• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fathi Abida Nurunnai Ghaniyaska

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 90-99)

Aku terharu oleh keindahan senja. Desir angin mengiringi matahari terbenam diiringi debur ombak. Pantai selalu menjadi tempat penuh asa.

“Hei, melamun saja. Bukankah ini tempat yang kamu sukai?” seseorang mengagetkanku.

Aku tersenyum.

“Hanya tersenyum? Tidak ada respon lain selain senyuman?” dia mulai protes.

“Lalu kamu minta apa?”

“Aku tidak tahu,” jawabnya tanpa berdosa.

Aku berdiri lalu meninggalkannya. Percakapan kecil di sore tadi masih terngiang di kepalaku. Untuk gadis berumur 19 tahun sepertiku terlalu sulit untuk menerima kenyataan pahit. Mungkin aku belum cukup dewasa. Teman sekamarku sudah terlelap se jak satu jam yang lalu. Kegiatan study tour untuk penelitian mem buatnya lelah. Sedangkan aku masih terjaga. Entah apa sebabnya, rasanya mataku sulit untuk tertutup. Keheningan di tiap sudut kamar menambah suasana kelabu di otakku. Sepertinya sudah seribu kali berganti posisi untuk tidur, tetap saja tidak berhasil.

“Risaaa.. Kau ini kenapa dari tadi? Bolak-balik posisi, menggnggu tidurku saja,” teriak teman sekamarku dengan logat Sumatera yang terbangun akibat ulahku.

Namanya Eliana, dia asli Palembang, tapi entah kenapa logatnya terdengar seperti logat Batak.

“Hihi, belum bisa tidur, El,” aku terkikik.

“Yaelah, tidur itu mudah. Kau tinggal memejamkan mata saja,” ujarnya sambil memeluk guling untuk melanjutkan tidurnya.

Aku membuka pintu menuju balkon kamar. Dinginnya malam mungkin bisa menghantarkanku tidur, pikirku. Suasana penginapan

dekat pantai memang menyenangkan. Percakapan senja itu benar- benar memperparah malamku.

“Anak kecil seharusnya sudah tidur.”

Dia lagi. Tanpa berdosa mengagetkanku dari lantai atas. Aku mendongkak. Dia tertawa. Aku berbalik dan menutup pintu, memutuskan untuk tidur. Rupanya dia penghantar tidurku.

***

“Kriiiiing! Kriiiiiing!” alarm telepon genggam Dea menyambut pagiku.

“De, bangun. Alarmnya sudah manggil kamu,” kataku dengan keadaan setengah sadar.

“Hhhh, ya,” ujar Dea seraya terbangun dan mengambil telepon genggamnya.

Rencanaku untuk melihat syahdunya pesona matahari terbit gagal. Aku dan Dea berjalan menuju ruang makan untuk sarapan.

“Selamat pagi, Nona yang suka sekali melamun,” sapaannya merusak pagiku.

“Hei boy, kau ini pagi-pagi sudah sok kenal sok dekat dengan mahasiswi lain. Lekas sarapan, cacingku sudah protes ini,” kata temannya santai.

Sepertinya Eli berasal juga dari Sumatra. Dengar-dengar namanya Pukat. Dia melotot pada Pukat dan segera menarik Pukat menuju ruang makan. Eli tertawa terbahak. Aku ganti memelototi Eli.

“Hahaha orang Sumatra itu lucu juga, ya, unik. Wajahnya juga unik, seperti perawakan Cina. “

“Kamu suka, ya padanya?” kataku licik.

“Oi? Tahu namanya saja tidak,” wajah Eli merah padam. Aku giliran menertawainya. Suara denting piring mengiringi hiruk pikuk obrolan mahasiswa-mahasiswi yang sedang sarapan.

“Hahahaha kalian lucu ya, apa salahnya untuk sedikit membuka hati sih?” Dea masih tertawa.

“Kalian siapa? Membuka hati? Apa maksudmu?” aku terheran. “Kau, lah dan si dia. Iya, membuka hati untuk menerimanya.” “Dia siapa? Tadi apa kamu bilang? Lucu? Menerima? Me mang- nya dia siapa?” aku semakin bingung.

“Kau ini macam wartawan perang saja, banyak tanya sekali,” Dea terbahak.

