• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Sosial Pada Serial Drama Misaeng (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea “Misaeng”)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai-Nilai Sosial Pada Serial Drama Misaeng (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea “Misaeng”)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas

dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma

membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan

kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma akan menentukan kualitas

pertanyaan yang akan ditanyakan oleh peneliti dan jenis data yang bagaimana

untuk menghasilkan jawaban (Bulaeng, 2004: 2). Paradigma menawarkan cara

pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia. Perspektif atau paradigma

sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak

perilaku seseorang.

Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu

pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di

antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Paradigma tertanam

kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan

pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat

normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu

melakukan pertimbangan eksistensial dan epistemologis yang panjang (Mulyana,

2003: 9).

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu:

positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel

membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto &

Hermawan, 2011: 9). Perspektif atau paradigma yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme.

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan

subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya

(2)

subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek

sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan

sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap

maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151). Setiap

pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan

pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.

Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,

Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme

memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi

hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah

menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan

cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).

Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang

membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau

keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,

puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik,

melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian

berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru

mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan

pengetahuan manusia (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 153).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi

merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang

dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.

Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan

bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian

paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme

objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi

(3)

Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada

ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui

proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang

sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan

begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah

yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap

pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan

bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto

dan Q-Anees, 2007: 154).

Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada

pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun,

konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi

melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Pengetahuan

dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus

dialaminya.

Robyn Penmann (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 158) merangkum kaitan

konstruktivis dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:

1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek

yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang

dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikasi dianggap sebagai tindakan

sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.

2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang

objektif sebagai diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam

kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa

itulah konstruksi realitas tercipta.

3. Pengetahuan bersifat konstektual, maksudnya pengetahuan merupakan produk

yang dipengaruhi ruang waktu akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran

waktu.

4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara

(4)

dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.

5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Pandangan ini mendasarkan pada penafsiran

teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman,

latar belakang dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam

penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang

dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah

menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan

cara apa konstruksi tersebut dibentuk.

2.2 Kajian Pustaka

Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang

mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang

membantu kita memahami sebuah fenomena (West dan Turner, 2009: 49).

Menurut Kerlinger, teori merupakan himpunan konstruk atau konsep, definisi dan

proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan

menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala

tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Teori membimbing riset dan membantu periset

menerangkan gejala, memprediksikan dan mengontrol gejala tersebut.

Singarimbun (dalam Kriyantono, 2010: 43) menyatakan bahwa teori

mempunyai peranan yang besar dalam riset, karena teori mengandung tiga hal:

Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antarkonsep yang saling

berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial

dengan cara menentukan hubungan antarkonsep. Ketiga, teori menerangkan

fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan

dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.

Dalam penelitian kualitatif teori sifatnya tidak mengekang peneliti. Teori

berfungsi sebagai pisau analisis, membantu peneliti untuk memaknai data, di

(5)

Peneliti bebas berteori untuk memaknai data dan mendialogkannya dengan

konteks sosial yang terjadi.

Adapun teori-teori yang dianggap relevan untuk penelitian ini adalah sebagai

berikut:

2.2.1 Komunikasi

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan

manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin

mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia

perlu berkomunikasi. Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu

kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari

kata Latin communis yang berarti “sama”, communico¸ communicatio atau

communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyana, 2010:

46). Makna kata ”sama” ini bisa diinterpretasikan dengan ”sama makna”. Jadi,

secara sederhana proses komunikasi bermuara pada usaha untuk mendapatkan

kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan proses

komunikasi tersebut.

Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika

mendefinisikan komunikasi sebagai proses di mana suatu ide dialihkan dari

sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah

laku mereka. Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D.

Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan definisi baru yang menyatakan bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2005: 19).

Komunikasi merupakan suatu proses sosial di mana individu-individu

menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna

dalam lingkungan mereka. Ketika dipandang secara sosial, komunikasi selalu

(6)

kemampuan. Komunikasi berlangsung secara berkesinambungan dan tidak

memiliki akhir.

Harold D. Laswell (dalam Cangara, 2005: 2-3) menyebut tiga fungsi dasar

yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu:

Pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungan. Melalui

komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk

dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam

sekitarnya. Melalui komunikasi dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa.

Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya,

yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima

dari lingkungan sekitarnya.

Kedua, adalah upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan

lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung

bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian di

sini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap

gejala alam yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan

masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini

diperlukan penyesuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.

Ketiga, adalah upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi.

Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota

masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku dan peranan.

Misalnya bagaimana sekolah difungsikan untuk mendidik warga negara atau

bagaimana media massa menyalurkan hati nurani khayalaknya.

Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam

berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Komunikasi jelas tidak dapat

dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai

anggota masyarakat. Sebab, berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh

(7)

2.2.2 Komunikasi Massa

2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para

ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya. Pada

dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa, yaitu

media cetak dan elektronik (Nurudin, 2004: 2). Fokus kajian dalam komunikasi

massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menyebarkan

informasi berupa pesan berita, peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi

dan merefleksikan suatu masyarakat.

Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara media

massa dan khalayaknya (Baran, 2012: 7). Studi komunikasi massa mempelajari

pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human

interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara

lain pesan, media dan audiens (Liliweri, 2011: 219).

2.2.2.2 Karakteristik Komunikasi Massa

Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004: 7-12) terdapat delapan

karakteristik komunikasi massa, yaitu sebagai berikut:

1. Komunikator terlembagakan. Komunikator dalam komunikasi massa bukanlah

satu orang melainkan kumpulan orang-orang. Komunikasi massa melibatkan

lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. Artinya,

pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari

pengumpulan, pengelolaan sampai penyajian informasi.

