S K R I P S I
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)
Disusun Oleh :
ANNISA NAHDYA SAFITRI 06220324
KONSENTRASI JURNALISTIK DAN STUDI MEDIA
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul Skripsi : Pemberitaan Dugaan Korupsi Dana Haji
(Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010 )
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Nurudin, S. Sos, M. Si Joko Susilo, S. Sos, M. Si
Mengetahui,
Dekan FISIP UMM Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Judul : Pemberitaan Dugaan Korupsi Dana Haji
(Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010 )
Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang Dan dinyatakan LULUS
Pada Hari : Senin
Tanggal : 31 Januari 2011 Tempat : Ruang 605
Mengesahkan, Dekan FISIP UMM
Dr. Wahyudi, M.Si
Dewan Penguji :
1. Drs. Farid Rusman, M.Si ( )
2. Himawan Susanto, M.Si ( )
3. Nurudin, S. Sos, M. Si ( )
Korupsi Dana Haji ( Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010)” dapat diselesaikan.
Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo 6-12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”.
Melihat hal itu, media massa yang mempunyai pesan sebagai control social ataupun agent of change, terutama Tempo dan Gatra, dimana keduanya adalah media nasional yang sudah mapan dan punya karateristik yang berbeda. Juga melihat bobot peristiwa, yang memungkinkan tiap minggunya memunculkan fenomena baru. Ataupun juga kemampuan atau keistimewaan media yang sanggup membingkai suatu peristiwa hingga sedemikian rupa, dan dapat membengkokkan makna atau nilai suatu peristiwa agar sesuai dengan pandangan atau kepentingan media tersebut. Maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana kedua itu menyikapi hal tersebut selama akhir tahun 2010, tepatnya edisi November dan Desember 2010.
2. Dr. Wahyudi, M.Si selaku Dekan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Frida Kusumastuti, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi 4. Nurudin, S. Sos, M. Si selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,
arahan, dukungan moril serta kesabarannya sehingga skripsi ini selesai.
5. Joko Susilo, S. Sos, M. Si selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan, dukungan moril serta kesabarannya sehingga skripsi ini selesai.
6. Sugeng Winarno, S.Sos selaku dosen wali Ilmu Komunikasi 2006, atas arahan dan dukungan morilnya selama ini.
7. Segenap dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari skripsi ini adalah sebuah pembelajaran untuk menjadikan sempurna di masa depan. Saran yang membangun senantiasa diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Malang,15 Januari 2011
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii
BERITA ACARA BIMBINGAN ... iv
ABSTRAK ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
1.5 Tinjauan Pustaka ... 11
1.5.1 Konsep dan Teori ... 11
1.5.1.1 Komunikasi Massa ... 12
1.5.1.2 Media dan fungsinya dalam Masyarakat ... 13
1.5.1.3 Paradigma Konstruksionis ... 17
1.5.1.4 Konstruksi Media Atas Realitas ... 19
1.5.1.5 Teori Agenda Setting ... 28
1.5.1.6 Makna Konstruksi Ideologi ... 30
1.5.1.7 Analisis Framing ... 31
1.5.2 Kerangka Berpikir ... 40
1.6.5 Teknik Analisis Data ... 45
BAB II : GAMBARAN OBYEK PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Penelitian ... 48
2.1.1.1 Sejarah Perkembangan Majalah Tempo ... 48
2.1.1.2 Visi dan Misi Majalah Tempo ... 56
2.1.1.3 Profil Pembaca Majalah Tempo ... 57
2.1.2 Majalah Gatra ... 58
2.1.2.1 Sejarah Perkembangan Majalah Gatra ... 58
2.1.2.2 Visi dan Misi Majalah Gatra ... 63
2.1.2.3 Profil Pembaca Majalah Gatra ... 63
BAB III : PEMBAHASAN 3.1Gambaran Umum Kasus Dugaan Korupsi Dana Haji ... 65
3.2Frame Majalah Tempo ... 67
3.2.1 Teks Berita Main-main Duit Haji ... 72
3.2.2 Teks Berita Rajawali Menukik di Rumah Kontrakan ... 78
3.3 Frame Majalah Gatra... 89
3.3.1 Teks Berita Melipat Ongkos Ke Rumah Allah ... 91
3.4 Perbandingan Frame Majalah Tempo dan Gatra ... 97
3.5 Hasil Analisis Framing ... 101
BAB IV : PENUTUP 1. KESIMPULAN ... 114
2. SARAN ... 117 DAFTAR PUSTAKA
Blake, Reed dan Edwin. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Surabaya: Papyrus.
Briggs, Asa dan Burke Peter. 2006. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Burton, Grame. 2008. Yang Tersembunyi Dibalik Media. Yogyakarta: Jalasutra. Djuraid, Husnun. 2007. Panduan Menulis Berita. Malang: UMM Press.
Duroto, Totok. 2002. Memahami Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Eriyanto. 2005. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.
Harsono. 2008. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Husain, Coen Pontoh. 2008. Konflik nan Tak Kunjung Padam Dalam Jurnalisme
Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kovach, Bill dan Resenstiel Tom. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau.
Meleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Muhammad, Agus. 2005. Penyesuaian Opini Suatu Rekayasa Mengubah Citra. Jakarta: Gema Insan Press.
Nimno, Dan. 2006. Komunikasi Publik Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sardar, Zianuddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resist Book. Severin, Wanner J dan Tankard, James. 2005. Sejarah, Metode, dan Terapan
Didalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS.
Sularto, St. 2007. Dari “Sang Pemula” Ke “Sang Pengibar Bendera” Dalam Kompas: Menulis Dari Dalam. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Sumandiria, AS Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia: Menulis Media dan Feature, Paduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Usman, Husaini dan Punomo. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka. ________, 2007. Kompas Dari Belakang Kedepan Menulis Dari Dalam. Jakarta:
Gramedian.
Non Buku :
Majalah Mingguan Tempo edisi 6 – 12 Desember 2010 Majalah Mingguan Gatra edisi 18 – 24 November 2010
http://harmonihitam.wordpress.com/2008/10/24/sekilas-sejarah-majalah/ (diakses pada tanggal 12 April 2010)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Sebelum percetakan ditemukan, masyarakat mengandalkan komunikasi
dengan menggunakan pendengaran. Secara emosional dan interpersonal, hubungan
yang terjalin diantara mereka juga akrab. Akan tetapi, kehadiran media cetak
mengubah kondisi ini. Semenjak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, indera
penglihatan menjadi dominan dalam komunikasi. Awalnya adalah kata yang dicetak
pada halaman kertas. Inilah peristiwa yang mengubah Eropa dari abad ke- 15 dan
melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau apa yang kini
disebut sebagai berita.
