup. Dihabisin kopinya!” kataku mengalihkan pem-bicara an.

“Pahit!” balasnya

“Tapi kamunya manis. Melati itu mau kamu apakan?” kataku sembari tersenyum bodoh padanya.

“Gombal, Rama, ih! Aku mau bawa pulang satu atau dua. Karena kita nggak tau kapan lagi bisa ke sini.”

(19)

“Harapan? Aku berharap bisa merayakan sweetseventeen di atas gunung,” katanya.

Aku langsung merekam jelas kalimatnya di otakku Kujadi kan pupuk bulir harapanku supaya tumbuh dan tam pak jelas bahwa akulah orang yang berhasil mengajak nya mera ya kan sweetseventeennya di atas gunung kelak. “Amiin,” aku mengamini.

“Kamu, Ram?”

“Aku? Aku tidak begitu terobsesi gunung sepertimu. Mungkin tidak menjadi insomnia lagi adalah harapanku.”

“Haha, insomnia. Kamu insomnia?” “Iya. Kenapa?”

“Makanya kamu kalah!” katanya sambil menjulurkan lidahnya padaku.

“Aku juga terbiasa bangun pagi.” sanggahku.

“Sebentar, kamu insomnia? Tapi kamu suka kopi? Aneh.” “Itulah yang aku bingung. Aku suka kopi saat pahitnya berdecak di ujung belakang lidahku. Tapi, aku benci saat kopi membuatku terus terjaga. Aku ingin terlelap, aku ingin bermimpi. Pahit kopi akan menyadarkanmu saat kamu jatuh. Kamu memang boleh memiliki mimpi dan harapan. Tapi, saat kamu jatuh, kamu tidak akan tak sadarkan diri, lalu tetap pada mimpi itu saja. Pahitnya akan menamparmu supaya kamu tetap sadar, dan tentu saja membuatmu kembali melangkah.”

“Jadi, kamu belum pernah merasakan indahnya mimpi?” “Pernah. Tapi belum pernah seindah ini.” “Hah? Maksudnya?” “Nggak apa-apa. Aku ke tenda dulu, ya.” aku tak ingin melan-jutkan perkataanku. Sebelum berlalu, aku mengenakan jaketku ke tubuhnya yang tampak menggigil. Cardigan yang dikenakannya tak mampu menahan tusukan hawa fajar gunung.

“Ram. Makasih, ya,” katanya.

Aku hanya membalas dengan tersenyum. Kami berbicara banyak hal pagi itu. Dari pagi sampai mimpi. Dari melati ke kopi. Dari

(20)

7 Merbabu menunggu senja.

Pagi semakin ditinggalkan. Pemandangan tentang tepian daun, embun, matahari, dan angin pagi, kini digantikan oleh suasana senja. Aku mencintai senja. Aku menyukai bagaimana cara sang senja bersayap datang menghiasi cakrawala dan mulai membatasi segala ingatan tentang pagi tadi. Namun, tetap saja, aku tidak akan pernah melupakan peristiwa pagi tadi.

Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka men-jelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi sesuatu yang membuatmu merasa lebih tenang dan lebih nyaman. Dan jika cahaya itu jatuh pada suatu benda, lalu dipantulkan masuk ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri tidak begitu paham. Namun, Gendhis terlihat sangat cantik sore itu. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

“Ayo, lihat senja, Dhis!” ajakku. “Di gunung lihat senja? Lucu.”

“Apa salahnya? Kita awali hari dari sini, maka akhiri juga di tempat yang sama.”

“Yang ada itu, lihat sunset di pantai.”

“Udah, nggak usah debat. Ini kopimu,” kataku sambil mem-berikan kopi.

“Makasih.”

Gendhis tak lagi mendebatku, ia menurut saja.

“Yep. Masih ingat yang tadi pagi kita bicarakan?” aku memulai obrolan sambil memandang jauh ke barat, tempat sang surya mengubur dirinya sendiri.

“Yang tentang apa? Kita bicara banyak hal pagi tadi.” “Oh. Yang tentang harapan. Harapan dan masa depan.” “Oke, menarik. Jadi, gimana tentang harapan dan masa depan?” “Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau ngapain, Dhis?”

“Nggak ngapa-ngapain,” jawabnya singkat. “Nggak ngapa-ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain.”

(21)

Aku tahu gadis hebat seperti dia tak ingin banyak bicara soal masa depan. Dia lebih suka menyelesaikan yang ada saat ini dulu.

“Jadi, menurutmu nggak ada yang menarik di masa depan?” “Bukan begitu. Ram, hidup itu seperti kalimat. Jangan cepat-cepat ingin bertemu titik kalau belum bersua dengan beberapa koma. Koma itu yang akan memperindah jalanmu.”

“Lalu?”

“Kritik, lika-liku, kesulitan, perjuangan, itu yang aku maksud dengan koma. Dengan semua itu, kalimatmu akan menjadi lebih tak terduga. Mungkin lebih indah, tapi pastinya lebih menarik,” terangnya.

“Hmm..”

“Dan semua koma itu ada di dalam diri kamu sendiri. Tinggal bagaimana dan di mana kamu menempatkannya! Yang penting itu kan prosesnya. Ya nggak?” tambahnya dengan yakin, “Ram, Rama. Kamu dengerin aku kan?”

Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menun jukkan magisnya. Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup bibirnya.

“Dhis..” “Ya?”

“Kamu mau jadi masa depanku?” “Hah?”

“Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus.” Hampir saja.

***

(22)

9 Ia seakan seonggok gula. Dan semua yang ada di sini adalah semut-semut yang terpusat, dan berevolusi padanya. Tak terkecuali aku.

Aku masih ingat. Aku terus mengingat dan menulis ba gai mana aku pertama kali melihat suatu kesempurnaan di de pan mataku. Senyumnya, oh Tuhan. Ingin aku supaya Eng kau memundurkan waktu sejenak agar aku bisa melihat lagi se nyumnya. Menyejukkan. Saat itu juga, aku sadar bahwa konspirasi semestalah yang mempertemukanku dengan Gendhis. Tentunya dengan cara terindahnya. Yaitu, bermula dari dua anak manusia yang bertemu, memutuskan menjadi sahabat, lalu aku merasakan ada yang pantas untuk lebih dari sahabat. Sayang-nya, semua hanya berhenti di rasa. Tak pernah ada suatu nyali untuk mengeruk pa lung itu lebih dalam lagi. Mungkin karena palung itu terlalu da lam dan gelap sehingga tak terlihat apa dan siapa saja yang ada di dalamnya. Meskipun aku tahu akan keindahan di dasar pa lung itu, aku masih belum berani mengeruknya terlalu dalam. Entahlah, mungkin karena Gendhis terlalu sempurna.

Gendhis yang membangkitkan minat menulisku lagi setelah sempat terhenti. Dia memintaku untuk membuka blognya. Seketika, aku dapat menyimpulkan bahwa dia seindah kata-kata yang ia tulis di sana. Kau ialah embun yang... Ah sudahlah, aku tak pandai melukiskan betapa cantik perempuan ini. Aku tak pandai mengandaikan ia seindah purnama yang tak kunjung tenggelam, secantik langit senja, atau senyumnya senyaman surga. Yang kutahu aku benar-benar mengaguminya.

“Dhis, tulisanmu di blog bagus.” “Wah, kamu baca? Hehe, makasih.”

“Pantas dibaca kok. Kamu emang suka nulis?” “Yap. Sedikit-sedikit.”

“Kenapa sedikit? Total dong! Bagus, kok.”

“Aku nggak terlalu tergila-gila sastra kayak kamu, Ram.” “Lho, kenapa? Tulisan-tulisanmu bagus.”

“Aku tetap pengen jadi arsitek.”

“Oke, gambarmu juga bagus. Mungkin lebih bagus dari tulisan-mu?”

(23)

“Senangnya jadi kamu. Kamu bisa mereleksikan secercah

keindahan dunia dalam gambar-gambarmu.”

