• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teresa Gowinda Artat

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 192-200)

“Las, Lasmi ayo turun! Lihat hari sudah gelap. Cepat kau kesini bantu Emak membawa blarak yang satu itu!”

Teriakan Emak menyadarkan Lasmi, membangunkannya dari dunia imajinasi yang ia sadar betul tak mungkin terjadi. Hampir setiap sore Lasmi memanjat naik ke pohon rambutan yang berada di kebun milik almarhum Bapaknya itu. Dari atas sana ia dapat melihat pemandangan yang amat menakjubkan, yaitu matahari tenggelam. Sembari menunggu pemandangan yang menakjubkan itu Lasmi mulai berimajinasi, pikirannya melayang kembali ke masa lalu saat- saat bahagia bersama Bapaknya, atau saat-saat indah yang pernah dilaluinya bersama Mamat. Namun, semua itu sudah hilang musnah, hanya tinggal kenangan yang meninggalkan luka di hati Lasmi. Dia perlahan turun dari pohon rambutan yang menjadi tempat favoritnya, yang menyimpan sejuta imajinasinya. Lasmi mengangkat blarak itu, dahan pohon kelapa yang telah mengering. Lalu mengikuti Emaknya menyusuri jalan setapak, menyeberangi kali, dan melewati rumah beberapa tentangganya, termasuk rumah Mamat anak Pak Dukuh.

Keluarga mereka termasuk orang terpandang di Dusun Tirip. Pak Har mempunyai sawah seluas 1,5 hektar. Belum lagi sawah hasil tanah bengkok yang merupakan haknya sebagai Dukuh. Sawahnya digarap oleh para petani kecil seperti Emak dan nanti apabila sudah panen masing-masing penggarap akan diberi bagian dari hasil panen tersebut. Emak biasanya mendapatkan jatah satu kuintal yang masih berupa gabah. Gabah satu kuintal biasanya habis dalam dua setengah bulan. Jatah yang diterima Emak memang tak sebanyak jatah tetangga-tetangga lainnya. Hal ini dikarenakan tubuh emak yang semakin renta dan sering sakit-sakitan. Semenjak Bapak meninggal, Emak menanggung beban keluarga seorang diri, berusaha menyekolahkan Lasmi sampai tamat SMA. Lasmi terpaksa tidak kuliah karena harus mengalah pada kedua adiknya, Jarwo dan Ayu, yang masih bersekolah. Mereka memerlukan biaya yang tidak sedikit agar dapat terus melanjutkan sekolah. Lagi pula Emakpun juga tidak mampu membiayai kuliah yang saat ini sudah mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Jarwo sudah lulus SMP dan sekarang ia meminta Emak untuk mendaftarkannya masuk SMA, dan tentu saja biayanya tidak sedikit. Sedangkan Ayu masih kelas 4 SD. Tiap pagi

Ayu selalu mengeluh soal seragamnya yang bolong di bagian ketiak, akibat ditarik oleh temannya sewaktu bermain kejar-kejaran. Kuliah merupakan hal yang bisa dikatakan mustahil bagi Lasmi. Emaknya yang sudah renta tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan administrasi kuliahnya.

Tidak seperti Mamat, anak itu sekarang sudah kuliah kedokteran di UGM. Orang tuanya bilang bahwa Mamat sudah masuk semester dua.

“Ndhuk, cepetan!”

Sesuai perintah Emak, Lasmi pun mempercepat langkahnya. “Mangga, Bu Har,” sapa Emak kepada Bu Har yang sedang menyapu halaman.

Namun, Bu Har sama sekali tidak menanggapi sapaan Emak. Menoleh sedikitpun tidak. Memang Emak sudah terbiasa dengan tanggapan yang seperti itu. Semenjak masalah Lasmi dengan mantan kekasihnya, si Mamat memuncak, dan membuat geger seluruh keluarganya, Bu Har tidak mau berurusan lagi dengan Emak maupun keluarga Lasmi. Bu Har sangat berbeda dengan suaminya yang bijaksana dan lembut, tetapi tetap tegas dalam mengambil keputusan. Sesampainya di rumah, Emak mendapati Ayu sedang menangis di depan pintu. Melihat bungsunya menangis, Emak langsung berlari mendekap anak bungsunya itu.

“Ndhuk, Cah Ayu kamu kenapa? Mana, Masmu?”

Anak itu masih menangis, napasnya tersengal-sengal. Tanpa disuruh Lasmi segera mengambilkan air putih bagi adiknya. Setelah meneguk air yang diberikan Lasmi, anak itu mulai tenang. Napasnya berangsur-angsur teratur.

