• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novisca Dyah Ayu P.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 63-71)

“Oke, badannya nyamping sedikit. Matanya lihat ke depan. Nah begitu”

“Jepret, jepret,jepret.”

“Icha bangun, Cha!” suara yang tiba-tiba membuatku bangun dari mimpi yang indah.

Mataku langsung tertuju pada jam dinding.

“Aaaa aku telat!” aku pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk ke sekolah.

“Mama kan sudah bilang, kalau baca novel jangan malam-malam, dong, inget waktu juga. Papa aja udah berangkat dari tadi kok. Ayo sarapan dulu,” ujar Mama dengan menyiapkan roti tawar dan susu untuk sarapanku

“Aku bawa aja, ya Ma? Udah telat nih,” ujarku sambil mengikat tali sepatu.

Aku bergegas mengambil motor kesayanganku, Vespa cantik yang aku beri nama Moni. Ya, meskipun Moni sudah berumur, aku tetap bangga mengendarainya. Sesampainya di sekolah ternyata gerbang sudah ditutup, untung saja Pak Slamet penjaga sekolahku berbaik hati membukakan gerbang. Di kelas, Bu Nindy yang super centil itu sudah mulai mengajar.

“Jika semua sudah paham, sekarang kerjakan soal halaman 12, ya Nak,” suara Bu Nindy yang khas centilnya terdengar sampai depan kelas

“Permisi, Bu,” ujarku di depan kelas sedikit gugup

“Icha telat lagi, Ya. Ayo, masuk kelas,” Bu Nindy dengan mata yang berisyarat menyuruh duduk.

Aku duduk dengan sahabatku Luta. Dia anak yang baik, pintar, cantik, manja dan sedikit jutek. Aku dan Luta selalu bertukar pendapat

mengenai hal-hal yang ingin kami lakukan. Seperti impianku yang ingin sekali menjadi foto model dan menjadi cover majalah remaja. Khayalanku pun sudah mulai terbayang, betapa indahnya mimpiku tadi malam mengenakan gaun hijau tosca, rambut yang tergerai dengan tatapan tajam namun berekspresi, serta arahan-arahan fotografer yang mengatur badanku begini-begitu yang akan menambah keramaian suasana foto model.

“Cha!” suara Luta sambil menyenggol lenganku. “Eh, ada apa, Lut?” ujarku bingung.

“Kenapa, sih? Bukannya ngerjain soal malah senyum-senyum aja dari tadi. Berangkatnya liat cowok ganteng, ya?” Luta mengejekku.

“Ini lebih penting dari pada cowok ganteng ha, ha, ha.”

“Hah? Apa emangnya? Cerita, dong!” Luta dengan wajah penasaran.

“Nanti aja deh waktu istirahat.”

Bel tanda istirahat pun sudah berbunyi, Aku dan Luta bergegas ke kantin. Aku memesan bakso dan es buah. Seperti biasanya Luta yang paling suka sama soto ayam langsung ngantri bersama anak- anak yang lain.

“Nah sotonya udah aku dapetin, nyerobot dari si Indra anak IPA 2 yang cupu itu,” ujar Luta dengan bangganya

“Huss anak kayak gitu kamu kerjain,” ujarku dengan tertawa “Bodo amat! eh gimana cepetan cerita. Apa yang lebih penting dari cowok ganteng?”

“Gini, tadi malem aku pakai gaun bagus banget, rambutku juga keren,” dengan wajah yang berbinar

“Hah? Serius? Maksud kamu, semalam kamu kencan sama cowok?” ujar Luta dengan kening yang mengkerut

“Bukan, aku jadi foto model!”

“Wah selamat ya, di studio mana? Akhirnya impianmu selama ini sukses juga,” katanya dengan menghentikan suapan kuah soto ayam yang sudah ditangannya

“Tapi baru di tempat tidur sih Lut he..he..he,” ujarku dengan menggaruk kepala.

“Cuma mimpi gitu? Dasar Icha..!!!” Luta yang spontan langsung mengacak-acak poniku.