“Arsitek hanya menggambar dimensi, Ram. Kamu juga, bahkan kamu bisa memiliki sedikit keindahan dunia di atas kertas-kertasmu.”

“Setidaknya, kita beruntung jadi kita. Kita sudah menemukan diri sendiri pada usia segini. Bukannya jumawa, tapi aku akui, kamu, kita jauh lebih baik dari mereka yang masih sembunyi di balik bayang-bayang orang lain.”

“Aku setuju. Aku beruntung kenal kamu, Ram.” “Aku juga,”jawabku dalam hati.

Padahal dari blogmu aku mendapati beberapa keindahan. Setiap kata yang kau eja, setiap baris yang kau tulis, setiap bait puisi yang kau hembuskan nyawa, selalu saja membuatku merinding. Entahlah, mungkin aku telah terikat kepada bagian dari dirimu. Dapat kupastikan itu.

*** Keesokan harinya,

“Dhis, tadi malam kamu udah belajar?” “Belum belajar blas! Kamu?”

“Hah? Udah, tapi gak masuk.” “Duh, gak masuk kenapa?”

“Kebanyakan mikirin kamu mungkin.” “...”

Bibirku menggores senyum saat mengucap itu. Aku kagum dari caranya berkata “belum belajar blas.”, padahal nanti ada ulangan. Namun, sekali lagi selain senyumnya yang magis ia memiliki otak yang ajaib pula. Ditunjukkannya bukti sahih kecerdasan seorang insan yang tanpa belajar banyak mampu meraih nilai yang nyaris sempurna. Aku semakin tak menyesal telah mengenalnya, mengaguminya. Dan lagi, ia seperti padi. Makin berisi makin menunduk.

***

(24)

11 sekelas untuk dua tahun kedepan. Tiga tahun di sini akan tetap indah meski sejatinya ini cerita pahit. Cerita yang masih sama, tentang ia yang tak kunjung bernyali untuk membuka. Tentang ia yang lebih senang menunggu. Menunggu yang tak pasti. Tentang dia, aku.

Kulirik jam tangan. Ah, jam empat tepat. Sudah dua jam aku di sini. Sepi, sendiri di meja ini, di ruangan ini. Di hadapanku terben-tang halaman-halaman Canting karya Arswendo Atmo wiloto. Aku tak begitu menikmati buku itu seperti biasanya. Aku hanya sedang menikmati kesendirian. Sampai akhirnya getar ponselku mem bang-kitkan lamunanku. Sebuah pesan singkat dari Gendhis yang belakangan tak sempat terbalas karena masalah klasik pelajar. Pulsa habis.

Baiknya, hari ini, aku sudah punya pulsa.

“Ram, kamu bisa ke kafe biasanya sekarang, nggak?” “Ada apaan, sih? Ya, tunggu sebentar, ya.”

“Penting. Oke!“

Cukup. Tak lagi kubalas. Aku bergegas ke kafe di bilangan Kotabaru. Kafe tempat biasa kami saling bertukar cerita. Tempatku bisa memiliki dia seutuhnya. Di dalam hatiku.

Sesampainya di kafe, “Ada apa, Dhis?”

“Tunggu, mau minum apa?” “Biasa nya aja. Ada apa, sih?”

“Mbak, double espresso satu, ya!” seru nya memanggil si pelayan. “Dhis, kenapa?”

“Gini, Ram. Deadline kuuntuk artikel tempat-tempat bagus di Jogja ting gal dua hari lagi, dan aku masih bingung tempat mana yang bener-bener bagus,”ujarnya yang mendapat tugas mem buat artikel tersebut untuk majalah internal sekolah.

“Kamu 16 tahun di Jogja masih nggak tahu tempat-tempat keren-nya?”

“Candi? Tamansari? Kantor Pos? Vredeburg? Kraton?” tanya dia. Aku hanya menggelengkan kepala, heran.

“Ini jam 5 sore. Malam ini juga aku kasih tahu kamu tempat paling keren di Jogja.”

(25)

“Itu memang tempat yang dari dulu ingin aku tunjukin ke kamu, Dhis.” batinku.

Double espresso pesananku datang. Kulingkarkan jari telunjuk ku di gagangnya, meniupnya mesra, dan segera menyesap nya. Hangat, pahit. Seperti dua yang dipertemukan dalam suatu kebetulan, saling jatuh cinta tanpa perlu lagi alasan.

“Hmm.. double espresso lagi. Kenapa?” dia bertanya seperti se-tahun lalu. Dan kukira, inilah saatnya dia tahu tentang kopi ini.

“Oke, cobain kopiku!” Gendhis menyesap double espressoku. “Hueeekk! Pahit! Seleramu jelek, Ram,” katanya.

Aku terbahak. “Haha! Itulah sensasinya. Kamu ingat waktu di Merbabu dulu aku pernah bilang apa.”

“Yang soal apa? Kita bicara banyak waktu itu.”

“Yang tentang kopi. Inilah kopi itu dan sedikit keterangan dari jawabanku,” jawabku sembari menghela nafas, merasa lega ia masih mengingatnya.

“Pahit banget, sih!” katanya.

Namun, kulihat goresan senyum ikhlas di wajahnya. “Iya,” balasku datar.

“Eh, kamu sudah salat ashar belum? Aku nggak mau kalo kamu ke sini tapi belum salat. Nanti sebelum ke tempat itu, kita maghriban dulu.”

“Sudah, manis. Iyalah, pasti.” jawabku sedikit menggoda. Itulah salah satu yang membedakan dia dengan gadis lainnya. Dia selalu mengingatkanku untuk ibadah, dan aku sendiri tahu kalau dia adalah seorang muslim yang taat. Aku sudah yakin kalau pertemuan kita bukan kebetulan, Allah SWT telah mengatur segalanya sampai sejauh ini. Intervensi dari Sang Kuasa membuatku bertemu dengan mahakarya-Nya berupa bidadari yang sekarang ada di depan mataku.

“Hih. Tunggu-tunggu, secinta apa, sih kamu sama kopi?” “Hah, kenapa? Kami cuma sahabat yang melepas rindu dalam beberapa tegukan. Dia mendengarkanku, dan aku mampu dengan cerdas menyayanginya.” jawabanku terdengar gila. Namun, sudah mampu membuat Gendhis menyunggingkan senyumnya lagi.

(26)

13 Sesuai janjiku tadi, kuantar dia ke salah satu tempat terkeren di Jogja. Atau mungkin... Tempat paling romantis di Jogja.

“Sudah sampai!” ikatan penutup mata masih terpasang di matanya. Aku meraihnya untuk segera turun dari mobil klasikku.

“Terima kasih. Sudah sampai?”

“Sudah. Hirup dulu aromanya, yakinkan ini akan jadi objek tulisan yang indah!” kataku sambil melepaskan penutup matanya.

Dia mengendus aroma di sekitar sini.

Petrichor!Hah! Ini kan cuma Taman Grha Sabha Pramana. Ada apa di sini?”

“Ada apa di sini? Di sini ada magis, kamu lihat remang lampu-lampu putih dan kuning itu? Mereka laksana lampu-lampu sorot pada suatu pertunjukan, dan kita adalah pemainnya.”

“Iya. Sebenarnya keren sih. Ada lagi yang langka di sini?” “Entah ini pengalaman sial atau beruntung. Kamu akan bertemu dengan ibu-ibu paruh baya yang mengaku peramal zodiak yang mencari sumbangan untuk panti asuhan. Aku sudah mengalaminya dua kali.”

“Bagaimana hasilnya? Kamu percaya?” “Cukup tahu saja. Ah, tak terlalu buruk.”

Dia mulai menulis. Aku menemaninya. Aroma petrichor juga ter cium disini. Kami berdua menyukai aroma itu. Udara bahagia memenuhi pikiranku saat ini. Setelah setahun lebih, akhirnya aku berhasil juga mengajaknya ke tempat ini. Surganya orang Jogja untuk bercumbu. Dan sebagai manusia yang berpijak di tanah Jogja, kau akan merasa rugi jika tak pernah merasakan magis tempat ini. Sembari menuntunnya untuk menulis, ingin aku mendekapnya. Tapi, sekali lagi, tak ada satupun partikel bernama ‘nyali’ di otakku saat ini. Tentu saja, sekarang aku merasa benar-benar bahagia. Bahagia saat aku merasa memiliki Gendhis seutuhnya. Pemikiran yang agak egois memang. Tapi, itulah yang kini kurasakan.