“Mak, tadi anak buah Pak Koro kesini, katanya nyari Emak. Terus mereka bilang, Emak harus melunasi hutang Emak tiga bulan lalu. Kalau tidak,” Ayu mulai terisak kembali.

“Kalau tidak, apa Ndhuk?” tanya Emak tak sabar.

“Itu, Mak. Mereka bilang kalau Mbak Lasmi harus mau menjadi istri Pak Koro.”

Anak itu kembali menangis. Emak terkejut mendengar pernyataan anaknya. Hatinya sakit bagaikan dihujam pisau bertubi- tubi. Ia menyadari bahwa semua ini kesalahannya. Memang tiga

bulan lalu ia meminjam uang pada lintah darat itu. Saat itu Lasmi sudah memperingatkan Emaknya agar mempertimbangkan terlebih dahulu keputusannya. Pada awalnya Emak menurut, dan meyakinkan Lasmi bahwa dirinya tidak akan meminjam uang pada lintah darat itu. Namun, karena kasihan melihat anak laki-lakinya yang tiap malam memohon-mohon untuk didaftarkan SMA, Emak terpaksa melakukannya tanpa sepengetahuan Lasmi agar dapat membayar uang pendaftaran Jarwo masuk SMP. Emak berjanji pada lintah darat itu untuk mengembalikan hutangnya dalam waktu sebulan. Namun, memang kenyataan pahit yang harus diterima Emak. Pagi itu Emak berencana akan menjual satu-satunya cincin kawin peninggalan almarhum suaminya untuk melunasi hutangnya. Emak pun berangkat menuju pasar. Untuk dapat sampai di pasar Emak harus melewati jalan setapak yang sepi. Tak disangka tiba-tiba ada dua pemuda mabuk mengampiri Emak dan menjambret cincinnya. Pada awalnya Emak melakukan perlawanan, tapi lama-kelamaan Emak kewalahan juga menghadapi kedua pemuda tersebut. Akibat perlawanan yang

dilakukan Emak, ia memperoleh pukulan yang membutnya terkapar tak sadarkan diri di tanah. Malangnya, Emak baru ditemukan oleh Mbok Minah tetangga depan rumahnya saat hari sudah mulai gelap. Sesampainya di rumah Emak mengarang cerita tentang kemalangan yang baru dialaminya itu, Emak melakukannya agar ketiga anaknya tidak khawatir.

“Jadi, selama ini Emak pinjam uang sama Pak Koro, lintah darat itu?” tanya Lasmi tidak percaya.

“Iya, Ndhuk, maafkan, Emak. Emak terpaksa, Ndhuk.”

Belum selesai Emak menjelaskan Lasmi tiba-tiba memotong penjelasan Emak.

“Tapi bukannya Emak sudah janji, kalau tidak akan pinjam uang pada lintah darat itu?”

Emak sangat menyesal, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang dapat dilakukan Emak selain melunasi semua hutang-hutangnya. Jika tidak, Lasmilah yang akan menjadi korbannya.

Air mata lasmi mulai meleleh membasahi pipinya. Bibirnya bergetar. Sambil terisak, Lasmi berkata, “Mak, aku tak mau menjadi istri Lintah Darat itu. Dari pada harus menjadi istrinya lebih baik aku mati.”

Emakpun berdiri dan memeluk anak gadisnya itu.

“Tenang, Ndhuk, Emak janji akan melunasi semua hutang Emak dan Emak janji kamu tidak akan jadi istri kelimanya Pak Koro.”

Pak Koro sudah mempunyai empat istri, semuanya masih muda-muda seumuran dengan Lasmi. Pacar Pak Koro pun ada di mana-mana. Saat Pak Koro menggandeng istrinya saat di kondangan maupun acara lainya lebih pantas terlihat sebagai ayah dan anak ketimbang suami istri. Karena umur Pak Koro yang sudah mencapai enam puluhan, sedangkan istrinya yang masih berumur delapan belas sampai dua puluhan.

“Oh, ya. Mana Masmu, Cah Ayu?” tanya Emak mengalihkan pembicaraan.

“Itu Mak. Tadi Mas Jarwo pergi ke rumah Mas Pon mau minta seragam SMA yang masih layak pakai,” jawab Ayu sambil mengusap

matanya.

