• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Telaah Pustaka

2.1.1. Teori Kebijakan Publik

Kebijakan menurut Fredrich yang dikutip oleh Lubis (2007) adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Fredrich merinci bahwa ada beberapa pokok kebijakan, yaitu: a) tujuan (goal), b) sasaran (objective) dan c) kehendak (purpose).

2.1.2. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan menurut Buse (2009) adalah rangkuman segala arah tindakan yang memengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan yang mencakup sektor swasta dan sektor publik (pemerintah).

2.1.3. Analisa Kebijakan Publik

(2)

akan dijabarkan mengenai kegiatan, pandangan mengenai masalah, antisipasi hingga evaluasi program yang lengkap.

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi, kebijakan publik hanya merupakan dokumen yang tidak bermakna karena tidak memberi pengaruh apapun pada kehidupan bernegara. Kebijakan dalam suatu program harus diimplementasikan agar dampak dan tujuan yang diharapkan dapat diketahui.

Menurut Edward, implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:

is the precondition for successful policy implementation?

What are the primary obstacles to successful policy implementation?

Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya, komunikasi dan disposisi.

1. Struktur Birokrasi

(3)

pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

1. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).

2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya 3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda

4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas

5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati

6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan.

(4)

operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas” (Winarno, 2005). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

(5)

beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan.

Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Winarno, 2005): Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”. ”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.

2. Sumber Daya

(6)
(7)

Menurut Edward III dalam Agustino (2006), sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber daya memengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:

a. Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan

b. Informasi

Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan

c. Wewenang

(8)

dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya

d. Fasilitas

Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

(9)

keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya.

Menurut pendapat Metter dan Horn dalam Agustino (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang sangat mengenal permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

4. Komunikasi

Menurut Agustino (2006); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang memengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi. Edward dalam Agustino (2006) mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu: transmisi, kejelasan dan konsistensi.

(10)

2.2. Jaminan Kesehatan Nasional

2.2.1. Tiga Dimensi untuk Mencapai Cakupan Semesta Bagi Seluruh Penduduk Indonesia

1. Penduduk yang akan dijamin kesehatannya dilakukan dalam 2 tahap yaitu :

a. Penduduk pertama mulai 1 januari 2014 antara lain Penerima Bantuan Iuran (PBI) yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu, anggota TNI/Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan, dan Polri beserta anggota keluarganya, peserta asuransi kesehatan PT Askes dan PT Jamsostek beserta keluarganya.

b. Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai peserta paling lambat pada tanggal 1 januari 2019.

2. Pelayanan kesehatan mana yang akan ditanggung baik oleh pemerintah dan masyarakat (benefit package) meliputi pelayanan komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif). Pelayanan ini dilaksanakan secara wajib oleh fasilitas kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit.

3. Sumber dana bagi peserta bantuan iuran dibayar oleh pemerintah, sedangkan bagi peserta lainnya dalam bentuk pembayaran premi kepada Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).

2.2.2. Pengertian Asuransi Kesehatan Sosial (Jaminan Kesehatan Nasional-JKN)

(11)

ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).

Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Dengan demikian JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.

2.2.3. Kepesertaan JKN 1. Jenis-jenis Peserta

a. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

(12)

1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai negeri, pegawai swasta dan pekerja lain yang menerima upah.

2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: pekerja di luar hubungan kerja/pekerja mandiri dan pekerja yang bukan perima upah.

3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: investor; pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan dan orang yang mampu membayar Iuran.

4) Penerima pensiun terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berhenti dengan hak pensiun, anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun serta pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun;

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a) Istri/suami yang sah dari peserta; dan b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.

Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

2. Lokasi Pendaftaran Peserta

Pendaftaran peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat. 3. Prosedur Pendaftaran Peserta

(13)

b. Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

4. Hak dan Kewajiban Peserta

Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta dan manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk membayar iuran dan melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja.

5. Masa Berlaku Kepesertaan

a. Kepesertaan JKN berlaku selama yang bersangkutan membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta.

b. Status kepesertaan akan hilang bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia.

6. Pentahapan Kepesertaan

(14)

kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

2.2.4. Pembiayaan 2.2.4.1. Iuran

Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).

2.2.4.2. Pembayar Iuran

a. Bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh pemerintah.

b. Bagi peserta pekerja penerima upah, iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja.

c. Bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja iuran dibayar oleh peserta yang bersangkutan.

d. Besarnya iuran JKN ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

2.2.4.3. Pembayaran Iuran

(15)

Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.