Apabila menengok sejarah sosial1, perkembangan media massa dari masa ke
masa mengalami transformasi yang dinamis. Kehadiran media yang berfungsi sebagai
alat untuk berkomunikasi mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan dinamika
sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat pada waktu itu. Tahun
15342 misalnya, kaum protestan di Perancis telah memanfaatkan pers untuk
menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka yang beraroma agama. Lembaran kertas
1
Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) untuk lebih memahami bagaimana sejarah perkembangan media dari waktu ke waktu.
2
dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss dan diselundupkan di
Perancis untuk disebarkan ditempat umum sebagai wadah misionaris kaum Protestan
melawan otoritas kaum Katolik.
Perkembangan selanjutnya, pers yang semula menjadi alat misionaris dan
perang agama kaum Protestan, beralih menjadi media perjuangan. Media kembali
terlibat dalam terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal serupa juga terlihat
dalam Revolusi Amerika yang terjadi pada tahun 1776. Sebab, kemerdekaan Amerika
diberitakan tidak saja oleh pamflet, tetapi juga oleh surat kabar. Tanpa surat kabar,
Revolusi Amerika tidak akan pernah berhasil.3
Selanjutnya, komunikasi mengalami masa yang disebut sebagai revolusi
percetakan. Salah satu akibat penting lain dari penemuan percetakan adalah
terlibatnya para pengusaha secara lebih intens dalam proses penyebarluasan ilmu
pengetahuan. Penggunaan media ini mendorong bertambahnya kesadaran tentang
kepentingan publisitas, baik yang bersifat ekonomi maupun politik. Media cetak
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pada abad ke- 18. Mulai dari surat kabar
harian, mingguan, dua mingguan, diperkuat lagi bulanan/berkala dan majalah.
Dampaknya, kehadiran media cetak tersebut telah memperluas wawasan para
pembaca dan menjadikan orang sadar akan apa yang tidak mereka ketahui. Media
cetak ini juga sekaligus menyumbang pada timbulnya opini publik.
3
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan media massa semakin
dinamis. Apalagi ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi. Kehadiran media
massa semakin tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Sebab, media
massa mampu menjawab kebutuhan informasi manusia modern. Kebutuhan ini yang
dinilai kalangan tertentu (entah itu pemerintah, pemilik media, ataupun pemegang
kebijakan) berpotensi ganda. Pers memang menggoda.
Harus diakui, netralitas pers masih menyisakan problem pelik yang hingga
kini belum mendapat sebuah jawaban yang memuaskan. Banyak kalangan menilai
media massa bukan sebuah lembaga yang independen jika dilihat dari
pemberitaannya. Semua berita akan berpengaruh oleh banyak hal di dalam dan di luar
media massa itu sendiri. Apalagi jika ditambah dengan level yang lain, yakni
kemalasan reporter untuk melakukan investigasi ke lapangan (individual level). Pers
seharusnya tidak lagi menyajikan laporan-laporan (berita) yang sekedar berdasarkan
realitas psikologis, akan tetapi berdasarkan realitas sosiologis.4 Shoemaker dan Reese
(1996) pernah melihat mengapa media massa bisa mempunyai perbedaan dan
persamaan dalam liputannya. Ada beberapa tahap yang mempengaruhinya; (1)
4
individual level, (2) media routine level, (3) organizational level, (4) extramedia
level, dan (5) ideological level.5
Peristiwa sama digambarkan berbeda memang jamak ditemukan dalam
pemberitaan media. Hal ini tergantung dari politik media, seperti keberpihakan
terhadap kelompok tertentu dalam membingkai (framing) berita. Framing disini
berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana.
Menurut teori framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang
mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana yang
dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen
yang diisi dengan fakta-fakta yang sudah melalui tahapan pilihan itu.
Konsep framing inilah yang bisa digunakan oleh media massa dalam
melakukan konstruksi pemberitaannya. Tak terkecuali yang dilakukan oleh berbagai
media cetak yang beredar di tanah air. Mulai dari surat kabar, tabloid, hingga
majalah. Surat kabar adalah media yang paling konvensional sekaligus paling tua
dibandingkan jenis media cetak harian yang selalu menghadirkan berita-berita aktual.
Oleh karena itu sifatnya harian, menyebabkan isi pemberitaannya terbatas hanya
berupa pemaparan fakta. Berbeda dengan tabloid dan majalah. Periode terbit
keduanya relatif lebih lama dibandingkan dengan surat kabar. Sehingga media
tersebut memiliki cukup waktu untuk mengulas dan menganalisis berita lebih
5
mendalam (in depth coverage). Hal ini yang menjadikan pemberitaan yang tersaji di
tabloid dan majalah memiliki kekuatan pada framingnya dan menjadi selling point
yang dimiliki oleh keduanya. Sebab, kehadiran kedua media tersebut mampu
melengkapi apa yang tidak ada di surat kabar.
Apabila dibandingkan antara tabloid dengan majalah, pemberitaan yang diulas
dalam tabloid mayoritas berita-berita ringan yang sensasional. Tengok saja
tabloid-tabloid yang beredar di Indonesia. Kebanyakan target segmennya dikhususkan untuk
kaum hawa, seperti: tabloid Nyata, Nova, Mamamia, Realita, dan sebagainya.
Berbeda dengan majalah. Majalah sangat memperhatikan gaya bahasanya.
Tema-tema yang dipilih berita majalah dilaporkan secara mendalam dan tuntas pun diseleksi
dengan seksama. Tampilannya juga lebih eksklusif dibandingkan dengan tabloid.
Inilah nilai lebih yang ditawarkan oleh majalah.
Mendesain majalah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan
mendesain surat kabar. Lamanya persiapan dan kualitas cetak yang lebih membuat
para pembacanya harus membayar sedikit mahal atas nilai lebih yang dihadirkan oleh
sebuah majalah dan harus menunggu lama kehadirannya. Hal ini dikarenakan periode
terbit majalah biasanya mingguan, dwimingguan, atau bulanan.
Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah, salah satunya adalah majalah
majalah Tempo.6 Sedangkan pada urutan kedua terdapat majalah Gatra. Kedua
majalah ini sukses mengaet khalayak di karenakan memiliki karakter yang kuat dan
khas dalam menyajikan setiap laporannya. Antara Tempo dan Gatra tentunya
memiliki perbedaan gaya bahasa dan peliputan sesuai dengan target segmennya
masing-masing serta bagaimana keduanya membingkai (framing) sebuah peristiwa.
Perbedaan framing di masing-masing majalah inilah yang membuat keduanya
memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi sebuah realitas. Bahkan untuk
realitas yang sama sekalipun.
Peneliti memilih kedua media tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa
kedua majalah ini merupakan dua media massa besar di Indonesia yang terbitnya
sama-sama mingguan dan memuat berita berkaitan tentang korupsi dana haji,
sehingga memungkinkan bila konstruksi yang dibangun oleh kedua media massa
tersebut akan mempengaruhi konstruksi yang dibangun dalam pikiran besar
pembacanya.
Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat
dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya
menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita
mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam
6
pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo
6-12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah
Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita
tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos
ke rumah Allah”. Hanya saja, Gatra tidak menjadikan kasus tersebut sebagai headline
berita.7 Porsi pemberitaan yang diberikan oleh kedua majalah tersebut juga berbeda.
Tempo mengulasnya sebagai laporan utama hingga mencapai 8 halaman.8 Sedangkan
Gatra memasukkannya dalam rubrik Nasional dengan jumlah halaman berita
sebanyak 2 halaman saja.
Tentu saja pembingkaian yang dilakukan oleh media, termasuk juga majalah
Tempo dan Gatra, tentang dugaan korupsi dana haji bisa mempunyai dampak pada
cara anggota audiensi akhirnya menafsirkan sebuah isu.9 Ekspos berlebihan yang
dilakukan oleh media terhadap peristiwa yang bernuansa Korupsi dan penyelewengan
dana ini akan memberikan dampak yang berlebihan juga di kalangan masyarakat. Hal
ini dikarenakan media menyikapi keberadaan kasus tersebut dengan beragam bingkai
dalam pemberitaannya. Semuanya tergantung dari sudut pandang media terhadap
realitas tersebut dan bagaimana mereka membingkainya. Sebab, media bukanlah
7
Headline majalah Gatra pada edisi 18-24 November 2010 adalah “memainkan kasus gayus”, bukan tentang kasus korupsi dana haji. Sedangkan pembahasan kasus korupsi dana haji masuk dalam rubrik Nasional dan terletak di halaman agak akhir, yakni halaman 94-95.
8
Mulai dari editorial Tempo, gambar karikatur, hingga surat pembaca yang dimuat juga membahas masalah kasus korupsi dana haji. Sedangkan berita tentang kasus korupsi dana haji ini dibahas dalam rubrik Laporan Utama mulai dari halaman 26-32.
9
Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr dalam Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan
saluran yang bebas. Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa
adanya, cermin dari realitas. Media seperti yang kita lihat justru mengkonstruksi
sedemikian rupa realitas. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya
media.10 Perbedaan cara pandang kedua majalah ini muncul tergantung dari Frame.11
Berpijak pada fenomena tersebut, perlu dianalisis bagaimanakah framing
majalah Tempo dan Gatra dalam kontruksinya terhadap pemberitaan kasus dugaan
korupsi dana haji. Tempo dan Gatra merupakan dua majalah mingguan yang sengaja
dipilih dalam penelitian ini karena kedua majalah tersebut sama-sama memberitakan
kasus dugaan korupsi dana haji pada edisi bulan November 2010. Meskipun
sama-sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji, namun keduanya memiliki
bingkai yang berbeda dalam melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Disamping itu,
periode terbit keduanya juga sama-sama mingguan, sehingga apabila ke dalam isi
pemberitaannya dibandingkan akan setara.
Penggunaan analisis framing dalam penelitian ini sangat dinilai peneliti sangat
sesuai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Atau dengan kata
lain, dengan cara dan teknik peristiwa (kasus dugaan korupsi dana haji) ditekankan
10
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm. 2
11
Frame (bingkai) didefinisikan sebagai gagasan pengaturan pusat untuk isi berita yang
memberitakn konteks dan mengajukan isu melalui penggunaan pilihan, penekanan,
dan ditonjolkan dalam pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.12 Apakah kasus
dugaan korupsi dana haji ini ditulis secara panjang atau pendek dan apakah
ditempatkan di halaman pertama atau tidak.13 Disamping itu, analisis framing secara
sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas
(peristiwa, aktor, kelompok, atau siapa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian
tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.14
Dibandingkan teknik analisis teks media yang lainnya, framing memiliki
kelebihan dalam menganalisis bagaimana media mengemas sebuah berita. Hal ini
dikarenakan tiga alasan, yaitu: pertama, framing yang dilakukan media akan
menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya
ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, ada aspek lain
yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua, framing yang dilakukan oleh
media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan
menampilkan sisi tertentu dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan
aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam
berita. Ketiga, framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan
menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang
12
Eriyanto, op. cit., hlm 3. 13
Eriyanto, op. cit., hlm 24. 14
memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam
pemberitaan menjadi tersembunyi.15
Berdasarkan efek framing tersebut dengan tetap pada koridor kualitatif
sebagai metode penelitian, peneliti tidak bermaksud membuktikan teori framing
secara deduktif, melainkan ingin melakukan sebuah penggalian (eksplorasi) terhadap
cara pandang media dalam melihat sebuah peristiwa dan bagaimana cara pandang itu
tertuang dalam berita. Sementara metode lainnya, seperti analisis wacana dan analisis
isi kurang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Analisis wacana walaupun juga
menganalisis bahasa sebagai bagian dari teks, namun bukan merupakan studi
komparasi dimana hal ini menjadi ciri khas analisis framing untuk melihat perbedaan
bingkai. Sedangkan metode analisis isi tidak dapat menjawab bagaimana realitas itu
dikonstruksi media karena analisis isi menekankan makna adalah hasil transmisi.
Analisis isi justru menekankan pada negosiasi yang berarti memisahkan teks dan
peneliti. Dengan demikian, tipe riset yang hendak dilakukan adalah melihat
bagaimana pesan dibentuk (analisis frame media), tidak mengungkapkan bagaimana
pesan diterima (analisis frame khalayak).
Disamping itu, dengan menggunakan analisis framing akan semakin
memperlihatkan bingkai suatu media apabila bingkai tersebut telah dibandingkan
dengan bingkai media lain sehingga perbedaan-perbedaannya dapat terlihat dengan
15
AG. Eka Wenats Wuryanta yang dikutip dalam blog pribadinya,
http://ekawenats.blogspot.com/2006/12/priming-framing-agenda-setting.htm. Diakses tanggal 7
jelas nantinya. Pada penelitian ini peneliti juga ingin mengetahui perbandingan
bingkai media pada pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji pada
majalah Tempo dan Gatra.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah yang
dikaji dalam penelitian sebagai berikut: Bagaimana majalah Tempo dan Gatra
membingkai pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan
oleh majalah Tempo dan Gatra?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah ingin menganalisis serta membandingkan bingkai
media pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan oleh majalah
Tempo dan Gatra.
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis
a. Memberikan gambaran mengenai konteks media framing di Indonesia, khususnya
b. Memperkaya Khazanah ilmu komunikasi, khususnya bidang jurnalistik untuk
memperlihatkan karakter pemberitaan media massa, dalam hal ini media cetak.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi media massa sebagai bahan masukan untuk lebih memperbaiki kualitas
pemberitaannya agar lebih berimbang (cover all sides), khususnya redaksi
majalah Tempo dan Gatra.
b. Bagi pembaca pada umumnya dapat mengetahui bagaimana media
mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangannya, subyektifnya, biasnya,
dan pemihakannya maupun penolakannya terhadap kasus dugaan korupsi dana
haji , terutama pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.
c. Bagi kalangan civitas akademika, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
masukan bagi mereka yang meneliti analisis framing dan politik media.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Konsep dan Teori 1.5.1.1. Komunikasi Massa
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi massa sering dipahami sebagai
banyak atau berpidato di hadapan banyak orang. Secara konseptual pemahaman ini
kurang pas. Dalam bahasa inggris untuk menyebut komunikasi berhadapan dengan
massa atau yang sedang berpidato di hadapan massa pendukungnya di sebuah
lapangan terbuka. Dalam studi komunikasi, komunikasi massa selalu dimengerti
sebagai komunikasi dengan menggunakan media massa (baik itu cetak maupun
elektronik). Frasa komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa inggris mass
communication atau komunikasi media massa yang berarti komunikasi dengan
menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated (komunikator tidak
dapat bertatap langsung dengan khalayak).
Menurut Scheidel (1976), manusia melakukan komunikasi terutama untuk
menyatakan dan mendukung identitas diri serta untuk mempengaruhi orang lain
sehingga ia merasa, berfikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan.16 Tidak
heran apabila di era globalisasi seperti sekarang, komunikasi memiliki peranan
penting. Komunikasi yang terbentuk pun kini melibatkan khalayak luas yang
biasanya menggunakan teknologi media massa (baik cetak maupun elektronik).
Cakupan bidang komunikasi ini dinamakan komunikasi massa.
Penjabaran tentang komunikasi masssa ini menjadi penting karena penelitian
ini masuk dalam ranah komunikasi massa. Dengan penjelasan yang terperinci tentang
komunikasi massa akan semakin memperjelas bidang kajian dalam penelitian ini.
16
1.5.1.2. Media dan Fungsinya dalam Masyarakat
Secara harfiah, media berada diantara kita, audiens, dan materi orisinal yang
mereka gunakan. Hal ini adalah truism kebenaran yang membuktikan dirinya sendiri.
Apa yang tampil di layar atau halaman bukan hal yang sebenarnya, tetapi merupakan
salah satu versinya.17
Fakta bahwa terdapat banyak kebenaran dalam sebuah artikel berita tentang
beberapa negosiasi diplomatis, sebagai contoh, tidak berarti bahwa artikel tersebut
mengisahkan keseluruhan kebenaran. Membaca artikel tidak sama dengan berada di
tempat kejadian.18 Pada dasarnya, laporan berita itu dimediasi. Seperti semua
komunikasi manusia, laporan berita harus dituangkan dalam bentuk material seperti:
kata-kata, gesture, lagu, gambar, tulisan.19 Sehingga semua materi media sebenarnya
merupakan semacam representasi atau konstruksi yang bukanlah ide orisinal (the real
thing). Materi media bersifat artificial (dibuat-buat). Hal tersebut merupakan sesuatu
yang dikonstruksi dari seperangkat tanda. Citra mobil di televisi, dalam sebuah
thriller atau program tentang pameran mobil, bukanlah mobil itu sendiri. Citra
tersebut merupakan representasi mobil melalui kode gambar. Demikian pula artkel
17
Grame Burton, Yang Tersembunyi Dibalik Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 73 18
Ibid., hlm. 73
19
seorang wartawan tentang mobil-mobil di pameran mobil tersebut adalah sekadar
representasi mobil-mobil tersebut dalam verbal tulisan.20
Tujuan dari mediasi itu adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu melalui
ruang dan waktu yang menjangkau sebanyak mungkin orang. Jadi, hal pertama yang
harus diperhatikan adalah bahwa media dapat menjangkau sejumlah besar orang.
Kedua, pesan-pesan yang dimediasikan pada saat ini menggunakan teknologi yang
sangat canggih. Ketiga, sementara kita mempunyai pilihan untuk membuat musik kita
sendiri atau menggambar kartun kita sendiri, kebanyakan dari kita lebih memilih
menjadi konsumen dari produksi korporasi profesional yang jumlahnya relatif sedikit.
Keempat, secara virtual tidak ada komunikasi antar sumber dengan penerima.21
Media massa adalah “kependekan” dari media komunikasi massa. Media
massa lahir untuk menjembatani komunikasi antarmassa. Massa adalah masyarakat
luas yang heterogen, tetapi saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan
antarmassa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu menyalurkan hasrat,
gagasan dan kepentingan masing-masing agar diketahui dan dipahami oleh yang lain.
Penyaluran hasrat, gagasan dan kepentingan tersebut dinamai “pesan” (message).
Dengan demikian, pada hakikatnya media massa adalah media saling-silang pesan
antarmassa.22
20
Grame Burton, op.cit., hlm 74 21
Zianuddin Sardar, loc.cit., hlm. 8 22
Pada dasarnya media massa merupakan suatu pranata sosial (social intitution).
Media massa berinteraksi dengan pranata sosial lainnya yang ada didalam
masyarakat, seperti lembaga pemerintah, partai politik, keluarga, dan berbagai
organisasi sosial. Dalam kajian ini, sudah tentu istilah media massa dimaknai bukan
sekedar alat-alat teknologis, melainkan sebagai pranata sosial. Oleh karena itu,
menurut McQuail media massa menjalankan tugas sebagai silent characteristic, yakni
meliputi: (a) penggunaan teknologi pembuatan dan penyebarluasan pesan-pesan
secara masif, (b) organisasi dan regulasi yang bersifat sistematis, serta (c) arah pesan
bagi khalayak yang besar atau luas, anonim, dan bebas dalam mengakses. Dalam
kaitannya dengan politik secara luas, media massa dapat berperan secara meyakinkan,
seperti: (a) newsmaking, (b) analisis, penfsiran, dan pemberian makna terhadap
peristiwa-peristiwa, (c) socialization, (d) persuasion, (e) agenda setting.23
Dalam perkembangannya pembicaraan tentang fungsi media massa, Burton
(2008)24 membaginya menjadi lima fungsi, yakni: fungsi hiburan, fungsi informasi,
fungsi kultural, fungsi sosial, dan fungsi politik. Media dikatakan berfungsi sebagai
hiburan dikarenakan menghasilkan kesenangan dan mampu mengalihkan perhatian
audiens dari berbagai isu sosial yang serius. Sedangkan media memiliki fungsi
informasi lantaran media menghasilkan beragam informasi yang dibutuhkan bagi
audiensnya. Disamping itu, media juga memiliki fungsi kultural karena dianggap
23
McQuail (1996) dalam Pawito, Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 258-259
24
mampu menghasilkan materi yang mencerminkan budaya khalayak yang menjadi
bagian dari budaya tersebut. Media juga menampilkan berbagai contoh dari
masyarakat, dari interaksi majalah, dan dari kelompok-kelompok sosial sehingga
layak disebut memiliki fungsi sosial. Sementara dengan fungsi politiknya, media
diharapkan menghasilkan bukti (evidence) dari berbagai aktivitas, isu, dan peristiwa
politik.
Dalam konteks, di Indonesia, berakhirnya Orde Baru membawa dampak
positif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Dapat tersebut antara lain ditandai
oleh kebebasan berserikat (berorganisasi), dan kebebasan menyatakan pendapat
(kebebasaan berekspresi), termasuk kebebasan pers dan media massa. Kebebasan ini
ditandai dengan pencabutan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Bahkan, pada
massa pemerintahan Habibie, kran kebebasan pers semakin terbuka. Bagi setiap
usaha memperoleh SIUPP semakin mempermudah, yakni cukup mengisi
permohonan, akte pendirian perusahaan pers, dan lampiran pengasuh penerbitan pers
tanpa keharusan menyertakan rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI). Dengan pelonggaran ini melahirkan banyak penerbitan baru.
Khusus dalam kaitannya dengan demokrasi, seperti dikatakan oleh Curran
(1996)25, media massa dapat berperan dalam penyebarluasan informasi yang beragam
perspektif, mewakili khalayak (representation) dalam arti memberikan tempat bagi
25
dapat dinyatakan pendapat-pendapat dari berbagai kelompok masyarakat yang
berbeda-beda sehingga ada debat publik yang signifikan, serta mendorong supaya
dapat dicapai pemecahan dari berbagai persoalan penting yang ada di dalam
masyarakat dan membantu mencapai titik tertentu diantara kelompok-kelompok yang
saling berbeda pandangan.
Dengan adanya pemaparan media dan fungsinya dalam masyarakat akan
memberikan konstribusi pemahaman yang positif sebagai pijakan peneliti dalam
memahami arti penting media dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan
penelitian ini berkaitan dengan pemberitaan di media cetak sehingga peneliti
memiliki pijakan awal dalam memahami kaitan antara media dan masyarakat.
Terlebih lagi, peranan media setelah Orde Baru, yakni era demokrasi.
1.5.1.3. Paradigma Konstruksionis
Konsep konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L.
Berger yang bersama Thomas Luckman menulis banyak karya, termasuk tesis
mengenai konstruksi sosial atas realitas. Dalam tesis Berger, manusia dan masyarakat
adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak
lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali
Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di
dalam masyarakatnya.26
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, akan tetapi dibentuk dan
dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas dalam kehidupan sosial bukanlah
realitas yang natural. Akan tetapi, berwajah ganda dan bersifat dinamis. Setiap orang
bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas yang dipegaruhi
oleh pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial tertentu.27
Konsentrasi analisis pada paradigma kontruksionis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering kali disebut
sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna yang sering dilawankan dengan
paradigma transmisi.28
Terdapat dua karakteristik penting dalam pendekatan konstruksionis.
Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana sesorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukan sesuatu yang
absolut dan statis, namun proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.
Kedua, pendekatan konstruksionis memandang bagaimana pembentukan pesan dari
26
Eriyanto, op.cit, hlm. 13-14 27
Ibid., hlm. 15-16
28
sisi komunikator dan sisi penerima. Dalam hal ini, penerima akan memeriksa
bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.29
Dengan pendekatan konstruksionis, berita buka refleksi dari realitas dan
hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan
refleksi dari realitas. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan
standar yang rigid karena ia merupakan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan
seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya
menghasilkan realitas yang berbeda pula.30
Adapun tujuan dalam penelitian dengan paradigma kontruksionis adalah
untuk mengkonstruksi realitas sosial karena tidak ada realitas yang dalam riil yang
seolah-olah ada sebelum peneliti mendekatinya. Realitas sosial tergantung pada
bagaimana seseorang memahami dunia dan menafsirkannya. Dalam pandangan ini
peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas
sosial.31 Oleh karena itu, penjabaran tentang paradigma dalam penelitian ini menjadi
penting karena berfungsi untuk memahami paradigma dasar sebagai acuan berfikir
bagi peneliti.
1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas
29
Ibid., hlm. 41
30
Ibid., hlm. 19-27
31
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konstruksi
adalah susupan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan
sebagainya). Apabila digunakan dalam kalimat, konstruksi bermakna lingkaran
susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata.32 Dengan demikian,
konstruksi merupakan upaya penyusunan beberapa peristiwa, keadaan, atau benda
secara sistematis menjadi sesuatu yang bermakna. Sedangkan realitas adalah
peristiwa, keadaan, benda.33
Berger sendiri membedakan tiga jenis realitas, yaitu: realitas objektif, realitas
simbolis sosial, dan realitas sujektif sosial. Realitas objektif merupakan realitas yang
terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan
dianggap sebagai kenyataan. Lain halnya dengan realitas simbolis sosial yang
diartikannya sebagai ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk
termasuk isu media. Sedangkan realitas subjektif sosial adalah realitas yang terbentuk
akibat proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu
melalui proses internalisasi. Berpijak pada pembagian makna realitas tersebut, apabila
dikaitkan dengan media, tentu saja pers berperan dalam membentuk realitas subjektif
dengan memproduksi realitas simbolik atas berbagai fakta peristiwa atau realitas
dengan menggunakan bahasa.
32
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, op.cit 33
Apabila digabungkan keduanya, maka konstruksi realitas bermakna sebagai
pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, atau kalimat yang bermakna untuk
menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau
nyata. Dengan kata lain, konstruksi realitas yang terjadi pada media cetak merupakan
pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, kalimat yang bermakna untuk
menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau
nyata dan dipublikasikan di media cetak. Mengenai realitas, makna yang dimaksud
disini adalah fakta peristiwa.
Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan”
(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksi
realitas. Hal ini dikarenakan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah
menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah
mengkonstrusi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari
berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.
Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga
membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi
media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi dalam bentuk wacana yang
bermakna.34
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Sebab, bahasa
merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah
34
konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita,
ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol)
tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu, entah itu dalam bentuk verbal
maupun non-verbal.35
Sesuatu yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh
yang beragam. Ada lima faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
ruang pemberitaan.36 Pertama, faktor individual (individual media workers). Faktor
ini berhubungan dengan latar belakang personal dan profesional dari para pekerja dan
pengelola media, yang sanggup mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan
kepada khalayak. Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media
berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Termasuk kegiatan
penyeleksian, tenggat (deadline), keterbatasan tempat (space), piramida terbalik
dalam penulisan berita maupun kepercayaan terhadap sumber resmi dalam berita
yang dihasilkan. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan
struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola
media, wartawan, redaksional dan siapa saja yang ada dalam organisasional media,
masing-masing komponen itu bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Sehingga punya peran dalam mempengaruhi hasil berita yang disiarkan.
35
Ibid., hlm. 12
36
Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan
di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi
media ini sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor ini meliputi lobi
dari kelompok kepentingan terhadap isi media, seperti masyarakat (norma sosial),
praktisi media, pemerintah dan lain sebagainya. Kelima, level ideologi. Ideologi
diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai
individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level
ideologi abstrak, ini berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam
menafsirkan realitas. Dan lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1
Model Hierarchy of Influence
Tingkat Ideologi
Tingkat Ekstramedia
Tingkat Organisasi
Tingkat Rutinitas Media
Tingkat Individu
Sumber : Shoemaker dan Reese. 1996: 64
Dalam menentukan sebuah isi pemberitaan, redaksi sebuah media massa akan
dipengaruhi oleh level-level tertentu, seperti level-level yang telah diuraikan diatas.
kebijakan redaksi dipengaruhi latar belakang individual dari para awak redaksi. Level
ini beranggapan bahwa kebijakan isi media dipengaruhi background dan karakteristik
penulis berita, seperti etnik, gender, orientasi seksual, pendidikan dan termasuk
diantaranya juga adalah tingkat pemahaman penulis terhadap suatu permasalahan
yang dijadikan berita dan tingkat emosi pada saat berita itu diterbitkan atau disiarkan.
Lalu sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan, seperti sikap politik, orientasi agama
dan sebagainya.
Kedua, yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi
pemberitaan adalah level rutinitas media. Level ini menguraikan isi pemberitaan
dipengaruhi regulasi internal mengenai batasan-batasan peristiwa yang dijadikan
berita dan termasuk juga adalah karakter media dalam menulis berita.
Ketiga, level organisasi. Faktor organisasi juga mempengaruhi isi
pemberitaan, seperti struktur organisasi, independent- ownership atau cross-
ownership, dan juga budaya kerja. Budaya kerja yang berkembang dalam sebuah
organisasi akan mempengaruhi semua hasil yang dicapai organisasi tersebut.
Begitu-pun dalam media massa, isi pemberitaan media akan dipengaruhi oleh rutinitas
organisasi media itu sendiri.
Keempat, level ekstramedia. Selain faktor internal media, kondisi di luar juga
mempengaruhi isi media. Misalnya, keadaan sosial, nilai-nilai sosial masyarakatnya,
politik dan budaya yang berkembang dimana media itu ada, sumber berita, organisasi
media saat akan disampaikan. Selain itu, pada level ini, media juga akan
mempertimbangkan sumber penghasilannya (orientasi pasar). Apakah dengan isi
berita seperti itu akan meningkatkan pendapatan media.
Kelima, level ideologi. Level dipandang dari level yang makro yaitu ideologi,
seperti pemetaan ideologi (sphere of deviance, sphere of legitimate controversy and
sphere of consensus), visi misi organisasi. Ideologi disini diartikan mekanisme
simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan didalam
masyarakat. Level ini menjadi salah satu penentu isi pemberitaan media massa.
Karena level ini berangkat dari kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu
yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Meski nilai abstrak, level ini bisa dikatakan penentu dari level-level sebelumnya.
Karena ideologi sebuah media atau pimpinan tertinggi dalam media itu akan
mempengaruhi seluruh level-level lainnya. Misalnya level rutinitas media, rutinitas
dalam media akan dipengaruhi oleh level individual, dalam level individu ini yang
paling berpengaruh adalah ideologi dari individu itu sendiri.37
Lebih jauh lagi, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi
sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa
menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas media yang akan
muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi
bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,
37
memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah
dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu
sistem bahasa.38
Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk
konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya, pilihan kata cara penyajian suatu
realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya.
Dari perspektif ini bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi
sealigus dapat menciptakan realitas.39
Menurut Giles dan Wielmann, bahasa (teks) mampu menentukan konteks,
bukan sebaliknya, teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat
bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) sesorang bisa
mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya). Melalui teks yang
dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok
yang memiliki kekuasaan umumnya sangat berkepentingan dengan pengendalian
makna di tengah pergaulan sosial dimana media massa merupakan alat Bantu yang
ampuh. Untuk kasus Indonesia misalnya, betapa kita telah menyaksikan pengendalian
bahasa secara sistematis oleh penguasa Orde Baru.40
Oleh karena elemen dasar seluruh isi media massa adalah bahasa, dengan
demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para
pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari,
para pekerja media memanfaatkan dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa,
keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif, mereka menentukan
gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.41
Namun, dikarenakan adanya tuntunan teknis seperti keterbatasan kolom dan
halaman pada media cetak, jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa
secara utuh mulai dari menit pertama hingga ke menit terakhir. Atas nama kaidah
jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui
mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak
terbit atau layak tayang.
Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya
menyoroti hal-hal yang “penting” dari sebuah peristiwa. Dari segi ini saja, mulai
dapat ditebak kearah mana pembentukan (farmasi) sebuah berita. Ditambah pula
dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh
siapa yang memiliki kepentingan dengan suatu berita. Kepentingan itu bisa dimiliki
oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut.42
Pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas berbagai kepentingan internal
maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis, ataupun ideologis. Sehingga
pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya
41
Ibid., hlm. 15
42
kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana isu yang
diangkat dalam wacana tersebut. Adapun cara membentuk wacana di media massa
adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga
sebuah isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah fakta pilihan yang
diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu sehingga ada fakta yang
ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita
yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana itu memiliki struktur internalnya
sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya.43
Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi pembentukan
realitas media, baik itu eksternal maupun internal. Ketika faktor kapital telah menjadi
unsur yang esensial, proses kontruksi realitas pun diselaraskan dengan
pertimbangan-pertimbangan modal. Inilah yang menyebabkan konstruksi realitas lazim dilakukan
sedemikian rupa bila menyangkut kasus yang akan merugikan usaha atau relasi
mereka. Wujud lain dari faktor ekonomi yang berpengaruh atas penampilan isi media
adalah khalayak dan pengiklan. Pelaporan sebuah peristiwa jelas harus
memperhitungkan pasar. Semakin baik pelaporan (reportase) akan semakin banyak
khalayak yang mengkonsumsi dan secara otomatis pengiklan pun cenderung akan
bertambah.
Sebagai makhluk sosial, seorang wartawan juga mempunyai sikap, nilai,
kepercayaan, dan orientasi tertentu dalam politik, agama, ideologi, dan aliran dimana
43
semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjanya (media content), sehingga
kerapkali media tersebut terlibat dalam sebuah hegemoni (politik, budaya, atau
ideologi). Selain itu, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas, turut pula
mempengaruhi wartawan dalam mengkonstruksi realitas.44
Pembahasan konstruksi media terhadap realitas ini untuk memahami
bagaimana media massa dalam melakukan konstruksi dalam pemberitaannya
senantiasa berbeda-beda. Hal ini berkaitan erat untuk memahami mengapa media
melakukan pembingkaian sedemikian rupa dalam realitas kasus korupsi dana haji
yang menjadi fokus pembahasan.
1.5.1.5. Teori Agenda Setting
Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi
dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Dengan
kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Agenda setting ini
beroperasi dalam tiga bagian45, sebagai berikut:
a. Agenda media itu harus diformat sendiri.
b. Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda
publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik.
44
Ibid., hlm. 27-28
45
c. Agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan.
Rogers dan Dearing dalam Anderson menyatakan fungsi agenda setting
merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: pertama, agenda media
itu sendiri dalam memunculkan isu-isu mengenai bagaimana agenda media
ditempatkan pada tempat yang pertama. Kedua, agenda media dalam beberapa hal
mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik sehingga media mampu
mempengaruhi agenda publik dan bagaimana media melakukannya. Ketiga, agenda
media mempengaruhi agenda publik dan pada gilirannya agenda publik
mempengaruhi agenda kebijakan.46
Para peneliti sebelum Mc Combs dan Shaw mempunyai beberapa gagasan
yang sangat mirip dengan hipotesis penentuan agenda. Penyataan yang lebih
langsung tentang gagasan penentuan agenda terbit pada tahun 1958 dalam artikel
yang ditulis Long yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal, surat kabar adalah
penggerak utama dalam menentukan agenda daerah. Surat kabar memiliki andil besar
dalam menentukan apa yang akan dibahas oleh sebagian besar orang, apa pendapat
sebagian orang tentang fakta yang ada, dan apa yang dianggap sebagian besar orang
sebagai cara untuk menangani masalah.47
46
Heru Puji Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hlm. 103
47
Lang dan Lang (1959) juga menghasilkan pernyataan awal tentang gagasan
penentuan agenda bahwa media media massa seringkali memaksakan perhatian pada
isu-isu tertentu dan secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa
yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam
masyarakat.48
Pemahaman akan fungsi agenda setting menjadi penting untuk kepentingan
analisis dalam penelitian ini. Sebab, bagaimanapun, fungsi agenda setting merupakan
salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan media dalam membingkai peristiwa
dalam konstruksi tertentu. Terlebih, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah fenomena dalam kasus korupsi dana haji yang didekati dari perspektif
komunikasi massa. Semakin jelaslah korelasi positif diantara agenda setting function
dan framing analysis dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini tidak mengarah
ada agenda setting function secara terperinci, mengingat fokus dalam penelitian ini
ditekankan pada sikap Tempo dan Gatra melalui pembentukan frame dalam upaya
mengkonstruksi kasus korupsi dana haji. Teori ini ditempatkan sebagai dasar
pandangan bahwa media massa menentukan isu-isu yang penting bagi khalayak.
1.5.1.6. Makna Kontruksi Ideologi
48
Ketika menulis berita tentang suatu peristiwa, wartawan bukan hanya
mengkonstruksi bagaimana peristiwa harus dipahami. Ketika menulis pun juga
memperhitungkan khalayak yang akan membaca teks berita tersebut. Sehingga ketika
berita itu di konstruksi, bukan hanya peristiwa yang dijelaskan dalam peta ideologi
tertentu, melainkan halayak sebagai pembaca teks berita juga di tempatkan dalam
peta ideologi tertentu. 49
Seperti dikatakan Matthew Kieran (dalam Eriyanto, 2005) berita tidak
dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu
wilayah kompetensi tertentu. Ideologi disini tidaklah harus selalu dikaitkan dengan
ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik, penandaan atau pemaknaan.
Bagaimana melihat peristiwa dari kaca mata dan pandangan tertentu, dalam arti luas
sebuah ideologi karena menggunakan titik melihat tertentu.50
Oleh karena itu, ketika mengkonstruksi sebuah realitas, media tidak hanya
menggambarkan realitas tersebut, tetapi khalayak juga diajak setuju atau tidak setuju.
Pada sisi ini, khalayak ditempatkan dalam sisi ideologi tertentu tentang pemaknaan
atas realitas.51 Asumsi ini menyediakan konstruksi dari sebuah citra bagaimana
wartawan dan jurnalis menempatkan dan ditempatkan dirinya dalam peta ideologis
tertentu. Asumsi ini juga yang dijadikan dasar bagaimana peristiwa tiap hari
49
Eriyanto, op.cit., hlm. 134 50
Ibid., hlm. 130-131 51
dimaknai. Bingkai yang diterapkan media menyediakan alat bagaimana bisa melihat
posisi tersebut.52
1.5.1.7. Analisis Framing
Framing (bingkai) tidaklah sepenuhnya lahir di ilmu komunikasi, melainkan
diadopsi dari ilmu kognitif (psikologi). Yang mengasumsi semua yang hadir di
masyarakat tidak datang begitu saja, tapi karena tercipta setelah melalui berbagai
proses. Budaya, adat, norma masyarakat atau manusia itu sendiri adalah produk yang
dengan sengaja dibentuk. Hal itu sangat jelas dalam teori kognitif Peter L. Berger
(1984) yang menyatakan bahwa “ manusia adalah produk dari masyarakat dan
sebaliknya masyarakat adalah produk dari manusia”.
Analisis framing adalah alternatif baru dalam pendekatan analisis wacana,
yang juga merupakan alternatif lain dari teknik penelitian terhadap teks berita atau
secara luas media. Berbeda dengan analisis isi kuantitatif, framing analisis lebih
menganalisa “bagaimana” realitas dibingkai oleh media. Sedang analisis isi
kuantitatif adalah menganalisa realita “apa” yang ada dalam berita. Yang kedua juga
tidak dapat dipakai untuk mengeneralisasi hasil penelitian, berbeda dengan analisis isi
kuantitatif yang sanggup melakukan generalisasi hasil penelitian pada permasalahan
yang sama.
52
Ada beberapa definisi mengenai framing. Menurut Entman (dalam Eriyanto,
2005), framing merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga
menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga
sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih daripada sisi yang lain.
Gamson (dalam Eriyanto, 2005) menyatakan bahwa framing bercerita atau
gugusan ide-ide yang terorganisasi sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi
makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita
itu terbentuk sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur
pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang
ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Sedangkan menurut Pan dan Kosicki (dalam Eriyanto, 2005), framing
merupakan strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang
digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan
dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Dari pemaparan ketiga ahli tersebut meski memiliki perbedaan dalam
penekanan dan pengertiannya, namun ketiganya masih memiliki benang merah yang
sama dari definisi tersebut. Intinya, framing adalah pendekatan untuk melihat
bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Sebab, framing adalah
sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan
cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Disini media menyeleksi,
menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih
mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.53
Adapun menurut Sudibyo (2001), framing merupakan metode penyajian
realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total,
melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan penonjolan terhadap
aspek-aspek tertentu dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan
dengan bantuan foto , karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Analisis bingkai (frame
analysis) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan
menentukan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap
sebuah peristiwa.
Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa
ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana,
analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi secara bahas, visual,
dan perilaku serta menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan
mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui
bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat di interpretasikan secara efisien dalam
hubungannya dengan ide peneliti.
53
Ada dua aspek dalam framing: Pertama, memilih fakta/realitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa
tanpa perspektif. Dalam memlih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa
yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang
ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian
mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih
sudut tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan
aspek tertentu dan melupakan aspek yang lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi
tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda
antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu,
memiliki fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media
menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline
depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi,
fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto
itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek
tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian
yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi
tertentu dari konstrusi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.54
Terdapat beberapa varian analisis framing. Cara menganalisis analisis wacana
dengan framing adalah memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian
naskah) yang terdapat dalam suatu naskah. Pertama, komponen framing Gamson dan
Modigliani yang membagi unit-unit analisis dalam metaphors, exemplars,
catchprases, depictions, visual images, roots, consequences, dan appeals to
principals. Kedua, komponen framing Pan&Kosicki yang membagi unit analisis
diantaranya: sintaksis (skema berita), skrip (kelengkapan berita), tematik (detail,
koherensi, bentuk kalimat, kata ganti), dan retoris (leksikon, grafis, metafora). Ketiga,
komponen framing Van Dijk dengan komponen penelitian yang terdiri dari summary
(headline; lead); story (situation and comments), situation (episode and
background); comments (verbal reactions and conclusions), episode (main events
and consequences), background (context and history), history (circumstances and
previous events), conclusion (expectations and evaluations). Terakhir, komponen
framing Robert N. Entman yang melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari sebuah isu.
54
Adapun unit analisis dalam framing Entman dibagi dalam empat bagian, yakni:
problem identification, causal interpretation, moral evaluation, dan treatment
recommendation.55
Penjabaran tentang analisis framing berikut konsep dan model tersebut
berkorelasi positif dengan permasalahan yang diangkat, mengingat penelitian ini
berkepentingan untuk menganalisis bagaimana bingkai (framing) majalah Tempo dan
Gatra dalam memberitakan kasus korupsi dana haji.
1.5.1.8. Objektivitas versus Subjektivitas Berita dalam Media
Dalam menyajikan suatu berita, media diharapkan objektif dan tidak
memihak. Objektif yang dimaksud disini adalah laporan fakta secara apa adanya, dan
bukan laporan tentang fakta yang seharusnya. Karena fakta-fakta yang disajikan
media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas kedua (second hand
reality). Realitas tangan pertama adalah fakta atau peristiwa itu sendiri.56
Objektivitas jurnalistik adalah suatu pola pikir dari wartawan dan redaktur
yang meliputi upaya sadar untuk tidak menghakimi terlebih dahulu apa yang ia lihat,
tidak dipengaruhi oleh prasangka pribadinya sendiri, selera, keyakinan, serta
prasangka, tidak dicampuri oleh retorika kelompok, selalu beanggapan “kelompok
55 Loc.cit
56