• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yuliana Dyah Ayu P.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 57-63)

Anak SMA..., tepat sekali, Itulah gelarku saat ini. Aku memang baru 6 bulan ini jadi anak SMA. Namaku Riska Ardila. Orang memanggilku Riska. Banyak orang bilang aku pendiam.Ada juga yang bilang kalau aku pemalu dan banyak yang bilang aku culun, gara-gara aku memakai kacamata dan rambutku selalu dikucir satu.Walaupun aku pemalu dan pendiam tapi aku tidak mau menyianyiakan waktuku. Aku selalu mengisi waktu kosongku dengan berlatih memainkan biola. Biola adalah teman dalam kesendirianku. Suaranya memberikanku ketenangan.

Sore ini, aku duduk di depan rumah sambil memegang handphone. Dalam kerinduanku dengan sahabatku SMP, Hanif. Aku mencoba membuka handphone, melihat foto-foto saat kami bersama. Saat aku buka foto itu, aku teringat saat Hanif jatuh.

“Lompat bersama-sama, ya teman-teman. 1.. 2… 3…,” aba-abaku sebelum menekan tombol untuk menggambil gambar.

Tiba-tibaa…. Duubraaak! Ternyata Hanif jatuh. Karena saat mau meloncat tali sepatunya terinjak oleh Annisya dan aku mendapatkan gambar saat Hanif jatuh. Aku tidak bisa menahan ketawa saat aku melihat foto itu dan kita semua menertawakan Hanif karena tingkah lucunya. Hanif pun juga ikut tertawa.

“ Ha,ha... Hanif, kamu kenapa?” tanya Maya.

“ Ha,ha.. tali sepatuku terinjak oleh Anisya saat mau lompat,” jawab Hanif sambil tertawa.

Saat aku teringat kejadian, itu setetes air keluar dari kelopak mataku. Maya, Hanif, Linangkung sudah 3 bulan aku dan mereka tidak bertemu. Semenjak Lebaran kemarin sampai menjelang Natal. Rasanya kehilangan kebahagian yang dulu pernah ada. Aku coba untuk menanyakan kabar, dan aku coba ajak mereka untuk bermain bersama sekadar berkumpul. Lalu aku telepon Linangkung

“Halo, Inan ? besuk bisa kumpul buat sekedar main?” “Hmmm.. bisa Ris, kumpul di SMP saja, ya?”

“Oke, deh,” jawabku bersemangat.

Esok harinya, Krrrrrriiiiiiinggggg….. krrrriiinngggg…. Tiba- tiba terdengar bunyi dering jam. Astaga waktu sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Hari ini kan aku sudah punya rencana dengan teman-teman bahwa pada hari Senin 24 Desember 2012, aku mau main bersama Hanif, Maya, dan Linangkung. Lalu aku cepat-cepat mengambil handukku. Aku masuk kamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhku. Setelah mandi, aku pun menyemprotkan minyak wangi ke arah tubuhku. Lalu, dengan penuh semangat aku bergegas mengambil kunci motor. Saat aku beranjak menaiki motor, tiba tiba terdengar terikan.

“Eh, mau kemana? ” teriakan Ayah melarangku pergi. “Eem..aku …. Main bareng temen-temen SMP. Boleh, ya?” “ Tidak boleh ! Jalanan ramai sekali, apalagi naik motor sendiri,” Ayah melarangku pergi.

“Kenapa gak boleh, Yah? Plisss,” suaraku merayu Ayah. Tetapi Ayah tetap bersikeras melarangku. Tiba-tiba Ibu datang mendekati Ayah. Mungkin karena Ibu kasihan dengan aku, yang jarang sekali keluar untuk bermain dengan teman-teman. Akhirnya Ibu berbicara kepada Ayah agar aku dibolehin untuk pergi. Akhirnya, Ayah pun membolehkan aku pergi. Ini semua berkat Ibuku aku dibolehin naik motor sendiri dan ini bener-bener keberuntungan!

“Oke, Yah. Aku akan hati-hati selama aku pergi. Aku berangkat dulu, ya Yah, Bu.”

“Ya, hati-hati di jalan. Jangan buru-buru,” kata Ibu kepadaku. Aku pun berangkat ke sekolahku tercinta. Dalam perjalanan aku membayangkan betapa senangnya nanti bisa bertemu dengan teman- teman yang sudah lama tak bertemu. Saat membayangkan itu, bibirku tak henti-hentinya tersenyum. Setelah sampai di sekolah. Baru ada Linangkung, lalu ke mana yang lain?Aku menelepon semua teman- teman yang belum datang. Dan semua nya tidak bisa dihubungi. Lalu aku telepon Maya.