***

(27)

entah tak terdeinisikan olehku, semuanya terpancar dari wajah

manisnya. Terpaan cahaya pagi yang sedikit menyilaukan wajahnya ikut menceritakan secara tersirat peristiwa pagi itu. Pelajaran pertama, kedua, istirahat, jam kosong, istirahat, pelajaran ketiga, sampai akhirnya pulang sekolah.

Esoknya, seharian aku sibuk menulis suatu “teori” tentang konspirasi semesta yang berperan besar terhadap tumbuhnya cinta bagi para anak manusia. Saat pulang sekolah, aku meminta Gendhis untuk menilai tulisanku.

“Dhis, dibaca ya terus dinilai! Thanks!” “Hah, apa ini?”

“Udah, baca aja!”

Selagi ia membaca, aku diam memandanginya. Ya Tuhan... Harus berapa kali aku berterimakasih pada-Mu akan anugrah ini. Mengenalnya, memandangnya, mendengarnya, dan berbicara dengannya ialah keberuntungan yang tiada terganti apapun. Aku melihat matanya, suatu tatapan tulus mengarah pada tulisanku. Sejurus kemudian giliran bibirnya yang mengukir senyuman favoritku itu. Ia seakan tahu bahwa senyum itulah yang kunanti sedari tadi. Lalu saat dia selesai membaca, tanpa sepatah kata pun dia berlalu, keluar kelas. Aku melihatnya memandangi hujan. Sejenak aku dapat memahaminya, dia pernah mengalami seperti tulisanku tadi.

“Kenapa, Dhis?”

“Nggak apa-apa, Ram. Bagus kok tulisanmu.”

Kata “Nggak apa-apa” yang keluar dari mulutnya hanya bisa ku-telan mentah-mentah. Aku tahu yang dirasakannya. Aku tak mau mem bahas itu. Aku hanya ingin tahu kualitas tulisanku di matanya.

“Gimana tulisanku, Dhis? Bagus aja?” tanyaku sedikit terbahak. “Terlalu klise, terlalu melankolis. Tapi... Amazing!” ujarnya ter-bahak pula memecah suasana yang sempat sendu tadi. Aku pun ikut tertawa. Itu terakhir kali aku mampu membuatnya tersenyum dan tertawa.

(28)

15 suatu yang lain. Ya, Andro, Mantan kekasihnya dulu yang secara tiba-tiba memintanya kembali. Aku tahu, Gendhis masih sayang padanya, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak mau merusak segalanya.

Esoknya, sepulang sekolah dia menghampiri mejaku, “Ram, kantin, yuk! Aku mau cerita,”ajaknya ceria. “Nanti dulu, ya,” jawabku sambil pura-pura sibuk. “Halah, ayo sekaranglah!”

“Kamu duluan aja sana, nanti aku nyusul.” “Oke aku tunggu, yaa..”

Aku tak sempat menjawabnya lagi, dia sudah berlalu ke kantin. Aku tak habis pikir, dia sangat gembira sekarang karena Andro, mulai mendekatinya lagi. Dia sendiri yang bercerita padaku, aku selalu mencoba menjadi pendengar yang baik meski sekarang terkesan seperti tempat sampah yang sempurna baginya. Sekarang dia girang gemilang, dan aku tahu bukan aku penyebabnya. Bukan aku, dan memang tak akan pernah mem buatku menjadi penyebabnya. Aku sendiri sadar bahwa dia sema kin dekat dengan lelaki lain, dan aku memperburuk keadaan dengan menjadi semakin tak pandai membuatnya tertawa, atau bahkan sekedar tersenyum. Aku hanyalah seorang yang ahli mengukir elegi. Aku mulai menuju kantin. Menemuinya.

“Gimana, Dhis? Kayaknya seneng banget.”

“Biasa aja sih, Ram. Gini, aku bingung ternyata Andro beneran mau balikan sama aku. Ternyata, dia nggak main-main”

Tiba-tiba ada rasa muak yang entah datangnya dari mana. “Trus, gimana?!” tanyaku ketus.

“Aku sudah maain dia kok, Ram.”

“Memaafkan, Dhis? Dhis, dulu laki-laki ini tanpa sebab me-ninggalkan kamu begitu saja. Dan sekarang, dengan mudahnya semua kenangan buruk itu menguap dan terganti euforia kembali nya dia! Iya?” Kusesap kopiku sampai habis sebelum meneruskan kalimatku.

“Harus butuh berapa kali lagi laki-laki ini membuatmu me-nangis? Harus berapa lama lagi kamu berpura-pura kuat? Yang kamu butuhin itu bahagia yang nyata, Dhis, bukan perasaan sesaat ataupun cinta karena penasaran!” kataku. Gendhis menatapku tajam.

(29)

itu urusanku. Ini bukan perasaan sesaat, aku sayang dia,” Gendhis berkelakar.

“Tapi kamu nggak bahagia!” balasku.

Kugenggam erat cangkirku. Aku merasa sesuatu di kepalaku akan tumpah sebentar lagi.

“Kamu selalu begitu, selalu jatuh cinta dengan orang yang salah. Kamu selalu membuka pintu bagi mereka yang kamu sayangi, bukan bagi mereka yang sayang kepadamu. Tanpa kamu tahu mereka yang kamu damba justru balik menginjak-injakmu,” kataku semakin muak.

Tak kusadari nadaku meninggi. Tapi, aku tidak peduli. Apapun akan kulakukan agar dia mengerti. Seketika air menumpuk di pelupuk nya. Terus membuncah, menetes satu demi satu, lalu akhirnya membanjir.

“Ram... aku nggak bisa,” Gendhis terbata.

“Aku capek... setiap kesempatan dariku selalu dianggap lelucon oleh mereka... Tapi aku nggak bisa menghindar. Aku udah jatuh, dalam banget... Dan buat manjat ke atas udah terlambat. Kali ini, I

guess he’s the right one,” kelakarnya.

Aku tergelak. Tiga tahun berteman, dan hari ini, Gendhis Juwita Putri, seorang perempuan yang kukenal cerdas dan pandai berargumen, berpikir rasional. Gila. Cinta sanggup membuat orang menjadi gila, gila sekali. Cinta merusak sistem bernama logika, memutus setiap kabel, dan menggantinya dengan imaji maya berbentuk siapapun dia yang kita puja.

Aku menarik nafas panjang.

“Gendhis, aku lelah! Aku lelah menjadi tempat sampahmu, menampung semua keluh kesahmu. Aku lelah untuk harus selalu mengingatkanmu. Aku bukan kopi pahit yang setiap saat ada untuk menamparmu. Kamu seharusnya bahagia. Kamu seharusnya memilih siapa yang membuatmu bahagia. Karena... Ah, sudahlah.

Kuambil tasku dan bergegas pergi. “Bye, Dhis.”

(30)

17 “Tenang, di sini, kamu aman”. Sebagian lainnya memilih menyerah dan pergi mem biarkannya terisak. Namun pilihan apapun, sepertinya akan sia-sia saja.

Aku semakin sadar bahwa yang disebut konspirasi semesta itu butuh waktu. Beberapa sahabatku yang tahu akan hal ini terus mem-bujukku supaya melupakan dia. Aku sendiri tahu, cinta juga butuh logika. Tidak bisa hanya dengan mengutamakan perasaan yang bisa mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang mampu mengubahmu menjadi budak waktu untuk senantiasa diam menunggu. Selalu kucoba menikmatinya meski bukan karena aku. Aku tahu, ini bukanlah derita, tapi sesuatu yang harus dicoba.

