• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUJAN SAYAP MALAIKAT

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 137-142)

Adhi Bayu Perkasa

Sore ini seperti pada biasa, hampir tidak istimewa. Abah duduk di samping jendela yang terbuka. Ia tatap lembut hujan yang begitu semangat merajam bumi, dari ketinggian langit yang tak tertembus pandangan, samnil dihirupnya dalam-dalam seba tang sigaret. Ibu masih belum pulang, dan semoga masih nanti.

Dan aku, setia menunggu datangnya keajaiban. Menunggu ribuan malaikat kecil, yang nanti akan mengajakku bermain-main. Lalu memberkahiku sayap-sayapnya yang seakan meremehkan rumah tua kami.

Sebenarnya aku sudah berusia remaja menuju dewasa. Na mun

sepertinya Tuhan member isikku sedikit guncangan. Mungkin itu

suatu kelebihan. Aku masih menjadi anak-anak. Mung kin akan semakin kekanak-kanakan pula.

Belum selesai aku membayangkan diri, para malaikat sudah datang mendahului. Entah darimana mereka bermunculan. Ter bang mengelilingi lampu atau apapun yang bercahaya. Menggeliat diantara dinding rumah, dan beberapa berakhir di rahang cicak.

“Kau senang mereka datang?” tanya abah kepadaku. Abah masih menghirup dalam-dalam sebatang sigaretnya. Lalu menghempaskan nafasnya yang berasap pekat sambil dilarutkan dalam secangkir kopi hangat.

Senang rasanya melihat mereka beterbangan kesana-kemari. Aku menari-nari dibawahnya. Menangkapi mereka satu persatu, lalu melepaskannya lagi. Hanya para malaikat inilah yang mengajariku untuk bisa hidup dengan penuh tertawa. Hidupku menjadi lebih ringan rasa rasanya.

Para malaikat semakin banyak berhamburan mengisi rumah. Mereka berdatangan tanpa permisi. Lalu sebuah kenop pintu terputar,

ibu datang pula bersama para malaikat. Dengan muka lesu dan kesal. Menatap abah sambil menambah kerutan diwajah.

Aku terpaku melihat ibu datang. Abah masih begitu santai me- nikmati sigaret dan kopinya. Para malaikat terus berdengung sambil mengitari lampu rumah. Dan muka ibu semakin penuh dengan kerutan menatap para malaikat. Kuharap ibu tidak melenyapkan mereka lagi dari rumah, tapi semua sudah terlambat. Ibu mengusir para malaikat keluar dari rumah.

Tak kubayangkan betapa teganya ibu membuang keba hagiaanku. Membuang ratusan malaikat tak berdosa. Mem biarkanku melata dalam bayang rumah, sendirian tanpa teman yang nyata kecuali abah yang selalu sibuk bersama asap-asapnya.

“Sudah puas bermain laron? Sudah puas menambah beban ibu? Mengotori lantai dan menggemukan cicak. Kau pikir siapa yang nanti akan membersihkannya? Ibu lagi!” tiba-tiba ibu meledak. Apakah itu kutukan karena telah mengusir malaikat?

***

Pagi lagi, aku terbangun untuk membuka hari. Beberapa sisa sayap malaikat masih berserakan. Lalu kulihat abah sudah siaga didekat jendela sambil mengagungkan asapnya. Kopi hangat juga terselip diantara lengan jendela.

“Sudah bangun Cok?” sebuah suara tiba-tiba menghampiriku. Ucok adalah panggilanku, sedang nama asliku sendiri aku tidak pernah tau.

“Kalau sudah bangun, segera ambil air wudhu dan sho lat subuh! Agar badan jadi segar…” ibu begitu berkilau di pagi hari. Nadanya sopan dan perangainya lembut selembut sutra raja. Namun begitu malam tiba, kurasa aku tidak ingin memba yangkannya.

Aku tidak berkata-kata. Karena memang sangat sulit berbicara pada saat baru terbangun. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Abah mengajariku cara beribadah yang baik sejak kecil.

Sebelum kujamah sajadah kecilku, kulihat ibu sudah siap pergi. Meninggalkan rumah ini lagi dan merubah dirinya menjadi orang lain di malam hari. Ibu melemparkan senyum kepadaku, dan masih

tertangkap oleh pandangan sebelum sholat kulaksanakan. Begitu manis dan terasa lembut.

***

Sore datang lagi, ditambah hujan yang dengan riang berlonjakan diatas genting. Dengan sepenuh hati kutunggu kedatangan rombongan malaikat. Beramai-ramai mengisi ruang rumah dengan kebahagiaan. Meski hanya sesaat.

