• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kota Medan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

(2)
(3)

Fatma (2007) melakukan penelitian dengan judul Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Mendukung Keberlangsungan Kegiatan Pembangunan Fisik Dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) (Studi Kasus: Kelurahan Situsaeur Dan Kelurahan Sukahaji, Kota Bandung). Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel penyebab rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di kedua kelurahan adalah karena bentuk partisipasi dari masyarakat adalah partisipasi terbujuk, tidak langsung dan partisipasi yang dimanipulasi; pelaksanaan kegiatan fisik lebih difokuskan pada hasil daripada prosesnya; SDM dalam kelembagaan masih buruk; pengawasan dan pemantauan yang kurang dari fasilitator serta keterlibatan wanita yang sangat rendah. Oleh karena itu, studi ini menyimpulkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan sosialiasi yang mendalam dan meluas; menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan; pengambilan keputusan mengikusertakan masyarakat dari RT-kelurahan; pelaksanaan proyek tetap mengutamakan proses disamping hasil; menerapkan prinsip adil dalam pemberian bantuan; meningkatkan peran serta wanita; pendampingan yang intensif; menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengeluaran dana; adanya variable-variabel dari masyarakat dan periode proyek P2KP yang diperpanjang atau lebih dari 2 tahun.

(4)

pembangunan, disamping peranan LKMD sebagai wadah partisipasi masyarakat dan peranan aparat pemerintah. Berdasarkan perhitungan yang didapat melalui rumus koefisien korelasi spearman maka hasilnya adalah sebagai berikut:

a. Korelasi antara variabel partisipasi masyarakat (X) dengan variabel program pembangunan desa/kelurahan (Y) hasilnya menunjukkan nilai 0,50. Nilai ini menggambarkan arah hubungan yang positif dan bertaraf nyata atau benar, sehingga nilai ini termasuk dalam kategori cukup sebagaimana pendapat Guilford dan Sutrisno Hadi.

b. Hasil pengujian hipotesis penelitian diterima dengan arah hubungan adalah signifikan. Dengan demikian maka nilai tersebut menunjukkan besarnya hubungan pengaruh antara partisipasi masyarakat dengan program pembangunan desa di Kelurahan.Pelaihari Kecamatan pelaihari Kabupaten Tanah Laut.

(5)

ditemukan perbedaan yang signifikan. Hasil uji t-matched pair yang dilakukan terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga masyarakat menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Tentang Motivasi Kerja 2.2.1.1. Pengertian Motivasi Kerja

Dalam upaya pemberian batasan konsep motivasi kerja, Winardi (2001:1) mengemukakan bahwa: "Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin, yaitu movere, yang berarti "menggerakkan". (to move)." Fathoni (2006:81) mengemukakan, bahwa: "...pengertian motivasi dapat dikatakan suatu keadaan yang menggerakkan atau mengarahkan seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan tertentu".

(6)

Sedangkan menurut Robbins (2001:166), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan terjadi apabila tidak ada keseimbangan antara apa yang dimiliki dan apa yang diharapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan dan pencapaian tujuan. Dan tujuan adalah sasaran atau hal yang ingin dicapai oleh seseorang individu.

Robbins dan Coulter (Winardi, 2001:1-2) mengemukakan pengertian motivasi pengurus (employee motivation) sebagai: "Kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikoordinasikan oleh kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutlihan individual tertentu." Schermerhom Jr. et al. (dalam Winardi, 2001:2) mengemukakan, bahwa: "...motivasi untuk bekerja, merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arch, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja."

(7)

Beredoom dan Stainer (dalam Fathoni, 2006:81) mengemukakan, bahwa:

"

Hal senada disampaikan Gray et al. (Winardi, 2001:2) yang menge-mukakan, bahwa: "...motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Motivasi adalah kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan."

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa motivasi adalah kemauan yang mendorong seseorang untuk berusaha melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kemauan terbentuk karena usahanya untuk memenuhi kebutuhannya/keinginan pribadinya. Karena perbedaan kebutuhan antara individu yang sate dengan yang lainnya, maka motivasi dasar yang dimiliki oleh pengurus akan berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi faktor lingkungan mempunyai pengaruh.

