• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yosef Astono Widh

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 131-137)

“Aku sudah tidak percaya pada Tuhan. Ini semua tidak adil...!” teriak Hanjar dengan lantang.

***

BRUAKK! Bos itu memukul mejanya dengan keras.

“Sedikit lagi kutegaskan Hanjar. Di zaman krisis moneter seperti ini, kita haruslah bersikap bijak dalam pengeluaran anggaran. Dan untuk itulah, aku harus selektif dalam memilih karyawan” Bos berkata penuh makna.

“Tapi mengapa saya Pak? Apa kekurangansaya?” kata Hanjar nanar.

“Ya, Hanjar. Saya tahu kau adalah pekerja yang rajin, baik dalam bertutur juga laku. Kau juga ulet dan beretos kerja tinggi. Tapi kau juga harus tahu, di atas langit masih ada langit. Dan kau tidak termasuk langit ke dua, tiga, empat apalagi ke-tujuh!” Bos berseringai geram.

“Pak, saya memiliki keluarga yang harus saya nafkahi. Satu kesempatan saja, Bos. Sa-sa-saya mohon belas kasihan Bapak….” Hanjar berkata terbata-bata dan mengharapkan belas kasihan dari Bos-nya itu.

“Kau pikir saya juga tidak memiliki keluarga? Kau pikir saya sudah kaya? Kau pikir ini perusahaan besar dengan keuntungan gigantic? Ini cuma perusahaan kecil Hanjar...” jelas Bos sedingin es.

“Lagipula, saya sudah memiliki penggantimu. Dan tentu lebih menjamin proit bagi perusahaan ini, dibanding kamu, Hanjar. Kau tahu siapa?” tanya Bos yang lebih seperti menghina Hanjar.

“Hahaha, ia adalah Danu!” tata Bos tersenyum licik.

“Hah? Danu? Si anak saudagar kapal yang hanya lulusan SMP itu? Apa Anda yakin, Bos?”

“Yah, memang kau lebih baik dibanding ia dari beberapa sisi. Ia tidak mahir sepertimu, otaknya pun tidak se-brilian otakmu, Hanjar. Tapi di zaman krisis seperti ini, kita lebih membutuhkan orang bodoh seperti dia untuk kita manfaatkan. Ya, ini tentang uang Hanjar. UANG! Bahkan gajimu satu tahun tidak akan menyamai uang suap dari ayah Danu. Hahaha” lagi Bos menyeringai licik.

“Apa? Jadi ayah Danu membayarmu untuk mempekerjakan anaknya? Ini sungguh gila!”

“Jika kegilaan dapat membawa keuntungan, why not?” “Tapi ini tidak adil, Bos!”

“Apa kau tinggal di bawah batu, Hanjar? Ini kompetisi hidup! Semua adil dalam cinta dan perang. Ini perang mempertahankan pekerjaan dan harga diri. Sudahlah, cepat keluar dan ambil semuanya!” Bos memberikan dua buah surat berisikan surat-surat dan sejumlah pesangon.

“Bos, saya akan bekerja lebih giat lagi. Saya akan membuktikan bahwa saya jauh lebih berharga daripada uang suapan si penjilat itu. Demi Tuhan!”

“PUAH! Naif kau Hanjar! Apa kau masih mempercayai-Nya? Percaya bahwa Tuhan akan memberikan keadilan bagi hidupmu ini? HAH? Hidup ini keji, Hanjar. Bahkan, Tuhan tak akan mampu

sebijaksana itu dalam mengatasi semua konlik di dunia ini. Jikalau

keadilan ada di tangan Tuhan, tentu perusahaan ini akan menjadi perusahaan super! Gedung pencakar langit dengan hiasan keramik di sudut-sudutnya, bukan dengan bangunan tua dan sarang laba-laba di mana-mana! Keadilan itu tidak ada!”

JDAR...! Bagai petir menyambar tubuhnya. Hanjar terenyak. Ia hanya bisa terpaku diam merenungi kata-kata bos-nya itu.

“Ta-ta-tapi Bos..”

“Ah sudahlah cepat keluar! Saya sudah muak mendengar ocehanmu ini! Saya minta maaf, Hanjar. Memang beginilah kenyataan hidup.”

