• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIKA HUJAN REDA

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 147-152)

Yosef Astono Widhi

Kata banyak orang pelangi itu indah. Penuh warna. Tapi bagiku tidak, tidak lebih baik dari hidupku. Hidupku yang kelabu.

***

Mungkin sekarang mendung adalah sahabat terbaik matahari, atau mungkin sudah terjalin hubungan yang lebih. Hampir sebulan ini cuaca selalu mendung lalu hujan, tidak pernah cerah. Mungkin kota ini harus diberi julukan ‘kota hujan ke-dua’ atau mungkin ‘kota tidak pernah cerah’ atau apalah. Cuaca yang tidak memungkinkan warganya untuk bersepeda. Mungkin ini sebabnya kota ini sudah jarang disebut ‘kota sepeda’. Ataupun melakukan kegiatan pariwisata yang juga merupakan julukan kota ini, ‘kota pariwisata’.

Speerti hari sebelumnya, hari ini hanya hujanlah yang menema- niku. Sebenarnya, aku bingung harus benci atau tidak pada hujan. Hujan yang sebenarnya diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai berkah untuk makhluk-Nya. Benci, karena hujan kerap mendatangkan musibah dan memaksaku untuk bergelut dengan kemacetan setiap hari. Angkot yang biasa kunaiki pun tidak terlihat sejauh mata memandang. Huh, sepertinya aku lebih kearah benci daripada suka dengan hujan.

“Hai, sendirian aja. Namamu siapa?” Aku tersentak kaget, suara itu membuyarkan lamunanku. Seorang wanita seumuranku duduk di ssampingku seraya menyodorkan tangannya.

“Eh, hai, ngagetin aja. Namaku Arko Fanus. Panggil Arko aja. Kalo kamu?” Jawabku sambil menerima tangan gadis itu.

“Nama yang bagus. Aku Luvia Kristi, Luvia. Kamu biasa nunggu angkot di sini ya, Ko?”

“Iya angkot jurusan timur, Luv. Biasanya jam segini udah sampai rumah nih. Berhubung hujan, macet deh. Angkot ngaret. Huh terkutuk kau hujan!”

“Huh jangan ngomong gitu, hujan itu rezeki lo.” “Bikin banjir kok rezeki. Benci deh.”

“Wah Ko, kita kayanya ngga bakal cocok deh. Aku cinta hujan, juga pelangi!” Seru Luvia girang.

“Hah, apasih bagus hujan? Pelangi juga, bagiku pelangi cuma kumpulan berbagai warna yang tak berseni.”

“Haha dasar Arko. Kau tahu, namaku Luvia, dalam bahasa Spanyol yang berarti Hujan. Aku hidup bersama hujan, aku dan hujan bersahabat dekat.” Kembali, Luvia tersenyum. Manis. Manis sekali.

“Hei kok bengong, tuh angkot nya udah datang. Sana naik, ke- buru sore.” Luvia mengagetkanku, aku segera bangkit hendak menuju angkot. Kupikir Luvia ikut denganku, tetapi ia hanya diam.

“Aku beda jurusan, Ko.” Ucapnya melihat kebingunganku. Setelah melambaikan tangan pada Luvia, aku segera menaiki angkot yang lumayan sepi penumpang tersebut. Mungkin calon penumpang lebih memilih taksi karena angkot terlalu lama datangnya.

***

Hari ini adalah tepat satu bulan setelah pertemuanku dengan Luvia. Kami selalu bertemu sepulang sekolah di bawah naungan halte, sekadar bercerita ngalor-ngidul. Selama satu bulan juga hujan selalu menemani kami, seakan tidak membiarkan kami pergi.

“Apa kau ini dewi hujan, heh? Setiap kali kita bertemu selalu diiringi hujan.” Seruku bercanda.

“ Kalo begitu kamu dewa pelangi dong, selalu pelangi menghiasi angkasa saat hujan reda.”

“Haha, pelangi dan hujan. Mereka memang tercipta untuk ber sama kan. Ketika orang-orang benci dengan hujan, lalu pelangi diturunkan untuk meredakan amarahnya. Ini sudah diatur.”

“Berarti pertemuan kita sudah diatur dong, Ko.” Aku kaget mendengarnya. Tampak Luvia menerawang jauh kea rah pelangi yang menjulang indah di angkasa.

“Kau bagai pelangi yang selalu mewarnai hari-hariku. Terima- kasih.” Ucap Luvia.

“Aku bisa merasakan hujan ketika orang lain hanya merasa basah. Aku juga merasakan keindahan di setiap hari-hari di mana

kita selalu bertemu. Keindahan bagai pelangi.” Ucapnya lagi. Ia masih menerawang jauh, seperti membayangkan sesuatu.

“Aku juga berterimakasih padamu. Berkatmu aku bisa merasakan hujan dan pelangi. Walau sedikit.” Jawabku sekenanya. Perasaan apakah ini? Perasaan yang nyaman namun berat untuk diungkapkan.

“Maukah kamu berjanji padaku?”Sekarang Luvia menatap padaku. Terlihat harapan besar di matanya.

“Berjanji apa?”

“Berjanji untuk tidak membenci lagi pada hujan dan berjanji padaku untuk selalu menjadi pelangi.” Aku bingung mendengarnya. Aku tidak mengerti arti pertanaan tersebut.