"

(8)

Maslow mengemukakan hasil-hasil pemikirannya mengenai motivasi kerja manusia dalam bukunya “Motivation and Personality”. Menurutnya seseorang bekerja atau berperilaku karena adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhannya, dan kebutuhan manusia itu memiliki tingkatan atau hirarki. Selanjutnya dikelompokkan semua kebutuhan manusia dalam lima tingkatan atau yang biasa disebut dengan Hirarki Kebutuhan Maslow, yaitu:

1. Kebutuhan fisiologis, seperti pangan, sandang, dan papan.

2. Kebutuhan keamanan, tidak hanya dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, dan psikologis, termasuk di dalamnya terbebas dari ancaman fisik dan kehilangan pekerjaan.

3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan akan pergaulan dan diterima dalam lingkungan sosialnya, kasih sayang dan afiliasi yaitu hasrat untuk mendapatkan hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.

4. Kebutuhan akan penghargaan dan prestise yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status.

5. Aktualisasi diri dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata (Siagian, 2000).

(9)

Tingkat terendah dalam hirarki adalah tingkat kebutuhan fisiologis dan yang tertinggi adalah aktualisasi atau perwujudan diri.

Sejalan dengan berkembangnya dunia bisnis dan semakin berkembangnya kehidupan organisasional, maka teori klasik Maslow di atas semakin berkembang atau disempurnakan karena semakin berkembang dan bervariasi pula hirarki kebutuhan manusia yang pada awalnya hirarki kebutuhan tersebut diklasifikasikan atas dua tingkat kebutuhan yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Selanjutnya teori motivasi Maslow ini dikembangkan dan dilengkapi oleh Maslow dan Lowery. Kemudian dikembangkan kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu tingkatan yang kelima ke dalam empat tingkatan kebutuhan yang berbeda yaitu:

a. Cognititive, yaitu kebutuhan untuk mengetahui, memahami dan menyelusuri.

b. Aesthetic, yaitu kebutuhan akan keseimbangan, keteraturan dan keindahan.

c. Self actualization, yaitu kebutuhan untuk diakui aspirasi dan harapannya serta menyadari potensi diri.

(10)

Hirarki kebutuhan Maslow dan Lowery dalam Huitt (2004) digambarkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Hirarki Kebutuhan Teori Maslow Sumber : http://www.ifla.org/IV/ifla61/61.kaye.htm

2.2.1.2. Tujuan Pemberian Motivasi Kerja

Pemberian motivasi kepada pengurus bertujuan untuk kemajuan diri pribadi pengurus maupun organisasi. Jika pemberian motivasi dapat dilakukan terus menerus, maka kinerja organisasi dapat terkendali dan prestasi kerja dapat dicapai dan dijaga. Jika pemberian motivasi tetap dilaksanakan dengan baik, maka diharapkan pengurus dapat memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi atas

Transcendence Self-Actualization

Aesthetic Needs Need to Know & Understand

Esteern Needs Belongingness & Love Needs

Safety Needs Physiological Needs

(11)

pekerjaan yang diberikan kepadanya dan selanjutnya diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan bagi organisasi. Selain itu pengurus yang diberi motivasi akan lebih bertanggungjawab dan lebih berani menanggung resiko terhadap pekerjaan yang dilakukan dan lebih berani lagi mengambil keputusan dan inisiatifnya juga tinggi tanpa harus mengabaikan kebijakan-kebijakan organisasi yang telah ditentukan.

Menurut Hasibuan (2003) tujuan motivasi adalah: a. Mendorong gairah dan semangat kerja pengurus. b. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pengurus. c. Meningkatkan produktivitas kerja pengurus.

d. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pengurus instansi.

e. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi pengurus. f. Mengefektifkan pengadaan pengurus.

g. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik. h. Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pengurus. i. Meningkatkan tingkat kesejahteraan pengurus.

j. Mempertinggi rasa tanggungjawab pengurus terhadap tugas-tugasnya. k. Meningkatkan efesiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.

