BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan
keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian
sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan
nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana
pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam
sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan
tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah
penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang
apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah
analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110).
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,
menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan
Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup
positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma
konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)
Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan
aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan
pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi
oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan
yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus
memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :pertama, objektif.
Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai.
Kedua, fenomenalisme.Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang
semesta yang teramati.Ketiga, reduksionisme.Semesta direduksi menjadi
objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.Positivisme memiliki
pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa
ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia
sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai
model.Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini
positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji
dengan metode ilmiah.Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang
berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode
ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada
pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa
manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik
(Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh
berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma
klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S.
Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya
terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga
menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah
cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan
sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari
pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga
berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan
dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001).
Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993),
gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam
konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu,
substansi, materi, esensi dan sebagainya.Ia juga mengatakan bahwa, manusia
adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh
Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis;
ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui
apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia
nyata.Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah
realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.Dalam pandangan realisme
hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang
mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.Sedangkan untuk
konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai
sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang
disekitarnya.Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan
Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri
bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto dalam bukunya yang
berjudul Analisis Framing (2002: 19) menyebutkan bahwa pendekatan paradigma
konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan
berita dilihat, yaitu:
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik
4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)
Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas
semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik,
budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi
dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang
kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara
historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6),
pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan
dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal
inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada
konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan
dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat.Bahasa juga disini dianggap bukan
sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.Bahasa dalam
pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu,
tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada
dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi
wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya
dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan
berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)
Paradigma Penelitian
Secara ontologis, paradigma konstruktivieme bersifat relativis.Realitas
dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperolehsecara alami
melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kalidipertukarkan di antara
sejumlah individu.Secara epistemologis, paradigma konstruktivisme
bersifattransaksional dan subjektivis.Peneliti dan objek penelitian
diasumsikanterhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian
tersebuttercipta seiring berlangsungnya penelitian.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis.Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan
antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap
socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci
terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau
mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).
Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita
yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi
memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam
memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan
tersebut (Patton, 2002: 96-97).
Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya
dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada
level ontologi, paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada
tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam
epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu
bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi,
paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan
menggabungkannya dalam sebuah konsensus.
Guba dalam bukunya The Paradigm Dialog (1990: 25) menyatakan:
“...philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only
within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).Basis
untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah
tidak ada.Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental
(konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.Itu berarti realitas ada sebagai
hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya ia menyatakan :
“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti bahwa kaum konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat
dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai.
Banyak pengonstruksian dimungkinkan.Ini berarti menurut Guba penelitian
terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai.Realitas hanya dapat diteliti dengan
dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang
terakhir dan penting adalah :
“Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing”
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi
manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap
tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah”. Penjelasan Guba yang
terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan
aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang
tetap tetapi selalu berkembang terus (Guba, 1990: 26).
Dari beberapa penjelasan Guba tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas
itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai,
tidak mungkin bebas nilai. Dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak
bersifat tetap, tetapi berkembang terus.
2.2Uraian Teoritis
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang
paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37).
Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori
yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).
Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep
yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan
relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut
(Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan
dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan.
2.2.1Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru
dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini
merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini,
menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami
fenomena-fenomena media mutakhir . (Agus Sudibyo: 2001)
Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang
menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis
maupun lisan.Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu
komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis).Dalam prakteknya, analisis
framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan
kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu
fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks
sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi
dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang
sebagai penempatan informasi–informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M.
Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai ‘’seleksi dari berbagai aspek
realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks
komunikasi.Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi
terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran
penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada
pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana
untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang
diwacanakan.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
Selanjutnya analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media
massa memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting
atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir
dalam wacana publik.
Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai
media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang
berbeda-beda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek
wacana.Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi sangat dipengaruhi oleh status,
wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing. Dalam konteks inilah wacana
media massa kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya
dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan
bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan
tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
Maka jelas terlihat bahwa framing bukan hanya berkaitan dengan skema
individu (wartawan), melainkan juga berhubungan juga dengan proses produksi
berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa
dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai
tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur
skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa.
Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955.Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan
yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep
ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan
frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang
membimbing individu dalam membaca realitas.
Peneliti yang paling konsisten mendiskusikan dan mengimplementasikan
konsep framing adalah Willian A. Gamson.Gamson terkenal dengan pendekatan
Modigliani, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan objek suatu wacana.
Selain Gamson dan Modigliani, berkaitan dengan dilihatnya framing
sebagai proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media,
Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari
berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol
dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara
khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan
tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi
para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1. Definisi Framing Menurut Beberapa Tokoh:
TOKOH DEFINISI
Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek
lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi
lebih besar daripada sisi yang lain.