Jarwo memang anak yang sangat rajin, semangat belajarnya besar. Cita-citanya untuk menjadi seorang dokter tak pernah padam bahkan berkurang sedikitpun. Maka dari itu Emak mati-matian berusaha menyekolahkan Jarwo, sampai jalan mautpun terpaksa ia tempuh. Emak memang sudah tahu resiko yang harus dihadapi bila mempunyai urusan dengan lintah darat itu. Emak menyesal dirinya memang kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan itu. Kini ia harus berjuang lebih keras lagi apabila tidak ingin anak gadisnya diperistri oleh lintah darat seperti Pak Koro.

“Ya sudah. Ayo gek masuk, sudah gelap ini. Las kamu jangan lupa taruh blarak itu di samping luweng, ya?” Ajak Emak pada kedua anaknya.

“Ya, Mak,” jawab Lasmi.

Malam itu Emak bertekad untuk melunasi semua hutangnya. Untuk Emak itu adalah harga mati.

“Apapun yang terjadi aku harus bisa melunasi semua hutang ku itu. Lasmi tidak boleh jadi korban atas kesalahan yang aku lakukan. Harus, ya harus. Harus lunas semuanya!” kata Emak dalam hati.

***

Sebulan berlalu. Ini sudah melebihi batas waktu pengembalian hutang Emak. Segala cara sudah dilakukan Emak dari menjual singkong, jagung, bahkan semua barang yang dapat dijual, semua sudah Emak jual agar dapat melunasi hutangnya pada Pak Koro. Emak putus asa, semua sudah ia jual. Ia memikirkan nasib Lasmi. Haruskah Lasmi menanggung ini semua? Haruskah ia menjadi istri seorang yang tidak dicintainya? Apakah ia akan bahagia bersama lintah darat itu? Tak mungkin! Tak mungkin Lasmi bahagia! Lasmi sama sekali tidah mencintainya. Lasmi sangat membenci Lintah darat itu. Berbagai pertanyaan muncul di benak Emak. Perempuan tua itu menghela napas panjang, ia merebahkan dirinya di atas dipan peyot itu. Tak berdaya. Tubuhnya makin kurus, sebulan terakhir ia berkerja terlalu keras. Asam uratnya sering kambuh, dan pada saat-saat seperti itu hanya balsemlah yang menjadi obat pengurang rasa sakitnya.

Pikiran Emak melayang ke masa lalu. Ia memandang foto almarhum suaminya yang tergantung di dinding.

“Seandainya, Kang kamu masih ada. Pasti tidak akan begini jadinya,” gumam Emak.

Emak menangis. Tangisnya memecah kesunyian malam di dusun Tirip. Mendengar suara tangis Emaknya, Lasmi, Jarwo dan Ayu satu- persatu datang memeluk Emak.

“Sudah, Mak. Jangan begini. Ayu ikut sedih kalau Emak seperti ini.”

“Mak, maafkan Jarwo. Semua ini salah Jarwo, Jarwo yang selalu meminta emak untuk mendaftarkan Jarwo masuk SMA. Melihat Emak seperti ini Jarwo sudah tidak ingin lagi masuk SMA, Mak.”

Jarwopun ikut menangis.

“Hus! Kamu jangan bilang gitu, Jar! Kamu harus tetap sekolah, apapun yang terjadi. Emak ingin melihat kamu jadi orang sukses, Jar, jadi dokter.”

Emak mulai mengusap air matanya dan berhenti menangis. “Tapi, Mak. Jarwo bikin Emak dan Mbak Lasmi susah.”

“Sudahlah, Jar, jangan kau pikirkan masalah ini. Ini masalah Emak bukan masalahmu. Yang penting kamu harus terus belajar, jangan patah semangat, kamu harus jadi yang terbaik di sekolahmu. Kamu harus buktikan pada Emak dan Mbakyumu, kalau kamu bisa jadi dokter!”

“Iya, Jar betul kata Emak, kamu tidak boleh berhenti belajar. Kamu harus kuliah dan jadi dokter!” sambung Lasmi.

Jarwo menatap mata Emak, mata sayu itu, dan berkata, “Mak Jarwo janji, Jarwo tidak akan mengecewakan Emak dan Mabk Lasmi. Maturnuwun Mak, terimakasih buat semua yang sudah Emak lakukan bagi Jarwo.”

sudah lama hilang semenjak Bapak meninggal. Senyum yang penuh kelegaan. Emak mencium dahi Jarwo dan memeluknya sambil membisikkan sesuatu di telinga Jarwo “Jar, Emak yakin kamu pasti bisa.”

