• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Ikhwan Priyambodo

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 99-102)

“Kehilangan seseorang bagai jiwa yang terlepas dari raga kita” Namaku Alexander. Umurku pada waktu itu sepuluh tahun dan aku tinggal di Jakarta. Pada waktu itu aku masih sekolah duduk dibangku kelas lima sekolah dasar. Seperti orang lain, aku pun sangat mencintai Kakekku dan mengasihinya lebih dari apapun. Kakekku tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Aku bertemu Kakekku setahun sekali, tepatnya pada hari raya Idul Fitri.

Waktu itu Bibiku mau melakukan wisuda di Universitas Sebelas Maret di Solo, Jawa Tengah. Aku, Mamaku, dan Bibiku dari Jakarta langsung menuju ke Jogja untuk menginap dirumah Paman. Setelah semalam kami bermalam, paginya kami langsung menuju ke Solo menjemput bibiku di kost. Tak kusangka ternyata Kakekku sudah berada di sana.

“Alex, Kakek kangen dengan kamu. Tak terasa cucu yang Kakek sayangi sudah tambah besar dan tambah dewasa.”

“Begitu juga dengan aku, Kek. Aku sangat rindu, karena hanya satu tahun sekali aku dapat bertemu dengan Kakek,” ucapku sambil kupeluk erat Kakekku dengan rasa rindu.

Kakek adalah pensiunan tentara Angkatan Darat, Jadi, wajar kalau beliau masih menyisakan badan yang gagah dan tegak. Tidak terasa kami sekeluarga harus bergegas cepat menuju Universitas Sebelas Maret. Wisuda dilakukan di pagi hari di kampus Universitas Sebelas Maret. Kami sekeluarga menghadiri upacara wisuda. Kakek menggunakan stelan jas dan terlihat gagah sedangkan kami sekeluarga menggunakan baju batik. Bibiku yang diwisuda menggunakan kain kebaya. Suasana acara wisuda begitu khidmat. Setelah acara wisuda selesai diselingi dengan hiburan tarian daerah dan karawitan. Aku selalu berada disamping Kakekku. Disana juga ada sepupuku yang bernama Aisyah. Dia adalah anak Pamanku. Umurnya dua tahun lebih

muda dari aku. Tidak seperti biasanya aku bermain dengan Aisyah, aku lebih memilih bersama Kakekku. Entah mengapa aku merasa rindu sekali. Wajar bila aku sangat dimanja oleh Kakekku karna aku merupakan cucu laki-laki satu-satunya.

Matahari menyengat dengan panasnya kami sekeluarga langsung mencari hotel untuk bermalam. Pamanku bernama Hen dro sibuk mencarikan hotel untuk bermalam di Solo. Akhirnya setelah berkeliling mencari hotel, Pamanku memilih untuk menginap di Hotel Asia. Tak terasa sudah semalam aku dan ke luar ga bermalam di Hotel Asia. Aku pun harus kembali ke Jogja dan pulang ke Jakarta. Tak terasa di waktu yang singkat ini setidaknya aku bisa melepas rindu terhadap Kakek.

“Kek, Alex harus kembali ke Jakarta. Sebenarnya Alex masih ingin berlama-lama dengan Kakek karena Alex masih kangen dengan Kakek?”

“Kakek pun juga begitu. Tetapi kamu kan harus kembali masuk seklolah. Waktu liburan saja Alex kunjungi Kakek di Jawa Timur.”

Aku memeluk Kakek dengan erat, kemudian berpamitan dengan Kakek untuk pergi ke Jogja. Keretaku berangkat dari Stasiun Tugu. Kakekku pun kembali pulang ke Jawa Timur.

***

Setelah bermalam di Jogja aku mendapatkan kabar dari mama dengan wajah pucat mama berbicara kepadaku.

“Alex kita tidak jadi pulang hari ini,” kata Mama. “Memang ada apa, Ma?”

“Mama baru saja mendapatkan kabar dari saudara bahwa Kakek jatuh dan tak sadarkan diri.”

Aku langsung kaget dan tak bisa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terdiam dan berdoa memikirkan Kakekku agar beliau diberi kesembuhan. Air mataku pun jatuh tak terbendung lagi saat bertemu Kakek sudah tak sadarkan diri karena terkena serangan stroke. Keadaan Kakek jauh berbeda ketika beliau bertemu denganku kemarin.