2. Pesan bersifat umum. Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya

komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk

sekelompok orang tertentu. Pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana

saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun suku bangsa.

3. Komunikannya anonim dan heterogen. Dalam komunikasi massa, komunikator

tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media

dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen,

(8)

dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

4. Media massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa

dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau

komunikan yang dicapainya relatif lebih banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih

dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang

bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Keserempakan media massa

merupakan keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak

yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada

dalam keadaan terpisah.

5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan. Setiap komunikasi

melibatkan unsur isi dan hubungan sekaligus. Pada komunikasi antar pribadi,

unsur hubungan sangat penting. Sebaliknya pada komunikai massa, yang penting

adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa

berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa

yang akan digunakan.

6. Komunikasi massa bersifat satu arah. Merupakan salah satu kelemahan yang

ada pada komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan komunikasi dengan

menggunakan atau melalui media massa. Hal ini menyebabkan komunikator dan

komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif

menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun di antara

keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam

komunikasi antar pribadi. Kalau pun terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya

memerlukan waktu dan tertunda.

7. Stimulasi alat indra “terbatas”. Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan oleh komunikan. Pada surat

kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada siaran radio dan rekaman

auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film,

khalayak menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Hal ini sangat

berbeda dengan komunikasi antar pribadi yang bersifat tatap muka, di mana

(9)

digunakan secara maksimal. Kedua belah pihak dapat melihat mendengar secara

langsung, bahkan mungkin merasa.

8. Umpan balik tertunda (delayed). Komunikasi massa tidak mampu menjalankan

fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah.

2.2.2.3 Fungsi Komunikasi Massa

Para pakar mengemukakan tentang sejumlah fungsi komunikasi, kendati

dalam setiap item fungsi terdapat persamaan dan perbedaan. Pembahasan fungsi

komunikasi telah menjadi diskusi yang cukup penting, terutama konsekuensi

komunikasi melalui media massa. Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat

menurut Dominick (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 15-18), terdiri dari

surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan),

transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan).

1. Surveillance (Pengawasan)

Media massa merupakan sebuah medium di mana dapat digunakan

untuk pengawasan terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya.

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama,

yaitu:

a. Warning or Beware Surveillance (Pengawasan Peringatan)

Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa

menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya

gunung merapi, kondisi efek yang memprihatinkan, tayangan

inflasi atau adanya serangan militer.

b. Instrumental Surveillance (Pengawasan Instrumental)

Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau

penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat

membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Berita tentang

film apa yang sedang dimainkan di bioskop, bagaimana

harga-harga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang

mode, resep masakan dan sebagainya, adalah contoh-contoh

(10)

2. Interpretation (Penafsiran)

Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media

massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan

penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri

media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau

ditayangkan. Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman

tajuk rencana (editorial) surat kabar, pada radio siaran dan televisi,

seperti tayangan acara derap hukum dan tayangan penafsiran sejenis

lainnya. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca

pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut

dalam komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok.

3. Linkage (Pertalian)

Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam

sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan

minat yang sama tentang sesuatu. Contoh masyarakat yang tersebar

telah dipertalikan oleh media massa untuk memilih Partai Demokrat.

4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)

Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga

socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu pada cara di mana

individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang

mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca.

Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak

dan apa yang diharapkan mereka. Dengan kata lain, media massa

mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk

menirunya.

5. Entertainment (Hiburan)

Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan,

hampir 3/4 bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan

hiburan. Begitu pun radio siaran, siarannya banyak dimuati acara

hiburan. Memang ada beberapa televisi dan radio siaran yang memuat

(11)

kurang dari 5%. Majalah pun demikian halnya. Ada yang banyak

memuat hiburan, ada pula yang sedikit memuat hiburan.

2.2.3 Analisis Isi (Content Analysis)

2.2.3.1 Pengertian Dasar Analisis Isi

Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat

inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan

memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi

komunikasi (Bungin, 2008: 231). Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap

komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa

verbal maupun non verbal. Sejauh ini, makna komunikasi menjadi amat dominan

dalam setiap peristiwa komunikasi.

Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang mempelopori teknik

symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian

diberi interpretasi. Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian

sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut:

1. Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari berbagai bahan yang

terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript).

2. Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang menerangkan

tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.

3. Peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan/data yang

dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut sangat spesifik.

Analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi

yang disampaikan dalam bentuk lambang. Analisis isi dapat digunakan untuk

menganalisis semua bentuk komunikasi, seperti surat kabar, buku, puisi, lagu,

cerita rakyat, lukisan, pidato, surat, peraturan, undang-undang, musik, teater, dan

sebagainya (Rakhmat, 2004: 89). Sebagai contoh, seorang peneliti mungkin ingin

menganalisis isi buku belajar mandiri bagi orang tua guna menentukan jenis-jenis

saran yang diberikan dalam buku tersebut.

(12)

Content analysis is a research technique for the objective, systematic,

and quantitative description of the manifest content of communication.”

“Analisis isi adalah teknik penelitian yang objektif, sistematis dan

deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi.”

Kendatipun banyak kritik yang dapat kita sampaikan pada definisi

Berelson sehubungan perkembangan analisis isi sampai hari ini, namun catatan

mengenai objektif dan sistematik dalam menganalisis isi komunikasi yang tampak

dalam komunikasi, menjadi amat penting untuk dibicarakan saat ini. Salah satu

tekanan Berelson dalam analisis isi, yaitu deskripsi kuantitatif, akan dibicarakan

pada pembicaraan mengenai penelitian kuantitatif. Hal ini menunjukkan bahwa

analisis isi adalah teknik yang bersisi ganda. analisis tersebut dapat digunakan

pada teknik kuantitatif maupun kualitatif, tergantung pada sisi mana peneliti

memanfaatkannya.