“Eh hei itu angkotnya sudah datang. Mungkin bisa dilanjutkan besok, Luv. Keburu sore nih.” Ucapku berusaha mengelak.

“Menghindar, heh?” “Menghindar dari apa?”

“Sudahlah, hati-hati di jalan Ko. Sampai bertemu.

Aku menaiki angkot itu. Sekelebat aku melihat air mata di ujung matanya. Tetapi angkot yang kunaiki segera berlalu. Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada senyum manis.

***

Mungkin semua orang iri pada kami. Dua orang yang sedang asik bercengkrama di bawah hujan, dan sejenak melupakan rasa penat dan jenuh di kehidupan ini. Mereka iri pada keakraban kami. Ya, aku dan Luvia memang semakin terlihat akrab. Kami selalu bersama menunggu angkot setelah pulang sekolah, ditemani hujan dan pelangi tentunya.

“Luv, rumah kamu di mana sih? Kamu juga, sekolah di mana?” Kedua pertanyaan itu akhirnya terucap juga. Pertanyaan yang selalu memenuhi benakku. Tetapi Luvia hanya diam.

“Hei, aku bicara padamu.”

“Oh, eh, rumah ya? Di perumahan Tirto Asri blok O nomor 5.” “Wah 1 blok dong dengan rumah kakekku. Tapi aku lupa nomor berapa.” Aku berseru girang, mungkin suatu hari aku bisa main ke rumahnya. Luvia tersenyum manis. Senyum yang sudah lama tak kulihat

“Di SMA Pembangunan 2, dekat kok. Tapi pasti kamu tidak tahu” “Iyasih, baru dengar.” Tiba-tiba perasaan itu muncul lagi, perasaan yang tak bisa kumengerti. Tetapi perasaan itu memaksaku untuk berucap, dan lidahku kalah.

“Luv, apa kita ini cuma teman?” Aku mengucapkan dengan lebih menekankan pada kata ‘teman’.

“Maksudmu gimana, Ko?”

“Aku tahu perasaan ini aneh. Tapi apakah kita bakal selalu menjadi teman, sedangkan semua orang berpikir bahwa kita ini tidak hanya teman?” Kembali, kutekankan pada kata ‘teman’,

“Maaf.” Hanya itu? Apakah kau tidak memiliki ekspresi lebih untuk ini Luvia?

“Maaf, tapi aku enggak bisa, Ko.” Luvia bicara lagi.

Sebelum aku menjawabnya, Luvia berlari pergi menerjang hujan yang lebih lebat dari biasanya. Aku ingin mengejarnya, tetapi badanku seolah menolakku untuk merasakan dinginnya tetesan-tetesan hujan itu. Tetesan hujan kali ini terasa sangat tajam. Sangat tajam sehingga membuat luka hati ini sangat dalam.

***

Kali ini, adalah hari ketujuh aku menunggu angkot itu sendirian. Tidak ada Luvia, tidak ada hujan juga pelangi. Seharusnya aku senang dengan keadaan ini. Keadaan yang sudah amat lama aku rindukan, cuaca cerah. Tetapi hati ini berkata lain. Aku sangat merasa kehilangan Luvia. Kemana ia pergi? Apakah ia pergi bersamaan dengan perginya hujan?

Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ayah.

“Yah, kita ke rumah kakek yuk.” Ajakku pada ayah yang sedang membaca koran.

“Ke rumah kakek yang di Perumahan Tirto Asri? Weekend deh, Ko. Tapi kok tumben kamu pengin ke sana?”

“Kangen aja, Yah.” Jawabku cepat sambil berlalu menuju kamar. Kamarku ini adalah kamar peninggalan median ibuku. Ya, ibuku sudah meninggal akibat kecelakaan. Kecelakaan yang diakibatkan hujan lebat. Saat aku masih berumur 4 tahun. Mungkin itu salah satu alasan aku benci dengan hujan. Aku mengambil foto ibuku. Ibu dan kakek sedang berpose di depan rumah kakek. Rumah yang berada di

blok yang sama dengan rumah Luvia. Terlihat mobil lawas kakek di sana, juga tercetak nomor rumah kakek di dinding, nomor 5.

PRANG!! Aku menjatuhkan pigura itu. Nomor 5. Nomor yang sama juga dengan nomor rumah Luvia. Bagaimana ini bisa terjadi. Aku sangat bingung.

“Arko. Ada apa?” Tanya ayah yang tiba-tiba datang setelah mendengar suara benda jatuh dan pecah.

“Ayah, nama ibu itu Via kan?”

“Iya, Luvia Kristi lengkapnya.Hei kenapa, Ko? Teringat sama ibu ya?”

Aku tercekat kaku mendengar nama itu. Bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak bisa berkata-kata. Semua ini sangat aneh. Aku ingin meraung sekeras-kerasnya. Seketika penglihatanku menjadi kelabu. Pelangi yang awalnya tercetak indah di angkasa juga menjadi kelabu. Semua kelabu.

***

“Kuberi nama kamu Arko Fanus. Arko yang dalam bahasa Spanyol berarti pelangi. Janganlah kamu membenci hujan, jadilah pelangi. Kau terlahir bersama hujan dibawah pelangi.” Suara itu menyejukkanku. Ibu.

Dalam dokumen KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng (Halaman 147-152)