• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Ikhwan Priambodo

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 86-90)

Danau ini serasa sejuk dengan hembusan angin dan rindangnya pepohonan. Awalnya aku senang kemari karena suasana dan jernihnya air danau. Kemudian aku disapa oleh Bimo, pemuda yang sering menjaring ikan disekitar danau hingga aku betah untuk duduk berlama-lama. Namaku Sadewa, aku duduk di bangku kelas dua Sekolah Menenga Atas.

“Kita aneh, ya?“ tanyaku sembari tersenyum. Ia menoleh menatapku tak mengerti

” Aneh aja. Kita bersahabat, ketemu, ngobrol, bercanda tapi,” ucapanku tak kulanjutkan sembari kuhisap sebatang rokok.

Ia hanya diam, mungkin menunggu bicara lagi. Setelah beberapa saat aku tetap diam, sambil menghela nafas ia bertanya.

“Tapi kita belum kenalan,“ Bimo ikut tersenyum. “Benar,“ jawabku tanpa menoleh.

“Aku tahu namamu Sadewa dan kamu tahu namaku Bimo,” ucapnya pelan lebih mirip gumaman.

“Kita seumuran?”tanyaku

“Mungkin. Atau mungkin lebih tua aku,” jawabnya mengulum senyuman.

“Aku enam belas,” jawabku tanpa meminta menyebutkan usianya. Dia tertawa pelan. Itu yang kusuka darinya.“

“Aku satu tahun lebih tua,” jawabnya kalem.

Kami terdiam dan kembali kepada angan masing-masing. Sebenarnya, dari awal pertemanan, aku sudah merasakan se suatu yang berbeda dan janggal. Tetapi tentu saja aku tidak ingin mengusiknya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol un tuk memuaskan rasa penasaranku. Yang aku tahu, itu tidak akan membuatnya nyaman bersamaku. Itu sebabnya aku diam saja. Ia pun sama, tidak pernah mengusik dengan

banyak tanya tentangku. Pertemanan kami mengalir begitu saja seperti tanpa ada penhalang atau jarak diantara kami. Bercanda dan kadang tertawa lepas, tidak sedikit pun gambaran kesedihan terpampang diantara kami. Semakin lama, pertemanan itu berubah menjadi persahabatan yang unik dengan seiring berjalannya waktu.

“Kamu nggak pernah mengeluh kesakitan?”pertanyaan Bimo membuatku tersentak.

“Mengeluh kepada siapa? Dokter? Perawat? Tidak akan memper- baiki keadaan,”aku menepis serangga kecil yang menjalari tanganku.

“Kamu kuat sekali Sadewa.”

“Ia karena kamu tahu dalam hidup kita, semua diciptakan kuat tidak ada yang lemah. Hanya malaslah yang membuat kita menjadi lemah,” ucapku sambil kupegang pundak Bimo.

Tak terasa hari sudah semakin sore membuatku harus bergegas kembali pulang ke rumah.

“Aku pulang, ya.”

Tanpa menunggu anggukan atau persetujuan dari Bimo. Aku berdiri dan beranjak pulang, sedikit sempoyongan. Entah mengapa tubuhku merasa sedikit nyeri dan sedikit pusing dikepala langsung kunyalakan sepeda motorku untuk bergegas pulang. Sampai dirumah kemudian aku menjatuhkan tubuh dipembaringan. Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Seminggu kemudian aku kembali ke danau tersebut. Entah mengapa aku sangat suka sekali dengan tempat ini. Belum lama setelah aku standarkan sepeda motorku, ternyata Bimo sudah disana. Dia menoleh dan menatapku dengan senyum dia bertanya kepadaku.

“Dimana saja kamu Sadewa selama ini?”

“Aku sibuk dengan kegiatanku disekolah dan banyak pekerjaan dirumah yang harus aku kerjakan. Apakah kamu tidak ada kegiatan disekolah?” tanyaku sembari aku memberi senyuman kepada Bimo. Bimo hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku apakah pertanyaanku salah dalam hati aku berkata. Beberapa jam kemudian Ibuku meneleponku untuk segera pulang.

“Sadewa jam berapa ini? Kenapa kamu belum pulang dari sekolah,” ucap Ibu dari telefon genggamku.

“Ya, Bu aku sedang didanau bersama temanku.”

“Ya sudahlah. Cepat pulang Sadewa! Pokoknya sebelum jam lima sore kamu sudah harus sampai dirumah,” kata ibu.

Lalu ibu langsung menutup pembicaraan. Sepertinya Ibu marah karena pulang sekolah aku bermain dahulu. Setelah menerima telefon dari Ibu, aku kembali ketempat Bimo berada. Namun, tak kutemui dia di sana. Bahkan, tak ada jawaban ketika aku berteriak- teriak memanggil Bimo. Tanpa pikir panjang, aku bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku terus berpikir apa yang sedang terjadi kepada Bimo. Pertanyaanku bergelayut di pikiranku, pertama ketika aku bertanya kepada Bimo, dia tidak menjawab pertanyaanku dan kedua, dia meninggalkanku begitu saja tanpa pamit. Bimo hilang bagaikan ditiup angin meninggalkan tanpa jejak.

Beberapa hari kemudian aku mendatangi danau itu dan kembali berharap Bimo muncul. Tetapi, entah mengapa ternyata Bimo tidak ada disana. Kutunggu sampai beberapa jam, tetapi Bimo tidak menampakkan dirinya. Aku terus berpikir apa yang telah terjadi kepada Bimo. Sampai akhirnya aku bertemu dengan lelaki paruh baya yang sedang membawa jaring dan ikan hasil tangkapannya. Aku terdiam sejenak sepertinya aku pernah bertemu dengan lelaki paruh baya ini sambil kuingat. Dia menghampiriku. Ternyata Pak Maman, penjala ikan yang selalu berada di danau ini untuk menangkap ikan. Aku pernah bertemu dengannya..

“Sedang apa, Nak kamu disini. Kenapa nampak gelisah?” “Tidak, Pak. Saya hanya sedang menunggu teman saya, Bimo yang sering bersama saya di sini. Apakah Bapak tahu? Dia berkulit putih dan berambut pendek.”

“Bimo sering bersama kamu, Nak?” tanya Pak Maman dengan raut wajah kaget.

“Memang ada apa, Pak?”dengan penasaran aku bertanya kepada Pak Maman.

“Bimo sebenarnya adalah anak Bapak, Nak. Tetapi…”

“Tetapi apa, Pak. Tolong ceritakan kepada saya. Bimo sangat baik kepada saya. Kami seakan-akan sudah seperti sahabat karib, kami…” kata-kataku terutus tiba-tiba.

“Tetapi, Nak. Bimo telah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit. Bapak tidak mampu menyelamatkan nyawanya, karena tidak mempunyai biaya untuk mengobati Bimo. Bapak sangat merasa bersalah,” jelas Pak Maman sambil menitihkan air mata.

Aku langsung terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, seakan tidak percaya dengan cerita Pak Maman. Seakan aku tidak sadar bahwa selama ini aku berteman dan bersahabat dengan orang yang sudah meninggal. Kami memang berbeda dunia, tetapi kami pernah menjadi teman dan sahabat. Suatu saat aku bertemu Pak Maman kembali. Pak Maman mengajakku untuk pergi ke makam Bimo. Makam tersebut tidak jauh dari danau. Aku mendoakan Bimo supaya dia hidup tenang di alam baka.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 86-90)