Analisis isi kuantitatif memfokuskan risetnya pada isi komunikasi yang

tersurat (tampak atau manifest). Karena itu tidak dapat digunakan untuk

mengetahui isi komunikasi yang tersirat (latent) (Kriyantono, 2010: 251).

Misalnya, mengapa surat kabar A memberitakan konflik Ambon lebih banyak dari

surat kabar lainnya, mengapa RCTI memberitakan isu kenaikan BBM dengan cara

yang berbeda dengan TransTV, dan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu

analisis isi yang lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi media

dan mampu menghubungkannya dengan konteks sosial/realitas yang terjadi

sewaktu pesan dibuat. Hal ini disebabkan perspektif penelitian isi media kualitatif

selalu melihat pesan-pesan media (teks, simbol, gambar dan sebagainya) sebagai

kumpulan simbol dan lambang representasi kultural atau budaya dalam konteks

masyarakat (produk sosial dan budaya masyarakat). Inilah yang disebut dengan

analisis isi kualitatif.

Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti

melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti

memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi

simbolik yang terjadi dalam komunikasi. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan

analisis isi lebih banyak ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada pada

(13)

terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Dan sebagaimana penelitian kualitatif lainnya,

kredibilitas peneliti menjadi amat penting. Analisis isi memerlukan peneliti yang

mampu menggunakan ketajaman analisisnya untuk merajut fenomena sosial yang

terbaca oleh orang pada umumnya.

Dalam analisis isi kualitatif semua jenis data atau dokumen yang dianalisis lebih cenderung disebut dengan “text” apa pun bentuknya gambar, tanda (sign),

simbol, gambar bergerak (moving image) dan sebagainya. Atau dengan kata lain

yang disebut dokumen dalam analisis isi kualitatif adalah wujud representasi

simbolik yang dapat direkam/didokumentasikan atau disimpan untuk dianalisis.

Analisis isi kualitatif ini merujuk pada metode analisis yang integratif dan lebih

secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah dan

menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansinya.

David L. Altheide (dalam Kriyantono, 2010: 251) mengatakan bahwa

analisis isi kualitatif disebut pula sebagai Ethnographic Content Analysis (ECA),

yaitu perpaduan antara analisis isi objektif dengan observasi partisipan. Artinya,

istilah ECA adalah periset berinteraksi dengan material-material dokumentasi atau

bahkan melakukan wawancara mendalam sehingga pernyataan-pernyataan yang

spesifik dapat diletakkan pada konteks yang tepat untuk dianalisis. Oleh karena itu

peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus memerhatikan beberapa

hal (Kriyantono, 2010: 252) :

Pertama adalah context, atau situasi sosial di seputar dokumen atau text

yang diteliti. Di sini peneliti diharapkan dapat memahami the nature

(kealamiahan) dan cultural meaning (makna kultural) dari artifact (teks) yang

diteliti. Contohnya, salah satu hal penting jika peneliti melakukan penelitian

terhadap isi pesan media, yang harus ia pertimbangkan bahwa berita dalam surat

kabar atau dalam siaran berita di televisi merupakan produk budaya dari sebuah

organisasi atau lebih sederhananya berita adalah produk organisasional. Artinya,

jika peneliti menganalisis isi pesan suatu pemberitaan, ia harus

mempertimbangkan ideologi organisasi/institusi media massanya.

Kedua adalah process, atau bagaimana suatu produksi media/isi pesannya

(14)

pemberitaan di stasiun televisi adalah produk organisasional, peneliti juga harus

mempertimbangkan bagaimana berita diproses. Bagaimana format pemberitaan

televisi yang dianalisis tadi disesuaikan dengan keberadaan dari tim pemberitaan,

bagaimana realitas objektif diedit ke dalam realitas media massa, dan sebagainya.

Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari

makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi. Emergence ini akan

membantu peneliti memahami proses dari kehidupan sosial di mana pesan tadi

diproduksi. Di sini peneliti menggunakan dokumen atau teks untuk membantu

memahami proses dan makna dari aktivitas-aktivitas sosial. Dalam proses ini

peneliti akan mengetahui apa dan bagaimana si pembuat pesan dipengaruhi oleh

lingkungan sosialnya atau oleh bagaimana si pembuat pesan mendefinisikan suatu

situasi.

Analisis isi kualitatif bersifat sistematis, analitis tetapi tidak kaku seperti

dalam analisis isi kuantitatif. Kategorisasi dipakai hanya sebagai guide,

diperbolehkan konsep-konsep atau kategorisasi yang lain muncul selama proses

riset. Saat ini telah banyak metode analisis yang berpijak dari pendekatan analisis

isi kualitatif. Antara lain: analisis framing, analisis wacana, analisis tekstual,

semiotik, analisis retorika, dan ideological criticism. Periset dalam melakukan

analisis bersikap kritis terhadap realitas yang ada dalam teks yang dianalisis.

Selain itu ECA mempunyai orientasi yang lebih kepada pengembangan konsep,

koleksi data, dan munculnya analisis data yang mengandalkan pada kemampuan

naratif dari peneliti.

Lewat analisis isi, peneliti dapat mempelajari gambaran isi, karakteristik

pesan, dan perkembangan (tren) dari suatu isi (Eriyanto, 2011: 11). Peneliti tidak

memusatkan perhatian pada apa yang terlihat dalam teks, tetapi makna dari teks

(15)

2.2.3.2 Bentuk Klasifikasi Analisis Isi

Janis membuat klasifikasi-klasifikasi untuk metode analisis isi (Bungin,

2008: 234-235) yakni sebagai berikut:

1. Analisis Isi Pragmatis (Pragmatic Content Analysis), yakni prosedur

memahami teks dengan mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau

akibatnya yang mungkin timbul, misalnya berapa kali suatu kata tertentu

ditulis atau diucapkan, yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka atau

tidak suka terhadap sebuah rezim pemerintahan.