Foster dan Seeker (2001:73-74) mengemukakan beberapa teknik untuk membangun kinerja pengurus yang erat hubungannya dengan faktor motivasi yakni sebagai benikut:

(12)

bonus, komisi, hadiah, tunjangan, gaji variabel, surat rekomendasi, biaya perjalanan, dan sebagainya).

2. Status (Promosi, ruang kerja lebih baik, kepemimpinan, jabatan, undangan untuk pertemuan penting, kantor pribadi, dan sebagainya).

3. Hak (istimewa) Pribadi (jam kerja lebih fleksibel, waktu tidak kerja, tambahan hari libur, penugasan khusus, perjalanan dan sebagainya).

4. Tanggung Jawab Pekerjaan (Pengakuan prestasi, pujian, penambahan tugas, pe-ningkatan kerja, penambahan variasi pekerjaan, pepe-ningkatan karir, tugas-tugas yang disukai, tambahan sumber daya, penghilangan tugas tertentu, dan seba-gainya).

5. Kebijakan/Prosedur (lepas dari prosedur berulang dan/atau yang tidak disukai, peluang untuk menciptakan kebijakan/ prosedur baru, akses lebih besar pada in-formasi rahasia, bebas dari control/supervisi, dan sebagainya).

6. Lingkungan Kerja (lingkungan yang menarik, lokasi yang tidak bising, rekan kerja yang disukai, keamanan kerja yang lebih terjamin, dan sebagainya).

7. Aktivitas Sosial (berbicara dengan rekan kerja, klub makan siang, pesta di luar instansi, peristiwa pembentukan tim, punya waktu bersama manajemen senior, dan sebagainya).

(13)

pertemuan, dan sebagainya).

Faktor motivasi kerja sangat erat kaitannya dengan kinerja seseorang. Banyak pakar yang mengemukakan bahwa motivasi kerja, di samping faktor-faktor lainnya turut mempengaruhi kinerja seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Di antara pakar itu adalah Winardi (2001:3) yang mengemuka

Fathoni (2006:81) mengemukakan, bahwa: "Pencapaian tujuan motivasi kerja sebagaimana dtharapkan menghasilkan efektivitas, produktivitas, dan hasil kerja yang efisien, bath bagi diri individu yang bersangkutan maupun bagi organisasi." Zainun (2004:57) mengemukakan pendapatnya, bahwa: "...motivasi merupakan suatu usaha dan keinginan yang mempengaruhi kegairahan manusia organisasi dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan pekerjaan."

kan, bahwa: "Konsep motivasi penting dalam studi tentang kinerja individual." Motivasi menurut Winardi merupakan sebuah determinan penting bagi kinerja individual di samping determinan lainnya seperti upaya (kerja keras), kemampuan orang yang bersangkutan, pengalaman (kerja) sebelumnya.

2.2.1.3. Teori-Teori Motivasi Kerja

(14)

a. Teori motivasi dua faktor atau teori iklim sehat oleh Herzberg

Herzberg berpendapat bahwa ada dua faktor ekstrinsik dan instrinsik yang mempengaruhi seseorang bekerja. Termasuk dalam faktor ekstrinsik (hygienes) adalah hubungan interpersonal antara atasan dengan bawahan, teknik supervisi, kebijakan administratif, kondisi kerja dan kehidupan pribadi. Sedangkan faktor instrinsik (motivator) adalah faktor yang kehadirannya dapat menimbulkan kepuasaan kerja dan meningkatkan prestasi atau hasil kerja individu. Menurut Winardi (2001), motivasi seseorang akan ditentukan motivatornya, yang meliputi: prestasi (Achievement), penghargaan (Recognition), tantangan (Challenge), tanggungjawab (Responsibility), pengembangan (Development), keterlibatan (Involvement), dan kesempatan (Opportunity).

