• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENYUM TERAKHIR

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 165-169)

Denti Dwi Lestari

Suatu hari saat aku bersamanya, duduk disamping orang yang aku cintai. Aku berdoa supaya aku dapat terus bersamanya. Suka ataupun duka aku ingin tetap terus bersamanya. Orang selalu mengatakan bahwa cintaku ini adalah cinta monyet. Kalaupun memang iya semoga saja kelak nanti cinta ini akan menjadi cinta yang sejati. Aku berusaha membuatnya nyaman disampingku agar dia tidak mengharapkan mantannya lagi, mantannya yang begitu sempurnya. Terkadang mantannya ini selalu saja membuatku cemburu, walaupun kami belum pernah bertemu tetapi dari cerita Gavin dia begitu sempurma. Pernah aku diperlihatkan fotonya. Dia cantik sekali seperti seorang bidadari. Sebenarnya alasan Gavin putus dengan mantannya sangat sederhana. Hanya karena sahabat Gavin juga mencintai Gladis mantan Gavin. Gavin lebih memilih untuk mengalah.

“Dira, I love you, would you be mine forever?”

Yaa, dua tahun lalu Gavin menyatakan cintanya padaku, di saat kami sama-sama duduk di bangku kelas dua SMA. Aku tidak tahu saat itu bagaimana hubungan Gavin dengan Gladis, tapi aku juga punya rasa dengan Gavin. Itulah yang membuatku menerima pernyataan cinta itu tanpa pikir panjang. Hubungan kami terlihat begitu sempurna di mata banyak orang, membuat orang yang melihatnya begitu iri. Dia begitu memanjakan aku, memperlakukan aku layaknya seorang putri. Perempuan mana yang tidak bahagia dengan perlakuan seperti itu? Hubungan kami terlihat begitu berbeda saat kami duduk di bangku perkuliahan. Kami mulai jarang bertemu, namun kami masih aktif

berhubungan melalui sms ataupun telepon. Tak pernah aku berpikir Gavin akan melirik wanita lain, karena setahuku dia bukan laki-laki yang mata keranjang, dia setia. Aku yakin itu.

“Vin, kamu masih sayang aku, nggak?”

Pernah aku tanyakan itu saat ulang tahun jadian kami. Aku begitu takut kehilangan dia. Apapun akan aku lakukan untuk mempertahankan dia.

“I love you so much honey,” jawab Gavin dengan seyumnya yang begitu indah, yang membuat aku tak ingin menyakiti perasaannya.

“Vin, dah lama banget kita nggak ketemu. Kita ketemu, yuk, sekalian jemput aku. Yang penting ketemu, deh. Mau seberapa lama yang penting aku bisa lihat seyum kamu saying.”

“Iyaa, Sayangku. Aku jemput kamu yaa sekarang di kampus kamu.”

“Oke, aku tunggu cinta”.

Saat itu aku meneleponnya, aku benar-benar merindukannya. Ingin sekali memeluknya saat itu juga dan mengatakan aku mencintainya. Aku menunggunya begitu lama, telepon ataupun sms dia tidak membalasnya lagi setelah aku meneleponnya tadi. Akhirnya aku pulang sendiri dengan naik kendaraan umum. Kecewa banget rasanya saat itu, tapi aku berusaha meredam amarahku, aku nggak mau menyakiti perasaanya. Teleponku berdering, menandakan kalau ada panggilan.

“Kamu di mana, Sayang, aku ada di dekat kampusmu, nih”. “Aku udah di rumah sayang, maaf, aku kira kamu lupa, kamu ke rumah aja, ya sekarang, aku pengen ketemu kamu.”

“Oke, Cinta. Aku otw, yaa. Dandan yang cantik, yaa.”

Yang membuat aku seneng banget adalah Gavin nggak marah, jarang banget dia nyakitin perasaanku. Dia begitu mengerti aku, padahal aku merasa kurang mengerti dia. Tuhan semoga aku bisa menjadi kebahagiaannya. Suara motor sudah terdengar dari luar, pasti Gavin.

“Assalammualaikum?”

Aku membukakan pintu dengan senyum bahagia kala itu, “Waalaikumsalam, ayo masuk”.

“Nih, aku bawakan coklat buat kamu plus mawar putih kesukaan kamu. Masih suka, kan sayang ?”

Aku mengangguk saja. Hati ini memang bahagia, tetapi susah untuk mengatakannya. Ada yang aneh dengan Gavin hari ini, biasanya kalau dia hanya main ke rumah pakaiannya nggak serapi ini, bahkan parfumnya terlihat sangat wangi sekali. Aku pikir dia mau mengajak aku untuk pergi, tapi ternyata tidak.

“Sayang, aku pulang dulu, yaa. Aku ada urusan.” “Kok cepet banget, Sayang, tumben?”

