• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soia Aulia Zakiyatun Nisa

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 40-48)

Kunang-kunang memamerkan kilau tubuhnya. Sayap mungilnya membawa kunang-kunang menuju daun-daun hijau di belakang rumah bewarna putih. Rumah itu asri dengan tatanan rerumputan hijau yang tingginya sekitar satu meter. Pagar besi mengkilat dan hitam membuat kesan megah rumah di Solo itu. Saat masuk ke gerbang, pohon cemara dan mangga berjejer rapi membentuk setengah lingkaran. Pintu bewarna emas memiliki gagang pintu bewarna hitam, didampingi dua jendela berkaca besar. Ruangan rumah itu jauh dari kata modern, namun tata ruangnya sangat elok dan bergaya kerajaan. Di suatu sudut ruang ada sebuah kendi besar indah berkilau, namun tidak ada yang tau asal-usul kendi bertinggi dua meter dan berdiameter tiga puluh centi itu. Konon kendi itu ada sejak ribuan tahun lalu, dan kendi itu menambah kesan tradisional rumah besar, di tengah sungai itu.

“Ndhuk, ayo bangun!Shalat subuh dulu, ya. Habis itu bantu Ibu di dapur. Ingat jangan tidur lagi, nanti rejekimu dipathok ayam,” kata Ibu paruh baya berambut hitam sedikit putih.

“Njih, Bu.”

Gadis berambut panjang lurus, melipat selimut merah bergambar panda. Kaki panjang berkulit putih menuntun gadis itu menuju mushola rumah. Udara pagi yang mencoba merayunya, meski badan kurusnya mulai bergetar, ia tetap melangkah. Keheningan menemani gadis bernama Elma tersebut, butiran-butiran sungai mengalir dari mata hitamnya. Ia ungkapakan semua keinginan dan pengganjal hatinya pada Sang Ilahi. Setelah melipat mukena putihnya, ia melewati lorong-lorong rumahnya menuju dapur.

Dapur berukuran tiga meter itu nampak indah dengan ukiran- ukiran kayu disetiap dindingnya. Disampingnya terdapat meja bundar dari kayu lengkap dengan empat kursinya.

“Bu, masak apa hari ini? Elma pingin opor ayam, nih,” rayu Elma yang berhidung mancung.

“Nanti Ayah pulang, jadi kita masak nasi kuning kesukaan ayah saja, ya. Nanti siang Ibu masakin opor, deh,” jawab Ibu beralis tipis itu.

“Ayah nanti pulang, Bu? Wah asik. Bisa mancing lagi, nih,” Elma tersenyum, lesung pipit yang menghias pipinya membuat manis wajahnya.

“Kamu ini, Ndhuk. Ndhuk, letakkan sayur-sayur ini di meja makan, ya!”

Ibu Elma membersihkan dapur, lalu mencuci tangan berkulit putihnya berubah menjadi hitam karena wajan tuanya.

“Bu, sudah siap. Mana ayah? kok lama banget,” Elma memajukan bibir tipisnya dua senti.

“Ndhuk, Ayahmu kan selalu pesan sama kamu. Jadi orang itu yang sabar, biar hatinya bersih dan tenang. Sebentar lagi juga datang,” Bu Eka membelai lembut rambut anaknya.

“Tok, tok, tok.”

Elma segera mempercepat langkahnya menuju pintu.

“Assalamualaikum Putriku,” sosok tegap dan tinggi menyapa Elma.

“Waalaikum salam, Ayah.”

Elma semringah. Di rumah besarnya itu Elma hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya memiliki jabatan tinggi di Jakarta, hanya hitungan hari dalam sebulan Elma bisa melihat ayahnya. Sementara itu, ayah dan ibunya selalu mengatakan bahwa Elma anak tunggal.

“Yah, gimana kabarnya?” Bu Eki menghampiri suaminya seraya mencium tangannya.