“Maafkan Alex. Alex datang terlambat,” sambil kuusap tangan Kakekku,

Kakek terlihat lemas dan pucat. Saat paling menyakitkan dalam hidupku ini akhirnya datang juga. Aku hanya bisa terdiam

di sampingnya. Air mataku luruh memandanginya. Jemari berkulit keriput Kakek terasa beku dalam genggamanku. Tak tahu, berapa banyak doaku yang dapat menggapai langit. Tuhan beri aku waktu lebih lama bersama Kakek. Apa pintaku berlebihan?

“Kalau Kakek harus pergi Alex tidak boleh nangis.” suara Mama dibelakangku.

“Jangan nyerah, Ma. Kakek pasti tertolong,” harapku tanpa henti. “Kita sudah berusaha maksimal. Ikhlaskan kalau memang sudah waktunya. Tuhan sayang kepada Kakek.”

Kami pun terlarut dalam haru penantian yang tidak menentu. ***

Ketika matahari beranjak meninggi, ketika kami lengah diketenangan pagi itu, Kakek benar-benar pergi pergi mening- galkan kami yang masih menharapkan beliau sembuh. Hujan pun tiba-tiba turun dengan lebatnya, sangat lebat. Alam pun seakan ikut mengirimkan isyarat bela sungkawa. Kucium Kakekku yang sudah terbujur kaku. Di wajahnya sudah tidak tergurat sedih dan sakit. Guratan senyum di bibir Kakek seakan mengisyaratkan bah wa beliau tenang di alam sana dan berpesan supaya kami ti dak perlu sedih. Aku sangat masih mengagumi sosok Kakek. Aku tak sanggup beranjak. Suara-suara datang silih berganti, kupejamkan mataku dalam balutan serba hitam pertanda lara, aku ingin menemani arwah kakek terbang menjauh. Awan membawa kami membumbung tinggi. Mencari letak surga. Di kedudukan Maha Pekat, Tuhan menyayangi kami. Mengirimkan sakaratul maut untuk membungkam penyakit Kakek. Aku masih disamping kepala Kakek yang terbaring sambil ku bacakan doa untuk Kakek.

Aku tertatih menuju pemakaman Kakekku yang tidak jauh dari rumah. Ragaku bagai tak berpijak seluruh tarikan nafas ku penuhi doa untuk mengantar Kakek. Saat jasad Kakek diliang lahat betapa aku ingin menemaninya. Segenggam tanah merah kutabur pelan- pelan menutupi tubuh Kakekku. Berjongkok dan melihat dengan jelas arah Kakek dihadapkan ke kiblat. Gumpalan tanah hampir menutupi semua kain kafan. Aku tak mau percaya pada penglihatanku. Kakek di bawah sana tertimbun sendirian.

dalam hati aku berkata.

Tengadah menatap langit, kesadaran bahwa hidup akan menemui titik akhir. Aku pun juga akan mati. Episode akan berganti. Ah, aku memang tumbuh dewasa melebihi umurku. Kakek yang mengajariku.

Pernahkan terpikir olehmu akan datangnya keajaiban? Semerbak malam lebaran menyapa bumi langit berhias kelap-kelip bintang aku sedang diberanda berbincang dengan Kakek.

“Kamu anak baik, Alex. Tetaplah rajin belajar.”

Suara Kakek membelai telingaku. Aku gembira, rasanya seabad aku tidak mencium wangi khas itu menyebar. Bunga-bunga dihalaman rumah Kakek bermekaran. Seribu peristiwa ingin kubagi pada Kakek. Dan inilah saatnya. Ternyata aku hanya bermimpi bertemu Kakek. Tuhan, mengapa lebaran kali ini sangat berbeda? Apakah Kakek hadir melihat kami?

Kakek, lebaran telah datang. Kami semua merindu Alex mohon maaf atas kesalahan. Tahukah Kakek, Alex selalu mencintai Kakek. Kakek akan tetap selalu dihati. Dan Alex sangat bangga menjadi cucu Kakek. Pembicaraan kita tidak akan pernah tuntas, Kakek….

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 99-102)