Aku benar-benar penasaran, tetapi aku nggak mau berburuk sangka padanya. Dia menatapku, tetapi matanya nggak bisa aku tebak, dia memikirkan apa? Aku terus bertanya-tanya, tetapi aku nggak mau membuatnya kecewa. Aku izinkan saja Gavin untuk pulang. Tetapi biasanya Gavin selalu memberikan alasan kemana dia akan pergi, dengan siapa, dan di mana. Sekarang dia hanya bilang ingin pulang. Kenapa?

Setelah hari itu, aku dan Gavin kehilangan komunikasi. Gavin tidak membalas pesanku, ataupun mengangkat telponku. Dia tidak memberikan aku kabar apapun. Itu membuatku “galau badai”.

Beberapa bulan kemudian Gavin menelepon aku, “Dira, ketemuan, yuk. Aku tunggu di taman, yaa”.

“Iyaa, sayang.”

Saat itu aku langsung bergegas menuju tempat Gavin menung- guku. Aku bahagia, tapi kenapa hati ini tidak nyaman? Setelah bebe- rapa bulan Gavin baru menghubungi aku, seakan kami sudah putus. Dia mengajakku pergi, tetapi nggak jemput aku, biasanya Gavin selalu jemput aku. Dan anehnya Gavin tidak memanggilku sayang lagi, ada apa ini? Aku sampai di taman sejam kemudian, aku melihat Gavin di atas ayunan. Langsung saja aku menghampirinya. Gavin terlihat sedih, ada apa? Melihatnya sedih aku memutuskan untuk membelikannya minuman favoritnya. Aku kembali dan memeluknya dari belakang, tetapi Gavin tidak merespon. Langsung aku duduk di sampingnya, memberikan minuman yang baru saja aku belikan untuknya. Gavin tetap diam. Sejam pertemuan kami tapi belum ada pebicaraan, akhirnya aku diam. Gavin meminum minuman yang kubelikan.

Gavin memelukku, “Kamu sayang nggak sama aku?” tanya Gavin dengan nada sedih.

“Pasti dong, Sayang. Ada apa?”

pertanyaanku, “Aku mau minta maaf Dira”.

“Maaf kenapa? kamu nggak salah kok sama aku?”

“Aku salah Dira Sayang. Aku nyakitin kamu. Aku ngglanggar janjiku ke kamu.”

“Ada apa?” mataku mulai berkaca-kaca.

Saat Gavin akan menceritakannya, pelukannya dilepas, dia menunduk.

“Beberapa bulan ini aku bertemu Gladis. Kami sering jalan bareng, termasuk saat aku mau jemput kamu. Aku sedang berada di rumah Gladis. Dia kembali, dan dia bukan pacar sahabatku. Mereka dulu hanya digosibkan. Maaf, tapi aku masih mengharapkannya, aku masih sangat mencintainya. Dan itu tandannya aku nyakitin perasaan

kamu, tapi aku nggak mau jadi orang yang munaik, aku nembak dia

kami udah jadian Dira, maaf banget sebelumnya, tapi mendingan kita putus ajaa.”

Sore itu aku seperti disambar petir yang dahsyat sekali, aku hanya terdiam, menunduk berharap semua ini hanya mimpi buruk, dan aku ingin segera terbangun. Tapi ini bukan mimpi, Gladis yang Gavin mau, bukan aku.

Aku memegang tangan Gavin, “Nggak papa, yang penting kamu jujur. Yang penting kamu bahagia.”

Setelah ucapan itu aku sudah tidak sanggup lagi mengucapkan kata-kata, rasanya aku ingin meledak di sana, tapi Gavin benci wanita urakan. Aku langsung berdiri dari kursi kayu usang ini, aku meninggalkan Gavin di sana, tapi sebelum aku meninggalkannya aku mencium pipinya untuk yang terakhir kalinya sebelum aku benar- benar meninggalkannya. Langkahku semakin jauh, Gavin tidak menarikku ataupun melirikku, aku benar-benar sudah dilupakannya, mungkin pertemuan ini hanya upayanya menebus dosa kepadaku. Aku kecewa, aku sedih, rasanya aku ingin mati saja. Rasanya aku ingin tahu siapa orang yang mencintai aku dengan tulus.

Saat aku keluar dari gerbang taman, aku melihat sosok gadis cantik yang nampaknya aku mengenalnya, mungkinkah itu Gladis? Aku penasaran sekali, aku terus melihatnya, aku ingin tahu siapa orang yang ditemuinya. Ternyata benar, Gavin yang ditemuinya, Gavin

menyambut gadis cantik itu dengan penuh senyuman, memeluknya. Itu adalah saat terakhir aku melihat Gavin, terakhir kali aku melihat Gavin sayangku terseyum, walaupun aku tahu senyum itu bukan untukku lagi, sampai kapanpun senyum tulus itu hanya untuk Gladis.

U-KISS FANPARTY IN JAKARTA

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 165-169)