“Baik, Bu, buktinya bisa sampai sini,” Pak Eki tersenyum. Ruangan makan yang biasanya hening menjadi ramai dengan canda tawa keluarga kecil itu. Kucing putih berbulu tebal dihiasi dua mata yang bening, tiba-tiba menghampiri ruang makan. Dengan sayang, Elma segera mengambilkannya ikan teri yang mungil. Kucing itu mengangguk-angguk senang, dengan jarinya yang lembut Elma mengusap bulu kucing yang lembut. Kucing itu sudah lama tinggal dirumah Elma. Namun kucing itu berbeda dengan kucing lainnya. Kucing bermata sipit itu selalu menemani keluarga Elma saat makan,

saat sholat, saat berkumpul bersama, dan semua hal yang dilaku- kan keluarga Elma. Kucing itu selalu tidur pada siang hari diruang keluarga, namun pada malam hari tiba-tiba tak terlihat batang hidungnya. Keluarga Elma selalu menganggap kucing itu seperti keluarga, dan menyayanginya.

“Ibu, aku mau pindah rumah saja. Disini aku nggak punya temen, nggak ada yang cocok sama aku. Masak sudah dua tahun disini aku hanya mengurung diri di rumah. Hanya berteman tiang-tiang kayu rumah ini. Aku kan bosan, kenapa sih dulu Ayah milih rumah ini?, aku pokoknya mau pindah rumah,” Elma membuat siang yang terik menjadi semakin panas.

“Ndhuk, sini duduk dulu. Jangan emosi dulu, ya, mari bicarakan baik-baik, Ndhuk. Hadapi semua masalah dengan kepala dingin,” Ibu Eka mencoba mendinginkan hati anaknya yang sedang terbakar, matanya yang sipit itu mulai berkaca-kaca.

Rumahnya yang rindang, seolah-olah gersang. Otaknya berputar keras untuk merangkai kata-kata yang pas dan tidak menyakiti hati anaknya yang sedang membara.

“Begini, Ndhuk,” Bu Elma tidak meneruskan kata-katanya setelah melihat pintu rumahnya terbuka.

“Ada apa ini, kok pada tegang gini,” Ayah Elma yang menggaruk- ngaruk kepalanya yang penuh dengan rambut bergelombang.

Sebagai kepala keluarga yang bijak, Pak Eki berusaha tenang. “Begini, Ndhuk,” Ibu Elma berusaha meneruskan kata-katanya. “Ayah penasaran ni, ada apa sebenarnya?” Ayah Elma menyela. “Ayah kalau penasaran jangan menyela, dong,“ Ibu Elma mulai kesal.

Seisi rumah kembali hening, sementara Elma terus tertuduk dan ketakutan. Dalam hatinya sebenarnya merasa takut akan marah orang tuanya, namun disisi lain Elma juga takut jika perasaannya yang selama ini tersimpan akan meledak hebat pada suatu hari.

“Begini Ndhuk,“ wanita berhati sabar yang telah melahirkan Elma dan membesarkannya memulai pembicaraan lagi.

Namun suami yang menikahinya tujuh belas tahun lalu kembali menyela.

“Bu, jangan lama-lama bicaranya, ya. Ayah mau ke kamar mandi, nih. Sudah dua jam lalu nahan,” Ayah Elma tak meneruskan kata- katanya saat istrinya pergi ke dapur dan melirik tajam menandakan kemarahannya.

Elma tak berkata sepatah pun. Ia menatap lantai rumahnya yang terbuat dari kayu bergaris-garis. Dalam diam ia menghitung jumlah garis lantainya untuk menglabuhi tatapan ayahnya. Dalam hatinya yang keruh itu semakin bingung karena ditemuinya lantai yang selama ini diinjaknya bergaris sesuai tanggal lahir anggota keluarga besarnya secara berurutan dari kakek neneknya yang beriringan. Apalagi ada suatu lantai dengan garis yang sama dan berjejer. Ternyata garis pada lantai itu sesuai dengan tanggal lahirnya. Ia semakin penasaran, seolah ia lupa akan kepedihan hatinya.