William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian
rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu
terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu
semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan
individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia
sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia
terima.
Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek
tertentu dari realitas.
David E. Snow and
Robert Benfort
Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang
relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan
diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra
tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.
Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk
menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli
peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame
mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan
pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk
mengerti makna peristiwa.
Zhongdang Pan and
Gerald M. Kosicki
Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi
yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan
peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi
pembentukan berita.
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung
utama dari definisi framing tersebut.Framing adalah pendekatan untuk melihat
bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan
dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari
realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih
mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh
media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak
diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.
Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Akibat
penonjolan aspek-aspek tertentu ini, karenanya, seperti dikatakan Frank D.
Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti.Realitas
yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.
Ada dua aspek dalam framing.Pertama, memilih fakta/ ralitas. Proses
perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa
yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu
itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan
melupakan fakta yang lain, Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan
dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini
diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto
dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut
ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok
(menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan,
pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian
label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi
terhadap symbol budaya, generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang
mencolok, gambar, dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok,
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami suatu realitas.
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa
disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian
tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau
pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada
pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how).
Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga
bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur
kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi
dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).
Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre
Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah
pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan
menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan
menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang
dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita
(story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan
wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah
kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara
pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa
yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana
berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut
sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224).
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame
surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis
tersendiri. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara
pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil,
bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak
dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).
Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah
pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi
realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan
membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah
cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi
realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada
kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap
penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan
untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif,
alamiah, wajar atau tak terelakkan.
Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman
atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang
dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi
permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan
merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial,
tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah,
mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan
penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa
yang diwacanakan.
2.2.2Frame Model Gamson dan Modegliani
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan
Frederick (dinyatakan pula oleh William A Gamson dan Andre Modegliani).
Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat
representatif yang mengandung kontruksi makna tertentu.
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan
frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani).
Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat
representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang
mengandung konstruksi makna tertentu.Di dalam package ini terdapat dua
struktur, yaitu core frame dan condensing symbols.Struktur pertama merupakan
pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk
menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan.Sedangkan struktur yang
kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning
devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor, exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan appeals to principle (klaim-klaim moral). Lebih jelasnya dapat dilihat tabel
FRAMING ANALYSIS
MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI
Sumber : Diadopsi dari William A. Gamson dan Andre Modigliani, ‘’Media
Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach’’,
Journal of sociology, Vol. 95, No.1, July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001,
Struktur framing devices (perangkat pembingkai) yang mencakup
metaphors (metafora), exemplars (contoh terkait), catchphrases (frase yang
menarik), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif), dan visual
images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai) menekankan aspek
bagaimana ‘’melihat’’ suatu isu. Struktur reasoning devices (perangkat penalaran)
menekankan aspek pembenaran terhadap cara ‘’melihat’’ isu, yakni roots (analisis
kausal), appeals to principle (klaim moral), dan consequences (konsekuensi yang
didapat dari bingkai).
Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan
merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan
menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry
Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang
paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu
adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu
lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang
belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15).
John Fiske (Imawan, 2000:66) menilai metafora sebagai common sense,
pengalaman hidup keseharian yang di-taken for granted masyarakat. Common
sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan
perlahan-lahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan
mempertahankan ide untuk seluruh kelas.Metafora berperan ganda; pertama
sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi
dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.
Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi
memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran.Posisinya menjadi
pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.
Catchphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang
merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Dalam teks berita, catchphrases
mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.
Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat
konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Asumsinya, pemakaian kata
tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.Depictions dapat berbentuk
stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.
Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan
sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan,
dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual
image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan
ideologi pesan dengan khalayak.
Roots (analisis kausal), pemberatan isu dengan menghubungkan suatu
objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang
lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan
sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan.
Appeal to Principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi
pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran,
dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan
monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah
argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu,
tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain.
Dan pada akhirnya akan didapat konsekuensi dari teks berita, yang terangkum
dalam consequences.