Dalam teori motivasi Herzberg, faktor-faktor motivator meliputi: prestasi, pengakuan, tanggungjawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang.

(a). Prestasi (achievment) adalah kebutuhan untuk memperoleh prestasi di bidang pekerjaan yang ditangani. Seseorang yang memiliki keinginan berprestasi sebagai kebutuhan “need” dapat mendorongnya mencapai sasaran.

(b). Pengakuan (recoqnition) adalah kebutuhan untuk memperoleh pengakuan dari pimpinan atas hasil karya atau hasil kerja yang telah dicapai.

(15)

d). Kemajuan (advencement) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan karier (jabatan).

(e). Pekerjaan itu sendiri (the work it self) adalah kebutuhan untuk dapat menangani pekerjaan secara aktif sesuai minat dan bakat.

(f). Kemungkinan berkembang (the possibility of growth) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan karier.

Frederick Herzberg memilah herarki kebutuhan maslow menjadi kebutuhan tingkat rendah (fisiologis, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (penghargaan dan aktualisasi diri). Herzberg mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. b. Teori motivasi prestasi kerja David Mc Clelland

Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan yaitu: (a). Kekuatan motif dan kekuatan dasar yang terlibat; (b). Harapan dan keberhasilannya; dan (c). Nilai insentif yang terletak pada tujuan.

Menurut Mc Clelland kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah kerja dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

(16)

(2). Kebutuhan akan afiliasi seseorang karena kebutuhan afiliasi akan memotivasi dan mengembangkan diri serta memanfaatkan semua energinya.

(3). Kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan ini merupakan daya penggarak yang memotivasi semangat kerja seorang karyawan. Ego manusia yang ingin berkuasa lebih dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan, persaingan ini oleh manajer ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya supaya termotivasi untuk bekerja giat.

Pada teori yang dicapai dari Mc. Clelland gaji atau upah, penting sebagai suatu sumber umpan balik kinerja untuk kelompok karyawan yang berprestasi tinggi (High Achivers) ia dapat bersifat atraktif bagi orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan afiliasi, apabila hal tersebut diberikan sebagai bonus kelompok, dan ia sangat dinilai tinggi oleh orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan kekuasaan, sebagai alat untuk membeli prestise atau mengendalikan pihak lain (Winardi, 2001:156).

(17)

nafkah, akan tetapi sebagai wahana untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya, bagaimanapun kebutuhan itu dikategorisasikan.

Indikator dalam penelitian ini meliputi: a. Kebutuhan akan Prestasi;

b. Kebutuhan akan pengakuan; c. Pekerjaan itu sendiri

d. Tanggungjawab

e. Kebutuhan untuk berkembang atau kemajuan. 2.2.2. Teori Tentang Pelayanan dan Kualitas Pelayanan 2.2.2.1. Pengertian Pelayanan dan Pelayanan Publik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pelayanan memiliki arti ”perihal atau cara melayani.” Menurut rumusan American Marketing Association dalam Napitupulu (2007), bahwa:

(18)

masyarakat lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut)”.

Menurut Sinambela (2008), bahwa: ”Pelayanan Publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.”

2.2.2.2. Pengertian dan Dimensi Kualitas Pelayanan

Menurut Gaspersz (2005), Bahwa:”Pengertian dasar dari kualitas memiliki 2 (dua) definisi, yaitu Pertama, efinisi Konvensional dari Kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti Performansi(performance), Keandalan(reliability), Mudah dalam penggunaan (easy of use), Estetika(esthetics), sedangkan Kedua, Definisi Strategik, menyatakan bahwa Kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan masyarakat(meeting the needs of customer).

Selanjutnya Moenir (2000), menyatakan bahwa: kualitas pelayanan yang baik adalah Kemudahan dalam pengurusan kepentingan, mendapatkan pelayanan yang wajar, mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih dan mendapat perlakuan yang jujur dan terus terang.

