• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yuliana Diah Ayu P.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 102-109)

Enam belas tahun sudah aku menghabiskan waktuku dengan ibu. Wanita yang lahir pada tangga l 9 Oktober 1972 itu bernama Susi Supriyati. Tapi dia lebih akrab dipanggil “Mbak Us”, bahkan aku pun memanggilnya “Mbak Us”. Wanita berkulit sawo matang ini mantan penyayi lho. Dari SD, ibuku udah terjun di dunia tarik suara. Dan waktu SMA dia sering ngisi di radio bahkan di televisi lokal. Dan wanita yang ceria dan lucu ini juga dekat dengan Yulius Sitanggang, penyanyi top tahun 80-an. Ibuku tidak terlalu tinggi, ya sekitar 155 cm lah. Sekarang sih aku sama ibuku lebih tinggian aku. Menurut cerita

yang aku dengar, setelah melahirkan aku, ibu jadi gendut hahaha. Rambut ibuku bagus, dan sampai sekarang aku masih iri sama rambutnya yang hitam dan tebal. Rambutku sedikit lebih bergelombang dibandingkan dengan rambut ibuku. Dan rambut ibuku itu lembut, rapi pula. Ibuku juga punya mata yang indah, dan alisnya tebal seperti alisku. Satu nih yang aku sebel. Gara-gara aku ngefans sama 1D (One Direction), dan tiap hari dengerin lagu-lagu 1D, sekarang ibuku juga ikut-ikutan jadi DIRECTIONERS! Gilak aja, udah tua ngefans sama boyband kece kayak 1D, aku sih sedikit nggak terima. Ibuku juga ngefans sama Westlife, dia juga ngikutin drama- drama korea. Aku suka drama korea karena ibuku.

Semenjak aku belum bisa membaca dan menulis, ibu dan ayah sudah bercerai, jadi aku tinggal dengan Ibuku, Nenekku, Kakek Buyutku, Nenek Buyutku dan Pamanku. Kami sangat teramat bahagia. Hampir setiap hari aku pergi jalan-jalan dengan keluargaku. Ke mall, ke museum, ke funworld, ke kolam renang, dinner di luar, beli barbie, dan banyak kegiatan menyenangan yang kami lalui. Kangen rasanya setiap aku buka album foto keluargaku waktu kami main-main. Tanpa aku minta, nenek dna ibuku selalu memberiku apa yang aku pengen dan apa yang aku butuhkan. Dan ketika aku pengen sesuatu, pasti dibelikan. My heaven is my childhood.

Tapi Nenek Buyutku meninggal lima tahun yang lalu, dua tahun kemudian kakek buyutku meninggal. Tinggalah aku, ibuku, pamanku dan nenekku. Dan saat ini karena suatu alasan yang rumit, nenekku meninggalkan rumah. Pamanku pun menikah dan tinggal di rumah mertuanya. Sepi deh rumahku. Hanya ada aku dan ibuku. Ah, tidak juga. Rumahku. tak sesepi itu. Setiap pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, kami selalu bertengkar. Ribut. Sibuk sendiri-sendiri.

Suatu pagi, entah setan apa yang merasukiku, aku bangun pukul 05.30! Keren kan?! Hahaha, aku biasa bangun pukul 06.15 bahkan malah jam 06.30 makanya aku sering terlambat. Dan faktor lain kenapa aku terlambat itu nungguin ibuku mandi. Beeeeeh, lama banget kalo mandi! Nyebelin pokoknya.

“Aliia... Dek... Aliia... Aliia... bangun, dek... Aliia...” Ibuku

terus memanggil namaku sampai aku bangun.

lagi. Tapi entah kenapa hari ini aku langsung bangun. Ku buka mataku, mencari karet rambut di sekitar bantal. Dan dengan lemasnya ku ikat rambutku yang tebal. Aku berjalan sempoyongan mengambil handuk merah jambuku, kemudian menuju ke kamar madi. Seperti yang aku bilang tadi, ibuku lama banget kalau mandi, tapi anaknya makin lama lagi kalau mendi hehehe. Selesai mandi aku segera ganti baju, dengan keleletanku aku menyisir rambut panjangku. Aku bangga sekali karena di SMA ini aku bisa panjangin rambutku. Ini rambut paling panjang yang pernah aku pelihara.