“Halo, May? Kok, kamu belum datang?”

“Wah, aku gak berani jemput kamu. Jalannya macet, nih.” Akhirnya Maya menunggu sampai Ayahnya pulang. Sambil menunggu kedatangan Maya, tiba-tiba Hanif datang membawa gitar. Hanif yang selalu ceria ini membuat aku dan linangkung tersenyum karena tingkahnya yang lucu. Beberapa saat kemudian terdengar suara motorberwarna orange dan pengemudinya adalah Maya. Dia datang dengan diantar Ayahnya. Waktu sudah menunjukkan jam sebelas.

“Astaga, sudah siang. Ayo kita mau kemana, nih teman?” kataku mengajak teman-teman.

“Hm.. kita ikutan, aja deh,” teriak Linangkung. “Ayo, ke Mangunan aja!” kata Hanif

“Ayo, ayo,” teriak Linangkung dan Maya.

“Eh, Mangunan? Naik gunung, ya? Aku gak boleh sama Ayahku,” aku mengelak.

“Ya, sudah ke hutan Pinus aja, gimana?” kata Maya.

“Dimana itu? Naik gunung juga, yah? Menakutkan gak jalannya?” aku masih ragu.

“Enggak, kok Ris. Cuman situ,” kata Maya.

Apa kata Ayahku jika aku pergi sampai naik gunung. Dalam perjalanan banyak kutemui jalan yang berliku-liku dan sangat curam. Aku merasa mual. Jalannya terasa makin jauh. Tetapi, saat sampai Hutan Pinusnya semua perasaan bimbang itu hilang tatkala melihat sejuknya Hutan Pinus. Kami turun dan berfoto-foto. Dalam suasanya yang tenang sejuk karena hembusan angin yang melewati sela- sela pohon pinus, Hanif mengeluarkan gitar. Tidak beberapa lamu alunan nada-nada indah terdengar dari petikan senar Hanif. Aku pun terhanyut dalam sebuah nada yang dimainkan. Saat-saat itulah yang tak bisa kulupakan, bernyanyi bersama dengan kawan lama.

Di saat kita bernyanyi bersama, ternyata waktu menunjukkan pukul 13.00. Di saat kita ingin pulang Hanif mengusulkan untuk meneruskan perjalanan ke Mangunan.Tapi aku ragu-ragu. Aku pun bertanya, ngapain ke Mangunan? Mana jalannya juga nanjak.Nanti kalau Ayahku tahu bagaimana?

“Mangunan aja. Rugi kalau ke Hutan Pinus tapi gak ke Mangunan,” ajak Hanif.

“Iya, gak apa-apa. Lihat pemandangan. Bagus, kok,” kata Hanif merayuku.

Akhirnya kami pergi ke Mangunan.Ternyata lokasinya tak jauh dari Hutan Pinus itu. Jalannya sangat curam. Saat aku melewati tanjakan itu ada sedikit masalah pada motorku. Krrrik..kriik.. kriik.. suara apa itu? Suara itu sepertinya berasal dari motorku. Aduh, motorku kenapa? Aku sudah ketakutan dan saat sampai Mangunan.

“Aduh, kenapa motorku tiba-tiba ada suara itu?” tanyaku kepada Hanif dan Maya.

“Mungkin itu socbreakerknya, Ris,” jawab Maya. “Bener? Tapi gak apa-apa kan?” tanyaku ragu.

Disaat aku masih cemas dengan motorku, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring….Kriiiinggg…. Krrrinnngg…. Suara apa lagi itu? Kali ini bukan berasal dari motor, tetapi suara itu… tepat! Handphoneku berbunyi. Astaga tanteku telepon. Aduh gimana nih. Akhirnya aku angkat teleponnya. Aku bergeser menjauh dengan teman-teman.

“Halo?Ada apa tante?”

“Kamu dimana? Oia, cepet pulang ya, kita ke gereja jam 3.” “Oh, yaa. Aku pulang,” tuuuut…tuttt…tutt… dan ternyata sudah putus teleponnya.

Segera aku mengajak temen-temen pulang. Waktu sudah menunjukan pukul 14.00. Aku takut dimarahi orang tuaku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi lagi. Aduh, dalam hatiku kenapa aku ditelepon lagi? Saat aku keluarkan handphoneku ternyata hanya dering SMS. Kubuka SMS tersebut, bunyinya ”Ayo pulang! Sudah siang. Main dari tadi pagi sampai siang gini? PULANG!” Astaga, aku mulai tidak tenang. Akhirnya kita sepakat untuk pulang. Di perjalanan, tiba-tiba handphoneku berbunyi lagi. Tanteku telepon lagi. Aku langsung minta temen-temen mematikan mesin motor.