2. Analisis Isi Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang

mengklasifikasikan tanda menurut maknanya, misalnya menghitung berapa

kali kata demokrasi dijadikan sebagai rujukan sebagai salah satu pilihan

sistem politik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia. Atau,

misalnya yang lain, berapa kali kata Indonesia disebut oleh Obama sebagai

rujukan contoh negara dengan keragaman suku, budaya dan agama, yang

mampu mempersatukan semuanya dalam bingkai negara kesatuan. Secara

rinci, Janis mengembangkan Analisis Isi Semantik menjadi tiga macam

kategori sebagai berikut:

a) Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menggambarkan

frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, konsep)

dirujuk. Analisis model ini juga biasa disebut sebagai Analisis Isi Pokok

Bahasan (Subject-Matter Content Analysis).

b) Analisis Penyifatan (Attributions Analysis), yakni menggambarkan

frekuensi seberapa sering karakterisasi objek tertentu dirujuk atau disebut

misalnya, referensi kepada ketidakjujuran, kenakalan, penipuan.

c) Analisis Pernyataan (Assertions Analysis), yakni menggambarkan

frekuensi seberapa sering objek tertentu dilabel atau dikarakteristikkan

secara khusus. Analisis ini juga disebut analisis tematik. contohnya,

referensi terhadap perilaku menyontek di kalangan mahasiswa sebagai

maling atau pembohong, seberapa sering Iran disebut oleh Amerika

sebagai negara yang menantang himbauan masyarakat internasional dalam

(16)

3. Analisis Sarana Tanda (Sign-Vehicle Analysis), yakni prosedur

mengklasifikasikan isi melalui sifat psikofisik dari tanda (misalnya

menghitung frekuensi berapa kali kata cantik muncul, atau kata negara

Indonesia muncul dalam sambutan Obama ketika berkunjung ke Indonesia).

2.2.3.3 Penggunaan Analisis Isi

Penggunaan Analisis isi tidak berbeda dengan penelitian kualitatif lainnya.

Hanya saja, karena teknik ini dapat digunakan pada pendekatan yang berbeda

(baik kuantitatif maupun kualitatif), maka penggunaan analisis isi tergantung pada

kedua pendekatan ini.

Ada banyak manfaat dalam penggunaan metode analisis isi. Para peneliti

telah menggunakan metode ini bukan hanya untuk mempelajari karakteristik isi

komunikasi, tetapi juga untuk menarik kesimpulan mengenai sifat komunikator.

Keadaan khalayak, maupun efek komunikasi. Penelitian analisis isi pernah

digunakan untuk menganalisis gaya dan teknik propaganda, membandingkan

kecenderungan politik media satu dengan yang lain dan sebagainya. Menurut

Wimmer dan Dominick setidaknya ada lima kegunaan yang dapat dilakukan

dalam penelitian analisis isi (Bungin, 2008: 188-191):

1) Menggambarkan Isi Komunikasi (Describing Communication Content)

Analisis isi berfungsi untuk mengungkap kecenderungan yang ada pada isi

komunikasi, baik melalui media cetak maupun eletronik. Misalnya, penelitian

yang ingin mengetahui apakah pernyataan elite tertentu di media massa

menggunakan gaya komunikasi politik yang agresif, menyerang pihak lain,

atau submisif, yang cenderung diam atau mengalah.

1. Menguji Hipotesis tentang Karakteristik Pesan (Testing Hypothesis of

Messages Characteristic)

Sejumlah peneliti analisis isi berusaha menghubungkan karakteristik tertentu

dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan.

Sebagai contoh, Lembaga Konsumen Media tahun 1999 meneliti akurasi

berita politik yang ada pada headlines sembilan surat kabar besar di

(17)

akurat, memisahkan fakta dan opini, dan dilengkapi dengan data, dibanding

media yang lain.

2) Membandingkan Isi Media dengan Dunia Nyata (Comparing Media Content

to the “Real World”)

Banyak analisis isi digunakan untuk menguji apa yang ada di media dengan

situasi aktual yang ada di kehidupan nyata. Misalnya, membandingkan

kekerasan yang ada di dunia televisi dengan kekerasan di kehidupan nyata.

3) Memperkirakan Gambaran Kelompok Tertentu di Masyarakat (Assessing the

Image of Particular Groups in Society)

Sejumlah penelitian analisis isi telah memfokuskan dan mengungkap

gambaran media mengenai kelompok minoritas tertentu. Di sini analisis isi

digunakan untuk meneliti masalah sosial tentang diskriminasi dan prasangka

terhadap kelompok minoritas, agama tertentu, etnik, dan lain-lain. Misalnya,

meneliti bagaimana orang kulit hitam ditampilkan dalam film-film Amerika.

Apakah lebih sering sebagai lakon yang baik hati, atau pelaku kejahatan?

Segar dan Wheelar (1971) dalam penelitiannya mendapati bahwa 75% peran

utama dilakukan oleh orang Amerika kulit putih, 6% kulit hitam, dan sisanya

kelompok-kelompok minoritas lainnya.

4) Mendukung Studi Efek Media Massa

Penggunaan analisis isi acapkali juga digunakan sebagai sarana untuk

memulai penelitian efek media massa. Seperti dalam penelitian cultivation

analysis, di mana pesan yang dominan dan tema-tema isi media yang

terdokumentasi melalui prosedur yang sistematik dikorelasikan dengan studi

lain tentang khalayak, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah

pesan-pesan di media massa tersebut menumbuhkan sikap-sikap yang serupa di

antara para pengguna media yang berat (heavy users). Gerbner, Gross,

Signorielli, Morgan, dan Jacson Beeck (1979) menemukan bahwa penonton

berat TV (heavy viewers) cenderung lebih takut pada lingkungan sekitarnya.