“Jika tidak mau ditanyai, tidak usah memberi pernyataan dengan sejuta pertanyaan,” kataku sambil menyuap sesendok nasi dengan kesal.

“Yelah. Yelah, begitu saja marah,” Eli menyengir, “Itu, yang tadi menyapamu. Kau pikir aku tidak tahu, sore kemarin kan kau mengobrol dengannya di tepi pantai, Tatapan mata kau itu seperti menatap bidadara surga.”

Aku melotot. Meninggalkan Eli yang masih melanjutkan nasi goreng dipiringnya. Selesai sarapan, aku menuju ke pantai. Bermain dengan pasir, melihat busa ombak menari bersama karang, dan bersantai ditemani cakrawala. Aku tersenyum menikmati itu semua. Terkadang aku tertawa melihat burung camar datang ribut menyapa pagiku. Aku seakan senang setiap kali hembusan angin pantai merusak tatanan jilbabku. Setiap kali aku merasa lelah, sebatang pohon kelapa tua siap menopang semua beban pikiran dan hatiku. Mempersilakan batangnya untuk disandari oleh punggungku. Aku merasa tenang. Damai.

“Tadi aku mencarimu, ternyata kamu ada disini.” Dia lagi yang menggangguku. Aku meninggalkannya. “Tunggu, mau kemana?”

“Bukan urusanmu, penganggu,” ujarku ketus.

Dia terdiam. Aku tak menghiraukannya. Bagus jika dia tidak mengejarku.

“Risaaaa, kau kemana saja? Pagi-pagi sudah menghilang. Membuatku repot saja,” Eli menghampiriku dengan muka kusut.

“Lecek sekali mukamu. Sini aku setrika,” aku menggodanya. “Tidak lucu,” Eli semakin cemberut, “Tadi kau dicari sang bidadara.”

“Bidadara siapa?” aku tak peduli dengan guarauannya. “Itu, si Deka,” Eli menjawab santai.

“Deka, siapa dia?” aku mengeryitkan dahi.

“Kau tidak tahu Deka?” ujar Eli kebingungan sambil menyeka peluh di dahi.

“Dia itu yang suka mengusik kau.” Aku terdiam.

“Kau kenapa diam begitu macam singa tidur?” tanya Eli “Jadi, dia itu namanya Deka.”

“Jadi kau baru tahu?” tanya Eli keheranan. Aku meringis.

“Iya.”

Aku kembali bertemu senja, memandangi langit dan lautan jingga. Pikiranku melayang ke langit bebas menerobos saputan awan yang mendampingi jingga dalam elegi.

Seseorang berdehem sambil berkata, “Maaf, aku menganggu senjamu.”

Aku menengok, membenarkan tatanan jilbab yang tertiup angin. “Tidak mengganggu sama sekali.”

“Maaf karena aku selalu mengusikmu. Tapi itu karena tulus dari hatiku.”

“Mengusik? Kamu mengusik tulus dari hati?” aku mengernyitkan dahi.

“Eh, maksudku aku mengusik karena hanya ingin menghiburmu. Aku tahu pantai ini penuh kenangan bagimu. Aku tahu pantai ini selalu mengingatkanmu tentang masa lalu. Aku tahu di pantai ini kamu dan dia pernah bersama. Aku tahu dia,” katanya sambil menyeka peluh leher, sepertinya dia gugup.

“Cukup,” aku memotong penjelasannya, “dari mana kamu tahu?” “Aku mengagumimu sejak dulu. Sejak dia belum menjadi milikmu. Aku hanya pengagum rahasia. Dan saat ini, pertama kalinya aku memberanikan diri untuk…”

“Apa?” lagi-lagi aku memotong penjelasannya.

Dia diam. Kami terdiam dalam keheningan. Hanya ada suara angin yang menemani kami.

“Ta, Tarisa Lintang Gaurinda.” Aku menoleh.

“Ya?” aku meneguk ludah, “kau tahu namaku?”

“Aku menyukaimu. Aku tahu kamu belum bisa untuk melupakan masa lalumu. Dia sudah di surga. Dia pasti muram melihatmu sedih terus-menerus. Dia akan bahagia jika kamu sudah bahagia tanpanya.