Semakin bisa kusimpulkan bahwa “kami” bukan lagi hanya sekedar aku dan dia. Melainkan “kami” ialah aku merasakannya dan dia yang tak entah tak pernah, tak perlu, atau tak mau tahu.

***

Kini aku merasa semakin jauh, jauh darinya. Gendhis, ia sudah tidak pernah lagi mengajakku ke kantin dan melakukan hal gila lainnya. Kami menjadi canggung, dan aku memperburuk keadaan dengan tidak berani menyapa bahkan hanya menatapnya. Meski aku masih merasakannya, aku mencoba menutupinya. Lagi, aku membohongi diri sendiri. Keesokan harinya, aku mencoba tenang.

Saat di kantin, meja paling barat bukan menjadi milik kami lagi. Meja ini seketika menjadi privasiku, dan aku tidak senang dengan ini. Tiba-tiba Benny tiba-tiba menghampiriku dan tak dinyana dia bertanya perihal Gendhis. Mengejutkan! Seorang teman laki-laki yang kukenal skeptis dan terkesan noncinta, ternyata paham juga dengan beberapa hakikat cinta yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Ram, kamu masih nunggu Gendhis? Sudah, belajarlah meng-ikhlaskan!”

“Nggak tahu, Ben. Biarlah dia bahagia sama Andro,” aku ter-senyum menjawabnya.

(31)

“Aku tahu, dia kemarin yang bilang. Dia mau balikan sama Andro.”

“Oh. Aku kasih tahu kamu beberapa hal tentang cinta, Ram.” “Apa? Gimana?” aku penasaran terhadap kata-katanya.

“Ram, cinta itu bisa datang. Cinta juga bisa memilih. Dan cinta juga bisa pergi. Tapi ada satu hal yang dia nggak bisa.”

“Apa?” aku benar-benar penasaran. “Cinta nggak bisa menunggu, Ram.” “Hmm...,” sebenarnya aku terhenyak.

Aku menyesal telah menilainya sebagai skeptis sejati yang sangat awam tentang cinta. Namun, sekali lagi, aku salah.

“Cinta nggak bisa menunggu, Ram.”

Kata-kata Benny tadi menohok jantungku. Bukan. Bukan hanya karena ia skeptis yang mendadak melankolis. Pun juga karena kata-katanya tadi bermakna besar. Iya, menunggu memang bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kau hanya akan berkawan ketidakpastian dan kebimbangan. Menunggu adalah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku tak pernah ingin mengakhiri hangatnya persahabatan kami selama dua tahun yang sarat makna ini. Maka dari itu, dari pertama aku dekat dengannya, tak pernah tercipta nyali untuk mengatakannya. Berusaha menjaga perasaanya adalah bukan perkara mudah. Aku tak ingin mengakhiri persahabatan ini hanya karena lahirnya perasaan berlebihan secara sepihak. Dua tahun adalah waktu yang terlalu lama bagi kami untuk saling canggung. Dan aku sudah senang bisa memilikinya sebatas sahabat, walau kadang ada hati yang meronta untuk meminta lebih.

“Maaf jika aku tak pernah menyanyangimu dengan cara yang kau mau. Karena aku tak pernah tahu.”

***

(32)

19 tetaplah seperti melati itu. Tak perlu lagi ada bantahan tentangnya.

Sekarang aku masih sibuk berharap, dan tentu saja

menu-lis. Menulis iksi yang terus kuharapkan menjadi realita. Isinya

kujadikan lebih baik supaya realita itu semakin baik pula pa da akhirnya. Harapanku supaya Gendhis membaca dan menyadari nya. Menyadari bahwa kebahagiaan itu pernah nyata. Gendhis, kau wujud kebahagiaan itu.

Aku gagal menjadi pangeran layaknya namaku. Mungkin kini aku hanya sosok kurcaci yang senantiasa mengganggu mekarnya melati itu. Sosok kurcaci yang dicintai kesendirian. Dan kini si kurcaci hanya bisa menunggu putri yang masih saja terlelap dan bermimpi tentang pangeran lain bersama denting waktu di istana.

Jika suatu saat kau tanya bahagiakah aku saat ini, maka jawabku adalah, “Ya, aku bahagia.”. Ya, karena memang aku baha gia. Aku melakukannya dalam diam dan aku bahagia. Mungkin akan tiba saatnya aku merasa lelah dan kau benar-benar tidak membuka hati untukku.

Lelahmu, jadi lelahku juga

Bahagiamu, bahagiaku pasti

Berbagi, takdir kita selalu

Kecuali, tiap kau jatuh hati

Kali ini, hampir habis dayaku, membuktikan padamu, ada cinta

yang nyata

Setia, hadir setiap hari Tak tega, lihat engkau sendiri

Meski seringkali, kau malah asyik sendiri.

(33)

SENJATA MAKAN TUAN

Novisca Dyah Ayu L.

Lonceng tanda pulang sekolah telah berbunyi. Sesampainya di rumah, Mama sudah menyiapkan makan siang untuku. Ayam goreng pun habis aku santap di meja makan. Mama yang melihatku makan begitu lahapnya hanya menggelengkan kepala. Selesai makan aku duduk di teras rumah dan bermain-main dengan Lala, kucingku yang pintar dan cantik. Lala selalu menemaniku dalam keadaan apa pun. Lala selalu mengerti setiap keinginanku.

Bang Rado, abangku, orangnya super jail. Dulu aku sering dibuat menangis olehnya. Menurut teman-teman sekolahku, abangku orangnya ganteng dan pesonanya bikin cewek-cewek tertarik. Memang sejak SMP dia selalu pintar menaklukan hati cewek,

“Wah Icha, udah pulang sekolah Cha? Lagi main sama Lala, ya?” Bang Rado yang baru pulang kuliah sok menyapaku dengan mengelus-elus kepala Lala.

“Udah tahu, tanya lagi!” jawabku ketus.

“Kok ditanya jawabnya jutek sih, adiku yang cantik!” dengan tangannya mencubit pipiku.

“Tumben baik? Pasti ada maunya?” selidikku.

“Enggak. Cuma mau minta tolong saja. Nanti kalau Filla datang ke sini, tolong bilang saja kalau aku lagi pergi, nganterin Mama membeli bunga.”

“Tapi, kan Mama beli bunganya nanti sore sama Papa, Bang?” kataku sambil mengkerutkan kening.

“Alah …, bilang aja gitu Cha, nanti gue kasih surprise, deh!” “Oke! Awas Saja ngasih kecoa! Tidak akan pernah aku tolongin lagi!”

“Makasih, adiku yang cantik.”

(34)

21 “Permisi,” suara wanita terdengar dari pintu gerbang.

“Iya…! Tunggu sebentar!” teriakku sambil berjalan menuju gerbang.

“Cha, abangmu ada?” tanya Kak Rusyda dengan suara yang lembut.

Aku pun terdiam sejenak dan berpikir. Tadi kata Bang Rado kalau Kak Filla datang, suruh bilang kalau Bang Rado lagi nganterin Mama membeli bunga. Peraturan ini berlaku nggak ya buat Kak Rusyda.

“Sayang…, sudah lama? Gimana sih Cha, kok pacarku tidak disuruh masuk?” Bang Rado yang tiba-tiba keluar dari rumah menuju gerbang.

“Baru saja nyampek kok. Langsung berangkat, yuk!” Kak Rusyda langsung menggandeng tangan Bang Rado untuk masuk ke mobil.

“Inget pesanku tadi, ya Cha!” teriak Bang Rado dari mobil dan langsung melaju kencang.

“Dasar playboy nggak modal! Masa pergi pakai kendaraan milik ceweknya, sih?” desisku lirih.

***

Aku dan Lala yang lagi asik menonton teve. Tiba-tiba terdengar bunyi bel depan rumah.

“Pasti Papa?” kataku lirih dengan berjalan menuju pintu. “Hai Icha, abangmu ada?” suara Kak Filla yang serak-serak basah mengawali pembicaraan setelah aku membuka pintu.