Penelitian Agenda Setting juga merupakan penelitian efek media yang diawali

dengan analisis isi terhadap isi media. Di antara content analysis digunakan

(18)

Publik, yaitu apa yang dianggap penting oleh publik, yang datanya diperoleh

melalui survei.

Berelson (dalam Krippendorf, 1993: 36-37) menyebut 17 kegunaan

analisis isi, yaitu:

1. Mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan dalam isi komunikasi.

2. Melacak perkembangan ilmu pengetahuan.

3. Menyingkap perbedaan-perbedaan internasional dalam isi komunikasi.

4. Membandingkan media atau “level” komunikasi.

5. Memperhitungkan isi komunikasi dalam hubungannya dengan

sasaran-sasarannya.

6. Mengkonstruksikan dan menerapkan standar-standar komunikasi.

7. Membantu pelaksanaan teknis penelitian (mengkode pertanyaan terbuka

dalam wawancara survei).

8. Menyingkapkan teknik-teknik propaganda.

9. Mengukur “kehandalan” bahan-bahan komunikasi.

10.Menemukan gambaran-gambaran stylistik.

11.Mengidentifikasi niat-niat (intentions) dan karakteristik lain komunikator.

12. Menggambarkan keadaan psikologis seseorang atau kelompok.

13.Mendeteksi eksistensi propaganda (terutama untuk tujuan yang legal).

14.Melindungi intelijensi politik dan militer.

15.Merefleksikan berbagai sikap, kepentingan dan nilai (pola-pola kultural)

berbagai kelompok masyarakat.

16.Mengungkapkan fokus perhatian.

17.Mendeskripsikan respons yang berbentuk sikap dan perilaku terhadap

komunikasi.

2.2.3.4 Kelebihan dan Keterbatasan Analisis Isi

Bungin (2008: 192-193) mengungkapkan bahwa penggunaan analisis isi

memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan utama metode analisis isi adalah

tidak digunakannya manusia sebagai subjek penelitian. Hal ini menyebabkan

penelitian relatif lebih mudah, tidak ada reaksi dari populasi ataupun sampel yang

(19)

ataupun diminta datang ke laboratorium. Analisis isi juga relatif murah, tidak

terbentur masalah perizinan penelitian. Bahan-bahan penelitian mudah didapat

terutama di perpustakaan-perpustakaan, atau di bagian dokumentasi audio visual.

Biaya untuk coder relatif lebih murah dibandingkan biaya operasional pengumpul

data untuk survei.

Kekurangan analisis isi terpenting adalah ia hanya meneliti pesan yang

tampak, sesuatu yang disembunyikan dalam pesan bisa luput dari analisis isi. Oleh

karena itu, analisis isi kualitatif seperti semiotic, discourse, analisis framing,

ataupun textual analysis dapat menutupi kekurangan ini. Kekurangan terpenting

lain adalah kesulitan menentukan media atau tempat memperoleh pesan-pesan

yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Meneliti berita kerusuhan,

misalnya, akan kesulitan jika kita menetapkan pengambilan sampel medianya

secara random, baik sistematis maupun simple random. Karena tidak semua media

yang dipilih secara random itu ada berita kerusuhannya.

Kelemahan lain, adalah bahwa pesan komunikasi tidak selamanya

merefleksikan fakta, terkadang memang ada usaha untuk membelokkan dunia

simbolis yang ada di media (pesan) dari realitas yang sesungguhnya. Karena itu

untuk penelitian analisis isi yang bertujuan untuk memahami realitas sosial,

penelitian ini perlu dikonfirmasi dengan penelitian lainnya.

2.2.4 Nilai-Nilai Sosial

Di dalam setiap kehidupan sosial terdapat pandangan tentang sesuatu yang

dianggap baik, patut, layak, pantas, dan biasanya dijadikan sebagai pedoman bagi

tata kelakuan masyarakat. Pedoman tata kelakuan dari pandangan hidup

masyarakat tersebut biasanya dimulai dari pandangan unit kesatuan sosial terkecil,

yaitu keluarga, masyarakat, suku bangsa, hingga bangsa sampai pada masyarakat

internasional (Setiadi & Kolip, 2011: 115).

Secara definitif, Theodorson mengemukakan, bahwa nilai merupakan

sesuatu yang asbtrak yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam

bertindak dan bertingkah laku. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat

(20)

nilai-nilai yang menyangkut tentang nilai sosial adalah nilai perilaku yang

menggambarkan suatu tindakan masyarakat, nilai tingkah laku yang

menggambarkan suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat, serta nilai sikap

yang secara umum menggambarkan kepribadian suatu masyarakat dalam

lingkungannya.

Nilai adalah suatu bagian penting dalam kebudayaan. Suatu tindakan

dianggap sah-artinya secara moral dapat diterima-jika harmonis dengan nilai-nilai

yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan

(Narwoko dan Suyanto, 2010: 55). Di dalam masyarakat yang terus berkembang,

nilai senantiasa akan ikut berubah.

Nilai sosial adalah nilai-nilai kolektif yang dianut oleh masyarakat

kebanyakan. Klasifikasi nilai sosial menurut Profesor Notonegoro (dalam Setiadi

dan Kolip, 2011: 124-125) dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia

atau benda-benda nyata yang dapat dimanfaatkan sebagai kebutuhan

fisik manusia.

2) Nilai vital yaitu, meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan

segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan

berbagai aktivitas.