Hanjar keluar dengan perasaan kesal bercampur murka. Ia tak habis pikir bahwa Bos-nya lebih memilih Danu daripada dirinya. Untuk menenangkan diri, ia memacu motor lawas-nya menuju warung

kopi langganannya. Keadilan itu tidak ada! Kalimat tersebut selalu terngiang di pikiran Hanjar.

“Loh ndingaren to Mas. Biasanya masih ngantor?” tanya Bi Inah seraya memberikan kopi pesanan Hanjar.

“Bi..., Bi Inah percaya tidak sama Tuhan?”

“Weh, lha gimana to Mas, ya percaya no!. Kalau ndak ada Tuhan, Mas Hanjar ya ndak bisa ngopi di sini to ya!” ujar Bi Inah kental dengan logat Jawanya.

“Lalu, apa Bi Inah percaya dengan keadilan? Maksud saya, apa Bi Inah menganggap hidup Bi Inah itu adil?”

“Hemmm, ya kadang-kadang aku juga ndak sreg sama pekerjaanku, Mas. Iri lho liat orang-orang ke mana-mana pakai sepeda motor, wong sini aja masih ngonthel!” cercah Bi Inah dengan nada agak kesal.

Bi Inah ini asli Gunung Kidul yang mencoba peruntungannya dengan bekerja di kota metropolitan Jakarta. Ia ditinggal kawin lagi oleh suaminya dan memilih membuka warung kopi kecil-kecilan untuk menafkahi kedua anaknya.

“Saya habis dikeluarkan dari tempat kerja saya, Bi.” “Hah, mosok to, Mas?”

“Iya, Bi. Bos sialan itu lebih memilih suapan uang si Danu dungu, anak saudagar kaya itu, ketimbang saya. Ini tidak adil, Bi.”

Terlihat kesedihan di raut wajah Hanjar. Ia sangat kesal terhadap bosnya. Kesal terhadap Danu. Kesal terhadap Tuhan. Bi Inah hanya diam melihat pelanggan setianya itu, ia juga merasakan bagaimana pahitnya hidup ini.

“Lagian Bi, pekerjaan Ndari juga sedang susah! Pelanggan kateringnya sudah tidak memesan lagi, alasannya kemahalan. Huaaah dipikir harga bahan bakar ga pengaruh sama harga bahan-bahan sembako apa ya! Tuhan aja tidak adil, gimana pemerintah mau adil!” Hanjar mencercah penuh kesal.

Astaghirullah! Ya ndak gitu juga to Mas!”

Hanjar hanya bisa kembali menyeruput sisa kopinya.

“Mas, si Ndari tadi bilang ada niat mau kerja jadi TKW, bener to, Mas?” Bi Inah berusaha mencairkan suasana.

“Emang iya ya, Bi? Kok aku malah ngga tahu ya?” “Tadi sempet ngobrol di pasar, Mas. Cuma bentar tapi…”

“Ah sudah sore, aku harus buru-buru pulang, Bi. Kasian Ndari, di rumah sendiri.” ucap Hanjar memotong perkataan Bi Inah. Setelah membayar kopi yang dibelinya, Hanjar kembali memacu motornya menuju rumah. Semoga Ndari bisa menenangkan, pikir Hanjar.

***

“Ayo dong, kita narik lagi! Masak cuma satu kali putaran.” ujar Hanjar mengajak Handi dan Banar balapan lagi.

“Aku sih mau-mau aja. Tapi jangan harap bisa kabur ya kalau kau kalah!” balas Handi.

“Tenang Handi, aku tidak akan kalah atau kabur. Aku sudah menang banyak hari ini.”

“Cih, baru menang hari ini aja belagu. Ingat, kau berhutang banyak pada kami berdua.”

“Hahaha..., kita besarin saja taruhannya. Jikalau aku kalah, maka impas!” tantang Hanjar.

“Kau pikir kami takut padamu?” Handi menjawab tantangan Hanjar.

“Sudahlah, tak usah banyak cakap. Kita tarik sajalah!” Banar berusaha mengakhiri pertentangan kedua temannya itu.

***

“Masih berani kamu membela Tuhan-mu itu? Masih berani kamu memuja Tuhan tanpa keadilan itu?” Hanjar mendorong Ndari, istrinya, hingga jatuh.

“Astaga, nyebut Mas, nyebut!”

“Hahaha..., Ndari, Ndari. Kau itu munaik! Apa kau pernah

merasakan keadilan? APA PERNAH? Kita selalu hidup dalam keterbatasan. 48 tahun aku mengabdi pada-Nya, baru kali ini aku sadar. Aku sudah dibodohi-Nya.” Terlihat depresi merasuki tubuh Hanjar.