“Minum dulu, ya Ndhuk,” Ibu Elma yang tiba-tiba muncul memecahkan penasaran anaknya.

“Ayah jangan menyela lagi, ya. Begini Ndhuk jujur Ibu juga bingung, mau menjawab apa. Namun ketahuilah bahwa sebelum nenekmu meninggal tiga tahun lalu, beliau telah meminta ayah dan ibu merawat rumah tua ini. Lalu ayah dan ibu hanya bisa menuruti kemauan beliau dan pindah dari Jakarta kesini. Jangan kau kira kami sebagai orang tuamu juga tidak melakukan sesuatu tanpa berpikir. Ayah saja sampai rela hanya pulang sebulan sekali dan menyelesaikan tugas politiknya di Jakarta, bolak-balik Jakarta Solo dengan ikhlas hanya untuk mematuhi amanat nenek. Kita hidup bukan untuk bersenang- senang, Ndhuk. Hidup bermasyarakat bukan untuk membesarkan ego kita, dan memaksa mereka menerima ego kita tersebut, namun kita yang harus bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Cobalah memahami orang lain, Ndhuk, bukan menuntut untuk dipahami terus. Percayalah, suatu hari nanti kamu akan merasakan betapa nyamannya rumah ini dan lingkungannya. Semua butuh proses, Ndhuk,” Ibu Elma berkata panjang lebar.

“Oh itu, to masalahnya, Ndhuk. Benar kata Ibumu itu. Kita di sini juga menjalankan amanat keluarga dari nenek. Kamu jangan khawatir dengan hal-hal yang masih ada dalam bayanganmu. Tapi cobalah menghilangkan bayangan itu dan menjalani dulu. Itu bisikan setan, Ndhuk. Kalahkan itu. Kamu anak yang ceria dan kuat, kok. Ayah

pecaya putri ayah ini bisa menjalani proses hidup dengan baik. Ya ini, Ndhuk namanya hidup, apa yang kita inginkan tidak selamanya bisa terkabulkan, tidak seperti di surga. Namun pasti ada hal terbaik untuk kita, dan keikhlasan kita menerima ketetapan Allah akan membawa kita menuju surga kelak,” Ayah Elma menjernihkan suasana.

“Tapi rumah ini aneh, Yah. Pagi sampai sore rumah ini ramai dengan suara hewan-hewan, tapi malam hari selau sepi. Kan serem, apalagi kucing putih itu juga menghilang pada malam hari. Dan banyak lagi keanehan rumah ini,” Elma berusaha membela diri.

“Hindari pikiran negatif, Ndhuk. Itu akan menghancurkan dirimu sendiri. Cobalah menerima semua ini dengan ikhlas dan qonaah,” Ibu Elma menasehati anaknya dan memandang suaminya dalam-dalam menandakan rasa permintaan maafnya karena telah bersikap tidak baik kepada suami yang telah setia kepadanya.

Elma tidak menjawab, ia segera mendekati orangtuanya dan memeluk erat. Hatinya yang beku mulai mencair, ia mulai berjanji pada dirinya sendirinya untuk selalu ikhlas menerima semua jalan yang membentang panjang pada kehidupannya.

Embun pagi menuruni daun-daun hijau di rumah Elma, butiran- butiran air berkejaran untuk saling mendahului, karena bola raksasa diangkasa bewarna kuning cerah yang bercahaya mulai menghiasi awan-awan putih. Perlahan, embun-embun yang menghiasi daun- daun mulai menghilang. Daun-daun mulai dihinggapi hewan-hewan mungil yang bersayap warna-warni. Burung-burung mulai bernyanyi menyambut hari yang cerah. Elma meninggalkan pemandangan indah itu dan masuk kedalam rumah.