***

Sampai rumah, Mama sudah menyiapkan makan siang untuku. Semur ayam pun habis aku santap di meja makan. Mama yang melihatku begitu lahapnya hanya menggelengkan kepala. Selesai makan aku bergegas ganti pakaian karena aku sudah ada janji dengan Luta ke Mall untuk mengikuti castting foto model. Aku dan Moni beranjak ke rumah Luta yang sudah menunggu di depan rumah.

“Siap Lut?” ujarku dengan gembira.

“Pastinya, dong,” ujar Luta yang langsung memboncengku. Dijalan kami selalu bercanda gurau, hingga kerap kali di lihat oleh pengguna jalan lainnya. Kami merasa malu sendiri, hingga sampai di parkiran Mall kami bertemu dengan Alice, gadis idola di sekolahku karena wajahnya yang cantik dan badannya yang terlihat langsing, ya sekaligus musuh bebuyutanku untuk mendapatkan Radit. Alice ditemani Nita teman satu kelasnya yang selalu pengen ikutan terkenal di sekolah. Hubunganku dengan Alice dulu baik, kami satu anggota OSIS tapi semenjak Radit ketua OSIS yang tampan, tinggi, gagah itu, sering mengobrol denganku, Alice kini menjauhiku.

***

“Mari-mari silakan yang mau mendaftar castting sebagai foto model majalah remaja, mari mendaftar disini,” suara teriakan laki- laki yang berkalung kertas dan bertuliskan panita.

“Kak, saya mau mendaftar,” ujarku kepada panitia tersebut. “Silakan dek, kamu mengisi formulir dulu ya?” ujarnya dengan memberikan kertas formulir.

“Permisi, Kak, saya mau mendaftar,” suara lembut dari arah belakang.

Aku pun berbalik badan dan melihat bahwa ternyata Alice. “Pasti dia daftar karena pengen dapat perhatian khusus dari Radit,” ujarku lirih.

Setelah aku selesai mengisi formulir pendaftaran, segera kuserahkan kepada panitia. Saat menunggu hasilnya, tiba-tiba Alice menghampiriku.

“Kamu suka foto model?” ujarnya sedikit dingin.

“Banget! Kan, biar Radit makin terpesona sama aku,” ujarku mem buat wajahnya memerah.

“Oh,” ujar Alice dengan arti yang penuh kekesalan. “Kamu sudah jadian sama Radit?” selidik Alice. “Doakan saja, ya!” ujarku dingin.

Setelah menunggu sekian lama ternyata hasil casting akan diumum kan disekolah masing-masing. Aku pun bergegas keluar dari ruangan dan menghampiri Luta yang setia menungguku. Kami pun mampir makan di warung langganan kami, setelah itu aku meng- antarkannya sampai rumah, tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepadanya lalu aku bergegas pulang dengan perasaan senang dan cemas untuk hasil pengumuman besok. Sesampainya di rumah aku pun menulis buku harian yang selalu setia menemani hari-hariku terutama di waktu malam, aku mulai menggoreskan pena, sedangkan jemariku menari-nari diatas lembaran kertas. Aku tuangkan perasaan bahagia yang aku alami hari ini.

***

Pagi pun sudah menyambut, hari ini aku tidak akan telat lagi. Karena aku tidak sabar ingin cepat-cepat ke sekolah dan melihat hasil pengumumannya. Papa dengan pakaian rapi berdasi sudah siap di meja makan, sedangkan Mama sedang menuangkan susu di gelas Papa.

“Pagi, Ma,” sapa Papa sambil kucium pipi Mama. Mama hanya tersenyum.

“Pagi Papa sayang, Icha nggak telat kan buat ikut sarapan bareng Papa?” ujarku dengan mencium pipi dan duduk di samping kiri Papa. “Pagi, Sayang, iya belum telat. Tumben nih pagi-pagi sekali bangunnya, lagi bahagia, ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri,” ujar Papa yang terlihat heran menatapku.

“Iya, Pa, kemarin aku ikut castting foto model majalah remaja. Dan pengumumannya ada disekolah, makanya aku nggak sabar untuk melihat hasilnya,” ujarku sambil mengangkat gelas susu yang disiapkan Mama.