“Adek! Cepet sisirannya! Lelet banget! Potong pendek aja lah biar nggak repot!” Kata ibuku setiap aku menikmati aktivitasku menyisir rambut.

“Nggak mau! Potong aja sendiri, aku sih nggak mau ya”, jawabku. Jam 07.00 aku berangkat ke sekolah. Seperti biasa naik motor diantar ibuku. Sepanjang jalan kami selalu ngobrol (kalau lagi akur). Atau ibuku sering ceramah dan marah-marah sepanjang jalan. Ini nih yang paling kau sebel dari ibu kalau dia mulai ceramah dan ngomel di jalan. Kan malu diliatin banyak orang. Kalau di rumah sih nggak papa, lah ini di jalan. Bayangin aja gimana perasaan lo kalau diomelin sama nyokap di jalan! Malu kan? Exactly, itu yang gue rasain.

Hari ini ibuku cerita tentang mimpi anehnya. Ketika berhenti di lampu bangjo Madukismo Padokan ibuku mulai cerita.

“Dek, semalem aku mimpi!” Kata Ibuku. “Mimpi apa?” Tanyaku.

“Mimpi didatengin simbah”, jawab ibuku.

“Gimana ceritanya?” Tanyaku lagi. Dan dari situ ibuku mulai menceritakan kronologi mimpinya yang dramatis dan sedikit aneh.

Dia berjalan menuju lorong panjang yang sangat gelap. Melangkah perlahan dengan pandangan kosong.

Tap... Tap.. Sreeet... Sreeet

Derapan langkahnya terdengar hingga ujung lorong. Benar-benar sepi, seakan tak ada kehidupan lain selain dirinya. Rambut panjangnya tergerai menutup telinga. Nyaris seperti hantu berjalan dengan baju abu-abu. Lorong seperti semakin memanjang dan semakin gelap. Sedari tadi dia tak mengenakan alas kaki, sedang lantai lorong sudah sedingin es batu. Seakan-akan ia tak merasakan betapa dinginnya

lantai itu, pandangannya masih kosong...

“Aaaaa!!” Ibuku berteriak. Dia terjatuh. Terdengar langkah kaki kecil yang berlari menuju ke arahnya.

“Ibu...!” Aku datang dari belakangnya. Aku merengek dan memeluknya.

Seperti tersadar dari tidur panjang. Ibuku membalas pelukanku. “Tidak apa-apa.... Ibu baik-baik saja....”, katanya dengan lembut. Dibelainya rambut pendekku dengan penuh kasih sayang.

Tiba-tiba cahaya muncul di belakang. Bukan lilin atau cahaya matahari. Ibuku menggenggam tanganku dan berjalan mengikuti cahaya itu. Mendekat... cahaya pun membesar. Sampailah kami di ujung lorong. Ibu mencoba keluar dari lorong, tetapi tidak bisa. Ujung lorong rupanya sebuah cermin. Rupanya cahaya itu pantulan cermin. Tetapi bagaimana bisa? Belakang kami hanyalah kegelapan yang hampa, bagaimana bisa ada cahaya yang memantul pada cermin ini?

Ibu mundur beberapa langkah. Ia menggendong putri kecilnya yang manis, memejamkan matanya dan setengah berlari menuju cermin tadi. Ditembusnya cermin itu! Ia menembus cermin itu! Dia sampai di sebuah taman yang hijau. Ia menoleh ke belakang dan lorong itu menghilang, cermin itu telah tiada.

“Apa ini?” Tanyanya dalam hati.

Aku turun dari gendongannya. Aku berlari ke arah selatan. Ada sungai kecil di selatan taman. Ibu mengikutiku dari belakang. Matanya masih berkeliling, berusaha menebak tempat apa ini. Ibu mengenal taman ini, tapi di mana? Kapan dia pernah ke sini?

“Si!” Teriak seorang kakek yang sedang duduk memancing di pinggir sungai.

“Eyang?”, kata Ibu.

Rupanya itu adalah Kakek Ibu, yang tak lain adalah Kakek Buyutku. Ibu berlari ke arah Kakek. Aku sudah lebih dulu sampai di tempat kakek buyutku berada. Kakek yang tengah memancing tersenyum melihatku datang. Lalu Ibu tiba dan memeluk Kakek erat- erat.