3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi pemenuhan

kebutuhan rohani (spiritual) manusia yang bersifat universal, seperti:

a) Nilai kebenaran dan nilai empiris, yaitu nilai yang bersumber pada

akal manusia (logika, rasio, budi, cipta), misalnya sesuatu itu dianggap

benar atau salah karena akal manusia memiliki kemampuan untuk

memberikan penilaian.

b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan

manusia (perasaan atau estetika).

c) Nilai moral/kebaikan, yaitu nilai sosial yang bersumber pada unsur

kehendak, terutama pada tingkah laku manusia antara penilaian

perbuatan yang dianggap baik atau buruk, mulia atau hina menurut

(21)

d) Nilai religius, yaitu nilai yang bersumber kepada keyakinan atau

kepercayaan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam buku pengantar sosiologi karangan D.A. Wila Huky (1982),

disebutkan ada beberapa ciri nilai sosial (dalam Basrowi, 2005: 81):

a. Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi

diantara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial, bukan

secara biologis atau bawaan lahir.

b. Nilai sosial ditularkan atau ditransformasikan. Nilai yang menyusun

sistem nilai diteruskan dan ditularkan di antara anggota-anggota

melalui berbagai macam proses sosial seperti akulturasi, difusi dan

lain-lain.

c. Nilai dipelajari. Nilai dicapai dan bukan bawaan lahir. Proses belajar

dan pencapaian nilai-nilai itu dimulai sejak masa kanak-kanak dalam

keluarga melalui sosialisasi.

d. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam usaha

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial.

e. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak di mana terdapat konsensus

sosial tentang harga relatif dari objek dalam masyarakat. Nilai-nlai

secara konseptual merupakan abstraksi dari unsur-unsur nilai dan

bermacam-macam objek di dalam masyarakat.

f. Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara komunal

untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat. Bila

tidak terdapat keharmonisan yang integral dari nilai-nilai sosial, maka

akan timbul masalah sosial.

g. Sistem-sistem nilai sosial bervariasi antara kebudayaan satu dengan

kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang diperlihatkan

oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola aktivitas dan tujuan serta

sasarannya. Dengan kata lain, keanekaragaman kebudayaan dengan

bentuk dan fungsi yang saling berbeda menghasilkan sistem-sistem

nilai yang saling berbeda pula.

h. Masing-masing nilai mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap

(22)

i. Nilai sosial dapat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang

dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif.

2.2.5 Konfusianisme pada Masyarakat Korea

Pada kehidupan bermasyarakatnya, Korea Selatan tidak akan lepas dari

agama dan kepercayaan yang mereka anut. Sehingga peranan penting yang

dimainkan oleh agama dan kepercayaan di Korea Selatan dapat membentuk

sekaligus mengembangkan budaya dan karakter masyarakatnya. Pengaruh kuat

yang dimiliki oleh agama dan kepercayaan tersebut tercermin dalam pemikiran

dan tingkah laku masyarakat Korea Selatan.

Pada umumnya agama yang dominan dianut oleh bangsa Korea adalah

Budha, Konfusianisme, Kristen dan Katolik. Pada tahun 1995 pemerintah Korea

menyatakan Konfusianisme sebagai agama, tetapi bukan sebagai agama negara

melainkan sebuah kepercayaan yang setara dengan agama. Hampir sebagian

masyarakat Korea yang tidak memiliki suatu agama maupun yang memiliki

agama, dalam menjalankan kehidupannya dipengaruhi oleh Konfusianisme. Hal

ini dikarenakan bila dilihat dari konteks kekinian, Konfusianisme lebih dianggap

sebagai filosofi moral kehidupan ketimbang sebuah agama. Di Korea pada

umumnya Konfusianisme memiliki pengaruh kuat pada kehidupan masyarakat.

Konfusianisme didasarkan pada kepercayaan bahwa hubungan kekeluargaan

adalah dasar hubungan sosial.

Didirikan oleh Konghucu (dilatinkan menjadi Konfusius) pada abad ke-6

Sebelum Masehi, Konfusianisme lebih condong kepada petunjuk etika moral

dibandingkan kepercayaan agama. Konfusianisme adalah sistem ajaran etika -

kebajikan, kebenaran, kesopanan dan kepemimpinan yang bijaksana – yang

dirancang untuk menginspirasi dan mempertahankan pengelolaan keluarga dan

masyarakat secara tepat (benar). Konfusianisme merupakan kepercayaan bukan

agama karena di dalam sebuah agama terdapat konsep Tuhan. Namun di dalam

Konfusianisme tidak terdapat konsep Tuhan. Walau demikian, para pengikut

(23)

mengikuti ajaran-ajaran utama dari sistem yang ia ciptakan (Layanan Informasi

dan Kebudayaan Korea, 2012: 29).

Konfusianisme diperkenalkan bersamaan dengan naskah-naskah tulisan

budaya China pada masa awal perkembangan agama Kristen. Tiga Kerajaan

Goguryeo, Baekje dan Silla meninggalkan catatan-catatan yang menunjukkan

keberadaan awal mulanya pengaruh Konfusianisme. Di kerajaan Goguryeo,

sebuah universitas negeri yang disebut Daehak didirikan pada tahun 372 dan

akademi-akademi Konfusianisme swasta didirikan di propinsi-propinsi. Bahkan

kerajaan Baekje telah mendirikan institusi semacam itu sebelumnya (Layanan

Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 29).

Kerajaan Silla Bersatu mengirim delegasi cendekiawan ke daerah Tang di

China untuk mengamati kinerja institusi Konfusianisme secara langsung dan

membawa pulang naskah-naskah tulisan mengenai hal itu. Pada abad ke-10 bagi

Dinasti Goryeo, agama Budha adalah agama negara, dan Konfusianisme menjadi

tulang punggung bagi struktur dan filosofi negara. Ujian masuk pegawai negeri

Gwageo, yang mengadopsi sistem di China pada akhir abad ke-10, sangat

mendorong pikiran orang Korea untuk belajar Konfusianisme klasik serta berhasil

menanamkan secara mendalam nilai-nilai Konfusianisme dalam pikiran rakyat

Korea (Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 30).