“Mas, kita kan tahu, hidup ini seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Apa kamu belum sadar, Mas?”

“Cih, kamu itu banyak omong ya.” Hanjar hendak menampar istrinya. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia mengambil kunci motornya dan berjalan menuju pintu.

“Aku mau membuat hidup kita berada di atas. Aku bosan berada di bawah.”

“Jangan bilang mau balapan liar lagi.” Hanjar tetap melaju tanpa menghiraukannya dan men-start motornya.

“MAS!” Ndari berteriak mencoba menghentikan niat buruk suaminya itu.

Tetapi suaranya tertelan gelapnya malam dan bisingnya suara motor. Sadarkanlah ia, ya Tuhan, ucap Ndari dalam hati. Ndari lalu mengemas barangnya. Tekadnya sudah bulat. Sampai nanti, Mas.

***

“Hahaha, kapan-kapan main lagi ya” tawa Hanjar senang. “Kau itu hanya beruntung kali ini.” ucap Handi.

“Bah, terserah katamu! Yang penting utangku berkurang. Hahaha, Ndari aku bawa duit!”

Tiba-tiba semua orang yang ada di kawasan balap liar tersebut berlari panik. Semua memacu motornya meninggalkan tempat itu.

“POLISI, ada polisi!” teriak seseorang.

“Hah, polisi? Ada polisi, kabur, kabur!” Ujar yang lain.

Hanjar hanya bisa terpaku. Karena kepanikannya, ia segera mengambil motor dan menariknya dengan kecepatan penuh tanpa peduli pada uang yang baru saja ia dapatkan tadi. Sampai di tempat yang sekiranya aman, ia berhenti.

“Bangsat! Uangnya tertinggal!” Hanjar memukul motornya dengan kesal. Ia pun menaiki motornya menuju rumahnya. Tiga bulan sudah ia tidak pulang ke rumah. Ia rindu pada Ndari. Ia rindu pada masakan orang yang paling ia cintainya itu.

“Ndari, buka pintunya! Ndari, Ndar?” Tidak ada balasan dari dalam. Rumahnya terlihat sangat kotor seperti sudah ditinggal lama tanpa penghuni. Hanjar mencoba mencari kunci yang biasanya di sembunyikan di lubang ventilasi pintu. Huh, untung saja kunci itu ada di sana.

***

Di sore yang temaram itu Hanjar hanya bisa duduk menikmati secangkir teh manisnya. Sudah dua minggu semenjak ia kembali ke rumah dan selalu mengharapkan kehadiran belahan hatinya pulang. Ia masih tidak mengetahui ke mana Ndari pergi. Hanjar mengambil

koran hari ini dan membaca headline-nya. Seorang WNI dihukum pancung karena membunuh majikannya di Arab. Hanjar mendengus pelan, mungkin ini yang namanya keadilan. Meski ia sangat membenci hukuman mati terhadap seseorang, tapi ia pikir ini adalah hukuman yang pantas, meski itu WNI sekali pun. Kembali ia menyeruput tehnya yang sudah mulai dingin. Ia kembali teringat pada Ndari. Hanjar mulai menyesal atas tindakan bodohnya meninggalkan rumah tiga bulan lalu. Andai Hanjar tidak pergi. Andai Hanjar tidak dipecat. Andai Hanjar percaya apa itu keadilan, ia tidak akan bekerja serabutan seperti sekarang. Ia tidak akan kehilangan istrinya.

Beberapa hari setelah berita hukuman mati WNI itu, Hanjar mendapat sebuah kiriman surat. Melihat tanda cap bertuliskan Arab, Hanjar segera membuka surat tersebut.

Mas, mungkin Mas sudah tau berita tersebut. Kulakukan semua ini untuk membuktikan akan adanya keadilan bagi Mas. Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah melihatmu dari atas sana. Kutunggu kau di sini, Mas. Semoga kau sadar.

Ndari

PRANG! Cangkir yang dipegang Hanjar jatuh. Karena kebodoh- annya, karena ketidakpercayaannya terhadap keadilan istrinya meninggal. Mungkin hidup ini sangat keji bagi Hanjar, juga semua orang yang menganggap bahwa keadilan itu tidak ada. Keadilan itu hanya bersifat semu bagi mereka.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 131-137)