“Eyang uyut bawa alat pancing lain?”, tanyaku kepada kakek. “Tidak. Eyang hanya bawa satu. Adek mau mancing?” ucap Kakek.

“Iya, eyang...” jawabku.

“Ah, itu nenekmu bawa keranjang makanan, sana kamu makan saja” kata Kakek sambil menunjuk ke arah Nenekku.

Ibuku menghampiri Nenekku dan membawakan keranjang makanan yang dibawa Nenek. Aku berlari menyusul Ibu dan nenek, kupeluk nenekku erat-erat. Kami duduk di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput hijau lebat. Matahari bersinar terang, angin berhembus perlahan. Banyaknya pohon di pinggir sungai membuat udara menjadi sejuk dan nyaman. Kami bercanda, kami tertawa dan tampak sangat bahagia.

“Eyang uyut! Itu dapat ikan!!!” Teriakku. Kakek segera menarik pancingannya. Kami berhasil mendapatkan satu ikan besar. Ikan gurameh besar.

“Yeni, ambil keranjang yang tadi!” Seru Kakek kepada Nenekku. “Ini, Pak...” jawab Nenek sambil memberikan keranjang yang diminta ayahnya.

Ikan itu lepas dari genggaman Kakek, dan kami berusaha menangkap ikan yang melompat-lompat di tanah. Semua tertawa ceria. Tak lama kemudian kami mendapatkan ikan lagi. Kali ini tak sebesar ikan yang pertama. Aku sangat bahagia karena aku yang menarik pancing dan mendapatkan ikan kedua. Ibu menyuapi kakek dengan buah mangga segar yang dibawa nenek. Sedangkan nenek tiduran di samping kakek. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berjalan di seberang sungai. Dia melihat keceriaan kami. Bajunya lusuh, badannya kurus kering, wajahnya pucat.

“Kakek, siapa itu?” Tanyaku. Nenek bangun, kemudian melihat ke depan, ke seberang sungai dan dilihatnya anak itu.

“Kemari, nak!” Teriak Kakek. Anak itu segera berenang menyebrangi sungai. Menghampiri kakek yang memanggilnya.

“Si, ambilkan roti, berikan pada anak itu.” Perintah Kakek kepada Ibuku.

Ibu segera mengambil roti yang diminta kakek. Sementara Kakek mengambil gurameh besar tadi. Kakek mencari plastik di sekitarnya dan memasukkan gurameh tadi ke dalam plastik. Anak itu berhasil menyebrang sungai. Airnya memang tidak deras, bahkan bisa dibilang tenang. Wajah yang semula pucat bertampab pucat setelah berenang.

Anak itu benar-benar mengerikan. Tak ada senyum di bibirnya. Aku pun takut dan bersembunyi di bahu Nenek.

“Ini, bawa pulang..”, kata Kakek kepada anak itu.

Kakek memberikan roti dan ikan gurameh besar hasil tangkapan tadi. Anak itu hanya menundukkan kepalanya dan mencium tangan kakek. Ia sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Tetapi dia tersenyum. Bibir pucat itu tersenyum pada Kakek, Ibu, Nenek dan kepadaku. Anak itu masuk ke dalam air dan berenang menyebrang sungai lagi. Setibanya di seberang sungai, ia tak menoleh ke belakang sama sekali. Dia berdiri dan berlari menjauh. Berlari sangat kencang. Dia sudah tak terlihat.

“Ayok, mancing lagi!” Ajak Kakek. Aku melanjutkan memancing bersama Kakek.

Aku tampak sangat bahagia. Begitu juga ibu dan neneknya. Hari mulai sore. Udara begitu sejuk dan damai. Ibu merasa seperti di surga. “Melihat ibu tersenyum seperti ini... Melihat kakek tertawa bersamaku... Tak ada hal lain yang kuinginkan selain menikmati indahnya hari ini...”, Ibu berkata dalam hati. Ia tersenyum bahagia.

Kakek sudah mendapatkan dua ikan lagi. Tiba-tiba ada seorang nenek bungkuk yang datang menemui kami. Nenek itu menggendong kayu bakar. Rambutnya putih pucat dan wajahnya keriput. Nenek itu mengenakan setelan kebaya dan jarik coklat yang sedikit kumal. Dia tampak sangat lelah.