“Oh, baru aja pergi sama Mama beli bunga, Kak” jawabku dengan menggaruk kepala.

“Kira-kira pulang jam berapa ya? Tadi aku telepon handphon-nya nggak bisa” dengan wajah kecewa dan cemas.

“Mungkin nanti sore, Kak!” jawabku dengan keningku meng-kerut.

“Ya sudah besok Kakak kesini lagi saja. Tolong sampaikan ke Abangmu ya, Cha. Kakak pulang dulu, salam buat Papa dan Mama,” katanya dengan wajah yang penuh kekecewaan.

“Iya Kak, hati-hati ya. Pasti nanti aku sampaikan!” balasku yang membuat Kak Filla tersenyum.

(35)

malam. Mama tidak membangunkanku. Mungkin Mama tahu kalau aku suntuk menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Aku pun segera mandi dan menyusul ke ruang makan. Terlihat Mama, Papa, dan Bang Rado sedang menungguku untuk makan malam bersama.

“Eh…, Tuan Putri sudah datang. Kita baru bisa makan nih, padahal perutku sudah keroncongan dari tadi,” ledekan Bang Rado di meja makan.

“Sini, Sayang!” kata Papa dan Mama kompak.

“Maaf, ya Pa, Ma, Icha ketiduran,” jawabku sedikit menghela nafas.

“Ih, tadi habis buat pulau di bantal, ya Cha. Ih jorok, bau. Mama, besok bantalnya langsung dicuci, ya jangan sampai baunya menyebar ke seisi rumah ini!” ejekan Bang Rado dengan tertawa lepas.

“Apa sih! Kamu tuh yang jorok. Diam kenapa? Lihat saja nggak bakalan gue bantuin lagi besok-besok!” balasku dengan wajah yang memerah.

“Sudah-sudah ini meja makan bukan tempat sidang!” Mama mencoba meleraiku dengan Bang Rado.

“Bang Rado yang mulai duluan! Oh iya, tadi Kak Filla ke sini, Ma, nyariin Si playboy gak modal ini! Oh ya, Kak Filla titip salam buat Mama sama Papa,” ujarku dengan suara lantang yang menyindir Bang Rado.

Bang Rado tiba-tiba tersedak dan Mama segera memberikan segelas air putih, sedangkan Papa hanya tersenyum.

“Oh, iya surprize yang aku janjiin tadi siang sudah ada di kamarmu, Cha!” ujar Bang Rado dengan wajah yang tidak meyakinkan.

***

(36)

23 ditelan bumi, padahal tadi saat menonton teve, bahkan ia juga tidur di sampingku.

“Ma, tahu Lala?” teriakku dengan wajah yang bingung.

“Enggak, Sayang. Dari tadi kan main sama kamu,” jawab Mama yang sedang melihat-lihat majalah di ruang keluarga.

“Pa, tahu Lala?

“Enggak, dong. Tadi kan tidur di depan teve sama kamu,” jawab Papa yang sedang sibuk menyelesaikan tugas kantornya.

Aku memang sengaja tidak menanyakan Lala pada Bang Rado karena pasti dia akan mengejek dan menertawakan aku. Aku pun bergegas masuk kamar. Perasaanku sedih kehilangan Lala malam ini. Saat aku merebahkan tubuhku, terdengar suara Lala disekitar ruang kamarku.

“Meaong, meaong”

Saat aku mencari-cari di mana asal suara itu, ternyata suara itu adalah Lala yang ada di bawah tempat tidur dengan kaki terikat serta badan Lala penuh dengan cat. Dan aku menemukan surat yang bertuliskan seperti ini.

Cha, ini surprize buat kamu. Lala aku bikin anak gaul. Aku kasih cat biar tambah funky men. Dari Abangmu paling ganteng.

Rado.

“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakanku

“Iya, kenapa Icha?” Mama yang terlihat panik menghampiri kamarku.

“Ini Ma, Lala jadi kayak gini gara-gara Bang Rado,” kataku sambil meneteskan air mata.

“Haduh, Lala malang sekali nasibnya. Sudah-sudah jangan menangis!” Mama memeluku dan mengusap air mata yang menetes membasahi pipiku.

“Ada apa, Ma? Icha kenapa?” tanya Papa yang langsung datang ke kamarku dengan raut wajah panik.

“Ini, Pa. Si Lala jadi kayak gini. Ini pasti ulah Rado!” Mama menjelaskan kepada Papa.

(37)

paling cantik pasti tidak cengeng, kan? ” Papa mencoba menenang-kanku.

“Tapi Bang Rado, Pa, bikin kesel!” letusku dengan terus menetes-kan air mata.

“Abangmu sayang kok sama kamu, makanya dia senang sekali menjailimu” hibur Papa mengheningkan suasana.

Perasaanku masih kesal, rasanya ingin aku caci maki tuh playboy nggak modal. Kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Teramat berisik suara dari kamarnya. Seperti biasa Bang Rado menutar musik sampai bikin gendang telinga mau pecah.

***

Pagi telah menyambut, semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, termasuk Bang Rado.

“Tuan Putri mau makan apa?” seloroh Bang Rado.

Aku pun hanya terdiam karena masih marah mengenai perlakuannya tadi malam.

“Meaong..meaong.”

Suara Lala yang meraung-raung juga kesal melihat Bang Rado. “Icha kok diem? Sakit gigi, ya? Wah nanti harus di bawa ke dokter tuh biar di suntik giginya,” ledek Bang Rado semakin menjadi.

“Mau ayam goring, nggak?” Aku tetap diam tak bereaksi

“Nggak mau, ya. Ya sudah. Ayam gorengmu aku makan, ya? Nyam, nyam,” ujar Bang Rado yang membuat wajahku mulai meme-rah menahan amameme-rah

“Ini, La. Gue kasih. Enak, kan?” ujar Bang Rado menyodorkan setengah daging ayam kepada Lala

“Meaong,” Lala mengiyakan ucapan Bang Rado

Aku tetap diam dan semakin kesal melihat Lala menikmati ayam yang Bang Rado berikan. Aku hanya minum susu yang sudah disedia kan Mama. Setelah selesai aku pamitan dengan Papa Mama tanpa mempedulikan Bang Rado di sebelahku. Dalam hati aku masih dongkol dan marah dengan Bang Rado, aku lalu menceritakan kepada sahabatku Devi.

(38)

25 “Abangmu emang harus dikasih pelajaran, Cha. Biar dia ka pok!” Devi memberi solusi

“Tapi apa? Nanti kalau aku kerjain balik, dia bakalan lebih ngeri lagi ngerjain aku”

“Gini, dia paling takut sama apa? Kamu kan adiknya pasti tau dong kelemahan abangnya apa? Manusia itu nggak ada yang sempurna, Cha,” ujar Devi.

“Hmmm, aku inget sekarang kalau Abangku paling takut kalau ketahuan selingkuh.”

“Nah, mendingan kamu jebak, tuh Abangmu” ***

Sepulang sekolah aku mengatur rencana supaya bisa menjebak Bang Rado. Di teras rumah aku dan Lala bermain seperti biasa tapi kini aku banyak diam karena memikirkan strategi yang tepat.

“Icha,” suara lembut dari dalam rumah memanggilku

“Eh, kak Rusyda? Udah lama kak?” suaraku yang mendadak serak.

“Sebelum kamu pulang sekolah, kakak sudah didalam, Cha. Sekarang mau ke Mall cari baju sama Abangmu,” kata Kak Rusyda dengan tatapan wajah yang berbinar.

Aku bergegas masuk kamar dan segera menelefon kak Filla, aku akan ajak kak Filla ke Mall biar bisa mergokin Bang Rado dengan kak Rusyda.

***

“Kak Filla?” teriaku dengan melambaikan tangan pada kak Filla yang terlihat di seberang toko dalam Mall. Kak Filla pun menghampiriku.

“Ada apa, Cha? Kok ngajak ketemu disini?” suara kak Filla yang terdengar tenang dan dewasa.

“Kasihan kak Filla harus jadi korbannya Abangku yang playboy itu,” desisku lirih.