2.2.4.4. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan kapitasi. Kapitasi adalah metode pembayaran dalam jumlah tetap untuk pelayanan kesehatan per pasien kepada penyedia layanan kesehatan sesuai standar yang telah ditetapkan. Nilai kapitasi per pasien di tingkat Puskesmas dalam program JKN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan adalah 6.000 rupiah. Untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket Indonesia Case Based Groups (INA CBG’s).

(16)

Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu.

Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM (Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit Cost) adalah harga rata-rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang disepakati kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan. Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan.

Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost

Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.

Angka utilisasi dipengaruhi oleh: 1. Karakteristik Populasi

(17)

4. Kebijakan Asuransi

Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah klinik/praktik. Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x 100%). Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk. Unit Cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun waktu tertentu. Unit Cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan. Unit cost merupakan jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut. Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin) dapat memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi (beban biaya). Angka unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting untuk menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim terhadap SOP yang telah disepakati.

(18)

Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:

1. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta prevalensisnya.

2. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan kesehatan tersebut beserta tarifnya.

3. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota

Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari semua angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan. Secara umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :

Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan = biaya per anggota per bulan (PAPB).

Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :

Dari laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan tahun yang lalu (experienced rate) dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi kesehatan ke PPK tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang. Biaya dokter dan obat per kunjungan rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan biaya obat rata-rata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi per anggota per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :

PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000] : 12 bulan = Rp. 1554,12

(19)

setiap peserta dalam jangka waktu tertentu (biaya pelayanan kapitasi). Besarnya tarif pelayanan kesehatan disini merupakan hasil kesepakatan antara Bapel JPKM dengan PPK yang bersangkut.

Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis pelayanan kesehatan yang diinginkan.

Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :

Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94 Pembayaran kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikut

Pembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan. Manfaat system Kapitasi :

1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikan

2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan, sehingga dapat dilakukan :

•Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota

•Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan

•Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan

kuratif-rehabilitatif

•Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,

(20)

•Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu

•Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan

masyarakat

Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.

Semua fasilitas kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

2.2.4.5. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan

(21)

Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.

(22)

2.2.5. Pelayanan

2.2.5.1. Jenis Pelayanan

Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup :

a. Administrasi pelayanan;

b. Pelayanan promotif dan preventif;

c. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;

d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;

f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;

g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama; dan h. Rawat inap tingkat pertama dengan indikasi medis

2.2.5.2. Prosedur Pelayanan

(23)

2.2.5.3. Kompensasi Pelayanan

Bila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

2.2.5.4. Persyaratan Fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan

Untuk dapat melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan harus memenuhi persyaratan. Persyaratan yang harus dipenuhi bagi Fasilitas Kesehatan tingkat pertama terdiri atas:

a. Praktik Dokter atau Dokter Gigi harus memiliki: 1. Surat Ijin Praktik;

2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

3. perjanjian kerja sama dengan laboratorium, apotek, dan jejaring lainnya; dan 4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

b. Puskesmas atau yang setara harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi, Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain;

(24)

4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

c. Klinik Pratama atau yang setara harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain;

3. Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker dalam hal klinik menyelenggarakan pelayanan kefarmasian;

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan

6. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

d. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara harus memiliki : 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan

5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

(25)

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdiri atas:

a. Klinik Utama atau yang setara harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

4. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, radiologi, dan jejaring lain jika diperlukan; dan

5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

b. Rumah Sakit harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit;

3. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; 6. Sertifikat akreditasi; dan

7. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

(26)

Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka pemberian pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan. Persyaratan bagi praktik bidan dan/atau praktik perawat terdiri atas:

a. Surat Ijin Praktik (SIP);

b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

c. Perjanjian kerja sama dengan dokter atau puskesmas pembinanya; dan

d. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

Dalam menetapkan pilihan Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi:

a. Sumber daya manusia;

b. Kelengkapan sarana dan prasarana; c. Lingkup pelayanan; dan

d. Komitmen pelayanan.

Kriteria teknis sebagaimana dimaksud di atas, digunakan untuk penetapan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran kapitasi, dan jumlah Peserta yang bisa dilayani. BPJS Kesehatan dalam menetapkan kriteria teknis,berpedoman pada peraturan menteri.

(27)

kriteria teknis dan penilaian kinerja yang disepakati bersama. Rekredensialing dilakukan paling lambat (tiga) bulan sebelum masa perjanjian kerja sama berakhir.