Malam itu keluarga Emak tidur di satu dipan, sempit memang namun terlihat sangat nyenyak dan damai.

***

“Mak, Lasmi sudah ikhlas kalau akhirnya Lasmi jadi istri lintah darat itu.”Ucapan anaknya itu membuat Emak kaget. Gelas yang dipegangnya jatuh ke tanah. Pecah. Kedua mata sayu itu terbelalak.

“Las, kamu sadar, akan apa yang barusan kamu katakan?” pertanyaan Emak tak langsung terjawab, membuat Emak mengulang pertanyaannya, “Las, kamu yakin??”

Lasmi menghela napas.

“Sebenarnya, Lasmi tidak yakin Mak. Tapi Lasmi sudah bosan melihat anak buah Pak Koro datang kesini sambil mengancam dan marah-marah.”

Lasmi mulai berkaca-kaca.

“Lasmi sebetulnya masih mencintai Mamat, tapi agaknya Mamat sudah melupakan Lasmi, Mak. Buktinya Mamat tidak lagi memperjuangkan hubungan kita di depan orang tuanya.”

Lasmi menangis. Emak membelai lembut kepala Lasmi. “Sudahlah, Las, mungkin Mamat memang bukan jodohmu.” Lasmi menghela napas, mengusap air matanya. Pikirannya kacau, teringat kembali saat-saat indah bersama Mamat. Mereka sejoli yang sangat serasi dan saling mencintai, namun kebahagiaan itu sirna setelah Mamat dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Mamat tak sanggup menolak keputusan yang diambil orang tuanya. Hubungannya dengan Lasmi pun terpaksa berakhir. Rencananya setelah lulus nanti Mamat akan segera menikah dengan anak seorang saudagar di Jakarta.

“Ya, mungkin Mamat memang bukan jodohku, tepat seperti kata Emak. Mungkin memang sudah takdir aku tak berjodoh dengannya. Tapi apa kawin dengan Pak Koro itu takdirku?” gumam Lasmi.

Lasmi menarik napas panjang, dan merebahkan kepalanya ke bahu Emaknya. Emak menyesal, ia tahu betul bahwa Lasmi sangat mencintai Mamat. Tapi karena perbuatannya Lasmi terpaksa harus menanggung beban berat. Menikah dengan orang seperti Pak Koro bukanlah, keinginan setiap gadis di Dusun Tirip. Semua warga sangat mengenal siapa Pak Koro, mereka cenderung menjauhinya, karena enggan berurusan denganya. Seperti halnya Lasmi, menikah dengan Pak Koro merupakan mimpi buruk baginya, namun ia sangat prihatin melihat emaknya yang setiap hari membanting tulang untuk melunasi hutang-hutangnya. Pernah suatu malam Emak merintih kesakitan saat asam uratnya kambuh. Emak selalu harus merasakan rasa sakit yang sama setiap dirinya kelelahan. Lasmi benar-benar tak sampai hati melihat emaknya kesakitan. Itulah alasan mengapa ia pasrah jika memang harus menjadi istri Pak Koro.

***

Hari itu pun tiba. Di luar para tamu sudah hadir dengan pakaian batik dan kebaya mereka. Para tamu membawa undangan berwarna merah, sebagian besar tamu memasukkan amplop putih di sebuah guci tembaga. Para among tamu sibuk menyalami tamu yang datang. Lasmi sudah siap dengan kebaya putihnya, ia terlihat sangat anggun dengan kebaya tersebut. Beberapa kali ia berkaca di depan cermin, berputar- putar memandangi kebaya putihnya. Sembari memandangi dirinya Lasmi tersenyum, kemudian tertawa. Entah mengapa ia ingin tertawa, tawanya sangat lepas hingga seorang emban masuk dan bertanya

“Nuwun sewu, Ndara. Apa Ndara tidak apa-apa?” tawa Lasmi makin menjadi-jadi.

Emban setengah baya itu, mengerutkan dahinya “Maaf, Ndara apa ada yang lucu?”

Lasmi tetap tertawa. Emban itu keluar dan memanggil Emak, Emak masuk dan menenangkan Lasmi.

“Las, Lasmi! Ndhuk anakku. Kenapa kamu, Ndhuk?” wajah Emak pucat, melihat anaknya yang lepas kendali.

Setelah Lasmi sadar akan kehadiran Emak, Lasmi memeluk Emaknya. Tangisnya pecah dalam pelukkan Emaknya.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 192-200)