“Apa sih, Cha? Kakak nggak denger,” kata Kak Filla sambil memegang tanganku.

(39)

“Ya sudah kita lihat baju-baju disana, yuk! Biasanya Abangmu selalu nemenin kakak cari baju disana,” ajak Kak Filla.

Dari jauh terlihat Bang Rado sedang menemani Kak Rusyda melihat-lihat kemeja. Aku pun segera menggandeng kak Filla untuk menghampiri mereka.

“Abaaaaaaang!” teriaku dari belakang Bang Rado seakan-akan kaget. Bang Rado dan kak Rusyda membalik arah yang menatap aku dan Kak Filla.

“Nggak nyangka Abang punya dua pacar. Sadar, Bang kasihan kakak-kakak cantik ini,” ucapan panjangku dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Suasana pun tiba-tiba menjadi hening, keheningan yang cukup membosankan. Tiba-tiba Bang Rado, Kak Filla, dan Kak Rusyda tertawa terbahak-bahak. Bang Rado sampai mengusap air mata yang keluar dari matanya, sedangkan Kak Filla dan Kak Rusyda tertawa dengan memegang perut mereka. Aku bingung melihat kejadian ini. Mengapa mereka malah tertawa, bukankah seharusnya mereka bertiga bertengkar.

“Icha, Icha kedua kakak cantik ini memang benar pacar Abang. Tetapi, mereka yang memaksa Abang untuk menjadi pacar mereka, karena mereka berdua nggak akan rela kehilangan Abang,” ujar Bang Rado dengan menahan tawa

“Iya, Cha, kami yang setuju kalau diduakan,” Kak Filla menyam-bung.

“Bener, Icha, kami sama-sama sayang sama Abangmu,” Kak Rusyda menambahkan.

(40)

27

KEMBARAN BERBULU DALAM KENDI

Soia Aulia Zakiyatun Nisa

Kunang-kunang memamerkan kilau tubuhnya. Sayap mungilnya membawa kunang-kunang menuju daun-daun hijau di belakang rumah bewarna putih. Rumah itu asri dengan tatanan rerumputan hijau yang tingginya sekitar satu meter. Pagar besi mengkilat dan hitam membuat kesan megah rumah di Solo itu. Saat masuk ke gerbang, pohon cemara dan mangga berjejer rapi membentuk setengah lingkaran. Pintu bewarna emas memiliki gagang pintu bewarna hitam, didampingi dua jendela berkaca besar. Ruangan rumah itu jauh dari kata modern, namun tata ruangnya sangat elok dan bergaya kerajaan. Di suatu sudut ruang ada sebuah kendi besar indah berkilau, namun tidak ada yang tau asal-usul kendi bertinggi dua meter dan berdiameter tiga puluh centi itu. Konon kendi itu ada sejak ribuan tahun lalu, dan kendi itu menambah kesan tradisional rumah besar, di tengah sungai itu.

“Ndhuk, ayo bangun!Shalat subuh dulu, ya. Habis itu bantu Ibu di dapur. Ingat jangan tidur lagi, nanti rejekimu dipathok ayam,” kata Ibu paruh baya berambut hitam sedikit putih.

“Njih, Bu.”

Gadis berambut panjang lurus, melipat selimut merah bergambar panda. Kaki panjang berkulit putih menuntun gadis itu menuju mushola rumah. Udara pagi yang mencoba merayunya, meski badan kurusnya mulai bergetar, ia tetap melangkah. Keheningan menemani gadis bernama Elma tersebut, butiran-butiran sungai mengalir dari mata hitamnya. Ia ungkapakan semua keinginan dan pengganjal hatinya pada Sang Ilahi. Setelah melipat mukena putihnya, ia melewati lorong-lorong rumahnya menuju dapur.

(41)

“Bu, masak apa hari ini? Elma pingin opor ayam, nih,” rayu Elma yang berhidung mancung.

“Nanti Ayah pulang, jadi kita masak nasi kuning kesukaan ayah saja, ya. Nanti siang Ibu masakin opor, deh,” jawab Ibu beralis tipis itu.

“Ayah nanti pulang, Bu? Wah asik. Bisa mancing lagi, nih,” Elma tersenyum, lesung pipit yang menghias pipinya membuat manis wajahnya.

“Kamu ini, Ndhuk. Ndhuk, letakkan sayur-sayur ini di meja makan, ya!”

Ibu Elma membersihkan dapur, lalu mencuci tangan berkulit putihnya berubah menjadi hitam karena wajan tuanya.

“Bu, sudah siap. Mana ayah? kok lama banget,” Elma memajukan bibir tipisnya dua senti.

“Ndhuk, Ayahmu kan selalu pesan sama kamu. Jadi orang itu yang sabar, biar hatinya bersih dan tenang. Sebentar lagi juga datang,” Bu Eka membelai lembut rambut anaknya.

“Tok, tok, tok.”

Elma segera mempercepat langkahnya menuju pintu.

“Assalamualaikum Putriku,” sosok tegap dan tinggi menyapa Elma.

“Waalaikum salam, Ayah.”

Elma semringah. Di rumah besarnya itu Elma hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya memiliki jabatan tinggi di Jakarta, hanya hitungan hari dalam sebulan Elma bisa melihat ayahnya. Sementara itu, ayah dan ibunya selalu mengatakan bahwa Elma anak tunggal.

“Yah, gimana kabarnya?” Bu Eki menghampiri suaminya seraya mencium tangannya.

(42)

29 saat sholat, saat berkumpul bersama, dan semua hal yang dilaku-kan keluarga Elma. Kucing itu selalu tidur pada siang hari diruang keluarga, namun pada malam hari tiba-tiba tak terlihat batang hidungnya. Keluarga Elma selalu menganggap kucing itu seperti keluarga, dan menyayanginya.

“Ibu, aku mau pindah rumah saja. Disini aku nggak punya temen, nggak ada yang cocok sama aku. Masak sudah dua tahun disini aku hanya mengurung diri di rumah. Hanya berteman tiang-tiang kayu rumah ini. Aku kan bosan, kenapa sih dulu Ayah milih rumah ini?, aku pokoknya mau pindah rumah,” Elma membuat siang yang terik menjadi semakin panas.

“Ndhuk, sini duduk dulu. Jangan emosi dulu, ya, mari bicarakan baik-baik, Ndhuk. Hadapi semua masalah dengan kepala dingin,” Ibu Eka mencoba mendinginkan hati anaknya yang sedang terbakar, matanya yang sipit itu mulai berkaca-kaca.

Rumahnya yang rindang, seolah-olah gersang. Otaknya berputar keras untuk merangkai kata-kata yang pas dan tidak menyakiti hati anaknya yang sedang membara.

“Begini, Ndhuk,” Bu Elma tidak meneruskan kata-katanya setelah melihat pintu rumahnya terbuka.

“Ada apa ini, kok pada tegang gini,” Ayah Elma yang menggaruk-ngaruk kepalanya yang penuh dengan rambut bergelombang.

Sebagai kepala keluarga yang bijak, Pak Eki berusaha tenang. “Begini, Ndhuk,” Ibu Elma berusaha meneruskan kata-katanya. “Ayah penasaran ni, ada apa sebenarnya?” Ayah Elma menyela. “Ayah kalau penasaran jangan menyela, dong,“ Ibu Elma mulai kesal.

Seisi rumah kembali hening, sementara Elma terus tertuduk dan ketakutan. Dalam hatinya sebenarnya merasa takut akan marah orang tuanya, namun disisi lain Elma juga takut jika perasaannya yang selama ini tersimpan akan meledak hebat pada suatu hari.

“Begini Ndhuk,“ wanita berhati sabar yang telah melahirkan Elma dan membesarkannya memulai pembicaraan lagi.

(43)

“Bu, jangan lama-lama bicaranya, ya. Ayah mau ke kamar mandi, nih. Sudah dua jam lalu nahan,” Ayah Elma tak meneruskan kata-katanya saat istrinya pergi ke dapur dan melirik tajam menandakan kemarahannya.