Adapun beberapa penelitian yang telah menggunakan framingmodel
Gamsom dan Modegliani contihnya, BUNG KARNO DALAM WACANA MEDIA
MASSA ORDE BARU: Analisis terhadap Berita-Berita tentang Bung Karno dalam Majalah Tempo dan Majalah Editor Edisi Januari 1988-Juni 1994 dengan Pendekatan Framing. (Agus Sudibyo:2001)
Pembicaraan tentang sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa
menyebut satu nama, Bung Karno. Sulit untuk disangkal bahwa peranan dan
kepeloporan Bung Karno dalam perjalanan sejarah Indonesia sangat
dominan.Meminjam kata-kata Mahbub Djunaidi, “Bung Karno adalah potongan
kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar api
nasionalisme Indonesia, membakar api persatuan nation Indonesia, dan membakar
Bung Karno adalah nation and character builder yang telah membawa
bangsa Indonesia ke arah terbentuknya bangsa yang berkpribadian khas. Bung
Karno juga nerupakan simbol nasionalisme Indonesia yang berhasil menjembatani
perbedaan di antara suku-suku di Indonesia dan menanamkan kepada mereka
kesadaran tentang satu bangsa, bangsa Indonesia. Dalam percaturan politik
internasional, ia adalah figur negarawan yang representatife pada masanya dan
merupakan salah satu dari pemimpin berkarisma istimewa dalam nasionalisme
Asia dan Afrika. Berbagai kalangan tanpa terkecuali yang pada awalnya tidak
menyukainya, mengakui keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin terkemuka di
Asia, serta salah satu tokoh politik dunia yang sangat diperhitungkan.
Memahami manusia Soekarno, bagaikan memahami lukisan dengan seribu
warna.Meminjam istilah Benda, Bung Karno adalah sosok dramatic personae,
sebuah gambaran pribadi yang bukan hanya popular dan karismatik di mata
rakyat, tapi juga kontradiktif dan controversial. Bung Karno mewakili sosok
pemimpin rakyat yang multidimensional. Tidak ada tokoh di Indonesia yang
semarak label seperti Bung Karno: proklamator, Bapak Bangsa, nation and
character building, singa podium, agitator ulung, pemimpin absolute-totaliter dan
kolaborator Jepang. Sebagian label itu bahkan berasal dari luar negeri, sebagai
bukti bahwa ketokohan Bung Karno juga diakui khalayak internasional.
Kompleksitas Bung Karno sebagai seorang pemimpin terlihat dari
beragam perspektif yang digunakan masyarakat Indonesia untuk memandang
Bung Karno.Disatu sisi, Bung Karno memang dihormati berkat pengorbanan dan
kontribusinya dalam sejarah perjuangan bangsa. Di sisi lain, Bung Karno juga
dipersalahkan karena tidak mau membubarkan PKI pasca G-30S/PKI 1965,
kegagalan ekonomi dan proyek-proyek mercusuar yang tidak efisien di era
Demokrasi Terpimpin, serta kisah-kisah asmaranya yang kurang mencerminkan
kualitas seorang pemimpin. Bung Karno juga dituduh sebagai penguasa yang
cenderung totaliter.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah bagaimanakah
sebenarnya sikap politik Orde Baru terhadap Bung Karno.Harian Merdeka pernah
menyimpulkan bahwa negara Orde Baru menggunakan ‘standar ganda’ dalam
menyimpulkan ada dualisme sikap Pemerintah terhadap Bung Karno. Pada satu
sisi, Pemerintah mengakuinya sebagai pahlawan dan proklamator kemerdekaan, di
sisi lain Pemerintah mengizinkan terbitnya buku-buku yang mendeskriditkan dan
merusak nama baik Bung Karno, membiarkan pihak-pihak yang berpresepsi
bahwa Bung Karno adalah komunis, bahkan melarang berdirinya Universitas
Bung Karno.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung
menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru
sebenarnya cukup legaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung
Karno dengan kata lain mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekontruksi
realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terlihat dalam analisis data
kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah
yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno.
Kesimpulan ini didukung oleh kecerendungan framing yang ditunjukkan
insane pers Orde Baru sendiri dalam mengkontruksi berita-berita tentang Bung
Karno.Sebagai contoh, majalah Editor (17/3/1990) berjudul “Agar Bangsa Ini
Tidak Pecah” yang mengulas kekerasan sikap Bung Karno untuk tidak
membubarkan PKI pasca-G 30 S/PKI 1965.
Kelemahan analisis framingyang terbingkai dari data manifest dan latent
dengan akhir analisis latent dan simpulan latent. Objek yang dianalisis khusus
tentang berita.Unit analisisnya berupa skema, produksi dan reproduksi berita.
Analisis framingternyata masih memerlukan penyempurnaan, misalnya
permasalahan model proses analisis framing.
2.2.3Penelitian Kualitatif
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan dan tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian
kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari (dalam Basrowi, 2008: 1).
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis
terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis
tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya
abstrak tentang kenyataan-kenyataan.
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan.
2. Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. 4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis
data secara induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas. 5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori
substantif yang berasal dari data.
6. Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.
7. Lebih mementingkan proses daripada hasil.
8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10.Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi.
11.Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. (Basrowi, 2008: 20)
2.2.4Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas
Kejadian atau peristiwa yang menghasilkan fakta sangat banyak.Tetapi,
tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah
berita jurnalistik.Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah
ditentukan sebagai berita.Ia bukan peristiwa itu sendiri.
Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk
significance (penting).Unsur ini terlihat ketika kejadian atau peristiwa yang ada
memengaruhi kehidupan masyarakat.Atau setidaknya memengaruhi kehidupan
pembaca.Kedua, magnitude (besar).Unsur ini ada dalam kejadian mengenai
angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.Ketiga, timeless
(waktu).Ini menyangkut tentang aktualitas sebuah kejadian, terutama mengenai
baru dan tidaknya sebuah peristiwa.Keempat, proximity (kedekatan).Kedekatan
yang dimaksud adalah kedekatan terhadap pembaca yang berada dalam
lingkungannya.Bisa kedekatan secara emosional, maupun secara
geografis.Kelima, prominence (tenar).Kejadian yang menyangkut orang, benda
maupun tempat yang terkenal dan berpengaruh bagi banyak orang.Keenam,
human interest (manusiawi).Ini berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh
perasaan atau emosi pembaca.
Sementara itu, Bill Kovach dan Tom Rosensteil memberikan sembilan
elemen jurnalisme dalam bukunya The Elements of Journalism.Elemen-elemen ini
adalah standar nilai berita dan layak berita yang didasarkan pada wawancara
dengan 400 wartawan di seluruh dunia. Sembilan elemen jurnalisme tersebut
yaitu, (1) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas
pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah
disiplin verifikasi; (4) praktisi jurnalisme (wartawan) harus menjaga independensi
terhadap narasumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan;
(6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7)
jurnalisme memberitakan hal yang penting menjadi menarik dan relevan; (8)
jurnalisme menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; (9) mengikuti hari
nurani. Untuk bisa memenuhi nilai berita dan layak berita, sebuah peristiwa tidak
harus memenuhi semua unsur di atas.Ia bisa memenuhi semua unsur, tetapi juga
bisa hanya memenuhi beberapa unsur. Hal ini biasanya sesuai dengan hak
prerogatif penerbitan pers dalam menentukan kebijakan redaksionalnya untuk
menentukan unsur-unsur tersebut.
Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses
pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan layak berita
keseluruhan teks berita.Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang
dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.
2.2.5Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial
Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu
dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga
realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan
secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan
seseorang atau sekelompok orang tertentu (Eriyanto, 2001: 113).
Hal ini terkait dengan visi dan misi, serta ideologi yang dipakai oleh
masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut
dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan
adalah seseorang, kelompok, atau golongan dalam masyarakat yang tergantung
pada etika,moral, dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan dalam
pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam
membentuk dan mengkontruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan
ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi
tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak
terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan
Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui
bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The
Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial
dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan
kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
Kontruksi sosial berasal dari filsafat kontruktivisme yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas
diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates
menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id
(Bertens, 1999: 89-106). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah
Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi,
esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial,
setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan
adalah fakta (Bertens, 1999: 137-139). Aristoteles pulalah yang telah
memperkenalkan ucapannya ‘cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena
itu saya ada.”
Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun
1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’(dalam Suparno, 1997:
24), mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa
‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’ini berarti
seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang
membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat
mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan
dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu
yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yakni
konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa (Suparno,
1997: 25).
1. Konstruktivismeradikal
2. Realismehipotesis
Bagi realismehipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. 3. Konstruktivismebiasa
Konstruktivismebiasamengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu.Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya.Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
dengan konstruksi sosial.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan
Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif
dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian
dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini
tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap
menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan
kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2007: 188-189).
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi
Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Bungin, 2007: 14).
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki
makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh
individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu
mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas,
memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi
sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media
massa membuat gambaran tentang realitas.
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis (Bungin, 2008: 203).
Gambar 1
(Sumber: Bungin, 2008: 204)
2.2.6 Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh
yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam
Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content,
menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang
mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media: Individu; Rutinitas
media; Organisasi; Ekstra media; dan Ideologi.
Gambar 2
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 64)
Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola
media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari
pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada
khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan
sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang
pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa
mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.
Terdapat tiga faktor intrinsik pada pekerja media yang dapat
mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti, dan latar
belakang pekerja. Kedua ialah sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya
ialah keberpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah
orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai
contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai
kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita
(Soemaker dan Reese, 1996: 64).
Gambar 3
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 65)
Gambar di atas menunjukkan hubungan di antara faktor-faktor intrinsik
jurnalis yang melatabelakangi isi media.Karakteristik, latar belakang dan
pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki
jurnalis dan juga mempengaruhi pengalaman dan latar belakang dalam
profesinya.Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis
dibesarkan, dan karakteristik pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan
keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan
mempengaruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman
dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan
dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi media.Sedangkan sikap,
nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media
sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker dan
Reese, 1996: 65).