Dinasti Joseon, yang didirikan pada tahun 1392, menerima Konfusianisme

sebagai ideologi resmi dan mengembangkan sistem pendidikan, upacara dan

administrasi sipil yang didasarkan pada Konfusianisme. Ketika negara-negara

Barat dan Jepang mulai mulai melakukan serangan-serangan militer pada akhir

abad ke-19 untuk memaksa Korea untuk membuka diri terhadap pengaruh luar, para penganut Konfusianisme membentuk “tentara kebenaran” untuk berperang melawan para penyerang asing (Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012:

30).

Pada zaman itu terdapat juga usaha untuk mengubah Konfusianisme dan

mengadaptasikannya dengan kondisi pada saat itu. Para reformis ini menerima

peradaban Barat yang baru dan berupaya untuk membentuk pemerintahan yang

(24)

di Korea, para reformis Konfusianisme bergabung dengan banyak pergerakan

kemerdekaan untuk berperang melawan penjajahan Jepang. Kini, upacara

Konfusian untuk menghormati roh para leluhur tetap dilaksanakan dan ketaatan

pada orang tua sangat dihargai sebagai suatu kebajikan dalam masyarakat Korea

(Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 31).

Banyak orang mengira bahwa Konfusianisme adalah suatu ajaran filsafat

untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Di Korea, nilai

Konfusianisme mempengaruhi nilai dan norma mengenai pernikahan, keluarga,

politik, dan hubungan sosial lainnya. Etika dan moral orang Korea masih diliputi

oleh pandangan-pandangan konfusianisme. Rasa sayang kepada keluarga, setia

kawan, hormat pada guru, bekerja keras, setia pada pekerjaan dan

karakter-karakter lainnya menunjukkan bahwa masih melekatnya nilai-nilai Konfusianisme

pada budaya Korea. Bahkan, hingga saat ini ekspresi bentuk hormat dalam bahasa

Korea masih terus dipergunakan. Ekspresi hormat dengan cara meninggikan

lawan bicara dan merendahkan diri sendiri inipun merupakan ekspresi nilai-nilai

konfusianisme.

2.2.6 Drama Korea

Drama Korea yang ada saat ini telah mengalami perkembangan yang

sangat signifikan dibandingkan dengan drama Korea pada masa lampau. Seni

pertunjukan di Korea telah dikenal luas sejak masa kerajaan Goryeo. Pada saat itu

seni pertunjukan yang terkenal salah satunya adalah tarian, dan merupakan asal

mula pertunjukan drama di Korea. Pada awalnya, drama dan seni pertunjukan di

Korea merupakan pengaruh dari China dan Semenanjung Barat Korea. Hal ini

terbukti pada tarian pada masa Dinasti Goryeo yang merujuk ke China dan

musiknya yang mengalami pengaruh dari pertunjukan seni di Jepang. Pada masa

dinasti Joseon drama dan seni pertunjukan di Korea mengalami masa-masa yang

sulit. Hal ini dikarenakan penyebaran nilai-nilai konfusianisme yang keras di

tengah masyarakat menyebabkan kegiatan seni pertunjukan dan drama di Korea

dibatasi. Pada masa ini kebanyakan pertunjukan drama dan

(25)

catatan-catatan tersebut rusak atau hilang pada abad ke-19 karena masalah sosial dan

politik (Hunggyu, 1997: 122).

Menurut catatan sejarah ada lima seni pertunjukan yang sangat terkenal di

Korea, yaitu tari topeng (mask dance), teater boneka (puppet theatre), changguk,

shinpaguk, dan drama modern Korea (Korean modern drama). Tari topeng (mask

dance) biasa disebut talchum di Korea dan merupakan salah satu bentuk drama

tradisional Korea yang masih hidup hingga sekarang. Talchum kadang-kadang

disebut juga sandaenori, talnori, pyolsin kunnori, totpoegi dan tulnorum. Tari

topeng biasanya dipentaskan di tempat yang cukup luas dengan penonton duduk

melingkar mengelilingi tempat pementasan. Secara keseluruhan struktur dari tari

topeng berdasarkan beberapa babak pementasan yang digambarkan secara bebas

dan saling berkaitan antara satu dan yang lainnya. Dalam pementasan tari topeng,

para pemain tidak dibatasi oleh waktu atau bentuk dari tempat pementasan. Para

pemain dalam tari topeng lebih memfokuskan pada alur cerita dan pemecahan

masalah dalam cerita (Hunggyu, 1997: 124).

Di Korea teater boneka (puppet theatre) tradisional biasanya disebut

kkoktukkakshi noreum. Istilah ini berasal dari satu-satunya sandiwara boneka yang

masih hidup di Korea saat ini. Pada awalnya, ada beberapa sandiwara boneka di

Korea, tetapi hilang lebih dari bertahun-tahun yang lalu. Teater boneka biasanya

dipentaskan di tempat terbuka seperti tari topeng, tetapi di pementasan teater

boneka, para penonton duduk menghadap ke panggung pementasan tidak

melingkar seperti di pementasan tari topeng. Salah satu yang unik dari teater

boneka di Korea adalah dalangnya tidak menggerakkan boneka dengan

menggunakan tali, tetapi menggunakan tangan dan melakukan narasi setiap

pemain dari tempat yang tertutup dari panggung (Hunggyu, 1997: 126-127).

Changguk merupakan seni pertunjukan yang diadaptasi dari pansori tetapi

menggunakan pementasan gaya Barat. Changguk pertama kali muncul karena

dipentaskan oleh dua grup yang berbeda antara tahun 1902 sampai tahun 1909.