(19)

didiproduksi dengan cara yang baik dan benar. Sejalan dengan hal terdebut diatas, maka untuk memenuhi keinginan masyarakat (masyarakat), Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :

a. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksdanakan.

b. Kejelasan dan kepastian, menyangkut : 1. Prosedur/tata cara pelayanan umum

2. Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif

3. Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum

4. Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya 5. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum

6. Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum

(20)

c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

d. Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

e. Efisien, meliputi:

1. Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan.

2. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan, dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan

secara wajar dengan memperhatikan :

(21)

2. Kondisi dan kemampuan masyarakat (masyarakat) untuk membayar secara umum

3. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

g. Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

h. Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat, selain dapat dilihat dalam keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 81/1993, juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor 1/1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa kategori dalam mengkaji pelayanan prima. Pertama, kategori berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni : a. Strategi, b. Staff , c. Share Value, d.Struktur, e. Skill, f. System dan g. Style

(22)

tersebut untuk memenuhi keinginan masyarakat.” Ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima(preceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.

(23)

Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibiltas mencakup nama instansi, reputasi instansi, karakteristik pribadi, contact personel, dan interaksi dengan masyarakat; (8). Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety), kemanan pinansial (fiancial security), dan kerahasiaan (confidentiality); (9). Understanding/knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan masyarakat; (10). Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dari jasa (misal kartu kredit plastik).

(24)

2.2.3. Peran BKM dalam PNPM Mandiri Perkotaan

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang ฀ocial฀฀tative, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal ฀ocial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan program masyarakat jangka menengah dalam penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, ฀ocial฀฀tative dan dipercaya tersebut (secara ฀ocial฀ disebut Badan Keswadayaan Masyarakat atau disingkat BKM) dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal ฀ocial (capital social) kehidupan masyarakat.

(25)

sebagai PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan berbagai instansi pemerintah dan kelompok peduli setempat.

Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota/kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 Juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui 243.838 KSM. Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Tahun 2008 secara penuh P2KP menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan).

2.2.4. Prinsip Dasar PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar berikut ini :

a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Pelaksanaan PNPM Mandiri senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat manusia seutuhnya.

(26)

c. Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah atau masyarakat sesuai dengan kapasitasnya.

d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Semua kegiatan yang dilaksanakan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok masyarakat yang kurang beruntung.

e. Partisipasi. Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan.

f. Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahap pembangunan dan dalam menikmati secara adil manfaat kegiatan pembangunan.

g. Demokratis. Setiap pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat miskin.

h. Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat harus memiliki akses yang memadai terhadap segala infromasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dipertanggunggugatkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif. i. Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus memprioritaskan pemenuhan

(27)

j. Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan didorong untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi antar pemangku kepentingan dalam penanggulangan kemiskinan.

k. Keberlanjutan. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak hanya saat ini tapi juga di masa depan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

l. Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan PNPM Mandiri harus sederhana, fleksibel mudah dipahami, dan mudah dikelola, serta dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakat.

2.2.5. Sasaran PNPM Mandiri Perkotaan

Sasaran Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah sebagai berikut:

a. Terbangunnya Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) yang dipercaya, aspiratif, representatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat;

b. Tersedianya Perencanaan Jangka Menengah(PJM) Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka pengembangan lingkungan permukiman yang sehat, serasi, berjati diri dan berkelanjutan;

(28)

d. Terwujudnya kontribusi pendanaan dari pemerintah kota/kabupaten dalam PNPM Mandiri Perkotaan sesuai dengan kapasitas fiskal daerah.

2.2.6. Masyarakat dan Lembaga Masyarakat 2.2.6.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

(29)

yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai

3. penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

(30)

tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.