Matanya yang tadi memandang indah alam sekitar, kini mulai berpaling pada hewan berbulu yang tiba-tiba didepannya. Kucing putih itu menggoyang-ngoyangkan ekornya yang panjang dengan manja. Sepertinya kucing itu mengajak Elma bermain. Dengan sigap Elma menggendong kucing yang dinamainya Elmi itu. Sementara Ayah dan Ibu Elma sedang sibuk dengan pekerjaan massing-masing. Ayah Elma membawa ember merah muda kesayangannya dan mengambil sabun cuci untuk mobil sedan hitamnya, lalu memandikan mobil yang berplat B tersebut. Ibu Elma sibuk menari-narikan jari-jarinya di sebuah gagang pisau. Alat-alat dapur yang biasanya tertata rapi di

rak meja gantung di dapurnya menjadi berantakan. Kali ini ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghasikan hidangan terbaik untuk keluarganya. Setelah beberapa saat keluarga kecil itu mulai menyantap makanan yang dibuat Ibu Elma dengan lahap.

“Ndhuk, Ayah dan Ibu mau pergi ada urusan. Ibu mau arisan, ayah mau rapat RT. Jadi kamu nggak masalah kan kalau dirumah sendiri. Arisan dan rapat RT-nya dimajukan, karena nanti ada acara rapat warga, kan Ndhuk. Ya wajar, lah Ndhuk, di Jawa memang persatuannya kuat, kamu harus mulai bisa membiasakan, ya,” Ibu Elma bersemangat dan memamerkan gigi gingsulnya. Ayah Elma tak melanjutkan kata-kata istrinya seperti biasanya, hati, jiwa dan

ikirannya masih terfokus pada piring merah muda di depannya.

Elma hanya mengangguk setuju.

Jam bulat klasik bewarna coklat yang menghias tangan mungil Elma menunjukkan pukul 09:00. Elma mondar-mandir di ruangan rumahnya bingung, ia tidak tahu akan melakukan apa dirumah

sebesar itu. Hari minggu acara TV dipenuhi dengan ilm kartun,

sementara Elma tidak menyukainya, ia lebih suka melihat serial drama yang berbau mistis dan horor, meski ia sering ngompol karena ketakutan. Elma mulai berkeliling kepada seisi rumah tanpa berhenti. Langkahnya mulai terhenti setelah dihadapannya ia melihat kendi besar yang selama ini tersimpan dirumahnya. Rasa penasarannya begitu hebat, ia memutuskan untuk mendekat dan menyentuhnya. Anehnya pada dinding-dinding kendi yang halus itu ada bulu-bulu kucing. Ia mulai memutar memori otaknya, beberapa detik kemudian ia teringat bila bulu itu milik Elmi kucingnya. Ia berlarian menyusuri ruangan-ruangan rumahnya, dan berharap menemukan sosok Elmi. Harapannya pupus setelah orangtuanya pulang dan mengajaknya pergi ke taman belakang untuk bersantai.

Elma terdiam karena tersimpan beribu tanya dalam benaknya. Tatapannya jauh kedepan, dan tidak menatap ayah ibunya sama sekali. “Ndhuk, ada apa lagi kamu?” Ayah Elma menatap Elma heran. “Ndhuk, sampaikan saja pada kami. Kamu tidak bisa ber bohong, kamu nampaknya sedang bingung begitu,” Ibu Elma ikut nimbrung.

“Aku mulai bingung dengan rumah ini lagi, Bu. Tadi aku melihat kendi besar putih disudut rumah itu ada bulu Elmi. Tapi aku lihat

dalamnya tidak ada apa-apanya. Kalu Elmi masuk ke kendi itu kan tidak mungkin, itu terlalu tinggi. Terus aku cari-cari Elmi, dia biasanya kan masih ada di ruang keluarga,” Elma penasaran.

Ayah dan Ibu tidak menjawab dan hanya menunduk, sepasang mata mereka yang sipit dan indah itu seperti tertutup saat menatap Elma.