Hujan sedikit reda, belum ada tanda-tanda munculnya para malaikat. Aku merasa sedikit lapar karena menunggu terlalu lama. Abah masih seperti biasa, meluangkan waktu untuk menikmati sigaret dan segelas kopi didekat jendela.

Kulihat asap yang mengepul diantara sigaret abah mulai menjadi- jadi, aku terbantuk menerima gumpalannya. Lalu dalam batuk-batuk kecil yang kuluapkan, terlihat sosok-sosok kecil mulai berdatangan. Itu para malaikat!

Betapa gembiranya hatiku melihat mereka datang dari berbagai penjuru. Seakan mampu menembus dinding, mereka memasuki rumah lewat berbagai celah yang ada. Aku mulai me ngejar salah satu malaikat kecil yang terbang menuju abah. Dan terjatuh disamping kursi samping penikmat setia sigaret itu.

Aku tidak merasakan sakit karena terlalu bahagia. Salah satu malaikat yang berhasil kutangkap menggelitiki pergelangan tanganku. Lalu kulihat sisanya mulai mengitari lampu penerang rumah.

“Kalau kamu suka bermain dengan mereka, coba ajak mereka mengobrol. Agar kau punya teman yang datang setiap sore saat redup dan bekas hujan,” tiba-tiba abah menepuk pundakku sambil mengarahkanku.

“Sekarang bah?” tanyaku dengan penuh kacau.

“Hahaha. Mau kapan lagi? Menunggu ibumu datang dan memarahimu lagi ?”

Abah menyalakan sigaret yang lain. Setidaknya aku me ngetahui nama pipa kecil yang selalu dibawa abah untuk bersantai. Aku tau nama itu saat ibu pulang dari kerja dahulu, ia mencaci-maki abah yang semakin tua semakin sakit. Semakin tua semakin nyaman di kursi kayunya.

Tidak perlu menunggu lama-lama. Kudekati rombongan malaikat yang sedang mengitari lampu dan mulai menanyakan hal-hal yang ingin kuketahui. Apalagi itu saran abah, biasanya saran abah itu baik.

“Hai malaikat kecil…” tanyaku pada salah satu dari mereka yang kehilangan sayap “mengapa kalian terus berputar diantara lampu yang silau itu?”

“Aku sedang mencari Ka’bah, begitu pula teman-temanku..” katanya perlahan sambil menggeliat diantara telapak tanganku.

“Mencari Ka’bah? Kata abah, tempat suci itu letaknya jauh dari sini. Bukan didalam lampu itu pak malaikat..”

“Sepengertianku, Ka’bah adalah tempat yang terang dan begitu hangat. Tempat yang memiliki cahaya mendamaikan. Maka dari itu kami selalu mencar Ka’bah dimana-mana. Meskipun kami kecil, tapi kami ingin memiliki hati sesuci samudra dengan mencari Ka’bah..”

Aku tidak mengerti apa maksud dari pak malaikat. Lalu ia meloncat dan pergi meinggalkanku mencari sayapnya. Aku kembali menari dan tertawa bahagia bersama para malaikat yang lain.

Tiba-tiba sebuah dentuman keras menggugurkanku. Itu suara pintu dibanting dengan keras. Suaranya membuatku takut akan kejadian buruk yang sering terjadi padaku. Ibu pulang dari kerjanya. Ibu yang lembut berubah menjadi monster saat pulang kerja.

“LAROOONN!!! BIKIN KOTOR RUMAH SAJA!!!” teriak ibu beberapa saat setelah masuk rumah. Lalu ia mulai menyapu dan mengusir seluruh malaikat keluar dari rumah.

“Aku bahagia menghabiskan hidupku untuk mencari Ka’bah, mencari jalan Allah. Aku tidak bisa sholat sebagai mahluk kecil begini, aku iri pada kalian umat manusia yang diberi bentuk paling sempurna. Karena aku tidak bisa sholat, maka aku ingin mendekati Allah dengan mencari cahaya ciptaan-Nya,” kata seorang malaikat yang ada di telapak tanganku. Tiba-tiba malaikat itu terbang menjauh.

Ibu masih marah-marah dengan keadaan rumah. Tiga detik kemudian, turunah sebuah hujan yang sangat indah. Sayap para malaikat berjatuhan dari atap. Pelan-pelan jatuh ke bumi sambil menangkapku dalam kekaguman.

Semakin terlihat garang dengan sapunya, ibu melenyapkan barisan mahluk tak berdaya di seberang. Hujan belum juga berhenti.

Para malaikat segera pulang ke rumah yang entah dimana. Abah masih menikmati sigaret terakhirnya hari ini. Lalu aku, tertunduk layu membayangkan bagaimana rupa Sang Pencipta yang mampu menciptakan keindahan seperti ini. Paling tidak, saat sebelum ibu berhasil melenyapkan semuanya.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 137-142)