2.2.6.2. Relawan masyarakat

(31)

Didasarkan pada keyakinan inilah, PNPM Mandiri Perkotaan mendorong masyarakat di lokasi sasaran agar membuka kesempatan seluas mungkin bagi warga yang ikhlas, jujur, adil, peduli dan memiliki komitmen untuk membantu masyarakat dalam melaksanakan seluruh tahapan kegiatan program agar bermanfaat bagi masyarakat miskin serta seluruh masyarakat di wilayahnya. Dengan demikian peran utama para relawan adalah (Herlina, 2005) :

a. Pelopor perubahan.

b. Pengerak masyarakat dalam menjalani seluruh proses PNPM Mandiri Perkotaan yang memang direncanakan sebagai uapaya pemberdayaan masyarakat atau peningkatkan kapasitas, sehingga secara rinci relawan diharapkan menjadi pelopor dalam siklus program; refleksi kemiskinan, pemetaan swadaya, pembentukan BKM, pengorganisasian KSM, perencanaan partisipatif, dsb.

(32)

2.2.6.3. LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat)

Dilokasi-lokasi dimana P2KP dan PNPM P2KP telah mulai bekerja, maka di lokasi tersebut sudah terbentuk LKM sebagai “dewan amanah” atau “pimpinan kolektif” organisasi masyarakat warga setempat (kelurahan/desa).

LKM ini bertanggungjawab menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya. Oleh sebab itu peran utama LKM adalah (Soekamto dkk., 2003) :

a. Mengorganisasikan warga secara partisipatif untuk merumuskan rencana jangka menengah (3 tahun) penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis) dan diajukan ke PJOK untuk mencairkan dana BLM;

b. Sebagai dewan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang menyangkut pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan pada khususnya dan penanggulangan kemiskinan pada umumnya;

c. Mempromosikan dan menegakkan nilai-nilai luhur (jujur, adil, transparan, demokratis, dsb) dalam setiap keputusan yang diambil dan kegiatan pembangunan yg dilaksanakan;

(33)

e. Mengembangkan jaringan LKM di tingkat kecamatan, kota/kabupaten sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dan wahana untuk menyuarakan aspirasi masyarakat warga yang diwakilinya;

f. Menetapkan kebijakan dan mengawasi proses pemanfaatan dana bantuan langsung masyarakat (BLM), yang sehari-hari dikelola oleh UPK.

2.2.6.4. KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)

Disamping LKM di lokasi yang telah menjalani P2KP/PNPM P2KP juga sudah terbentuk KSM atau Kelompok Swadaya Masyarakat adalah nama jenerik untuk kelompok warga masyarakat pemanfaat dana BLM PNPM Mandiri Perkotaan. KSM ini diorganisasikan oleh tim relawan dan dibantu oleh tim fasilitator terdiri dari warga kelurahan yang memiliki ikatan kebersamaan (common bond) dan berjuang untuk mencapai tujuan bersama.

KSM ini bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai pelaksana kegiatan terkait dgn penangulangan kemiskinan yang diusulkan untuk didanai oleh LKM melalui berbagai dana yg mampu digalang. Oleh sebab itu tugas pokok KSM adalah (Fatma, 2007) :

a. Menyusun usulan kegiatan pembangunan terkait dgn penangulangan kemiskinan

b. Mengelola dana yang diperolehnya untuk mendanai kegiatan pembangunan yg diusulkan

(34)

d. Menerapkan nilai-nilai luhur dalam pelaksanaan pembangunan yang ditekuninya (transparansi, demokrasi, membangun dengan mutu, dll)

e. Secara aktif menjadi bagian dari kendali sosial (control social) pelaksanaan penangulangan kemiskinan di wilayahnya

2.2.7. Pengertian Kemandirian Masyarakat

Kemandirian (self-reliance) (Ismawan, 2003) adalah suatu konsep yang sering dihubungkan dengan pembangunan. Dalam konsep ini program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.

(35)

martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi.

Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu yang menikmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang diuntungkan ini adalah yang dekat dengan elit kekuasaan, atau yang secara sosial ekonomi memang mampu meraih kesempatan yang ada.

Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Sebagian besar masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil manfaat atas hasil-hasil pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan kumuh di perkotaan dan di perdesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi, maupun politik begitu besar, tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin menyulitkan kehidupan sehari-hari.

(36)

Wacana, Salatiga dalam Ismawan (2003), bahkan juga kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Para petani di daerah itu menolak menerima uluran bantuan berupa temak kambing.