Fasilitas kesehatan dapat mengajukan keberatan terhadap hasil kredensialing dan rekredensialing yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. dalam menindaklanjuti keberatan yang diajukan oleh Fasilitas Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat membentuk tim penyelesaian keberatan. Tim ini terdiri dari unsur dinas kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan.

2.2.5.5. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing.

2.3. Konsep Puskesmas 2.3.1. Pengertian Puskesmas

Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kesehatan.

a. Unit Pelaksana Teknis

(28)

kesehatan kabupaten/kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.

b. Pembangunan Kesehatan

Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. c. Pertanggungjawaban Penyelenggaraan

Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah dinas kesehatan kabupaten / kota, sedangkan Puskesmas bertanggung jawab hanya untuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.

d. Wilayah Kerja

Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing Puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota. 2.3.2.Visi dan Misi Puskesmas

(29)

masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama, yakni: 1) lingkungan sehat; 2) perilaku sehat; 3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu; 4) derajat kesehatan penduduk kecamatan

Misi Puskesmas adalah:

a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

Puskesmas akan selalu menggerakan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan yaitu pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

b. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.

Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

(30)

meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.

Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan yang dilakukan Puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan.

2.3.3.Tujuan Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

2.3.4. Fungsi Puskesmas

2.3.4.1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan

(31)

samping itu aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap pembangunan di wilayah kerjanya.

Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

2.3.4.2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.

2.3.4.3. Pusat Strata Pelayanan Kesehatan Strata Pertama

Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu danberkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab Puskesmas meliputi:

1. Pelayan Kesehatan Perorangan

(32)

perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk Puskesmas tertentu di tambahkan dengan rawat inap.

2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

2.3.5.Struktur Organisasi Puskesmas

Menurut keputusan menteri kesehatan RI nomor 128 tahun 2004, struktur organisasi Puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing Puskesmas. Penyusunan struktur organisasi Puskesmas di satu kabupaten/kota dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan peraturan daerah. Sebagai acuan dapat dipergunakan pola struktur organisasi Puskesmas sebagai berikut :

1. Kepala Puskesmas

2. Unit tata usaha yang bertanggung jawab membantu kepala Puskesmas dalam pengelolaan: data dan informasi, perencanaan dan penilaian, keuangan serta umum dan kepegawaian

(33)

a. Upaya kesehatan masyarakat, termasuk pembinaan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM)

b. Upaya kesehatan perorangan.

4. Jaringan pelayanan Puskesmas yaitu: Puskesmas pembantu, Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Puskesmas keliling dan bidan di desa/komunitas.

2.4.Landasan Teori

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan Puskesmas terhadap implementasi kebijakan JKN di Kabupaten Deli Serdang. Untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan dari segi kepatuhan para implementer dalam menjalankan kebijakan ini peneliti memilih menggunakan model Edwards dengan 4 faktor yang memengaruhi proses implementasi teori ini lebih mudah untuk tersebut yaitu: 1) komunikasi; 2) sumber daya; 3) disposisi dan 4) struktur birokrasi dengan pertimbangan teori ini lebih mudah untuk diterapkan dalam penelitian ini.

(34)

2.5. Kerangka Pikir

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian difokuskan untuk melihat gambaran komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi dalam penyiapan penyelenggaran JKN yang akan menentukan kondisi pengadaan layanan kesehatan program JKN.

Gambaran: 1. Komunikasi 2. Sumber daya 3. Disposisi

4. Struktur Birokrasi

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Diet Rendah Purin Terhadap Kepatuhan Penderita Asam Urat Adapun skripsi ini bukan milik

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka terdapat kesimpulan yaitu: 1). Keterlibatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Hal

Berdasarkan pengamatan, perhitungan dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan software Autodesk Inventor Professional , maka diambil kesimpulan bahwa hasil rancangan

Pengadaan Jasa Konsultasi Analisis Dampak Lalu Linyas.

– Hybrid: equal parts service and goods – Major service with accompanying minor. goods and services –

Nilai yang diperoleh dari responden siswa adalah 82,8 dari nilai maksimal 105 dengan persentase 79% dan mendapatkan kategori layak untuk diterapkan pada uji

(2) Bupati dapat memberikan izin pembukaan rekening pengeluaran pada Bank Umum untuk menampung uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Satuan

Sering kali dalam proses pembuatan tempe di UKM Sumber Gizi dihasilkan tempe yang berkualitas kurang baik, seperti pertumbuhan kapang yang tidak merata atau bahkan tidak