Kedua grup tersebut adalah Hyomyulsa dan Wongaksa yang dikenal sebagai grup

pementasan lagu-lagu rakyat tradisional. Kedua grup tersebut mementaskan

(26)

berbeda. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai changguk, pansori dengan

pementasan gaya barat. Shinpaguk merujuk kepada teater komersial pada tahun

1915 dan menjadi populer sekitaran tahun 1920-1930-an. Shipanguk masuk ke

Korea karena pengaruh dari budaya pop Jepang yang kuat saat itu. Pada saat itu,

bangsa Korea sedang kehilangan rasa nasionalismenya dan tertarik dengan

modernisasi dan westernisasi. Hal inilah yang menyebabkan kepopuleran

shinpanguk sebagai teater dalam bentuk drama sentimental dan melodrama

(Hunggyu, 1997: 129-131).

Drama modern adalah bentuk baru dari teater ketika shinpaguk sedang

mendominasi panggung teater di Korea. Drama modern pertama kali

diperkenalkan dengan sungguh-sungguh pada tahun 1920-an oleh kugyaesul

yonguhoe (Drama Research Society) mahasiswa Korea di Tokyo dan Kyongsong

High Scholl theatre company, kaldophoe. Meskipun begitu, bentuk drama ini

kurang populer di Korea. Hal ini dikarenakan drama modern merupakan adaptasi

langsung dari Barat sehingga tidak sejalan dengan sensibilitas masyarakat Korea

saat itu. Hal lainnya adanya tekanan dari penjajah dan kurangnya fasilitas yang

memadai menyebabkan drama modern kurang berkembang di Korea. Pada tahun

1930, sebuah perusahaan Sawolhoe berniat membuat sebuah drama modern

tentang realita kehidupan masyarakat korea di bawah penjajahan. Akan tetapi,

masalah-masalah seperti kurangnya fasilitas dan tekanan dari penjajah terus

mempengaruhi perkembangan drama di Korea hingga tahun 1930 dan tahun

1950-an (Hunggyu, 1997: 132-133).

Jenis-jenis drama di atas merupakan cikal bakal terbentuknya

drama-drama modern Korea saat ini. Ada beberapa perbedaan antara drama-drama Korea pada

masa lampau dan sekarang. Pertama, pada masa lampau tempat pementasan

merupakan sebuah panggung pertunjukan, sedangkan sekarang merupakan studio

televisi. Akan tetapi, pada masa sekarang pun masih ada drama yang

dipertunjukan di panggung pertunjukan meskipun beberapa diantaranya

merupakan adaptasi dari drama yang telah dipertontonkan di stasiun televisi di

Korea. Kedua, alur cerita drama Korea pada masa lampau memiliki perbedaan

yang signifikan. Drama-drama modern Korea lebih banyak mengangkat tema

(27)

masyarakat Korea, sedangkan drama pada masa lampau lebih memiliki cerita

yang lebih beragam.

Seiring dengan perkembangan zaman, drama Korea pun mengalami

perkembangan yang signifikan. Sejak televisi pertama mengudara di Korea

panggung pertunjukkan drama di Korea pun berubah menjadi studio. Pada tahun

1956, siaran televisi di Korea mengudara untuk pertama kalinya. Sejak saat itu,

dunia pertelevisian Korea mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam

bidang program maupun organisasinya. Hal ini juga mempengaruhi

perkembangan drama di Korea. Pada tahun 1961, salah satu stasiun televisi Korea,

KBS-TV menyiarkan drama televisi pertama di Korea. Dalam drama televisi,

peralatan pertunjukkan dimodifikasi dari radio menjadi mikrofon, film menjadi

kamera serta panggung menjadi studio. Pada saat itu, panggung utama bukan lagi

panggung pertunjukkan melainkan studio televisi. Hal inilah yang menjadi awal

terbentuknya drama televisi di Korea yang sekarang lebih dikenal sebagai drama

Korea dan telah menyebar hampir di seluruh bagian dunia (Changhee, 1995: 118).

Pada tahun 1990 drama televisi Korea di produksi dengan lebih serius

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Changhee, 1995: 115). Di

pertengahan tahun ini budaya pop Korea, khususnya film dan drama televisi

Korea mulai booming di negara-negara Asia.

2.3 Model Teoritik

Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi

dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal

ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena

penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif. Berdasarkan teori yang telah

(28)

Serial Drama Misaeng

TRANSMISI NILAI

Nilai-Nilai Sosial

ANALISIS ISI SEMANTIK

Nilai Material

Nilai Vital

Referensi

Dokumen terkait

Tavaszi árpát várhatóan a múlt évinél kicsit nagyobb területen, 540 ezer hektáron vet- nek az országban, ami 6,3 tonna/hektár (+3 százalék) termésátlag mellett 3,4

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan terhadap masalah yang menitikberatkan pada penelitian yang dilakukan di

Special local government, research conducted by Tresiana and Duadji (2015: 1) in South Lampung regency as the selected sites, have found the government’s failure in the provision

 Mendiskusikan informasi yang diperolah dari berbagai sumber tentang dampak persatuan dan kesatuan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kerja sama dan percaya diri.

Menurut Kotler dan Keller (2008) perilaku konsumen merupakan perilaku pembelian konsumen akhir, baik yang dilakukan oleh individu, dan rumah tangga, dalam membeli suatu produk

peningkatan prestasi lari 400 meter.. Latihan interval dengan rasio 1:2 ternyata memberikan pengaruh lebih baik dalam peningkatan prestasi lari 400 meter. Kebaikan

Dari hasil analisis data dan grafik Dari hasil analisis data dan grafik hubungan perubahan tegangan dan hubungan perubahan tegangan dan frekuensi terhadap unjuk