Melihat uraian sekilas di atas, tampak konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (sef-confidence). Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.

(37)

bebas atau malah semakin bergantung pada bahan baku impor, atau apakah negara lebih mampu memupuk modal atau malah semakin bergantung pada utang luar negeri.

Sebagai implikasi dari saling berkaitnya unsur-unsur dalam kemandirian, proyek-proyek di bidang ekonomi bagi golongan miskin harus dirancang secara tepat, sesuai dengan tingkat keseimbangan yang ada. Kemiskinan yang ditanggungkan tidak boleh dilihat semata sebagai masalah fisik, melainkan juga harus dilihat sebagai tantangan atau dorongan bagi hadirnya harapan baru atau kondisi yang lebih baik. Proyek yang dibangun, dengan dernikian, harus dapat dijangkau oleh kernampuan yang ada. Dengan kata lain, proyek itu harus memungkinkan golongan miskin ikut berpartisipasi, baik pada tingkat implementasi maupun tingkat pengambilan keputusan, sehingga memiliki landasan bagi terbentuknya proses self-management.

(38)

pendamping. Artinya, harus memperhatikan proses kemandirian yang terjadi dalam KSM seperti yang terjadi pada dirinya sendiri.

2.3. Kerangka Konseptual

Gambaran lembaga masyarakat yang madani hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat miskin, bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah, karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan, komitmen tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat.

Dalam hal ini, PNPM Mandiri Perkotaan meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya.

(39)

program PNPM Mandiri Perkotaan maupun pasca program PNPM Mandiri Perkotaan oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar Kelurahan (KBK).

Sedangkan substansi PNPM Mandiri Perkotaan sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah, dilakukan melalui; pelibatan intensif Pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan, penguatan peran dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM berbasis aspirasi dan program masyarakat, lingkaran kemiskinan yang pada gilirannya diharapkan dapat tercipta lingkungan perkotaan dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam pemukiman yang lebih responsif dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

(40)

Gambar 2.2. Penanganan Akar Kemiskinan Oleh Masyarakat Melalui PNPM Mandiri Perkotaan

Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. Perubahan perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses pemberdayaan masyarakat agar terbangun: daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif, daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif dan daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

(41)

dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin. Proses tersebut menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan (people or community centered development).

Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian tentang community development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

“Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.

Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis.

(42)

menjelaskan tentang bagaimana memotivasi pengurus dalam melaksanakan pekerjaannya, agar dapat bekerja secara maksimal.

Hicks dan Gullet dalam Karepesina (2007) membagi teori motivasi ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu kelompok teori motivasi internal dan teori motivasi eksternal, sebagaimana berikut ini :

a. Kelompok teori motivasi internal memandang bahwa motivasi individu itu, bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, seperti adanya kebutuhan, keinginan, dan kehendak.

b. Sedangkan kelompok teori motivasi eksternal memandang bahwa ada kekuatan di luar diri individu yang dapat mempengaruhi perilakunya dalam bekerja, seperti faktor pengendalian oleh manajer, keadaan kerja, gaji/upah, pekerjaan, penghargaan, pengembangan, dan tanggung jawab. Dalam pembahasan lebih lanjut, akan digunakan teori-teori motivasi eksternal dalam kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan aparat pemerintahan kecamatan. Sejalan dengan itu Herzberg (dalam Ndraha, 1999:145) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang dapat memberikan kepuasan dalam bekerja yaitu faktor motivasional dan faktor pemeliharaan (maintenance), yang diuraikan seperti berikut ini :

(43)

(work it self). Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang tinggi dalam teori Maslow.

b. Faktor pemeliharaan (maintenance factors). Faktor ini dapat berbentuk gaji/upah, hubungan antar pekerja (interpersonal relation), supervisi teknis (supervision), kondisi kerja (working condition), kebijaksanaan perusahaan, dan proses administrasi di perusahaan (company policy and administration). Faktor ini terkait dengan urutan yang rendah dalam teori Maslow.