“Halo, Ris kamu dimana?”

“Hmm… aku… lagi sama temen-temen SMP.” “Dimana?”

“Hm… di rumah temenku. Daerah deket SMP.” “Oh, ya wis. Gek pulang, ya.”

Astagaaa… aku bohong. Aduh..aku jadi gak tenang nih.Perasa- anku saat ini benar-benar kacau. Aku berulang kali tanya temen-temen.

“Sampai rumah jam 3 cukup, gak nih?” “Cukup, cukup..tenang ajaaa,” kata Hanif

Astaga aku tidak tenang dijalan. Aku sudah bohong. Aku takut dimarahi, karena bermain sampai naik gunung. Aku berharap semoga saja sampai rumah tidak dimarahi. Sampai rumah jam tiga tepat. Huh.... rasanya lega bisa pulang jam tiga tepat. Tetapi, aku belum bertemu Ayah. Ketika berhadapan dengan Ayah....

“Nah ini dia. Main dari jam sembilan sampai jam tiga. Dari mana saja, toh?” tanya Ayah kepadaku

“He,he.. dari tempat temen, kok.”

“Huuu… main aja sukanya,”kata Ayahku dengan sedikit senyum an.

Aku hanya tersenyum, berharap Ayah tidak marah besar. Tetapi aku masih tidak tenang, karena aku belum jujur kalau telah bermain ke hutan Pinus. Malam harinya aku tidak bisa tidur, karena masih kepikiran gara-gara aku bohong tadi. Bagaimana nasibku kalau aku bohong? Aduh bagaimana? Tik, tok, tik, tok. Ini waktu sudah menjunjukan pukul dua belas malam dan aku belum bisa tidur. Aku masih terbayang bayang tentang kejadian tadi. Aku harap Ibu dan Ayah tidak marah dan aku berencana kalau besuk pagi akan jujur sama Ayah dan Ibu.

Keesokkan harinya, ..dag dig dug dueeeeer… Pagi ini aku mau bilang tetapi kok ragu-ragu. Namun, dengan tekat yang kuat aku akan bilang sejujurnya, walaupun aku tahu pasti nanti aku kena marah besar. Tetapi tidak apa-apa, yang penting aku sudah jujur dan aku gak ketakutan seperti ini lagi. Ayah dan Ibu belum pulang. Aku menunggu sambil tidur, karena mengantuk sekali. Tetapi tidak bisa tidur juga. Perasaanku tak tenang, gara-gara bohong. “Tuhaaaaaan…. Maafkan aku”. Tiba-tiba Ayah dan Ibuku datang. Aduh, bagaimana ini. Mereka sudah senyum gembira. Aku takut mengecewakan mereka. Saat Ayah dan Ibu sedang duduk, aku mendekati mereka. Saat aku mau bicara kepada mereka.

“Hmmm….,” gumamku tidak tenang.

“Oh, iya Ris. Kemarin kamu darimana? Kok ada fotomu berada di hutan?”

Jreeeng…. Jreeeeng….waduuuuhhhhhhh... Harus menjawab apa aku? Astaga..foto–foto kami kemarin itu! iyaaa !foto-foto itu diunggah oleh Maya di facebook. Aduuuuuuuuuh. Sungguh, aku sudah seperti pemain catur yang kena ”skak”, mati, diam, kaku, malu.

“Hm..i, i, iya kemarin aku main ke hutan Pinus,” jawabku mendesis.

“Ha? Kamu main ke hutan Pinus? Yang dekat Mangunan, itu?” tanya Ibu.

“Astaga, Riska. Itu jauh banget, jalannya naik lagi,” kata Ayah sedikit marah.

“Pokoknya besuk gak boleh lagi, ya,” kata Ibu kepadaku. “Iya, maaf ya Ayah, Ibu.”

“Yaaa..besuk lagi tidak boleh! Kalau enggak motormu aku sita,”kata Ayah kepadaku.

Aku terkejut. Apaaa?! Aku tak mau motorku disita. Akan tetapi, aku berpikir bahwa ini lebih baik sebagai tumbal kesalahan- ku. Oke, tak apalah. Tetapi gara-gara berbohong itulah hati ku tidak tenang, sungguh tidak tenag dan tak akan aku ulangi lagi. Bohong itu menyiksa ! Sungguh !

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 57-63)