Cobalah untuk melihat ke depan, menyambut sesuatu yang akan datang. Aku sedih melihatmu terus melamun. Aku akan mencoba membantumu untuk maju. Jadi, mau kamu bersamaku untuk selanjutnya?”

Aku menatapnya. Dia membalas tatapanku penuh arti. “Aku perlu berpikir,” jawabku.

Dia tersenyum.

***

Kegiatan study tour sudah usai. Segala laporan penelitian sudah rampung kukerjakan. Kesibukanku sudah mulai mereda. Suara ketukan pintu terdengar lirih melawan suara televisi yang kutonton. Aku mencoba mengecilkan volume televisi, bangkit dan menengok ke arah jendela. Lalu, aku berjalan menuju ruang depan, dan membuka pintunya. Sepi. Pasti anak-anak kecil yang iseng mengetuk-ketuk pintu setiap rumah di komplek ini. Aku berbalik, kakiku terasa menginjak sesuatu. Sepucuk amplop. Mengambil dan menuju kamar. Beralaskan bantal untuk punggungku, aku memulai membuka tutup amplop yang dilem rapi. Berisi surat dua lembar bertuliskan tangan. Di pojok kiri atas tertulis rapi, “Untuk Tarisa Lintang Gaurinda.”

Akhirnya semua rasa penasaranku terjawab.

“Selamat siang Risa. Kamu pastilah bertanya-tanya siapa yang mengetuk pintu siang bolong begini dan melemparkan surat melalui ventilasi pintu. Aku, Deka. Radeka Ramawisnu. Kamu pastilah tidak mengenalku jauh, tapi aku, sebaliknya, mengenalmu lebih jauh dari Jembatan Suramadu. Disini aku bukan bermaksud melucu, tapi aku akan memberimu penjelasan.

Kamu tahu, berminggu-minggu aku menulis surat ini. Selalu muncl rasa gugup dan rasa bersalah. Aku adalah sahabat Mirza Haskailah, orang yang sangat kamu cintai. Aku yang berada di mobil bersama dia. Aku yang berada di jok kiri di sampingnya. Aku yang menemaninya di perjalanan untuk menemuimu. Pertemuan yang kamu paksakan.

Kamu tahu Risa, saat itu Mirza sedang kelelahan, tapi dia selalu menepati janji-janjinya. Dia tidak mau orang yang dicintainya kecewa ditelan janji. Aku memutuskan untuk menemaninya. Aku

selalu merasa bersalah jika mengingat semua ini. Bukan, bukan karena aku tidak mencegahnya. Aku sudah memintanya untuk menyetir dan mengantarkannya tapi dia lebih kuat. Dia memaksa agar dirinya sendiri yang menyetir. Aku sudah mencegah dengan segala cara, tapi itulah seorang Mirza, segala caranya tidak bisa dilawan.

Perjalanan berjalan mulus, tapi tiba-tiba aku melihat air mukanya berubah pucat. Dia terlihat gelisah dan semua itu terjadi. Aku tersadar saat berada di ruangan serba putih. Aku bangun dan segera mencarinya. Tapi gagal, suster dan dokter memaksaku untuk beristirahat. Aku meronta melawan tapi hasilnya nihil.

Baru aku esok harinya mendapatkan kabar bahwa Mirza, orang yang kamu cintai dan mencintai kamu, sahabatku, teman ceritaku, meninggal dunia. Saat pemakaman, aku melihat detil lekuk wajahmu yang memancarkan kesedihan mendalam.

Risa, sungguh maafkan aku. Aku bersalah telah gagal men- cegah Mirza, menolongnya sebelum semua itu terjadi. Paksaanmu, permintaanmu, benar-benar membutakannya. Bukan, bukan aku menyalahkanmu, tapi itu bukti bahwa dia tulus mencintaimu. Sungguh aku bersalah. Menghilangkan semua kebahagiaan kalian, menenggelamkan kenangan kalian, dan membuatmu bersedih setelah kepergianya.

Kamu tahu, aku mengenalmu sebelum Mirza mengenalmu. Sampai aku menyukaimu, menyayangi, lalu mencintai dalam diam. Kita memang tidak pernah berkenalan tapi hatiku sudah mengenalmu. Tapi ternyata Mirza, sahabatku yang berhasil mendapatka hatimu. Aku dan dia memang berbeda. Dia seseorang yang pemberani, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Sedangkan aku? Lelaki pemalu, tak pantas mendapatkan sebuah anugrah yang di dapatkan dengan keberanian, bukan rasa malu.