Hubungan motivasi dan kualitas layanan sipil, maka berbicara mengenai organisasi birokrat, yaitu tidak terlepas dari para pelaksananya dalam hal ini para birokrat atau aparat. Davis dan Newstroom dalam Karepesina (2007) mengemukakan bahwa keterkaitan motivasi dan keunggulan kerja (pelayanan, produktivitas, responsibilitas) adalah bahwa motivasi kompetensi (competence motivation) adalah dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan, pemecahan masalah dan berusaha keras untuk inovatif (dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas tinggi).

Hal ini seiring dengan Gomes dalam Karepesina (2007) yang menyatakan bahwa: manusia memiliki keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, baik yang fisik maupun non fisik. Kebutuhan manusia yang terpenuhi secara wajar dengan sendirinya akan banyak memberikan kontribusinya bagi keberhasilan organisasi.

(44)

tersebut bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut antara lain berupa layanan publik, jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, jaminan keadilan, dan sebagainya. Pemerintah yang responsif dan aspiratif dapat diwujudkan dengan cara meningkatkan kualitas layanan. Pelayanan kepada masyarakat merupakan fungsi utama pemerintah. Hal ini sebagaimana Rasyid dalam Karepesina (2007), menyatakan bahwa : “tugas pokok pemerintah adalah pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development)”.

Elthaitammy (dalam Tjiptono 2002 : 58) mengemukakan bahwa : kualitas pelayanan adalah service excellence atau pelayanan yang unggul, yakni suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Secara garis besar ada 4 (empat) unsur pokok dalam konsep pelayanan yang unggul, yaitu 1). Kecepatan; 2). Ketepatan; 3). Keramahan; 4). Kenyamanan. Keempat komponen ini merupakan suatu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menajdi tidak excellence bila ada komponen yang kurang.

(45)

maupun bagian lainnya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara profesional.

Dari uraian yang dikemukakan itu, menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai motivasi akan membantu untuk pencapaian tujuan organisasi. Hal ini karena orang yang termotivasi memiliki kinerja yang tinggi dalam bekerja. Dengan demikian, kerangka pemikiran yang dikonstruksi melalui elaborasi pendapat beberapa ahli di atas menunjukkan keterkaitan motivasi kerja aparat terhadap kualitas layanan sipil sebagaimana salah satu tujuan organisasi birokrasi.

Keterkaitan ini dapat digambarkan secara sederhana melalui kerangka pemikiran tersebut pada Gambar 2.3. berikut:

(46)

2.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Motivasi Kerja BKM, kualitas pelayanan BKM dan peran BKM berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kota Medan.

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.2. Penanganan Akar Kemiskinan Oleh Masyarakat Melalui                        PNPM Mandiri Perkotaan
Gambar 2.3. Hubungan antara Motivasi Kerja BKM, Kualitas Pelayanan BKM                                                         dan Peran BKM  terhadap Keberhasilan Pelaksanaan PNPM                        sehingga Tercipta Kemandirian Masyarakat di Kota Medan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini yaitu; (1) menghasilkan komik yang memiliki karakteristik berbasis desain grafis, dan berisi materi Besaran dan Satuan SMP kelas VII SMP, dan

Sedangkan pada opsi put Eropa, writer juga dapat mengalami kerugian jika yang terjadi pada saat maturity time adalah strike price lebih besar dibanding harga

Media ini sangat membantu setiap badan usaha atau organisasi khususnya dalam bidang perdagangan dan jasa sehingga dapat mempermudah para pengguna tersebut bertransaksi dengan

n Dana - - Pengurus Anggota Disusun program untuk membiayai LPA dalam RKP, RPJM-Des dan APB Des Disusun program untuk membiayai LPA dalam RKP, RPJM- Des dan APB Des 15

[r]

DHEA KURNIATY PAPUTUNGAN DIAN FERIANTY LOBO. DWI INDAH LESTARI LAKORO NIA

[r]

The aim of this study are to analyze the text of female sexuality articles that realized in the women magazines (i.e. vocabulary, grammar, cohesion and text