Elma tak berkata sepatah pun. Ia menatap lantai rumahnya yang terbuat dari kayu bergaris-garis. Dalam diam ia menghitung jumlah garis lantainya untuk menglabuhi tatapan ayahnya. Dalam hatinya yang keruh itu semakin bingung karena ditemuinya lantai yang selama ini diinjaknya bergaris sesuai tanggal lahir anggota keluarga besarnya secara berurutan dari kakek neneknya yang beriringan. Apalagi ada suatu lantai dengan garis yang sama dan berjejer. Ternyata garis pada lantai itu sesuai dengan tanggal lahirnya. Ia semakin penasaran, seolah ia lupa akan kepedihan hatinya.

“Minum dulu, ya Ndhuk,” Ibu Elma yang tiba-tiba muncul memecahkan penasaran anaknya.

“Ayah jangan menyela lagi, ya. Begini Ndhuk jujur Ibu juga bingung, mau menjawab apa. Namun ketahuilah bahwa sebelum nenekmu meninggal tiga tahun lalu, beliau telah meminta ayah dan ibu merawat rumah tua ini. Lalu ayah dan ibu hanya bisa menuruti kemauan beliau dan pindah dari Jakarta kesini. Jangan kau kira kami sebagai orang tuamu juga tidak melakukan sesuatu tanpa berpikir. Ayah saja sampai rela hanya pulang sebulan sekali dan menyelesaikan tugas politiknya di Jakarta, bolak-balik Jakarta Solo dengan ikhlas hanya untuk mematuhi amanat nenek. Kita hidup bukan untuk bersenang-senang, Ndhuk. Hidup bermasyarakat bukan untuk membesarkan ego kita, dan memaksa mereka menerima ego kita tersebut, namun kita yang harus bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Cobalah memahami orang lain, Ndhuk, bukan menuntut untuk dipahami terus. Percayalah, suatu hari nanti kamu akan merasakan betapa nyamannya rumah ini dan lingkungannya. Semua butuh proses, Ndhuk,” Ibu Elma berkata panjang lebar.

(44)

31 pecaya putri ayah ini bisa menjalani proses hidup dengan baik. Ya ini, Ndhuk namanya hidup, apa yang kita inginkan tidak selamanya bisa terkabulkan, tidak seperti di surga. Namun pasti ada hal terbaik untuk kita, dan keikhlasan kita menerima ketetapan Allah akan membawa kita menuju surga kelak,” Ayah Elma menjernihkan suasana.

“Tapi rumah ini aneh, Yah. Pagi sampai sore rumah ini ramai dengan suara hewan-hewan, tapi malam hari selau sepi. Kan serem, apalagi kucing putih itu juga menghilang pada malam hari. Dan banyak lagi keanehan rumah ini,” Elma berusaha membela diri.

“Hindari pikiran negatif, Ndhuk. Itu akan menghancurkan dirimu sendiri. Cobalah menerima semua ini dengan ikhlas dan qonaah,” Ibu Elma menasehati anaknya dan memandang suaminya dalam-dalam menandakan rasa permintaan maafnya karena telah bersikap tidak baik kepada suami yang telah setia kepadanya.

Elma tidak menjawab, ia segera mendekati orangtuanya dan memeluk erat. Hatinya yang beku mulai mencair, ia mulai berjanji pada dirinya sendirinya untuk selalu ikhlas menerima semua jalan yang membentang panjang pada kehidupannya.

Embun pagi menuruni daun-daun hijau di rumah Elma, butiran-butiran air berkejaran untuk saling mendahului, karena bola raksasa diangkasa bewarna kuning cerah yang bercahaya mulai menghiasi awan-awan putih. Perlahan, embun-embun yang menghiasi daun-daun mulai menghilang. Daun-daun-daun mulai dihinggapi hewan-hewan mungil yang bersayap warna-warni. Burung-burung mulai bernyanyi menyambut hari yang cerah. Elma meninggalkan pemandangan indah itu dan masuk kedalam rumah.

(45)

rak meja gantung di dapurnya menjadi berantakan. Kali ini ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghasikan hidangan terbaik untuk keluarganya. Setelah beberapa saat keluarga kecil itu mulai menyantap makanan yang dibuat Ibu Elma dengan lahap.

“Ndhuk, Ayah dan Ibu mau pergi ada urusan. Ibu mau arisan, ayah mau rapat RT. Jadi kamu nggak masalah kan kalau dirumah sendiri. Arisan dan rapat RT-nya dimajukan, karena nanti ada acara rapat warga, kan Ndhuk. Ya wajar, lah Ndhuk, di Jawa memang persatuannya kuat, kamu harus mulai bisa membiasakan, ya,” Ibu Elma bersemangat dan memamerkan gigi gingsulnya. Ayah Elma tak melanjutkan kata-kata istrinya seperti biasanya, hati, jiwa dan

ikirannya masih terfokus pada piring merah muda di depannya.

Elma hanya mengangguk setuju.

Jam bulat klasik bewarna coklat yang menghias tangan mungil Elma menunjukkan pukul 09:00. Elma mondar-mandir di ruangan rumahnya bingung, ia tidak tahu akan melakukan apa dirumah

sebesar itu. Hari minggu acara TV dipenuhi dengan ilm kartun,

sementara Elma tidak menyukainya, ia lebih suka melihat serial drama yang berbau mistis dan horor, meski ia sering ngompol karena ketakutan. Elma mulai berkeliling kepada seisi rumah tanpa berhenti. Langkahnya mulai terhenti setelah dihadapannya ia melihat kendi besar yang selama ini tersimpan dirumahnya. Rasa penasarannya begitu hebat, ia memutuskan untuk mendekat dan menyentuhnya. Anehnya pada dinding-dinding kendi yang halus itu ada bulu-bulu kucing. Ia mulai memutar memori otaknya, beberapa detik kemudian ia teringat bila bulu itu milik Elmi kucingnya. Ia berlarian menyusuri ruangan-ruangan rumahnya, dan berharap menemukan sosok Elmi. Harapannya pupus setelah orangtuanya pulang dan mengajaknya pergi ke taman belakang untuk bersantai.

Elma terdiam karena tersimpan beribu tanya dalam benaknya. Tatapannya jauh kedepan, dan tidak menatap ayah ibunya sama sekali. “Ndhuk, ada apa lagi kamu?” Ayah Elma menatap Elma heran. “Ndhuk, sampaikan saja pada kami. Kamu tidak bisa ber bohong, kamu nampaknya sedang bingung begitu,” Ibu Elma ikut nimbrung.

(46)

33 dalamnya tidak ada apa-apanya. Kalu Elmi masuk ke kendi itu kan tidak mungkin, itu terlalu tinggi. Terus aku cari-cari Elmi, dia biasanya kan masih ada di ruang keluarga,” Elma penasaran.

Ayah dan Ibu tidak menjawab dan hanya menunduk, sepasang mata mereka yang sipit dan indah itu seperti tertutup saat menatap Elma.

“Ayah, Ibu pasti tahu sesuatu, kan. Ayah ibu pasti menyembunyi-kan sesuatu, menyembunyi-kan. Ayolah katamenyembunyi-kan padaku aku menyembunyi-kan sudah mulai dewasa, aku sudah SMA, Bu, sampai kapan Ayah Ibu merahasiakannya dariku,” Elma mengeluarkan kata-kata yang bernada tinggi.

Namun orangtuanya tetap tidak menjawab. Burung-burung gereja yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka ikut terdiam. Angin besar tiba-tiba menerpa taman belakang yang hijau itu.

“Sudah saatnya kamu mengetahui yang sebenarnya, Ndhuk. Semoga kamu dapat mendengarnya denagn lapang hati,”Ayah Elma membunuh keheningan yang mencekam beberapa saat yang lalu.

Jantung elma berdetak semakin cepat, ia tidak membayangkan kebenaran apa yang sebenarnya selama bertahun-tahun. Ia menunggu-nunggu kata demi kata dari ayahnya.