“Ayah, Ibu pasti tahu sesuatu, kan. Ayah ibu pasti menyembunyi- kan sesuatu, kan. Ayolah katakan padaku aku kan sudah mulai dewasa, aku sudah SMA, Bu, sampai kapan Ayah Ibu merahasiakannya dariku,” Elma mengeluarkan kata-kata yang bernada tinggi.

Namun orangtuanya tetap tidak menjawab. Burung-burung gereja yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka ikut terdiam. Angin besar tiba-tiba menerpa taman belakang yang hijau itu.

“Sudah saatnya kamu mengetahui yang sebenarnya, Ndhuk. Semoga kamu dapat mendengarnya denagn lapang hati,”Ayah Elma membunuh keheningan yang mencekam beberapa saat yang lalu.

Jantung elma berdetak semakin cepat, ia tidak membayangkan kebenaran apa yang sebenarnya selama bertahun-tahun. Ia menunggu- nunggu kata demi kata dari ayahnya.

“Keluarga kita memiliki cerita yang turun temurun. Konon kendi yang membuatmu penasaran itu adalah jelmaan nenek moyang kita yang dulu pernah tinggal dirumah ini. Katanya nenek moyang itu pernah kedatangan tamu yang mengatakan bahwa anak cucunya kelak tidak boleh ada satupun yang kembar. Namun nenek moyang kita membantah karena tidak mungkin keturunan kembar dihindari dari keluarga besar kita, saat itu nanek moyang kita juga belum mengerti mengapa keterunan kita tidak boleh kembar. Ternyata itu terjadi karena sebuah kepercayaan yang kita juga tidak mengerti namun telah mendarah daging selama bertahun-tahun. Lalu nenek moyang kita dikutuk menjadi kendi. Itulah sebabnya kendi itu bersinar- bersinar saat kita pandang. Dari kejadian itu tidak ada sanak saudara kita yang berani menempati rumah ini, dan nenekmu memutuskan agar kita tinggal dirumah ini, dengan harapan kita bisa menemani nenek moyang kita itu. Mungkin akal kita tidak akan sampai untuk memikirkan hal ini, tapi ini adalah sebuah kebenaran nak,” Ayah Elma lalu berhenti bicara.

“Dan kucing putih dirumah kita adalah saudara kembarmu, ia terkena kutukan pula. Ia akan kembali pada kendi itu setelah malam tiba. Kami tidak bisa menolak takdir, Nak. Itulah yang harus kita terima. Sementara jika kau hitung jumlah garis pada lantai rumah, kau akan menemukan tanggal lahir yang berurutan pada silsilah keluarga kita, jika kau temukan lantai yang berjumlah garis yang sama dan berjejer, maka itu bertanda ada keturunan kembar dari keluarga kita. Dan perlu kau ingat bahwa semua keturunan kita yang kembar akan dikutuk oleh nenek moyang kita sendiri, agar nantinya tidak ada lagi kendi besar berkilau dirumah ini. Kau mengerti, kan Ndhuk apa yang kami maksud. Tolong kau terima ini dengan hati yang tenang dan ikhlas, semua ini akan ada hikmahnya pada suatu hari nanti,” Ibu Elma memeluk putrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.

Elma tidak bisa berpikir mengapa ada masalah seperti ini pada keluarganya. Seolah percaya dan tidak percaya. Tangis kesedihan mengusik keluarga Pak Eki, ayah Elma. Keluarga kecil itu hanya bisa berharap jika semua yang terjadi pada keluarga besarnya akan memiliki arti tersendiri kelak.

“Pyar,” tiba-tiba suara menggelegar terdengar dari taman bela- kang.

Pak Eki dan keluarga kecilnya segera berlari dan mencari sumber suara. Ternyata mereka menemukan kendi yang menjadi misteri silsilah keluarganya pecah dan hancur berantakan.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 40-48)