“Begitu, ya? Jadi icha suka bergaya lenggak-lenggok didepan kamera?” ujar Papa yang tersenyum melihatku.

“Iya dong pa, Mama sama Papa dukung, kan?” ujarku dengan anggukan.

“Iya pasti Mama dan Papa dukung, asal kamu ikut foto model ini atas dasar keinginan kamu sendiri, kemampuan dan talenta kamu, bukan karena ingin terkenal di sekolah dan tidak ingin di saingi oleh teman-temanmu yang lain,” ujar Papa menasehatiku.

“Benar kata, Papa, kamu jangan cuma ikut-ikutan teman kamu yang karena ingin terkenal dan nantinya akan membuat kamu sombong. Dan yang pasti harus tetap belajar,” ujar Mama melanjutkan nasehat Papa.

Aku pun hanya terdiam, aku tidak begitu memperhatikan apa yang Mama dan Papa bicarakan.

***

Sesampainya disekolah aku bergegas melihat papan pengumuman yang sudah dikerumuni banyak orang membicarakan mengenai kandidat yang terpilih dalam castting kemarin. Dan saat aku melihat ada namaku di lembaran pengumuman itu, aku langsung loncat kegirangan dan sedikit berteriak, namun aku agak sedikit kesal karena ternyata Alice juga terpilih. Tapi tak apalah toh jadi memicu semangatku untuk mengalahkannya. Aku pun berlari menuju ruang kelas untuk menemui Luta, tetapi saat melewati kelas IPA 1, didepan pintu ada Radit yang tersenyum dan membuatku berhenti sejenak serta membalas senyumannya yang membuat jantungku berdebar kencang.

“Selamat, ya kamu terpilih casting,” ujarnya dengan menju lurkan tangan dan tangan yang satu mengusap poniku.

“Makasih, ya! Jangan dirusak poniku, susah nih ngrapiinnya,” ujarku dengan berjabat tangan dan bibir yang sedikit manyun.

“Ih, cantiknya kalo lagi marah,” ujar Radit yang membuat kepalaku tertunduk malu.

***

“Lut, Lut, dengerin aku,” dengan suara yang heboh di ruang kelas.

“Kenapa? Gimana hasilnya, tadi pagi aku lihat di Papan belum ada,” ujar Luta sama hebohnya menanggapiku.

“Aku terpilih, Lut! dan yang nggak kalah mengejutkan lagi tadi Radit memberi aku selamat dan dia bilang aku cantik kalau lagi marah,” ujarku gembira.

“Emangnya kamu tadi marah-marahin dia cha?” ujar Luta bingung.

“Enggak, Lut, tadi itu aku kesal sama dia karena dia beran takin poniku,” aku pun menjelaskan.

“Oh begini, ya?” sahut Luta sambil berantakin poni yang sudah aku tata rapi

“Lutaaaaaa!” teriaku kesal.

“Benar ya, kamu makin cantik kalau lagi marah gitu, Cha,” Luta berlari menjauhiku dengan tertawa lepas.

***

Bel tanda masuk pun telah berbunyi, aku dan teman-teman satu kelas termasuk Luta bersiap berganti pakaian olahraga. Jadwal olah raga kelasku dengan kelas Radit bersamaan, jadi aku sering melihat dia bermain basket dan sesekali dia tersenyum menatapku. Aku pun menjadi malu-malu membalas senyumnya. Hari ini sekolah telah usai, aku tergesa-gesa pulang ke rumah, karena hari ini ada sesi pemotretan di studio foto. Luta yang biasanya menemaniku kini telah sibuk dengan Mamanya mengatur toko bunga milik keluarganya. Mau tidak mau aku dan Moni segera meluncur ke studio foto yang tidak jauh dari Mall saat aku casting. Disana sudah banyak gadis-gadis yang menunggu giliran berfoto, terlihat Alice mengenakan gaun hitam yang membalut kulitnya yang putih bersih, sedangkan aku di pilihkan gaun yang tepat oleh tata rias yang sudah disediakan. Orang-orang disekitar memandangku dengan terpana termasuk Alice. Aku mengenakan gaun oranye yang membalut tubuh kuning langsatku dan tatanan rambut yang sengaja dibuat kriting samar. Sesi foto yang pertama kali buat aku ini sangat melelahkan karena dari siang hingga larut malam. Mama dan Papa mengkhawatirkanku hingga menjemputku di studio dengan membawa Pak Man, penjaga rumahku supaya membawa motorku pulang. Papa dan Mama sudah menunggu di mobil, kami pun mampir ke warung pinggir jalan yang menjadi favoritku.

Hari-hari terus berlalu tak terasa sudah satu bulan aku menjalani peranku sebagai seorang modeling. Fotoku terus terpampang di majalah remaja edisi-edisi terbaru. Namun aku jarang melihat Radit, sesekali bertemu pun dia tidak seperti biasanya. Tatapannya terlihat dingin. Ada apa dengannya. Apa dia marah padaku, ataukah dia

sudah jadian dengan Alice, dan Alice melarangnya mendekatiku. Alice sudah lama berhenti dari hobinya berlenggak-lenggok di depan kamera, entah alasan apa yang membuatnya memutuskan untuk keluar dari modeling. Semakin hari aku semakin lelah menjalani semua ini, sepulang sekolah aku harus buru-buru ke studio foto hingga

larut malam. Aku pun jadi jarang sekali belajar, graik nilaiku pun

turun. Dan kini aku jarang berkomunikasi dengan Papa, Mama, Luta bahkan Radit. Aku kini menjadi asing bagi teman-teman sekolah, mungkin karena aku lebih mementingkan modelingku. Jemariku terus menggoreskan tinta dalam lembaran buku harian. Aku menceritakan apa yang terjadi setiap hari dalam kehidupanku.

***

“Ya Tuhan nilaiku!” aku sedikit berteriak yang spontan kaget melihat nilai ulanganku di bawah nilai teman-temanku.

“Icha, ada apa?” suara Pak Rudi bertanya padaku dari meja guru. “Nggg tidak apa-apa, Pak,” ujarku tersenyum masam.

Mengapa aku saat ini susah untuk mendapat nilai yang baik, aku terus merenungi kejadian akhir-akhir ini, aku duduk termenung didepan kelas.

“Dapat nilai jelek, ya, kok mukanya kusut gitu?” suara Radit mengagetkanku sambil duduk disampingku.

“Dari mana kamu tahu?” ujarku bingung.

“Aku selalu menanyakan kabarmu kepada Luta dan dia selalu menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi padamu,” ujar Radit menjelaskan.

“Aku berubah?” ujarku dengan mengkerutkan kening.

“Aku bahkan tidak mengenalmu akhir-akhir ini. Icha yang aku kenal adalah seorang yang ceria, selalu fokus pada pelajaran, pintar, dan tidak pernah tidur di kelas saat pelajaran berlangsung,” ujar Radit sambil menatapku tajam.

Aku hanya terdiam.

“Aku lebih suka kamu yang dulu di bandingkan yang sekarang, kamu yang ceria, selalu aktif dalam penulisan cerpen di majalah dinding sekolah, bukan yang terkenal dan lupa oleh tugas utamamu sebagai pelajar. Jadilah dirimu sendiri, Cha. Aku lebih menyukaimu yang seperti itu,” ucapan panjang Radit sambil menepuk pundakku.

Aku termenung, tak bereaksi apapun, hingga tak sadar bahwa Radit telah meninggalkanku. Sesampainya di rumah, tarian pena dari jemariku terus bercerita pada buku harian, lembaran demi lembaran terus aku goreskan. Kini aku termenung, aku baru menyadari bahwa modeling ini bukan duniaku karena aku mengikuti ini agar Radit tertarik padaku dan hanya untuk menunjukan bahwa aku lebih segala- galanya dibanding Alice. Aku terus menyesali keadaanku. Aku pun terus menelan ucapan-ucapan Radit tadi. Ternyata dengan menjadi diri sendiri, aku tidak akan kehilangan orang-orang yang kusayangi. Mereka lebih nyaman dengan aku yang ceria dan gemar menulis. Ternyata laki-laki yang benar-benar mencintaiku akan menerima apa adanya diriku tanpa aku harus bersusah payah menjadi orang lain.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 63-71)