(47)

“Dan kucing putih dirumah kita adalah saudara kembarmu, ia terkena kutukan pula. Ia akan kembali pada kendi itu setelah malam tiba. Kami tidak bisa menolak takdir, Nak. Itulah yang harus kita terima. Sementara jika kau hitung jumlah garis pada lantai rumah, kau akan menemukan tanggal lahir yang berurutan pada silsilah keluarga kita, jika kau temukan lantai yang berjumlah garis yang sama dan berjejer, maka itu bertanda ada keturunan kembar dari keluarga kita. Dan perlu kau ingat bahwa semua keturunan kita yang kembar akan dikutuk oleh nenek moyang kita sendiri, agar nantinya tidak ada lagi kendi besar berkilau dirumah ini. Kau mengerti, kan Ndhuk apa yang kami maksud. Tolong kau terima ini dengan hati yang tenang dan ikhlas, semua ini akan ada hikmahnya pada suatu hari nanti,” Ibu Elma memeluk putrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.

Elma tidak bisa berpikir mengapa ada masalah seperti ini pada keluarganya. Seolah percaya dan tidak percaya. Tangis kesedihan mengusik keluarga Pak Eki, ayah Elma. Keluarga kecil itu hanya bisa berharap jika semua yang terjadi pada keluarga besarnya akan memiliki arti tersendiri kelak.

“Pyar,” tiba-tiba suara menggelegar terdengar dari taman bela-kang.

Pak Eki dan keluarga kecilnya segera berlari dan mencari sumber suara. Ternyata mereka menemukan kendi yang menjadi misteri silsilah keluarganya pecah dan hancur berantakan.

(48)

35

RUMAH MISTERI

Aliia Nuralita Resqiana

Pagi yang cerah. Ah, bukan! Pagi yang sedikit mendung. Mentari masih malu menampakkan diri. Seorang gadis berkacamata berjalan melalui gerbang tua sekolah dasar. Tubuh mungilnya terbalut seragam putih-merah. Sepatu berwarna merah jambu, kaos kaki merah jambu, jam tangan merah jambu dan tasnya juga berwarna merah jambu. Gadis manis berkulit putih ini pun berhenti di depan ruang kelas VI. Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari dan masuk ke dalam kelas. Dilihatnya kerumunan anak-anak mengelilingi meja pojok kanan. Meja Dodi!

“Sumpah! Aku denger sendiri dari Papaku!” ucap Dodi di tengah kerumunan anak-anak berseragam merah-putih.

“Ada apa sih? Ribut bener...,” tanya gadis merah jambu. “Aish, ketinggalan kamu, Pink! Udah telat!” seru Rangga sang ketua kelas.

“Makanya aku tanya ada apa!” emosi si gadis merah jambu ter-pancing.

(49)

tak lagi putih, kusam dan berlumut. Maklum saja, rumah itu kosong selama belasan tahun.

Mbah Yadi sempat tinggal di sana beberapa bulan sebelum akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Surabaya. Kebun tak terurus, rumah juga tak terurus. Dan tak ada warga yang mau mengurus. Sejak Mbah Yadi pergi, jarang ada warga yang masuk ke rumah itu. Bukan jarang lagi, tak pernah, tidak ada yang berani masuk ke situ. Fina menceritakan semua itu kepada Nadia. Seorang anak laki-laki turut keluar dari kerumunan di meja Dodi. Namanya Bayu. Salah satu murid tampan di kelas VI. Alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya seperti elang.

“Selama ini kita belum pernah pulang sekolah lewat situ, kan Pink?” tanya Bayu sambil menghampiri Nadia.

“Belum dan nggak akan!” balas Nadia.

Semenjak Nadia pindah dari Makassar ke Jogja awal semester lalu, dia selalu pulang bersama Bayu dan Fina. Sekolah Dasar Kanisius berada di dusun yang sama dengan rumah mereka. Kurang lebih 150 meter jaraknya, namun ada banyak jalan pintas menuju ke sekolah. Salah satunya adalah kebun Mbah Yadi, kebun yang sedang heboh dibicarakan di kelas.

“Pulang sekolah nanti, aku bakalan lewat sana, dan kalian harus ikut!” kata Bayu.

“Nggak!” seru Nadia dan Fina bersamaan.

“Kalian harus ikut! Kecuali... kalian pengen buku ini dibaca semua orang di SD.Kanisius!” Bayu berjalan menuju bangkunya, mengeluarkan sebuah diary berwarna kuning, membukanya, dan hendak membacanya.

“Bayu! Jangaaaaaan!” Fina berteriak sambil berlari ke meja Bayu. Nadia segera menyusul.

(50)

37 hal konyol dan memalukan yang mereka alami. Diantara ketiga anak tersebut, Bayu lah yang hampir tak pernah menulis. Ketika giliran Bayu yang membawa buku itu, ia tidak menuliskan kisahnya. Kegiatan Bayu di rumah hanya bermain game saja. Fina merobek sebagian kertas buku tulisnya dan mulai menuliskan sesuatu, “Kamu udah

janji kalau buku itu Cuma buat kita bertiga! Janji adalah hutang! Balikin buku itu sekarang!” Fina menulis demikian. Ia memberikan kertas itu kepada Nadia, kemudian Nadia segera menyulapnya menjadi bola kertas kecil dan melemparkannya ke arah Bayu. Menyadari hal itu, Bayu langsung mengambil bola kertas tadi di bawah kursinya. Bayu tersenyum membaca tulisan di kertas itu. Ia mengambil pensil dan membalas pesan singkat tersebut. “Sesekali melanggar janji itu bukan

masalah! Lagian nggak ada hal penting yang aku tulis di situ :p“

Selesai menulis, Bayu melemparkan bola kertas balik ke Fina dan Nadia. Membaca surat dari Bayu, mereka pun semakin emosi. Kini giliran Nadia yang menulis, kemudian melemparkan kertas ke Bayu.”Sumpah, Bay! Kamu jahat banget! Aku benci sama kamu!”

Bayu hanya tersenyum, ia tak membalas surat itu lagi. Jam pe-lajaran Bahasa Jawa selesai. Pak Mujono berjalan meninggalkan kelas, seharusnya sesaat kemudian Bu Sisil masuk kelas untuk mengajar Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi beliau berhalangan hadir. Kelas pun mulai ramai seperti pasar. Anak-anak berlarian dan saling melempar kertas. Beberapa sibuk bermain game di handphone mereka, termasuk Bayu. Nadia dan Fina menghampiri Bayu di mejanya.

“Balikin diary itu! Sekarang!” teriak Nadia.

“Bay, itu rahasia! Cukup kita bertiga yang tahu! Jangan disebar-sebar dong!” tambah Fina.

“Aku udah kasih pilihan yang enak kan? Ikut aku lewat kebun itu, atau pengen seisi sekolah baca buku ini?” balas Bayu santai.

“Nggak dua-duanya!” teriak Nadia lagi.

“Duh, sayang banget, istirahat nanti temen-temen bakalan tahu kalau sebenarnya... kalian.”

Referensi

Dokumen terkait

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN. 2011 –

Persentase terbesar pada pola makan makanan kariogenik seperti roti, kue, permen dan coklat yaitu terdapat 13 anak (21.66%) yang memiliiki kebiasaan mengonsumsi roti pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada kompetensi menyimak dalam buku teks bahasa Jawa SD Remen Basa Jawi

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan dari definisi pelayanan prima (service excellence) adalah sebuah kepedulian oleh perusahaan terhadap

Hal ini terjadi akibat dari kontur celah antara tube serta temperatur gas buang lebih tinggi sehingga saat air mencapai titik ukur 1 telah menyerap kalor

industri tahu ini dengan cara melihat peluang - peluang yang ada disekitar dan mampu memanfaatkann, maka tahu lembang memiliki peluang pasar yang besar dengan berbagai

berarti bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis III yang menyatakan tidak ada perbedaan pengaruh latihan lari zig zag run exercise dengan latihan side jump sprint

TAHUN