Rutinitas Media
Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap
media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa
adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi
pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan
dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa
penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui
proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa
penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
Karl Manheim, seorang sosiolog Jerman mengatakan bahwa tiap individu
tidak berpikir dengan sendirinya. Seorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan
lebih jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka
berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berpikir dengan cara pikir
kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi
media massa.
Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh
para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media
tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk
dikacaukan. Hal-hal yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri
(processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan
Reese, 1996: 105-108).
Gambar 4
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 109)
Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan
orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil
dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa
jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media,
misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian
sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak
selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus
strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya
menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi
menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan
penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga
mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut
mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga
seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan
sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mepekerjakan pekerja media
dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan
yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan
mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan
salingketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis.
Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang
standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organisasi media
massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran
organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan
bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan Bagaimana kebijakan
tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144).
Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah
mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah,
yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan
proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam
organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas
membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil
keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial,
dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan
Reese, 1996: 151).
Ekstra media
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun
berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak
dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang
termasuk dalam lingkungan di luar media:
1. Sumber berita
Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang
memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk
mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau
memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang
mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik
pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan
mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita
ini sering kali tidak disadari oleh media.
2. Sumber penghasilan media
Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau
pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media
harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya
media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan
pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya
pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di
antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi
Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan
terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum
peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
3. Pihak eksternal
Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini
sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.
Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang
dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja
berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan
negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan
pasar dan bisnis.
Ideologi
Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita
mempersepsikan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah
seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia
dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar
dalam model hierarki pengarus isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222).
Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi
tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka
menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level
ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam
menafsirkan realitas.
Raymond William (dalam Eriyanto,2001) mengklasifikasikan penggunaan
ideologi tersebut dalam tiga ranah.
1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas
tertentu.
Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat
ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam
bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat
sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang
tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan,
menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian
besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat
mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis.
Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini
tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan
diterima dari masyarakat.
2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan
pengetahuan ilmiah.
Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan
kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya
untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol
kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke
dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan
itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan
lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.
3. Proses umum produksi makna dan ide.
Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
produksi makna.
2.2.7 Citra
Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia
menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak
orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari
realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan
sepenuhnya.Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa
dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan
baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran)
dan masyarakat luas pada umumnya.
Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap
perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah:
1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran
2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan, organisasi atau produk.
3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. (Soemirat, 2004 :114).
Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang
dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek.Sikap dan tindakan orang terhadap
objek sangat ditentukan oleh citra objek tersebut. (http://maskurisutomo.com/
Citra adalah peta tentang dunia.Tanpa citra kita selalu berada dalam
suasana yang tidak pasti.Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus
sesuai dengan realitas.Citra adalah dunia menurut persepsi kita (Rakhmat,
2005:223).
).
Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang
sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah
dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki
seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi,
kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui.13 Sementara menurut Newsome,
Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua
publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat.
Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede
Pareno, MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan,
persepsi, opini, penilaian secara umum. Terakhir, Bill Sukatendel menjabarkan
citra sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek.Atau
kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau
organisasi.Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran
persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga.Citra adalah hasil
gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol,
mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti
material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun
citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama
ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika
didasarkan pada kenyataan.
Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki
seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat
yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang
diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka.
- Jenis Citra
Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu :
a. Citra Bayangan / Cermin (Mirror Image)
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi
mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra
bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar
terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar
ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun
pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat
atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif,
karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri
shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan
kita
b. Citra Yang Berlaku / Kekinian (Current Image)
Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak
luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra
ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena
semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang
bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung
negatif.Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki
oleh penganut atau mereka yang mempercayainya.
c. Citra Harapan (Wish Image)
Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra
ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih
baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi
disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi
lebih baik. Citra harapan ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk
menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai
informasi yang memadai.
d. Citra Perusahaan / Kelembagaan (Corporate Image)
Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi
bukan citra atas produk dan pelayanan saja.Citra perusahaan terbentuk oleh
banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan antara
lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang,
keberhasilan-keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor, hubungan
industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja dalam
jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen
mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra
perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional.
e. Citra Majemuk (Multiple Image)
Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai
(anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri,
sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang
belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari
berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara
yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk
mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko
yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan
yang sering memakai metode ini misalnya adalah maskapai penerbangan.
- Citra Positif dan Citra Negatif
Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang
benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya.Itu berarti citra tidak seyogyanya
"dipoles agar lebih indah dari warna aslinya", karena hal itu justru dapat
mengacaukan.Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja,