• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5 Tinjauan Pustaka .1 Konsep dan Teori

1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas

bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.29

Dengan pendekatan konstruksionis, berita buka refleksi dari realitas dan hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan standar yang rigid karena ia merupakan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula.30

Adapun tujuan dalam penelitian dengan paradigma kontruksionis adalah untuk mengkonstruksi realitas sosial karena tidak ada realitas yang dalam riil yang seolah-olah ada sebelum peneliti mendekatinya. Realitas sosial tergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia dan menafsirkannya. Dalam pandangan ini peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas sosial.31 Oleh karena itu, penjabaran tentang paradigma dalam penelitian ini menjadi penting karena berfungsi untuk memahami paradigma dasar sebagai acuan berfikir bagi peneliti.

1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas 29 Ibid., hlm. 41 30 Ibid., hlm. 19-27 31 Ibid., hlm. 44-50

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konstruksi adalah susupan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan sebagainya). Apabila digunakan dalam kalimat, konstruksi bermakna lingkaran susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata.32 Dengan demikian, konstruksi merupakan upaya penyusunan beberapa peristiwa, keadaan, atau benda secara sistematis menjadi sesuatu yang bermakna. Sedangkan realitas adalah peristiwa, keadaan, benda.33

Berger sendiri membedakan tiga jenis realitas, yaitu: realitas objektif, realitas simbolis sosial, dan realitas sujektif sosial. Realitas objektif merupakan realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan dianggap sebagai kenyataan. Lain halnya dengan realitas simbolis sosial yang diartikannya sebagai ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk termasuk isu media. Sedangkan realitas subjektif sosial adalah realitas yang terbentuk akibat proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Berpijak pada pembagian makna realitas tersebut, apabila dikaitkan dengan media, tentu saja pers berperan dalam membentuk realitas subjektif dengan memproduksi realitas simbolik atas berbagai fakta peristiwa atau realitas dengan menggunakan bahasa.

32

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, op.cit 33

Apabila digabungkan keduanya, maka konstruksi realitas bermakna sebagai pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, atau kalimat yang bermakna untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau nyata. Dengan kata lain, konstruksi realitas yang terjadi pada media cetak merupakan pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, kalimat yang bermakna untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau nyata dan dipublikasikan di media cetak. Mengenai realitas, makna yang dimaksud disini adalah fakta peristiwa.

Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan”

(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksi realitas. Hal ini dikarenakan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstrusi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi dalam bentuk wacana yang bermakna.34

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Sebab, bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah

34

konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu, entah itu dalam bentuk verbal maupun non-verbal.35

Sesuatu yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Ada lima faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan.36 Pertama, faktor individual (individual media workers). Faktor ini berhubungan dengan latar belakang personal dan profesional dari para pekerja dan pengelola media, yang sanggup mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Termasuk kegiatan penyeleksian, tenggat (deadline), keterbatasan tempat (space), piramida terbalik dalam penulisan berita maupun kepercayaan terhadap sumber resmi dalam berita yang dihasilkan. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media, wartawan, redaksional dan siapa saja yang ada dalam organisasional media, masing-masing komponen itu bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga punya peran dalam mempengaruhi hasil berita yang disiarkan.

35

Ibid., hlm. 12

36

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, seperti masyarakat (norma sosial), praktisi media, pemerintah dan lain sebagainya. Kelima, level ideologi. Ideologi diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ideologi abstrak, ini berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Dan lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1

Model Hierarchy of Influence

Tingkat Ideologi Tingkat Ekstramedia Tingkat Organisasi Tingkat Rutinitas Media Tingkat Individu

Sumber : Shoemaker dan Reese. 1996: 64

Dalam menentukan sebuah isi pemberitaan, redaksi sebuah media massa akan dipengaruhi oleh level-level tertentu, seperti level-level yang telah diuraikan diatas. Yaitu pertama, level pada lingkup yang paling mikro, adalah level individual

kebijakan redaksi dipengaruhi latar belakang individual dari para awak redaksi. Level ini beranggapan bahwa kebijakan isi media dipengaruhi background dan karakteristik penulis berita, seperti etnik, gender, orientasi seksual, pendidikan dan termasuk diantaranya juga adalah tingkat pemahaman penulis terhadap suatu permasalahan yang dijadikan berita dan tingkat emosi pada saat berita itu diterbitkan atau disiarkan. Lalu sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan, seperti sikap politik, orientasi agama dan sebagainya.

Kedua, yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi

pemberitaan adalah level rutinitas media. Level ini menguraikan isi pemberitaan dipengaruhi regulasi internal mengenai batasan-batasan peristiwa yang dijadikan berita dan termasuk juga adalah karakter media dalam menulis berita.

Ketiga, level organisasi. Faktor organisasi juga mempengaruhi isi

pemberitaan, seperti struktur organisasi, independent- ownership atau cross- ownership, dan juga budaya kerja. Budaya kerja yang berkembang dalam sebuah organisasi akan mempengaruhi semua hasil yang dicapai organisasi tersebut. Begitu-pun dalam media massa, isi pemberitaan media akan dipengaruhi oleh rutinitas organisasi media itu sendiri.

Keempat, level ekstramedia. Selain faktor internal media, kondisi di luar juga mempengaruhi isi media. Misalnya, keadaan sosial, nilai-nilai sosial masyarakatnya, politik dan budaya yang berkembang dimana media itu ada, sumber berita, organisasi media yang lain, audiens, kebijakan pemerintah. Semua itu akan mempengaruhi isi

media saat akan disampaikan. Selain itu, pada level ini, media juga akan mempertimbangkan sumber penghasilannya (orientasi pasar). Apakah dengan isi berita seperti itu akan meningkatkan pendapatan media.

Kelima, level ideologi. Level dipandang dari level yang makro yaitu ideologi, seperti pemetaan ideologi (sphere of deviance, sphere of legitimate controversy and sphere of consensus), visi misi organisasi. Ideologi disini diartikan mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan didalam masyarakat. Level ini menjadi salah satu penentu isi pemberitaan media massa. Karena level ini berangkat dari kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Meski nilai abstrak, level ini bisa dikatakan penentu dari level-level sebelumnya. Karena ideologi sebuah media atau pimpinan tertinggi dalam media itu akan mempengaruhi seluruh level-level lainnya. Misalnya level rutinitas media, rutinitas dalam media akan dipengaruhi oleh level individual, dalam level individu ini yang paling berpengaruh adalah ideologi dari individu itu sendiri.37

Lebih jauh lagi, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,

37

memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.38

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya, pilihan kata cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sealigus dapat menciptakan realitas.39

Menurut Giles dan Wielmann, bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya, teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) sesorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan umumnya sangat berkepentingan dengan pengendalian makna di tengah pergaulan sosial dimana media massa merupakan alat Bantu yang ampuh. Untuk kasus Indonesia misalnya, betapa kita telah menyaksikan pengendalian bahasa secara sistematis oleh penguasa Orde Baru.40

Oleh karena elemen dasar seluruh isi media massa adalah bahasa, dengan demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para

38

Ibnu Hamad, loc.cit., hlm 11 39

Ibid, hlm. 13

40

pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif, mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.41

Namun, dikarenakan adanya tuntunan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman pada media cetak, jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa secara utuh mulai dari menit pertama hingga ke menit terakhir. Atas nama kaidah

jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui

mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang.

Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang “penting” dari sebuah peristiwa. Dari segi ini saja, mulai

dapat ditebak kearah mana pembentukan (farmasi) sebuah berita. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan suatu berita. Kepentingan itu bisa dimiliki oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut.42

Pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis, ataupun ideologis. Sehingga pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya

41

Ibid., hlm. 15

42

kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana isu yang diangkat dalam wacana tersebut. Adapun cara membentuk wacana di media massa adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga sebuah isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana itu memiliki struktur internalnya sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya.43

Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi pembentukan realitas media, baik itu eksternal maupun internal. Ketika faktor kapital telah menjadi unsur yang esensial, proses kontruksi realitas pun diselaraskan dengan pertimbangan-pertimbangan modal. Inilah yang menyebabkan konstruksi realitas lazim dilakukan sedemikian rupa bila menyangkut kasus yang akan merugikan usaha atau relasi mereka. Wujud lain dari faktor ekonomi yang berpengaruh atas penampilan isi media adalah khalayak dan pengiklan. Pelaporan sebuah peristiwa jelas harus memperhitungkan pasar. Semakin baik pelaporan (reportase) akan semakin banyak khalayak yang mengkonsumsi dan secara otomatis pengiklan pun cenderung akan bertambah.

Sebagai makhluk sosial, seorang wartawan juga mempunyai sikap, nilai, kepercayaan, dan orientasi tertentu dalam politik, agama, ideologi, dan aliran dimana

43

semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjanya (media content), sehingga kerapkali media tersebut terlibat dalam sebuah hegemoni (politik, budaya, atau ideologi). Selain itu, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas, turut pula mempengaruhi wartawan dalam mengkonstruksi realitas.44

Pembahasan konstruksi media terhadap realitas ini untuk memahami bagaimana media massa dalam melakukan konstruksi dalam pemberitaannya senantiasa berbeda-beda. Hal ini berkaitan erat untuk memahami mengapa media melakukan pembingkaian sedemikian rupa dalam realitas kasus korupsi dana haji yang menjadi fokus pembahasan.

Dokumen terkait