“Mari, Nek, duduk di sini...”, kata Ibu.

Nenek itu tersenyum dan duduk di samping Ibu. Bibir nenek kering. Ibu yang menyadari hal itu langsung mengambil air minum dan memberikannya pada nenek. Lagi-lagi nenek hanya tersenyum. Nenek meneguk air itu sampai habis.

“Sepertinya nenek itu masih haus. Ambil minum lagi, As..”, bisik Nenek pada Ibu.

Ibu segera mengambilkan minuman lagi untuk nenek. Sementara Nenek mencoba mengobrol dengan nenek itu. Ternyata rumahnya ada di seberang sungai. Nenek itu mencari kayu setiap harinya. Biasanya dijulal pada tetangga dan ia gunakan sendiri untuk memasak. Kakek yang sedari tadi memancing mendengar cerita nenek. Kakek

mengambil dua ikan hasil pancingannya bersamaku. Dimasukannya ikan itu ke dalam plastik hitam. Kemudian diberikan pada nenek tadi.

“Ini mbak... Untuk dimasak di rumah...” kata Kakek sambil memberikan ikan itu.

“Terimakasih banyak...” kata Nenek itu sambil menerima plastik berisi ikan dari Kakek.

Nenek itu pun pulang. Ibu masih bertanya-tanya. Sedari tadi Kakek selalu memberikan makanan kami kepada orang lain yang bahkan tak kami kenal. Ibu mengemasi barang-barangnya, bersiap- siap untuk pulang karena hari sudah sore. Kami pun pulang.

**

Mimpi ibuku itu masih abstrak selama satu minggu setelah ibuku menceritakannya. Satu bulan berlalu dan kehidupan keluarga kami masih biasa-biasa saja. Normal. Tapi sebulan setelahnya, nenekku sakit keras sampai nggak bisa ngapa-ngapain. Menggigil, dan setengah nggak sadar. Pamanku sampai nangis lihat nenekku kayak gitu. Karena nenekku sekalipun nggak pernah sakit separah ini. Paling-paling cuma masuk angin, tapi kali ini benar-benar sakit. Kami membawa nenek ke RS.Elisabeth Ganjuran. Gula darah dan kolesterol nenekku tinggi, ada gangguan di jantung. Dan nenekku hampir kena leukemia, untung aja ditangani dengan cepat.

Karena rumah sakit itu dekat tampat peziarahan Candi Ganjuran, ibuku tiap hari berdoa di sana dan ambil air suci untuk diminum nenekku. Tapi setelah sembuh, nenekku melakukan hal konyol yang sangat menyebalkan. Sudah belasan tahun nenekku melakukan kekonyolan ini, tapi kali inilah puncaknya. Ini benar-benar konyol dan tidak berguna. Bahkan menyakitkan. Ini menyakiti hatiku, menyakiti hati ibuku, menyakiti hati pamanku. Nenekku benar-benar tolol kali ini. Dia tidak sadar bahwa kami sangat mencintainya. Dan ibuku hancur gara-gara kelakuan nenek. Aku tidak dapat mengatakan

kekonyolan apa yang nenekku perbuat karena ini memalukan. Setiap malam ibuku berdoa di Gereja Salib Suci Gunung Sempu. Dengan harapan nenekku berubah, dan mungkin dengan harapan anaknya sukses di sekolah. Tapi sampai sekarang nenekku justru makin menggila. Sudah hampir dua bulan nenekku tidak pulang. Aku bahkan belum melihatnya semenjak pulang dari CIS kemarin.

Kasihan juga ibuku melihat ibunya yang menggila seperti itu. Tapi terkadang ibuku juga membuatku kesal. Tapi sebenarnya dia seru. Dia lucu (tapi kadang garing juga). Dia juga narsis banget, ih! Dan saat ini dia lagi menikmati profesinya sebagai makelar tanah. Di mana-mana selalu promosiin tanah dagangannya. Aku sampe bosen denger tanah, tanah, rumah, rumah, tanah lagi tanah lagi dan lagi. Tapi berkat tanahlah aku dapet laptop samsung yang aku pakai sampai sekarang. Walaupun aku super menyebalkan, but actually mom, I love you so much...

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 102-109)