Tapi Risa, aku sungguh mencintaimu. Aku memang tak seberani Mirza, tak setulus Mirza. Tapi bukalah hatimu. Bersihkan debu dan masa kelam dihatimu. Dan simpan kenangan manis di sebuah

lemari dalam hatimu. Perkenankan orang baru masuk ke hatimu dan mengisi semua harimu.

Sungguh, maafkan aku. Maafkan atas kelalaianku.

Dari Deka” Tanganku gemetar. Dua lembar surat dari Deka terlepas.

*** “Silakan kopinya.”

“Makasih, Mbak.”

Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesanan ku. Hangat. Kulirik jam tanganku. Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantainya. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku. Dan di sinilah aku. Menunggu. Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu geli sah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau ha nya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi se lanjutnya.

Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang laki-laki dengan kaus berwarna cokelat berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang. Aku memalingkan pandangan.

“Maaf, aku terlambat satu jam,” dia membuka percakapan seraya melihat jam tangannya, “tadi aku harus menyelesaikan peker…”

“Cukup. Aku tidak butuh penjelasan itu,” aku memotongnya. “Baik, ayo ikut aku.”

Aku mengikutinya. Langkah kaki tegap yang sama dengan nya, Mirza. Aku menaiki motor ninjanya. Motor berjalan dengan kecepatan tinggi.

“Kita mau kemana?” kataku agak berteriak karena melawan suara motor.

“Lihat saja nanti.”

Selama perjalanan yang ada hanya keheningan. Kami sama-sama diam, yang ada hanya suara berisik motornya.

“Maaf aku membawa motor dengan kecepatan tinggi. Kita sudah sampai.”

Kau tahu, tempat yang kami tuju penuh dengan batu-batu bertuliskan nama. Rumput-rumput kecil, dan pohon-pohon kam- boja yang menemani. Kami berada di pemakaman. Aku hanya me- lihat kanan kiri, bulu kudukku terasa berdiri mengikuti lang kah kaki

Deka menuju sebuah batu nisan bertuliskan nama Mirza Haskailah.

Nisannya yang tertimpa cahaya senja terlihat bercahaya. Aku seperti melihat sosoknya tersenyum melihat ke da tanganku dan Deka. Oh Tuhan… Tanganku menengadah mengiringi doa yang dipanjatkan Deka. Air mata mulai mengalir membasahi pipi.

“Mirza, sekarang, aku sedang bersama orang yang me- nyayangimu. Orang yang merasa bersalah atas kejadian satu tahun yang lalu. Orang yang selalu mencegahmu sebelum semua itu terjadi. Dan orang yang mencintaiku…”

“Dek.. Deka.,” kataku terisak memecah keheningan. “Ya?” jawabnya setelah memandangi nisan Mirza. “Ayo, kita pulang,” Kataku terbata.

Deka tersenyum.

***

Motornya terhenti si sebuah taman kota. Aku mengikuti dibelakangnya. Duduk di kursi ukir di tengah taman sambil memandangi anak-anak kecil yang berlarian bermain air mancur.

“Mari menikmati senja,” katanya memulai percakapan. “Aku suka senja.”

“Aku tahu, senja selalu menjadi lukisan didepan matamu.” Aku tersipu.

“Jadi, apa jawabanmu?”

“Jawaban apa?” aku menoleh, melihat siluet wajahnya. Dia beganti menoleh.

“Aku sudah bisa membuka hati. Untukmu.” Dia menoleh. Tersenyum dan tertawa riang.

“Aku berjanji pada diriku, padamu, dan pada Mirza. Bahwa aku akan menjaga orang yang Mirza cintai.”

“Sekarang, kan kau yang mencintaiku,” aku mencubit pingganggnya.

“Hei, jangan.”

Dia menghindar. Aku mengejarnya.

“Di bawah sinar senja hari ini, kamu terlihat cantik sekali,” katanya sambil berteriak yang membuat anak-anak kecil berlarian menoleh.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 90-99)